Share

BAB 4_KAKEK, KAU BENAR!

"Ayo, Mas!" teriak Luna dari dalam mobil membuyarkan keheranan Yudha.

Laki-laki itu menyeret kakinya dengan berat. Di sini, Yudha merasa harga dirinya sebagai laki-laki sedang disentil.

Dengan perlahan dia kembali menyetir. Tak ada sepatah katapun yang bisa dia ucapkan lagi. Kaku, mungkin karena malu.

"Jangan heran kalau mobil mewah juga bisa kempes bannya. Kalau suhu dingin, tekanan udara di dalam juga ikut turun. Karet juga mengkerut, jadi udara di dalam bisa keluar karena ada ruang antara ban sama peleknya," papar Luna seperti seorang guru yang menerangkan di kelas.

Yudha hanya mengangguk. Ia bertanya dalam hatinya, darimana Luna tahu tentang teori itu? Masuk akal namun sebelumnya dia sama sekali tidak tahu. Cukup lama Yudha memberanikan diri untuk membuka mulut.

"Mbak belajar tentang mobil darimana?"

"Dari majikanku," jawab Luna singkat. Sama sekali tidak ada keraguan.

'Majikan? Apa dia mantan ART? Kakek! Aku akan mencari tua bangka itu. Bagaimana bisa dia memintaku menikahi mantan ART?! Aku Yudha, laki-laki tampan, berkarir cemerlang, pemilik perusahaan!' oceh hati Yudha terkejut dengan ucapan Luna.

Setelah sampai rumah, Yudha langsung masuk kamar.

"Barang-barang tadi, langsung masukin aja ke kamar!" perintah Yudha santai sambil melangkah.

"Itu semua barangnya Mas, silakan masukin sendiri," ucap Luna melenggang melewatinya.

Sayudha marah? Tidak. Malu, iya. Tiba-tiba ponselnya berdiring.

"Halo, Kek!"

"Hai cucuku. Bagaimana? Kamu suka kan dengan pilihan kakekmu ini?"

Yudha melirik istrinya yang sedang menghidangkan makanan di meja makan. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Apa Kakek sedang menghukumku?! Dia sama sekali tidak menarik di mataku, bahkan setelah aku menikahinya. Aku justru takut setelah melihatnya mengganti ban mobil dan mengaku pernah memiliki majikan. Apa salahku pada Kakek?! Hingga Kakek memberikanku jodoh seorang mantan ART?!"

Yudha berteriak dalam bisikannya sambil sesekali mengawasi Luna yang sibuk makan.Terdengar suara kakeknya tertawa terbahak-bahak memenuhi gendang telinga Yudha. Laki-laki muda itu makin heran.

"Kakek, aku sedang serius. Bahkan aku belum melihat wajahnya, sebab bagiku dia wanita aneh, dingin dan menakutkan. Kakek tak bisa melihatnya sekarang. Dia makan tetap menggunakan cadarnya!"

Yudha menggebu-gebu sedangkan kakeknya tetap tertawa renyah sekali. Yudha semakin dibuat kesal.

"Bukalah cadarnya, Kakek jamin, kamu akan menarik kata-katamu ini! Sudah, Kakek harus minum obat jantung dulu sebab kamu membuat Kakek terlalu senang! Hahhaha!"

Belum sempat Yudha menimpali ucapan kakeknya, suara laki-laki tua itu sudah menghilang. Sedikit kesal, Yudha memasukkan kembali ponselnya di kantung celananya lalu ke meja makan. Selera makannya sudah menguap. Yudha hanya meneguk air putih dan memikirkan kalimat kakeknya tadi. Apa benar?

Tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Dengan ekspresi malas, ia melirik layar gawainya. Ayu, kekasihnya sedang menelpon. Seketika Yudha tersenyum karena sepertinya pacarnya itu mulai goyah tak berlama-lama mendiamkannya. Mereka sempat berdebat perihal rencana Yudha yang harus menikah karena paksaan kakeknya.

"Hallo sayang! Siap. Tak masalah. Baik. Aku tunggu."

Luna melirik suaminya dengan tatapan sinis. Yudha merasa kikuk. Apa ada yang salah?

"Ayu, kekasihku akan datang. Mbak tak perlu keluar kamar menyambutnya. Rumah itu sudah seperti rumahnya," ucap Yudha sedikit canggung lalu meraih burger yang tersaji di depannya.

