“Kami sudah memberikan tindakan awal. Tapi untuk operasi lanjutan, kami butuh persetujuan keluarga… dan dana yang cukup besar.”
Liora Hadley, gadis bisu berusia 26 tahun itu, tampak tercenung mendengar penjelasan dari dokter mengenai kondisi ayahnya. Tangan Liora gemetar saat mengetik di ponsel dan memberinya ke dokter itu. “Berapa?” ketik Liora. Degup jantungnya semakin tak menentu. Paniknya bukan main. Angka yang disebutkan dokter membuat dunianya seolah berhenti. Jumlah yang bahkan tak bisa ia capai meski menjual semua yang dia miliki. Tubuhnya mematung. Napasnya berat. Tepat, saat itu juga, perawat mendekatinya. “Ada seseorang yang ingin bertemu Nona. Dia bilang, dia kenal dengan Ayah Nona.” Liora mengernyit. Dengan langkah ragu, penasaran dan dada sesak, ia menuju sebuah ruang privat. Di dalam, berdiri seorang pria tinggi tegap. Jas gelap dan kemeja putih rapi membungkus tubuhnya dengan elegan. Ia mengenakan masker juga kacamata, tapi saat Liora masuk, ia melepaskannya perlahan. Mata mereka bertemu. “Aku Adrian Shane Ashton,” ucapnya tanpa basa-basi dan tak mengulurkan tangan. Tatapan pria itu juga dingin dan tajam. Liora membatu. Nama itu… Ashton, terdengar sangat familiar. Keluarga Ashton adalah raja bisnis negeri ini. Kaya raya. Berpengaruh. Disegani. Dihormati. “Aku akan bicara langsung ke intinya,” lanjut Adrian. Ia kembali memakai maskernya. “Mobilku… yang menabrak ayahmu. Dan sialnya rekaman CCTV menangkap semuanya.” Mendengar itu, tangan Liora menggenggam erat handphone-nya penuh amarah. Dia mengetik dengan cepat. “Sial katamu?! Harusnya aku yang mengatakan, kalian orang kaya sialan! Sudah menabrak Ayahku dan tak bertanggung jawab!” Adrian membacanya, alisnya sedikit terangkat. “Kau… bisu?” tanyanya datar, meski tampak terkejut sesaat. Ya, Liora memang bisu sejak empat tahun lalu. Dokter menyebutnya mutisme psikogenik—trauma bisu akibat luka batin yang mendalam. Luka yang tidak terlihat, tapi mengurungnya dalam diam. Liora mengetik lagi. “Kau harus bertanggung jawab! Atau aku akan melaporkan kalian!” Adrian merampas handphone itu. Setelah membaca, ia menatapnya dengan senyum tipis, penuh ejekan. “Silakan lapor. Tapi siapa yang akan mendengar? Kau tak punya suara. Dan yang lebih penting… kau tak punya apa-apa.” Tatapan Liora berubah semakin tajam, napasnya memburu. “Aku bisa membayar pengacara, menyembunyikan bukti, membeli berita. Tapi kau?” Adrian menatapnya. “Kau bahkan tak bisa menyelamatkan ayahmu dari kematian, kecuali jika aku mau membantumu.” Air mata Liora menggenang. Ia mengetik dengan gemetar. “Kalau tidak bertanggung jawab, untuk apa kau datang ke sini? Hanya mengejekku?!” “Tidak.” Pria berusia 34 tahun itu menatapnya, masih dingin dan tajam. “Aku datang untuk menawarkan kerja sama. Satu-satunya jalan agar semuanya tetap terkendali.” Liora menatap penuh curiga. “Aku akan menanggung seluruh biaya rumah sakit. Tapi dengan satu syarat.” “Apa?” tulis Liora cepat. “Kau harus menikah denganku.” Dunia seakan berhenti berputar. Adrian melanjutkan, “Kontrak sah. Pernikahan legal. Kau akan menjadi istriku di mata publik. Dengan begitu, tak ada yang curiga pada keluarga kami. