“Cukup, Ma. Jangan memperkeruh keadaan,” ujar Adrian tanpa menoleh pada Liora sedikit pun.
Juliana menoleh. “Semua sudah berakhir Adrian. Ceraikan dia sebelum keluarga kita semakin hancur karena dia!”
“Keadaan belum stabil, Ma. Media masih mengendus semuanya. Nama keluarga kita dipertaruhkan! Dan kalau aku menceraikan dia sekarang semua orang bahkan musuh akan mengincarnya untuk mendapatkan informasi dan menjatuhkan kita, Mama tidak mengerti itu?!"Juliana mendesis pelan, menarik napas dengan ketidaksukaan yang jelas. “Aku tidak sudi ada perempuan bisu tak berkelas di rumah ini. Kau sendiri yang bilang pernikahan ini hanya pura-pura, kan?”
“Ya,” jawab Adrian cepat. “Tapi tetap saja, dia sekarang adalah bagian dari rencana. Kita harus menahannya di sisi kita, setidaknya sampai badai ini berlalu. Mama lihat di luar, wartawan masih banyak kan?”
Liora menunduk, tubuhnya gemetar dan menangis menunduk. Harga dirinya diinjak tanpa ampun. Kalimat ‘Badai berlalu' itu tidak dapat ia terima. Siapa yang sebenarnya terkena musibah? Mereka benar-benar tidak punya hati!
Dia segera mengangkat wajahnya. Tatapannya tajam. Menatap Juliana dan Adrian tajam.
“Apa maksudmu menatapku seperti itu ha?!” bentak Juliana ingin memukul Liora, namun cepat Adrian cegah.
“Ma, Ma! Tahan. Tidak perlu seperti ini!” tegas Adrian.
Liora perlahan beranjak. Dia berdiri dan menegakkan wajahnya yang kacau. Ada luka yang mengeras menjadi tekad.
Ayahku sudah mati. Tidak ada lagi yang harus ku lindungi. Begitu dia berbicara dan melawan di dalam hati.
Adrian menatap mata wanita yang merupakan istrinya tersebut.
Liora yang bisu, memang tidak berkata apa-apa, tapi dia menunjuk Adiran tajam. Benar-benar tajam. Matanya yang sembab itu tidak berkedip. Dia melangkah mendekat penuh perhitungan.
Tatapan Liora terkesan memberi ancaman. Membuat Juliana yang melihatnya ingin sekali mematahkan tangannya.
Liora tahu di luar rumah masih ada beberapa wartawan yang masih berusaha mendapatkan informasi tentang dirinya. Hanya dengan satu langkah keluar rumah, satu isyarat saja bisa meruntuhkan keluarga bengis itu. Ia akan mengatakan yang sebenarnya. Tentang tabrak lari. Tentang pernikahan palsu. Tentang bagaimana ia dibungkam oleh gengsi dan kekuasaan keluarga Ashton.
"Apa? Kau mau apa?!" bentak Juliana.
Liora tidak menjawab. Kalaupun bisa, dia tidak akan menjawab. Ia langsung berjalan ke arah pintu depan.Tapi sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, sebuah tangan besar menariknya dengan kasar.
Adrian membacanya. Ia refleks bergerak cepat. “Berhenti! Mau ke mana kau?”
Liora meronta, mengentak tangannya yang digenggam, namun pria itu lebih kuat. Matanya sama sekali tidak redup. Tubuhnya yang lemah seakan memiliki kekuatan untuk melawannya.
“Kau berani macam-macam?! Jangan buat aku hilang kendali!” ujar Adrian geram.
Juliana yang melihat rencana Liora, geram. “Bagaimana kalau kamu sekap dia saja Adrian?”
Adrian menarik lengan Liora dengan kuat, menjauhkannya dari arah pintu. Dia terus menariknya naik ke lantai dua.
Juliana pun menyeringai penuh kemenangan. “Bagus Adrian! Beri dia pelajaran! Berani-beraninya dia mencoba berulah!”
Liora tidak gentar, sepanjang Adrian menariknya paksa, dia terus berusaha melepas diri. Sampai Adrian mendorongnya masuk ke kamar dan mengunci pintu.
“Kau gila?” hardik Adrian. “Kau pikir bisa keluar begitu saja dan menghancurkan semuanya?”
Liora membalasnya dengan tatapan tajam. Napasnya memburu, tapi dia tidak takut. Matanya menyala. Mata yang penuh luka dan pemberontakan.
