Beranda / Romansa / ISTRI BISU Tuan Terhormat / 1. Tak Ada Jalan Lain

Share

ISTRI BISU Tuan Terhormat
ISTRI BISU Tuan Terhormat
Penulis: desafrida

1. Tak Ada Jalan Lain

Penulis: desafrida
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-01 18:15:46

“Kami sudah memberikan tindakan awal. Tapi untuk operasi lanjutan, kami butuh persetujuan keluarga… dan dana yang cukup besar.”

Liora Hadley, gadis bisu berusia 26 tahun itu, tampak tercenung mendengar penjelasan dari dokter mengenai kondisi ayahnya.

Tangan Liora gemetar saat mengetik di ponsel dan memberinya ke dokter itu.

“Berapa?” ketik Liora. Degup jantungnya semakin tak menentu. Paniknya bukan main.

Angka yang disebutkan dokter membuat dunianya seolah berhenti. Jumlah yang bahkan tak bisa ia capai meski menjual semua yang dia miliki.

Tubuhnya mematung. Napasnya berat. Tepat, saat itu juga, perawat mendekatinya.

“Ada seseorang yang ingin bertemu Nona. Dia bilang, dia kenal dengan Ayah Nona.”

Liora mengernyit. Dengan langkah ragu, penasaran dan dada sesak, ia menuju sebuah ruang privat.

Di dalam, berdiri seorang pria tinggi tegap. Jas gelap dan kemeja putih rapi membungkus tubuhnya dengan elegan. Ia mengenakan masker juga kacamata, tapi saat Liora masuk, ia melepaskannya perlahan.

Mata mereka bertemu.

“Aku Adrian Shane Ashton,” ucapnya tanpa basa-basi dan tak mengulurkan tangan. Tatapan pria itu juga dingin dan tajam.

Liora membatu. Nama itu… Ashton, terdengar sangat familiar. Keluarga Ashton adalah raja bisnis negeri ini. Kaya raya. Berpengaruh. Disegani. Dihormati.

“Aku akan bicara langsung ke intinya,” lanjut Adrian. Ia kembali memakai maskernya. “Mobilku… yang menabrak ayahmu. Dan sialnya rekaman CCTV menangkap semuanya.”

Mendengar itu, tangan Liora menggenggam erat handphone-nya penuh amarah. Dia mengetik dengan cepat.

“Sial katamu?! Harusnya aku yang mengatakan, kalian orang kaya sialan! Sudah menabrak Ayahku dan tak bertanggung jawab!”

Adrian membacanya, alisnya sedikit terangkat. “Kau… bisu?” tanyanya datar, meski tampak terkejut sesaat.

Ya, Liora memang bisu sejak empat tahun lalu. Dokter menyebutnya mutisme psikogenik—trauma bisu akibat luka batin yang mendalam. Luka yang tidak terlihat, tapi mengurungnya dalam diam.

Liora mengetik lagi. “Kau harus bertanggung jawab! Atau aku akan melaporkan kalian!”

Adrian merampas handphone itu. Setelah membaca, ia menatapnya dengan senyum tipis, penuh ejekan.

“Silakan lapor. Tapi siapa yang akan mendengar? Kau tak punya suara. Dan yang lebih penting… kau tak punya apa-apa.”

Tatapan Liora berubah semakin tajam, napasnya memburu.

“Aku bisa membayar pengacara, menyembunyikan bukti, membeli berita. Tapi kau?” Adrian menatapnya. “Kau bahkan tak bisa menyelamatkan ayahmu dari kematian, kecuali jika aku mau membantumu.”

Air mata Liora menggenang. Ia mengetik dengan gemetar. “Kalau tidak bertanggung jawab, untuk apa kau datang ke sini? Hanya mengejekku?!”

“Tidak.” Pria berusia 34 tahun itu menatapnya, masih dingin dan tajam. “Aku datang untuk menawarkan kerja sama. Satu-satunya jalan agar semuanya tetap terkendali.”

Liora menatap penuh curiga.

“Aku akan menanggung seluruh biaya rumah sakit. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa?” tulis Liora cepat.

“Kau harus menikah denganku.”

Dunia seakan berhenti berputar.

Adrian melanjutkan, “Kontrak sah. Pernikahan legal. Kau akan menjadi istriku di mata publik. Dengan begitu, tak ada yang curiga pada keluarga kami. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya pelakunya.”

“Kau keterlaluan!” Liora mengetik dan ingin memukul Adrian dengan ketidakberdayaannya.

“Kalau kau menolak,” ujar Adrian sambil berdiri dan menata jasnya, “maka ayahmu akan lewat. Itu saja.”