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya pelakunya.” “Kau keterlaluan!” Liora mengetik dan ingin memukul Adrian dengan ketidakberdayaannya. “Kalau kau menolak,” ujar Adrian sambil berdiri dan menata jasnya, “maka ayahmu akan lewat. Itu saja.” Tiba-tiba seorang perawat membuka pintu dengan tergesa. Adrian sudah menyadarinya dan kembali memakai maskernya. “Nona Liora! Ayah Anda… harus segera dioperasi! Kondisinya… kondisinya semakin buruk.” Liora terpaku. Dunia di sekelilingnya berputar dalam kabut. Ia tak punya suara, tak punya uang, tak punya pilihan. Matanya kembali pada Adrian. Tangannya gemetar saat mengetik. “Ayahku akan selamat?” Ia tidak peduli lagi jika harus memohon pada pelaku yang sudah membuat ayahnya kritis. “Kalau kau menandatangani ini sekarang.” Adrian meletakkan map berisi kontrak di atas meja. Namanya sudah tercetak dengan huruf tebal. Liora menatap map itu. Air matanya mengalir diam-diam. Tangannya gemetar saat meraih pena. Ia tidak bisa pikirkan badai apa yang akan dia hadapi nanti. Namun, detik itu, badai yang paling jelas mengancam adalah nyawa ayahnya. Cepat dan singkat. Tanda tangannya sudah tergores di atas kertas. “Bagus,” ucap Adrian tenang. “Ayahmu akan menjalani operasi sekarang juga.” “Bagaimana dengan CCTV itu?” ketik Liora, penuh rasa takut. “Aku akan hilangkan. Yang penting kau juga bungkam.” Tatapannya menusuk. “Kau menikah denganku, maka semua selesai.” Liora menyeka air mata. Suara hatinya bergemuruh. Ia ingin menolak, marah dan memaki pria itu. Tapi ia tidak ada jalan lain. “Ingat,” suara Adrian merendah, namun semakin mengancam. “Jika kau melanggar perjanjian ini, kau akan menyesal.” Ia pun merebut handphone Liora. “Kau tidak boleh menggunakan handphone lagi!” Liora terkejut dan tidak terima. Tangannya masih menggantung di udara, berharap handphone-nya itu kembali. Namun, Adrian mendekati Liora. “Besok… kita menikah.” Bersambung…Sebuah tembakan mengenai atap ruangan itu. Liora terkejut dan diam di tempat.Gavin merasa sedikit lega karena Bennedict tidak langsung menembak tuannya. Namun ia semakin berhati-hati, begitu juga anak buahnya agar Adrian selamat.Tubuh Liora gemetar. Dia menutup mulutnya yang ingin berteriak menangis memanggil Adrian.“Sudah kubilang diam di tempat! Jangan pancing aku!” bentak Bennedict.Gavin melirik empat anak buah tuannya. Seolah berbicara lewat lirikan mata.Saat Bennedict lengah di tengah ancaman yang dia berikan, tiba-tiba…BUG!!!Salah seorang anak buah langsung menunjang lengan Bennedict dan membuat pistol itu jatuh dari tangannya dan terlempar.Sigap Bennedict berlari dan merangkak untuk meraih kembali pistol itu, namun, Liora berlari cepat menendang pistol itu semakin jauh. Saat itu pula ke empat anak buah Adrian langsung menangkap Bennedict dan menguasainya.“Bajingan! Lepaskan!” teriak Bennedict.“Bawa, tahan dan amankan dia!” ucap Gavin pada ke empat anak buah Adrian.Li
Belum sempat Liora berkata apapun, tiba-tiba pintu ruang yang gelap itu didobrak. Empat orang yang badannya tidak kalah besar dari dua penculik yang menahannya, langsung melawan dan mengepung. Adu fisik tidak dapat dielakkan. Namun, apapun itu Liora yang panik, yakin ini adalah kesempatannya untuk kabur.Keributan pecah dalam ruangan sempit itu. Kursi terbalik, kaca pecah, geraman dan dentuman benda-benda meenuhi udara. Dua orang penculik dihajar habis-habisan oleh anak buah Adrian.Adrian dan Gavin pun tiba.“Liora…” panggil Adrian. Suaranya lemah. Selemah posisi berdirinya yang tidak kuat. “Gavin! Amankan Liora terlebih dahulu…” ucapnya.Gavin langsung mendekati Liora dan berusaha melepas ikatannya.Namun fokus semua orang seketika terhenti ketika Bennedict muncul dengan pistol teracung tepat di pelipis Adrian.“Jangan bergerak!” bentak Bennedict, suaranya berat, sarat dengan kebencian.Semua orang menegang. Gavin yang baru saja menarik Liora ke belakang, mendesis pelan. “Sial…”Adr
