LOGIN"Masalahnya sudah selesai. Aku akan menikahinya besok."
Adrian menyandarkan punggung di sofa dengan nada dingin. Ia baru saja menjelaskan solusi di hadapan ibunya. "Masalah selesai? Dengan menikahinya?" Juliana mengerjapkan mata. “Yang benar saja!” bentaknya. "Iya, Ma. Itu satu-satunya cara." Juliana meletakkan cangkirnya ke meja dengan dentingan tajam. Matanya menyala oleh kemarahan yang tertahan. "Dengan menikahi seorang gadis bisu dan miskin? Kamu serius, Adrian?! Itu bukan solusi. Itu aib untuk keluarga kita!" Adrian mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata ibunya. Sorot matanya tenang tapi tajam. "Dia tidak bisa bicara, Ma. Itu artinya dia tidak bisa menyebarkan apapun. Dan aku bisa mengawasinya dengan lebih mudah." Juliana berdiri, berjalan gelisah. "Kau terlalu bodoh jika mengira gadis seperti itu tidak punya ambisi! Perempuan seperti dia bisa saja menjebakmu dari awal! Mungkin dia sudah merancang semuanya sejak dulu!" "Mama terlalu jauh menyimpulkan. Dia hanya seorang gadis bisu." "Oke! Tapi dia bisu, Adrian! Dia tidak punya nama, tidak punya harta. Tapi besok, karena tindakan gegabahmu, dia akan menjadi Nyonya Ashton?! Dunia akan menertawakan kita!" "Justru itu yang membuat publik simpati. Mereka akan melihat kita sebagai keluarga rendah hati. Tak hanya soal kasta dan kekuasaan. Fokus media akan berpaling dari kecelakaan itu ke pernikahanku." Juliana mendengus. Hening. Juliana menatap anaknya lekat-lekat. Anak yang ia banggakan kini membuat keputusan yang terasa seperti pisau menusuk kehormatannya sendiri. "Kau lebih memilih menodai garis keturunan kita! Apa tidak ada cara lain?" "Apa ada Ma? Katakan padaku,” pinta Adrian dingin. Dia menunggu. Tetapi Juliana tidak menemukan solusi lain. “Aku memilih cara yang paling cepat menutup semuanya." Adrian beranjak dan meninggalkan perdebatan mereka. Hingga keesokan harinya, kabar dari rumah sakit datang. Ayah Liora telah melewati masa kritis. Tapi masih tak sadarkan diri. Pernikahan diam-diam pun terjadi di rumah keluarga Ashton. Tak ada tamu. Tak ada bunga-bunga mewah. Hanya asisten Adrian, dua saksi dari notaris, seorang pendeta, dan Liora yang mengenakan gaun putih sederhana. Terlalu biasa untuk ukuran keluarga Ashton, tapi cukup untuk upacara legal yang penuh tekanan. Adrian berdiri di sebelahnya, mengenakan setelan abu-abu tanpa senyum. Tatapannya kosong, seolah hanya ingin menyelesaikan ritual ini secepat mungkin. Saat pendeta bertanya, Liora tak bersuara. Hanya mengangguk pelan. Tapi di dalam dirinya, ada teriakan yang tak pernah keluar. Air matanya jatuh saat cincin melingkar di jarinya. Ia menyeka cepat. Bukan karena haru. Tapi karena kecewa, marah, dan hancur. Benar-benar hancur! Setelah selesai, Liora melangkah menjauh dari mereka. Di sebuah lorong sepi di rumah itu, tiba-tiba Juliana mendekatinya. Wajahnya tersenyum palsu tapi matanya menyimpan amarah. "Selamat ya, Liora," ujarnya pelan. "Kau gadis yang sangat... beruntung. Ayahmu nyaris mati, dan kau malah menikah dengan pewaris keluarga Ashton. Hebat! Mana ada wanita bisu seberuntung itu, iya kan?" Ia berbisik tapi tajam menusuk hati. Liora hanya berdiri. Tak menjawab. Tak bisa. Juliana mendekat, menyempitkan jarak di antara mereka. "Tapi kau jangan salah paham. Keluarga ini tidak akan pernah menerimamu." Liora menahan napas. Air mata mulai menggenang. Tapi kali ini, ia tak tunduk. Juliana memperhatikan matanya. "Apa? Marah? Tidak terima? Kau pikir karena sudah sah menikah, kau bisa menuntut perlakuan lebih?" Ia berjalan mengelilingi Liora penuh intimidasi. Liora mengangkat wajahnya. Sorot matanya tegas. Tidak takut. Tidak juga menyerah. "Kau benar-benar