Tiba-tiba seorang perawat membuka pintu dengan tergesa. Adrian sudah menyadarinya dan kembali memakai maskernya.

“Nona Liora! Ayah Anda… harus segera dioperasi! Kondisinya… kondisinya semakin buruk.”

Liora terpaku. Dunia di sekelilingnya berputar dalam kabut. Ia tak punya suara, tak punya uang, tak punya pilihan.

Matanya kembali pada Adrian. Tangannya gemetar saat mengetik. “Ayahku akan selamat?”

Ia tidak peduli lagi jika harus memohon pada pelaku yang sudah membuat ayahnya kritis.

“Kalau kau menandatangani ini sekarang.” Adrian meletakkan map berisi kontrak di atas meja. Namanya sudah tercetak dengan huruf tebal.

Liora menatap map itu. Air matanya mengalir diam-diam. Tangannya gemetar saat meraih pena. Ia tidak bisa pikirkan badai apa yang akan dia hadapi nanti. Namun, detik itu, badai yang paling jelas mengancam adalah nyawa ayahnya.

Cepat dan singkat. Tanda tangannya sudah tergores di atas kertas.

“Bagus,” ucap Adrian tenang. “Ayahmu akan menjalani operasi sekarang juga.”

“Bagaimana dengan CCTV itu?” ketik Liora, penuh rasa takut.

“Aku akan hilangkan. Yang penting kau juga bungkam.” Tatapannya menusuk. “Kau menikah denganku, maka semua selesai.”

Liora menyeka air mata. Suara hatinya bergemuruh. Ia ingin menolak, marah dan memaki pria itu. Tapi ia tidak ada jalan lain.

“Ingat,” suara Adrian merendah, namun semakin mengancam. “Jika kau melanggar perjanjian ini, kau akan menyesal.” Ia pun merebut handphone Liora. “Kau tidak boleh menggunakan handphone lagi!”

Liora terkejut dan tidak terima. Tangannya masih menggantung di udara, berharap handphone-nya itu kembali.

Namun, Adrian mendekati Liora.

“Besok… kita menikah.”

Bersambung…

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
desafrida
^_^ thank you Kaaak semoga sukaa
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
aku baru baca Thor..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   69. Memeluk Liora Erat

    Adrian berdiri mematung di sisi ranjang, menatap sosok rapuh yang kini kembali membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, gerakannya lemah, tapi napasnya mulai teratur.“Liora...” bisiknya nyaris tak terdengar, suara yang penuh haru, penuh rasa syukur yang tak sanggup ia sembunyikan, “Kamu sudah sadar?”Liora langsung memejamkan matanya kembali—dalam. Napasnya mendesah pelan, tapi bukan karena lega. Wajahnya meringis, tubuhnya menegang menahan sakit yang seolah menyerbu tanpa ampun.Adrian langsung panik. Ia mendekat, membungkuk dengan gugup.“Liora? Apa yang sakit? Mana yang sakit?” tanyanya terburu-buru. “Kepalamu? Perutmu?”Ia refleks menggenggam tangan Liora yang berada di samping ranjang. Genggaman itu hangat, tapi tidak sempat menguat. Karena Liora langsung menepisnya.Pelan, tapi jelas.Penolakan itu begitu nyata dan terasa seperti tamparan telak di wajah Adrian.

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   68. Tersadar, Takut Kehilangan

    Adrian seperti membatu. Matanya menatap lantai kosong. Napasnya pelan tapi berat. Hampa. Tak ada kata yang keluar setelah ia bertanya seperti itu pada Gavin. Seolah seluruh pikirannya kosong atau justru terlalu penuh sampai tak ada ruang untuk berpikir.Hingga akhirnya, Gavin menunduk sedikit dan menyentuh bahu tuannya itu.“Tuan…” panggilnya pelan.Adrian tak bereaksi.Gavin pun mengulurkan tangan dan membantu pria itu berdiri.“Ayo, duduk lebih nyaman di sofa,” ucap Gavin, dengan nada yang lembut, penuh empati. Ia menuntun Adrian ke sofa yang lebih empuk, lalu ikut duduk di sampingnya.Beberapa saat mereka hanya diam. Tapi Gavin tahu… ini bukan waktunya untuk membiarkan semuanya mengendap. Tuannya butuh seseorang yang berani bicara.Dan tak ada yang lebih tahu isi hati Adrian selain dirinya sendiri.“Aku tidak menyangka, Tuan …” ujar Gavin akhirnya, menoleh sedikit ke a

