Share

2. Sah Menikah

Author: desafrida
last update Last Updated: 2025-06-01 18:15:50

"Masalahnya sudah selesai. Aku akan menikahinya besok."

Adrian menyandarkan punggung di sofa dengan nada dingin. Ia baru saja menjelaskan solusi di hadapan ibunya.

"Masalah selesai? Dengan menikahinya?" Juliana mengerjapkan mata. “Yang benar saja!” bentaknya.

"Iya, Ma. Itu satu-satunya cara."

Juliana meletakkan cangkirnya ke meja dengan dentingan tajam. Matanya menyala oleh kemarahan yang tertahan.

"Dengan menikahi seorang gadis bisu dan miskin? Kamu serius, Adrian?! Itu bukan solusi. Itu aib untuk keluarga kita!"

Adrian mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata ibunya. Sorot matanya tenang tapi tajam.

"Dia tidak bisa bicara, Ma. Itu artinya dia tidak bisa menyebarkan apapun. Dan aku bisa mengawasinya dengan lebih mudah."

Juliana berdiri, berjalan gelisah. "Kau terlalu bodoh jika mengira gadis seperti itu tidak punya ambisi! Perempuan seperti dia bisa saja menjebakmu dari awal! Mungkin dia sudah merancang semuanya sejak dulu!"

"Mama terlalu jauh menyimpulkan. Dia hanya seorang gadis bisu."

"Oke! Tapi dia bisu, Adrian! Dia tidak punya nama, tidak punya harta. Tapi besok, karena tindakan gegabahmu, dia akan menjadi Nyonya Ashton?! Dunia akan menertawakan kita!"

"Justru itu yang membuat publik simpati. Mereka akan melihat kita sebagai keluarga rendah hati. Tak hanya soal kasta dan kekuasaan. Fokus media akan berpaling dari kecelakaan itu ke pernikahanku."

Juliana mendengus.

Hening.

Juliana menatap anaknya lekat-lekat. Anak yang ia banggakan kini membuat keputusan yang terasa seperti pisau menusuk kehormatannya sendiri.

"Kau lebih memilih menodai garis keturunan kita! Apa tidak ada cara lain?"

"Apa ada Ma? Katakan padaku,” pinta Adrian dingin. Dia menunggu.

Tetapi Juliana tidak menemukan solusi lain.

“Aku memilih cara yang paling cepat menutup semuanya." Adrian beranjak dan meninggalkan perdebatan mereka.

Hingga keesokan harinya, kabar dari rumah sakit datang. Ayah Liora telah melewati masa kritis. Tapi masih tak sadarkan diri.

Pernikahan diam-diam pun terjadi di rumah keluarga Ashton. Tak ada tamu. Tak ada bunga-bunga mewah. Hanya asisten Adrian, dua saksi dari notaris, seorang pendeta, dan Liora yang mengenakan gaun putih sederhana. Terlalu biasa untuk ukuran keluarga Ashton, tapi cukup untuk upacara legal yang penuh tekanan.

Adrian berdiri di sebelahnya, mengenakan setelan abu-abu tanpa senyum. Tatapannya kosong, seolah hanya ingin menyelesaikan ritual ini secepat mungkin.

Saat pendeta bertanya, Liora tak bersuara. Hanya mengangguk pelan. Tapi di dalam dirinya, ada teriakan yang tak pernah keluar.

Air matanya jatuh saat cincin melingkar di jarinya. Ia menyeka cepat. Bukan karena haru. Tapi karena kecewa, marah, dan hancur. Benar-benar hancur!

Setelah selesai, Liora melangkah menjauh dari mereka. Di sebuah lorong sepi di rumah itu, tiba-tiba Juliana mendekatinya. Wajahnya tersenyum palsu tapi matanya menyimpan amarah.

"Selamat ya, Liora," ujarnya pelan. "Kau gadis yang sangat... beruntung. Ayahmu nyaris mati, dan kau malah menikah dengan pewaris keluarga Ashton. Hebat! Mana ada wanita bisu seberuntung itu, iya kan?" Ia berbisik tapi tajam menusuk hati.

Liora hanya berdiri. Tak menjawab. Tak bisa.

Juliana mendekat, menyempitkan jarak di antara mereka.

"Tapi kau jangan salah paham. Keluarga ini tidak akan pernah menerimamu."

Liora menahan napas. Air mata mulai menggenang. Tapi kali ini, ia tak tunduk.

Juliana memperhatikan matanya. "Apa? Marah? Tidak terima? Kau pikir karena sudah sah menikah, kau bisa menuntut perlakuan lebih?" Ia berjalan mengelilingi Liora penuh intimidasi.

