Kalimat itu menikam, namun Adrian hanya mengangguk lemah.Dia pantas mendapatkannya. Liora tidak salah.Setidaknya dia masih mengizinkan Adrian memakaikan cincin itu. Tidak melepasnya. Walau kata-katanya jujur.Adrian ingin berkata, bahwa cincin itu bukan lagi sebagai simbol pernikahan kontrak untuk meyakinkan publik. Mungkin sekarang, Liora tidak akan percaya, tapi dia akan berusaha untuk mengubah makna cincin itu, menjadi yang sebagaimana harusnya.Tepat saat ia ingin menjelaskan, ponselnya kembali berdering. Suara nyaringnya menghentikan keheningan.Adrian melirik layar. Wajahnya langsung berubah serius.“Sebentar,” katanya singkat pada Liora, lalu berjalan keluar kamar.Begitu pintu tertutup, Adrian mengangkat telepon.“Bagaimana?” tanyanya buru-buru.“Bos.” Suara berat anak buahnya terdengar serius dan tegang. “Kami menemukan percakapan dua anak buah itu dengan bos mereka. Hari ini mereka menghubunginya. Kami tahu dari hasil menyadap handphone mereka. Dua anak buah yang malang it
Adrian kembali duduk di posisinya. Liora masih memunggunginya. Malam itu berlalu dengan dingin, sunyi dan rasa tidak percaya.Pagi itu, sinar matahari merayap pelan lewat tirai kamar rawat. Adrian baru saja melihat Liora diperiksa oleh perawat dan akan diganti pakaiannya. Sekaligus membersihkan tubuhnya.Tiba-tiba handphone-nya berdering. Ada nama Gavin di sana. Ia menoleh sebentar ke arah Liora, seolah ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Lalu dia melangkah mundur dan perlahan keluar dari ruangan.Liora hanya diam, duduk tenang di tepi ranjang sambil memperhatikan punggung Adrian yang menjauh.Matanya tak berkedip. Bukan karena tidak ingin pria itu jauh darinya, tapi dia ingin tahu.Ingin tahu apa lagi yang direncanakan pria itu. Apakah perhatian yang ditunjukkan Adrian hanya topeng lain, bagian dari rencana besar untuk terus mengendalikan hidupnya. Atau… sesuatu yang bahkan lebih dalam, lebih rumit?Saat pintu menutup perlahan, hening mengambil alih ruangan.Tak lama kemudian,
Malam telah larut. Lampu di kamar rawat Liora sudah redup, menyisakan cahaya lembut dari lampu sudut ruangan. Aroma antiseptik masih memenuhi udara, tetapi yang paling terasa adalah keheningan.Liora perlahan membuka matanya. Ia terbangun. Matanya masih berat, tubuhnya lemah, tapi ada sesuatu yang membuatnya terbangun. Sesuatu yang hangat di dekatnya.Ia menoleh pelan dan terkejut.Adrian tertidur di sisi ranjang, kepalanya menyandar di sisi tempat tidur Liora. Posisi duduknya tampak tidak nyaman, bahunya miring, dan dahinya mengerut seolah bahkan dalam tidur pun ia tidak tenang. Tangannya masih menggenggam tangan Liora erat, seolah takut dilepas.Liora menatap pria itu cukup lama.Jantungnya tidak bisa memungkiri bahwa ini menyentuh. Bahwa hatinya sempat terguncang. Tapi akalnya, dengan semua pengalamannya yang pahit, membuat hatinya sadar untuk tetap kuat dan tidak benar-benar jatuh.‘Kenapa? Kenapa dia berubah?Kenapa seperti ini?Setelah semua luka... kenapa dia bersikap seperti i
Adrian kembali ke rumah sakit dengan langkah mantap. Di sepanjang perjalanan, ia memikirkan ulang semua keputusan yang telah ia ambil dan untuk pertama kalinya, semuanya terasa benar.Sesampainya di lantai rawat inap Liora, ia langsung menuju kamarnya. Beberapa perawat yang mengenalnya segera memberi hormat kecil.“Suster? Apa pasien sudah makan dan minum obat?” tanyanya.“Sudah, Tuan.” Salah satu suster yang baru keluar dari ruangan Liora melaporkan."Terima kasih," ucap Adrian singkat sebelum membuka pintu kamar.Aroma antiseptik tercium memenuhi ruangan. Liora duduk tegak, tampak tak nyaman dengan matanya kosong menatap jendela.Adrian melangkah pelan. Masih ada suster lain di sana yang terlihat baru saja memeriksa punggung Liora.Suara Adrian tenang, namun ada getaran emosi yang ia sembunyikan dalam kata-katanya."Apakah punggung istriku sudah baikan?”Liora menoleh. Perlahan. Gerakannya lambat, seolah butuh waktu untuk mencerna pertanyaan itu."Istriku...?"Ia menatap Adrian deng
Setelah mengatakan itu dan membuat mereka semua terdiam, Adrian langsung melangkah masuk munuju kamarnya.Ia duduk di tepi ranjang, menunduk sambil meremas akar rambutnya sendiri, mencoba menenangkan amarah dan kegelisahan yang terus berdesakan dalam dadanya. Tatapannya mendarat pada sofa. Penyesalannya semakin dalam mengingat Liora yang selalu terpenjara di sana.Suara ketukan pelan di pintu menyusul.“Om? Ini aku,” suara itu lembut, ragu.“Masuk saja, Luca.”Luca masuk dengan langkah hati-hati, lalu menutup pintu di belakangnya. Ia berdiri agak jauh sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, “Ada yang ingin aku katakan. Tadi aku mendengar semuanya… sejak Nenek bicara tadi.”Adrian menatapnya, tapi tak mengatakan apa-apa.Luca melanjutkan, “Nenek bilang… kalau Tante Liora kembali ke rumah ini, dia akan memastikan hidupnya seperti di neraka. Katanya, wanita bisu tidak pantas menjadi bagian keluarga kita.”Adrian diam sejenak. Matanya tertuju pada lantai, lalu ia mendongak perlahan, m
Adrian masih membelai pipi Liora. Menepis beberapa rambut yang menutupi wajahnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Namun, tiba-tiba Liora menepis tangannya lemah. Meski pelan, tapi terasa memukul bagi Adrian.Ia pun menarik tangannya. Terdiam.Liora kembali memejamkan mata. Alisnya berkerut seakan kembali menahan perih di punggungnya. Tangannya itu menyentuh bahunya sendiri. Seakan ingin menyentuh luka di punggungnya yang tidak dapat dia jangkau.“Masih perih?” tanya Adrian penuh perhatian.Liora tidak menjawab.“Aku tiup? Atau aku kipas ya?” tawar Adrian.Liora tidak menjawab. Matanya hanya memandang kosong ke depan, seolah sedang memisahkan dirinya dari rasa sakit fisik dan emosional yang bertumpuk. Namun, ia juga tidak menolak. Dan itu sudah cukup bagi Adrian.Perlahan, ia mengambil lembaran tipis seperti map dari meja di samping tempat tidur, lalu mulai mengipasinya dengan hati-hati. Gerakannya pelan, terukur, menjaga agar angin tidak menusuk terlalu dingin, hanya cukup untuk m