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   67. Ternyata Hamil

    Mobil itu melaju cepat, suara mesin meraung bagai jeritan panik yang tak terucapkan. Gavin menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus pada jalanan di depan, tapi dari sudut kaca, ia terus mencuri pandang ke arah belakang. Ke arah tuannya dan perempuan yang tengah sekarat dalam pelukannya.Liora berada di dada Adrian, tubuhnya gemetar dalam dingin dan nyeri. Napasnya dangkal. Kepala terkulai lemah. Darah membasahi ujung pakaiannya… dan kini, juga membasahi celana jok yang diduduki dan lantai mobil.Adrian tak berkata sepatah kata pun.Ia hanya merangkul tubuh itu erat-erat, seolah pelukannya bisa menahan jiwa Liora agar tidak pergi. Matanya yang biasanya tajam, kini kosong namun penuh kegelisahan. Ia tidak menangis. Tapi matanya tampak basah.Tidak ada satu detik pun ia alihkan pandangan. Tidak ke jalanan. Tidak pada Gavin. Hanya pada wajah Liora. Pada tiap hembusan napas lemahnya.Napas Adrian pun terasa tercekat melihat betapa lemahnya Liora.

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   66. Menemukan Liora dan Tetesan Darah

    Di dalam ruang kantor dengan pencahayaan temaram, suara keyboard terdengar cepat dari balik meja kerja. Gavin duduk di samping Adrian, sementara seorang pria dengan headphone dan laptop terbuka memperlihatkan rekaman CCTV yang telah disiapkan.“Ini titik awal,” ujar rekan Gavin sambil menunjuk layar. “Mobil melaju dari arah jalan pertama ke rumah itu. Terekam di simpang pertama lalu—”Ia berhenti sejenak. Menekan beberapa tombol cepat.“—di persimpangan kedua, tiba-tiba hilang. Kamera di situ mati total sejak lima menit sebelum mobil itu sampai. Sabotase. Bukan rusak biasa. Potongannya rapi.”Adrian menyipitkan mata. “Dan setelah itu?”“Mobil muncul lagi di simpang ketiga. Tapi ini aneh... plat sudah terlihat jelas, tapi posisi kamera memberi gambaran jelas, mobil berbeda. Warna cat pun sedikit lebih mengkilap. Mungkin niatnya ingin mengalihkan agar mereka terus diikuti dari persimpa

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   65. Mata dan Telinga Baru Adrian

    Keesokan harinya, Adrian tidak ikut sarapan. Ia masih terbaring di ranjang besarnya, menatap kosong langit-langit kamar yang tak pernah terasa sepi seperti pagi ini. Kepalanya berat, pikirannya kalut. Setiap detik yang berlalu tanpa kabar dari Liora membuat dadanya semakin sesak. Seolah dunia hanya menunggu kehancuran, dan ia, penyebab sekaligus korban dari semuanya.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Pelan, sopan, tapi cukup membuatnya tersadar dari lamunannya.“Masuk,” gumamnya malas. Ia pikir itu ART yang biasa mengantarkan makanannya.Namun yang muncul bukanlah sosok berseragam abu-abu itu, melainkan Clara.Adrian mengerutkan kening. Ia bahkan tidak tahu kalau wanita itu masih di rumah ini, apalagi sampai bermalam. Clara melangkah masuk membawa nampan berisi bubur dan teh hangat. Dengan santai, ia meletakkannya di atas meja kecil di dekat sofa, lalu berjalan mendekati ranjang tanpa dipersilakan.Seolah-olah tidak pernah ada ancaman dari Lior

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   64. Sejak Awal Luca ...

    Cepat-cepat Adrian menjawab panggilan dari Gavin. Sambil melangkah ia ke lantai atas untuk mendengarkannya. Berharap ada kabar baik.“Tuan… untuk malam ini pencarian belum bisa dilanjutkan. Kami sudah menemukan ke arah mana mobil itu pergi di persimpangan pertama, selanjutnya belum ditemukan. Kalau terus dipaksa, rekanku ini akan kehilangan fokus jika tidak istirahat.”Adrian terdiam beberapa detik. Hatinya kecewa mendengar kabar itu tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Ka- kalau begitu lanjutkan pencariannya besok sepagi mungkin! Aku ingin Liora segera ditemukan, Gavin!” tegasnya.“Mengertu Tuan!” jawab Gavin.Panggilan berakhir.Perasaan Adrian hampa. Namun emosinya meninggi. Apalagi saat mengingat perdebatan yang baru saja terjadi di meja makan.Sementara itu di ruang yang minim cahaya, Liora masih terduduk lemah dengan kaki dan tangan di rantai. Ia memegang perutnya. Bukan hanya karena l

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status