cerdas ya? Kau menjual tragedimu dengan sangat baik. Jangan kira aku tidak melihat niatmu." Suara langkah dari arah belakang membuat Juliana menoleh. Adrian mendekat dengan tatapan dingin. "Ada apa, Ma?" Juliana berbalik cepat. "Tidak, sayang. Mama hanya... ingin melihat wajahnya lebih jelas." Adrian menatap Liora sekilas, lalu bicara pada ibunya. "Sudahlah Ma, tidak perlu berlebihan." Juliana tersenyum miring dan menatap Liora dengan tatapan sinis. Ia berbalik lalu meninggalkan mereka di sana. Liora menatap Adrian. Air matanya menetes. Ia mengisyaratkan tangan, meminta alat tulis. “Kau ingin berkata sesuatu?” tanya Adrian, dingin, terlihat tidak benar-benar peduli. Liora mengangguk dengan cepat, membuat air mata yang tadi menggenang akhirnya jatuh juga. Adrian mengambilkan pulpen dan buku kecil dari laci nakas terdekat. Ia memberikannya pada Liora. Liora menulis cepat walau dengan tubuh sedikit gemetar. Air matanya menetes di atas kertas. Ia tidak sempat lagi menyekanya. "Aku tidak menginginkan semua ini. Aku hanya ingin ayahku selamat. Aku janji tidak akan berkata apapun. Tapi jangan ikat aku dalam pernikahan ini. Biarkan aku pergi dan bersama dengan ayahku. Aku mohon." Ia memberikan catatan itu pada Adrian, lalu bersimpuh. Mengatupkan kedua tangan dan memohon dengan seluruh jiwa yang tersisa. Adrian menatapnya. Hatinya bergetar. Perasaannya seakan tiba-tiba goyah. Bersambung...Adrian menatap Liora lama, seolah ingin memastikan bahwa ia tak sendiri dalam keputusan besarnya. Liora hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, memberi dukungan tanpa suara.Dengan tarikan napas berat, Adrian akhirnya memiringkan tubuhnya dan meraih Liora dalam pelukan. Ia mendekap istrinya erat, seakan meyakinkan dirinya untuk memaafkan keluarganya.Liora membalas pelukan itu tanpa ragu. Tangannya mengusap pelan punggung Adrian, menyalurkan kekuatan tanpa satu kata pun.Setelah beberapa saat, Adrian menarik napas dan melepaskan pelukan Liora perlahan. Ia menoleh pada ibunya.Dengan sisa tenaga, ia maju dan memeluk Juliana.Wanita itu langsung pecah dalam tangis, tubuhnya bergetar hebat.“Aku maafkan Mama…” lirih Adrian.“Terima kasih… Nak… terima kasih…” katanya berulang-ulang sambil membenamkan wajah di bahu putranya. Pelukan itu bukan hanya permintaan maaf—itu adalah penyerahan diri seorang ibu yang akhirnya benar-benar rela.Tak lama kemudian, Camila yang sejak tadi berdiri
Liora menatap Adrian cukup lama. Dia terdiam.Adrian mengelus tangan Liora yang digenggamnya. “Tidak perlu memikirkan mereka,” ucap Adrian dingin, nada suaranya jelas dan penuh luka.Liora masih terdiam, menatap wajah Adrian dengan bingung. Ia tidak menyangka, di balik tangis dan pelukan hangat tadi, tersimpan bara yang masih membakar hatinya. Dengan suara bergetar, ia mencoba menegur pelan, “Bagaimana pun juga… dia tetap ibumu. Dia sudah menyesal, Adrian. Kamu tidak boleh seperti ini. Camila juga… Bahkan mereka sudah meminta maaf padaku, Adrian.”Namun, sorot mata Adrian justru mengeras. Tangannya yang menggenggam jemari Liora sedikit bergetar, seolah menahan emosi yang ingin meledak.“Liora…” katanya lirih tapi tajam, “kita seperti ini karena mereka. Karena ambisi, karena kebutaan, karena keegoisan. Aku hampir kehilanganmu. Kita bahkan kehilangan anak kita yang pertama. Aku tidak bisa begitu