“Kau ingin membongkar semuanya kan? Kau pikir dunia akan peduli dengan air mata bisumu?” Suara Adrian meninggi, menggelegar. Ia menghentakkan tangannya ke dinding, nyaris mengenai kepala Liora.
Adrian menangkap leher Liora. Hendak mengancamnya dengan mencekiknya.
Tubuh Liora gemetar, tapi bukan karena takut, melainkan karena marah dan sudah lelah. Dia menunjuk dadanya sendiri, kemudian membuat gerakan tangan di lehernya sendiri, seperti akan memenggal. Dia sudah siap mati.
Adrian menyeringai getir. “Kau siap mati?” tanyanya seakan paham. Ia mendekat, terlalu dekat, hingga Liora harus melangkah mundur. Tubuhnya kandas di dinding dekat pintu.
“Aku bisa melakukannya kapan saja,” bisiknya penuh ancaman. “Jangan paksa aku melakukannya sekarang.”
Liora menatap balik. Air matanya mulai jatuh, tapi bukan karena lemah, melainkan karena muak. Ia mendorong tubuh Adrian menepis tangannya dari lengannya.
Adrian melepasnya dan masih memandang rendah wanita yang dianggap tidak benar-benar lemah. Seketika ada jeda hening. Napasnya masih berat, emosinya belum reda.
“Aku ingatkan kau, jangan buat keputusan sendiri. Kau tidak bisa! Kau masih milikku. Dan kau akan tetap di sini… sampai aku bilang permainan ini selesai!”
Detik itu pula, Liora berjalan meraih dan mengacak laci nakas. Mencari kertas dan pena. Dia juga melihat sesuatu di sana.
Liora menuliskan sesuatu. Adrian yang ingin meninggalkannya, tiba-tiba menunggu. Apa yang ingin wanita bisu itu katakan.
“Kalau bukan kau yang menabrak Ayahku, lalu untuk apa kau melakukan semua ini padaku? Ayahku sudah mati! Kau dan orang yang kau lindungi itu pasti sudah puas, bukan? Dendamku padamu, pada kalian semua, akan kubawa sampai mati!” Ia melemparkan tulisan itu pada Adrian.
Adrian menangkapnya dan membaca tulisan itu, secepat itu Liora meraih gunting dari laci nakas. Di sisa kekuatan yang tidak seberapa, di atas kaki yang gemetar, dia mengayunkan gunting itu untuk menancap ke perutnya.
“Liora!” teriak Adrian.
Bersambung…
Adrian berdiri mematung di sisi ranjang, menatap sosok rapuh yang kini kembali membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, gerakannya lemah, tapi napasnya mulai teratur.“Liora...” bisiknya nyaris tak terdengar, suara yang penuh haru, penuh rasa syukur yang tak sanggup ia sembunyikan, “Kamu sudah sadar?”Liora langsung memejamkan matanya kembali—dalam. Napasnya mendesah pelan, tapi bukan karena lega. Wajahnya meringis, tubuhnya menegang menahan sakit yang seolah menyerbu tanpa ampun.Adrian langsung panik. Ia mendekat, membungkuk dengan gugup.“Liora? Apa yang sakit? Mana yang sakit?” tanyanya terburu-buru. “Kepalamu? Perutmu?”Ia refleks menggenggam tangan Liora yang berada di samping ranjang. Genggaman itu hangat, tapi tidak sempat menguat. Karena Liora langsung menepisnya.Pelan, tapi jelas.Penolakan itu begitu nyata dan terasa seperti tamparan telak di wajah Adrian.