"Aku tak mengizinkan wanita itu menginjakkan kakinya di rumah kita. Tolong jaga martabat rumah tangga!"

Hampir saja Yudha tersedak mendengar ucapan gadis itu. Apa Luna lupa dengan perjanjian mereka?

"Maaf, Mbak masih ingat ucapannya tempo hari sebelum pernikahan ini terjadi kan?"

Gadis itu mengangguk. Kerudung hitamnya sedikit menari sebab dia sibuk mengelap meja makan.

"Jadi, tolong jangan ikut campur dalam hubunganku dengan Ayu."

"Kalau begitu, tanggung sendiri jika sampai Adelard tahu, kamu masih berhubungan dengan kekasihmu itu," ancam Luna.

Telinga Yudha panas memerah mendengar wanita yang bahkan ia tak tahu dari mana asal usulnya, memanggil kakeknya dengan nama panggilan saja. Hampir seumur hidupnya, dia tidak pernah mendengar orang memanggil nama kakeknya tanpa sebutan Tuan di awal nama kakeknya. Yudha merasa istri bercadarnya itu benar-benar tidak tahu adab.

"Apa Mbak sadar, siapa yang barusan Mbak panggil namanya saja?!" sentak Yudha menahan marah.

"Maaf. Aku hanya sedang emosi," jawab Luna singkat.

Gadis itu memilin-milin jilbabnya seperti menahan kesedihan. Yudha yakin, pastilah istrinya itu shock saat dia membentaknya. Lagipula, gadis bercadar itu benar-benar sudah tidak sopan.

"Tolong jangan bawa Ayu ke sini. Kalian bisa bertemu dan melakukan apa saja di luar. Tapi tidak di rumah ini. Kamu juga harus menjaga martabatku sebagai istri. Apalagi kakek memintaku menjagamu," ujar Luna lagi.

Yudha mengangguk kecil memikirkan ucapan wanita bercadar di depannya itu.

"Baiklah. Akan kupertimbangkan."

"Mulai sekarang, berhentilah memanggilku Mbak. Aku tak ingin ada telinga lain yang mendengarnya," lanjut Luna lagi.

"Kalau begitu, tunjukan wajahmu sekarang!" seru Yudha serius.

Luna tidak berkata apa-apa selain perlahan-lahan melepaskan tali pengait cadarnya. Yudha biasa saja bahkan sesekali menengok ponselnya, menunggu Ayu membalas pesannya. Mereka berencana bertemu di luar. Yudha berpikir, tidak ada gunanya sepenasaran seperti semalam. Laki-laki itu meyakini pastilah wajah istrinya itu standar, hanya matanya saja yang indah. Kakeknya pasti hanya melebih-lebihkan.

"Mas," panggil Luna. Yudha masih sibuk mengetik untuk Ayu.

"Mas!" seru Luna sedikit naik.

"Iya! Bisa sabb ... ar, ti ... dak?!"

Sayudha melongo. Suaranya yang semula meninggi tiba-tiba menciut terjun dan hampir hilang. Keyakinannya tentang wajah istrinya yang biasa saja seketika menyusut dan terpatahkan. Gadis itu, wanita bercadar yang telah dia nikahi ternyata sungguh-sungguh secantik bidadari. Tidak pernah dia melihat kecantikan seperti itu. Apakah dia campuran? Bukan campuran lokal tapi internasional! Kecantikan Luna melebihi standar Yudha.

'Matilah aku ...!' Yudha membatin dengan mata terbuka lebar.

"Mulai hari ini, aku akan memperlihatkan wajahku padamu, Mas. Tapi aku mohon, jangan ada seorang pun yang boleh tahu wajahku setelah ini. Permohonanku ini sangat penting," ucap Luna dengan bibir tipis melengkung, berwarna merah muda seperti apel fuji. Yudha masih terpesona hingga seolah suara wanita itu tidak masuk di telinganya.

Luna mengernyitkan dahinya yang mulus bagai persolen.

"Apa tidak masalahkan, Mas?" tanya Luna kembali untuk memastikan.

Yudha hanya mengangguk. Matanya belum berkedip melihat hidung milik istrinya. Begitu lancip mancung, pas dengan struktur wajahnya. Sedikit dalam hatinya tersentil seolah sedang bersorak membatin.

'Kakek! Engkau benar!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status