Juliana kembali dilarikan ke rumah sakit. Camila mendampinginya dengan perasaan panik. Ia dibaringkan di atas ranjang darurat dan dilarikan ke ruang perawatan. Selang oksigen segera dipasang di hidungnya, sementara perawat memeriksa detak jantung dan tekanan darahnya dengan cepat.Camila hanya bisa berdiri di samping, tangan gemetar memegang lengan ibunya. Air matanya menetes deras, hatinya dicekam rasa takut kehilangan. “Mama… bertahanlah…” bisiknya lirih, tak henti mengusap punggung tangan Juliana.Saat itulah, di tengah kepanikan, kesadaran perlahan menusuk benak Camila. Hatinya bergetar hebat, menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan.Semua ini… semua masalah yang menimpa keluarga… bahkan penderitaan Kak Adrian dan Kak Liora… semuanya karena ambisi keluarga kami. Dan… Mama akhirnya seperti ini karena tekanan dari rasa bersalahnya.Air matanya semakin deras jatuh. Ia menggigit bibir, suaranya pecah ketika berbicara pada dirinya sendiri. “Aku… aku juga bersalah… Selama ini aku h
Malam itu, setelah semua tenang, Liora sudah dipindahkan kembali ke ruangannya. Dokter mewanti-wanti agar ia beristirahat total, menjaga tubuhnya dan kandungan yang masih sangat muda. Gavin berjaga di depan pintu, memastikan tidak ada gangguan.Sementara itu, di kamar Adrian, Juliana masuk dengan langkah perlahan. Camila menunggu di luar, memberi ruang bagi ibunya.Juliana berdiri lama di sisi ranjang Adrian, menatap wajah putranya yang pucat. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena amarah atau gengsi, melainkan kasih sayang yang sempat terkubur terlalu lama.“Adrian…” Juliana mendekat ke sisi ranjang, jemarinya gemetar saat menyentuh tangan anaknya. Ia lalu membungkuk, memeluk tubuh Adrian dengan lembut. “Adrian, maafkan Mama… selama ini Mama terlalu egois. Mama hanya memikirkan nama keluarga, kehormatan, dan harga diri… tanpa pernah membuka mata tentang perasaanmu.”Bahunya terguncang hebat. Ia mengecup punggung tangan Adrian, suaranya pecah di antara tangis.“Mama
Liora diam. Dia tidak menjawab ucapan Juliana.Air mata Juliana dan Camila membuat suasana kamar semakin pilu. Liora masih menatap mereka dengan wajah yang tidak begitu yakin. Tangannya tak bergeser sedikit pun dari perutnya, seolah itu adalah benteng terakhir yang melindungi hidupnya. Namun, perlahan napasnya mulai teratur.Tangis Juliana yang terdengar begitu tulus, serta suara Camila yang lirih memohon, sedikit demi sedikit melunakkan hati Liora. Bukan saatnya untuk berpikiran buruk apalagi mengingat masa lalu. Meski tidak sepenuhnya percaya, ia mencoba menurunkan ketegangan di dadanya.“Aku… aku tidak tahu harus percaya atau tidak…” ucapnya terbata. “Tapi… aku hanya ingin satu hal sekarang.”Juliana mengusap air matanya cepat, menatap Liora penuh harap. “Apa pun itu, Nak, katakanlah…”Liora menggenggam selimutnya erat, menunduk sejenak sebelum berani membuka suara lagi. “Aku ingin bertemu Adrian. Bawa aku ke ruangannya… aku harus menemuinya.”Juliana dan Camila saling pandang. Tan
Liora sudah terlalu lelah. Setelah lama menangis sambil berusaha membangunkan Adrian, tubuhnya akhirnya menyerah. Air matanya mengering di pipi, napasnya memburu, dan pandangannya berkunang sebelum gelap menyergap. Tubuhnya terkulai di sisi ranjang Adrian, tangannya masih menggenggam jemari pria itu.Di luar ruangan, Gavin yang sedari tadi berjaga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Awalnya ia mendengar suara tangis tertahan, tetapi lama-lama hening. Hening yang justru membuatnya resah. Ia melangkah mendekat ke pintu, lalu sedikit mengintip dari celah yang terbuka. Matanya langsung melebar saat melihat tubuh Liora terkulai lemah di sisi ranjang.“Nyonya Liora!” serunya panik, segera mendorong pintu dan berlari masuk.Tanpa pikir panjang, Gavin memanggil perawat yang berjaga. “Tolong cepat suster!”Beberapa suster segera datang, memeriksa denyut nadi Liora dan mencoba menyadarkannya. Suasana ruangan mendadak kacau, suara instruksi medis bergantian terdengar. Gavin berdiri tegang di sa