Liora mengangkat wajahnya. Sorot matanya tegas. Tidak takut. Tidak juga menyerah.

"Kau benar-benar cerdas ya? Kau menjual tragedimu dengan sangat baik. Jangan kira aku tidak melihat niatmu."

Suara langkah dari arah belakang membuat Juliana menoleh. Adrian mendekat dengan tatapan dingin.

"Ada apa, Ma?"

Juliana berbalik cepat. "Tidak, sayang. Mama hanya... ingin melihat wajahnya lebih jelas."

Adrian menatap Liora sekilas, lalu bicara pada ibunya. "Sudahlah Ma, tidak perlu berlebihan."

Juliana tersenyum miring dan menatap Liora dengan tatapan sinis. Ia berbalik lalu meninggalkan mereka di sana.

Liora menatap Adrian. Air matanya menetes. Ia mengisyaratkan tangan, meminta alat tulis.

“Kau ingin berkata sesuatu?” tanya Adrian, dingin, terlihat tidak benar-benar peduli.

Liora mengangguk dengan cepat, membuat air mata yang tadi menggenang akhirnya jatuh juga.

Adrian mengambilkan pulpen dan buku kecil dari laci nakas terdekat. Ia memberikannya pada Liora.

Liora menulis cepat walau dengan tubuh sedikit gemetar. Air matanya menetes di atas kertas. Ia tidak sempat lagi menyekanya.

"Aku tidak menginginkan semua ini. Aku hanya ingin ayahku selamat. Aku janji tidak akan berkata apapun. Tapi jangan ikat aku dalam pernikahan ini. Biarkan aku pergi dan bersama dengan ayahku. Aku mohon."

Ia memberikan catatan itu pada Adrian, lalu bersimpuh. Mengatupkan kedua tangan dan memohon dengan seluruh jiwa yang tersisa.

Adrian menatapnya. Hatinya bergetar. Perasaannya seakan tiba-tiba goyah.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
eh buukk.. anakmu yg kepingin nikahi gadis bisu itu. . jgn berlagak seolah olah gadis ini yg ingin menguasai
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   69. Memeluk Liora Erat

    Adrian berdiri mematung di sisi ranjang, menatap sosok rapuh yang kini kembali membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, gerakannya lemah, tapi napasnya mulai teratur.“Liora...” bisiknya nyaris tak terdengar, suara yang penuh haru, penuh rasa syukur yang tak sanggup ia sembunyikan, “Kamu sudah sadar?”Liora langsung memejamkan matanya kembali—dalam. Napasnya mendesah pelan, tapi bukan karena lega. Wajahnya meringis, tubuhnya menegang menahan sakit yang seolah menyerbu tanpa ampun.Adrian langsung panik. Ia mendekat, membungkuk dengan gugup.“Liora? Apa yang sakit? Mana yang sakit?” tanyanya terburu-buru. “Kepalamu? Perutmu?”Ia refleks menggenggam tangan Liora yang berada di samping ranjang. Genggaman itu hangat, tapi tidak sempat menguat. Karena Liora langsung menepisnya.Pelan, tapi jelas.Penolakan itu begitu nyata dan terasa seperti tamparan telak di wajah Adrian.

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   68. Tersadar, Takut Kehilangan

    Adrian seperti membatu. Matanya menatap lantai kosong. Napasnya pelan tapi berat. Hampa. Tak ada kata yang keluar setelah ia bertanya seperti itu pada Gavin. Seolah seluruh pikirannya kosong atau justru terlalu penuh sampai tak ada ruang untuk berpikir.Hingga akhirnya, Gavin menunduk sedikit dan menyentuh bahu tuannya itu.“Tuan…” panggilnya pelan.Adrian tak bereaksi.Gavin pun mengulurkan tangan dan membantu pria itu berdiri.“Ayo, duduk lebih nyaman di sofa,” ucap Gavin, dengan nada yang lembut, penuh empati. Ia menuntun Adrian ke sofa yang lebih empuk, lalu ikut duduk di sampingnya.Beberapa saat mereka hanya diam. Tapi Gavin tahu… ini bukan waktunya untuk membiarkan semuanya mengendap. Tuannya butuh seseorang yang berani bicara.Dan tak ada yang lebih tahu isi hati Adrian selain dirinya sendiri.“Aku tidak menyangka, Tuan …” ujar Gavin akhirnya, menoleh sedikit ke a