Adrian seperti membatu. Matanya menatap lantai kosong. Napasnya pelan tapi berat. Hampa. Tak ada kata yang keluar setelah ia bertanya seperti itu pada Gavin. Seolah seluruh pikirannya kosong atau justru terlalu penuh sampai tak ada ruang untuk berpikir.Hingga akhirnya, Gavin menunduk sedikit dan menyentuh bahu tuannya itu.“Tuan…” panggilnya pelan.Adrian tak bereaksi.Gavin pun mengulurkan tangan dan membantu pria itu berdiri.“Ayo, duduk lebih nyaman di sofa,” ucap Gavin, dengan nada yang lembut, penuh empati. Ia menuntun Adrian ke sofa yang lebih empuk, lalu ikut duduk di sampingnya.Beberapa saat mereka hanya diam. Tapi Gavin tahu… ini bukan waktunya untuk membiarkan semuanya mengendap. Tuannya butuh seseorang yang berani bicara.Dan tak ada yang lebih tahu isi hati Adrian selain dirinya sendiri.“Aku tidak menyangka, Tuan …” ujar Gavin akhirnya, menoleh sedikit ke a
Mobil itu melaju cepat, suara mesin meraung bagai jeritan panik yang tak terucapkan. Gavin menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus pada jalanan di depan, tapi dari sudut kaca, ia terus mencuri pandang ke arah belakang. Ke arah tuannya dan perempuan yang tengah sekarat dalam pelukannya.Liora berada di dada Adrian, tubuhnya gemetar dalam dingin dan nyeri. Napasnya dangkal. Kepala terkulai lemah. Darah membasahi ujung pakaiannya… dan kini, juga membasahi celana jok yang diduduki dan lantai mobil.Adrian tak berkata sepatah kata pun.Ia hanya merangkul tubuh itu erat-erat, seolah pelukannya bisa menahan jiwa Liora agar tidak pergi. Matanya yang biasanya tajam, kini kosong namun penuh kegelisahan. Ia tidak menangis. Tapi matanya tampak basah.Tidak ada satu detik pun ia alihkan pandangan. Tidak ke jalanan. Tidak pada Gavin. Hanya pada wajah Liora. Pada tiap hembusan napas lemahnya.Napas Adrian pun terasa tercekat melihat betapa lemahnya Liora.
Di dalam ruang kantor dengan pencahayaan temaram, suara keyboard terdengar cepat dari balik meja kerja. Gavin duduk di samping Adrian, sementara seorang pria dengan headphone dan laptop terbuka memperlihatkan rekaman CCTV yang telah disiapkan.“Ini titik awal,” ujar rekan Gavin sambil menunjuk layar. “Mobil melaju dari arah jalan pertama ke rumah itu. Terekam di simpang pertama lalu—”Ia berhenti sejenak. Menekan beberapa tombol cepat.“—di persimpangan kedua, tiba-tiba hilang. Kamera di situ mati total sejak lima menit sebelum mobil itu sampai. Sabotase. Bukan rusak biasa. Potongannya rapi.”Adrian menyipitkan mata. “Dan setelah itu?”“Mobil muncul lagi di simpang ketiga. Tapi ini aneh... plat sudah terlihat jelas, tapi posisi kamera memberi gambaran jelas, mobil berbeda. Warna cat pun sedikit lebih mengkilap. Mungkin niatnya ingin mengalihkan agar mereka terus diikuti dari persimpa
Keesokan harinya, Adrian tidak ikut sarapan. Ia masih terbaring di ranjang besarnya, menatap kosong langit-langit kamar yang tak pernah terasa sepi seperti pagi ini. Kepalanya berat, pikirannya kalut. Setiap detik yang berlalu tanpa kabar dari Liora membuat dadanya semakin sesak. Seolah dunia hanya menunggu kehancuran, dan ia, penyebab sekaligus korban dari semuanya.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Pelan, sopan, tapi cukup membuatnya tersadar dari lamunannya.“Masuk,” gumamnya malas. Ia pikir itu ART yang biasa mengantarkan makanannya.Namun yang muncul bukanlah sosok berseragam abu-abu itu, melainkan Clara.Adrian mengerutkan kening. Ia bahkan tidak tahu kalau wanita itu masih di rumah ini, apalagi sampai bermalam. Clara melangkah masuk membawa nampan berisi bubur dan teh hangat. Dengan santai, ia meletakkannya di atas meja kecil di dekat sofa, lalu berjalan mendekati ranjang tanpa dipersilakan.Seolah-olah tidak pernah ada ancaman dari Lior
Cepat-cepat Adrian menjawab panggilan dari Gavin. Sambil melangkah ia ke lantai atas untuk mendengarkannya. Berharap ada kabar baik.“Tuan… untuk malam ini pencarian belum bisa dilanjutkan. Kami sudah menemukan ke arah mana mobil itu pergi di persimpangan pertama, selanjutnya belum ditemukan. Kalau terus dipaksa, rekanku ini akan kehilangan fokus jika tidak istirahat.”Adrian terdiam beberapa detik. Hatinya kecewa mendengar kabar itu tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Ka- kalau begitu lanjutkan pencariannya besok sepagi mungkin! Aku ingin Liora segera ditemukan, Gavin!” tegasnya.“Mengertu Tuan!” jawab Gavin.Panggilan berakhir.Perasaan Adrian hampa. Namun emosinya meninggi. Apalagi saat mengingat perdebatan yang baru saja terjadi di meja makan.Sementara itu di ruang yang minim cahaya, Liora masih terduduk lemah dengan kaki dan tangan di rantai. Ia memegang perutnya. Bukan hanya karena l