“Gavin, segera cari dia. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Gunakan semua CCTV, semua akses… aku tidak peduli kau harus meretas sistem kepolisian sekalipun. Aku harus tahu di mana Liora!” suara Adrian pecah, nadanya tegang namun juga penuh ketakutan.Gavin yang berdiri di sisi ranjang mencoba tetap tenang. “Tuan… tolong istirahat dulu. Saya yang akan mencari Nyonya. Saya janji, saya akan menemukannya. Tapi Tuan harus tenang, biarkan saya bekerja.”Namun Adrian menggeleng keras. Tangan yang lemah, yang penuh jarum infus meraih lengan Gavin dengan kekuatan terakhir.“Tidak! Kau tidak bisa diam saja, Gavin. Dia bisa saja dalam bahaya. Aku sudah kehilangan banyak hal… aku tidak akan kehilangan dia juga. Aku akan ikut, denganmu. Biarpun aku harus dibawa dengan kursi roda, dengan perawat, dengan tabung oksigen, aku akan ikut!”Juliana yang sejak tadi menangis langsung menahan bahu anaknya. “Adrian! Kau jangan bikin Mama khawatir?! Tubuhmu bahkan tidak bisa menahan diri sendiri. Kita akan t
Gavin, Liora dan Ibu Panti duduk di salah satu kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Seperti permintaan Gavin. Hanya tiga puluh menit untuk dia menjelaskan, lalu Liora bebas memutuskan.Tanpa basa-basi, Gavin langsung menjelaskan semuanya.“Nyonya Liora, dengarkan aku. Soal kafe Ryan yang kebakaran, itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Tuan Adrian. Aku ada buktinya. Ryan sepertinya sedang ingin klaim asuransi kafenya.Lalu soal pembunuh Ibu Nyonya, itu juga bukan Tuan Adrian. Dia bahkan baru tahu ada kejadian pembunuhan di balik kasus percobaan pembunuhan ayahnya oleh Bennedict beberapa tahun lalu.”Gavin menghela napas untuk melanjutkan penjelasannya.“Dan soal Clara. Semua itu juga fitnah. Ada CCTV di kamar Tuan yang membuktikan semuanya. Tuan Adrian benar-benar sangat mencintai Nyonya. Hidupnya berubah setelah dia menyadari perasaannya pada Nyonya. Dia hanya ingin Nyonya merasa nyaman dan dicintai olehnya.”Liora terlihat membuang wajah mendengar semua penjelasan Gavin. Seak
Liora berdiri kaku, wajahnya tegas tapi matanya sebenarnya mulai basah. Seperti tidak siap untuk masuk ke dalam kamar itu dan melihat Adrian.“Ini ruangannya? Ayo,” ucap Ibu Panti.Liora menoleh, lalu melangkah masuk ke dalam.Juliana, Camila dan Gavin langsung menoleh saat melihat Liora masuk.Adrian yang meringis, mengigau, menyebut nama Liora lalu meminta maaf pun tiba-tiba terdiam.“Liora?” sapa Juliana.Liora menatap wajah wanita itu. Wajah yang masih tegas dan tatapan yang penuh luka.“Kamu datang, Liora? Aku tahu kamu pasti datang. Maafkan kami, Liora. Tolong lihat Adrian. Maafkan dia…”“Li- Liora… Maafkan aku…” Mata Adrian basah, memerah dan lemah.“Tu- tuan… jangan beranjak dulu,” ucap Gavin menahan.Liora melangkah dingin mendekati Adrian. Dia mendekat, tapi hatinya tidak. Apalagi rasa bencinya. Sama sekali tidak bera
Kini Juliana dan Camila yang bergantian menjaga Adrian. Mereka tidak pernah melihat pria itu dalam keadaan seburuk ini. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, dan bibirnya sering kali hanya menggumam menyebut nama Liora. Terkadang, Adrian terbangun dengan teriakan lirih, memohon maaf kepada sosok yang tidak ada di hadapannya. Matanya kosong, tapi basah oleh air mata yang tak bisa ia bendung.Juliana beberapa kali mencoba menghibur, namun yang terdengar hanyalah permintaan maaf yang diulang-ulang, seakan-akan Adrian terjebak dalam lingkaran penyesalan yang tak berujung.Camila pun ikut tertekan. Terlebih lagi, ancaman Clara kian menghantui mereka. Meski mereka sudah memberikan uang dalam jumlah besar agar mulut Clara tetap terkunci. Namun, itu tidak menghentikan bayangan buruk yang terus menekan mereka.Sementara itu, Gavin tidak tinggal diam. Ia tahu Adrian tidak akan bertahan jika Liora tidak segera kembali. Setelah kedatangan Juliana dan Camila dan diperintahkan untuk mencari Liora, dengan