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   67. Ternyata Hamil

    Mobil itu melaju cepat, suara mesin meraung bagai jeritan panik yang tak terucapkan. Gavin menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus pada jalanan di depan, tapi dari sudut kaca, ia terus mencuri pandang ke arah belakang. Ke arah tuannya dan perempuan yang tengah sekarat dalam pelukannya.Liora berada di dada Adrian, tubuhnya gemetar dalam dingin dan nyeri. Napasnya dangkal. Kepala terkulai lemah. Darah membasahi ujung pakaiannya… dan kini, juga membasahi celana jok yang diduduki dan lantai mobil.Adrian tak berkata sepatah kata pun.Ia hanya merangkul tubuh itu erat-erat, seolah pelukannya bisa menahan jiwa Liora agar tidak pergi. Matanya yang biasanya tajam, kini kosong namun penuh kegelisahan. Ia tidak menangis. Tapi matanya tampak basah.Tidak ada satu detik pun ia alihkan pandangan. Tidak ke jalanan. Tidak pada Gavin. Hanya pada wajah Liora. Pada tiap hembusan napas lemahnya.Napas Adrian pun terasa tercekat melihat betapa lemahnya Liora.

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   66. Menemukan Liora dan Tetesan Darah

    Di dalam ruang kantor dengan pencahayaan temaram, suara keyboard terdengar cepat dari balik meja kerja. Gavin duduk di samping Adrian, sementara seorang pria dengan headphone dan laptop terbuka memperlihatkan rekaman CCTV yang telah disiapkan.“Ini titik awal,” ujar rekan Gavin sambil menunjuk layar. “Mobil melaju dari arah jalan pertama ke rumah itu. Terekam di simpang pertama lalu—”Ia berhenti sejenak. Menekan beberapa tombol cepat.“—di persimpangan kedua, tiba-tiba hilang. Kamera di situ mati total sejak lima menit sebelum mobil itu sampai. Sabotase. Bukan rusak biasa. Potongannya rapi.”Adrian menyipitkan mata. “Dan setelah itu?”“Mobil muncul lagi di simpang ketiga. Tapi ini aneh... plat sudah terlihat jelas, tapi posisi kamera memberi gambaran jelas, mobil berbeda. Warna cat pun sedikit lebih mengkilap. Mungkin niatnya ingin mengalihkan agar mereka terus diikuti dari persimpa

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   65. Mata dan Telinga Baru Adrian

    Keesokan harinya, Adrian tidak ikut sarapan. Ia masih terbaring di ranjang besarnya, menatap kosong langit-langit kamar yang tak pernah terasa sepi seperti pagi ini. Kepalanya berat, pikirannya kalut. Setiap detik yang berlalu tanpa kabar dari Liora membuat dadanya semakin sesak. Seolah dunia hanya menunggu kehancuran, dan ia, penyebab sekaligus korban dari semuanya.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Pelan, sopan, tapi cukup membuatnya tersadar dari lamunannya.“Masuk,” gumamnya malas. Ia pikir itu ART yang biasa mengantarkan makanannya.Namun yang muncul bukanlah sosok berseragam abu-abu itu, melainkan Clara.Adrian mengerutkan kening. Ia bahkan tidak tahu kalau wanita itu masih di rumah ini, apalagi sampai bermalam. Clara melangkah masuk membawa nampan berisi bubur dan teh hangat. Dengan santai, ia meletakkannya di atas meja kecil di dekat sofa, lalu berjalan mendekati ranjang tanpa dipersilakan.Seolah-olah tidak pernah ada ancaman dari Lior

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   64. Sejak Awal Luca ...

    Cepat-cepat Adrian menjawab panggilan dari Gavin. Sambil melangkah ia ke lantai atas untuk mendengarkannya. Berharap ada kabar baik.“Tuan… untuk malam ini pencarian belum bisa dilanjutkan. Kami sudah menemukan ke arah mana mobil itu pergi di persimpangan pertama, selanjutnya belum ditemukan. Kalau terus dipaksa, rekanku ini akan kehilangan fokus jika tidak istirahat.”Adrian terdiam beberapa detik. Hatinya kecewa mendengar kabar itu tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Ka- kalau begitu lanjutkan pencariannya besok sepagi mungkin! Aku ingin Liora segera ditemukan, Gavin!” tegasnya.“Mengertu Tuan!” jawab Gavin.Panggilan berakhir.Perasaan Adrian hampa. Namun emosinya meninggi. Apalagi saat mengingat perdebatan yang baru saja terjadi di meja makan.Sementara itu di ruang yang minim cahaya, Liora masih terduduk lemah dengan kaki dan tangan di rantai. Ia memegang perutnya. Bukan hanya karena l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status