Setelah mengatakan itu dan membuat mereka semua terdiam, Adrian langsung melangkah masuk munuju kamarnya.Ia duduk di tepi ranjang, menunduk sambil meremas akar rambutnya sendiri, mencoba menenangkan amarah dan kegelisahan yang terus berdesakan dalam dadanya. Tatapannya mendarat pada sofa. Penyesalannya semakin dalam mengingat Liora yang selalu terpenjara di sana.Suara ketukan pelan di pintu menyusul.“Om? Ini aku,” suara itu lembut, ragu.“Masuk saja, Luca.”Luca masuk dengan langkah hati-hati, lalu menutup pintu di belakangnya. Ia berdiri agak jauh sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, “Ada yang ingin aku katakan. Tadi aku mendengar semuanya… sejak Nenek bicara tadi.”Adrian menatapnya, tapi tak mengatakan apa-apa.Luca melanjutkan, “Nenek bilang… kalau Tante Liora kembali ke rumah ini, dia akan memastikan hidupnya seperti di neraka. Katanya, wanita bisu tidak pantas menjadi bagian keluarga kita.”Adrian diam sejenak. Matanya tertuju pada lantai, lalu ia mendongak perlahan, m
Adrian masih membelai pipi Liora. Menepis beberapa rambut yang menutupi wajahnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Namun, tiba-tiba Liora menepis tangannya lemah. Meski pelan, tapi terasa memukul bagi Adrian.Ia pun menarik tangannya. Terdiam.Liora kembali memejamkan mata. Alisnya berkerut seakan kembali menahan perih di punggungnya. Tangannya itu menyentuh bahunya sendiri. Seakan ingin menyentuh luka di punggungnya yang tidak dapat dia jangkau.“Masih perih?” tanya Adrian penuh perhatian.Liora tidak menjawab.“Aku tiup? Atau aku kipas ya?” tawar Adrian.Liora tidak menjawab. Matanya hanya memandang kosong ke depan, seolah sedang memisahkan dirinya dari rasa sakit fisik dan emosional yang bertumpuk. Namun, ia juga tidak menolak. Dan itu sudah cukup bagi Adrian.Perlahan, ia mengambil lembaran tipis seperti map dari meja di samping tempat tidur, lalu mulai mengipasinya dengan hati-hati. Gerakannya pelan, terukur, menjaga agar angin tidak menusuk terlalu dingin, hanya cukup untuk m
Tatapan Adrian terpaku.Liora sedang bergerak perlahan ke samping, mencoba mencari posisi nyaman. Tapi perih langsung menjalar dari punggungnya, membuat tubuhnya menegang seketika.Napasnya terdengar berat seperti desahan menahan kesakitan. Suster yang baru saja datang pun langsung mendekat.“Sabar ya, Nona… saya bantu periksa,” ucap suster dengan lembut, membuka perlahan baju rumah sakit yang menutupi punggung Liora.Adrian yang berdiri tak jauh, ikut mendekat secara refleks. Tapi langkahnya langsung terhenti ketika matanya menangkap bekas-bekas mengerikan di kulit Liora.Punggung yang dulu begitu mulus… kini diisi bekas cambukan—panjang, cukup dalam, merah keunguan, sebagian mulai mengering, tapi banyak pula yang masih terbuka dan memerah. Luka-luka itu seperti menampar kesadaran Adrian. Tidak hanya satu atau dua garis, tapi lebih. Seakan wanita itu disiksa seperti binatang.“Ini harus dibersihkan ulang, agar tidak infeksi,” ujar suster kepada rekannya, sekaligus memberi tahu Liora
Adrian berdiri di luar ruangan rawat. Dia kembali duduk di sofa ruang tunggu privat itu. Satu tangan memegangi dahi, ia menahan napas sejenak sebelum mengangkat ponselnya dan menghubungi anak buahnya yang sedang menginterogasi para penculik.“Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan suara rendah, penuh tekanan.Suara di seberang menjawab cepat, “Kami sudah menekan mereka dengan berbagai cara, Bos. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka tidak tahu siapa sebenarnya yang menyuruh mereka.”Adrian mengerutkan kening. “Tidak mungkin! Mereka dibayar dan diberi uang, tidak mungkin mereka tidak mengenali tuan mereka.”“Mereka menerima instruksi dari pria paruh baya. Siapa dia sebenarnya, mereka tidak tahu. Bahkan namanya mereka tidak tahu.”“Tapi wajahnya mereka kenal?” tanya Adrian. “Bagaimana ciri-cirinya?”Ia teringat pada seseorang yang sudah lama hilang di masa lalu. Tapi, dia rasa itu tidak mungkin. Meski begitu, dia tetap curiga.“Pria itu memiliki tinggi sekitar 170-an. Badannya tidak terlalu
Adrian mendekap Liora beberapa detik. Namun, Liora tidak bereaksi. Tidak mengelak, tapi juga tidak membalasnya. Tatapannya kosong. Udara di antara mereka terasa begitu berat. Liora bahkan bisa merasakan detak jantung Adrian yang terdengar begitu cepat.Adrian memaksakan senyum tipis yang getir, lalu melepasnya dan kembali duduk.“Aku tidak akan menceraikanmu, Liora. Sebaliknya… aku akan menjagamu. Kali ini, sungguh.”Liora menoleh pelan, menatap pria itu dengan sorot mata dingin dan penuh keraguan. Matanya basah tapi tak ada air mata yang jatuh. Bibirnya mengerucut sedikit, seolah ingin tertawa bukan karena bahagia, tapi karena tidak percaya.‘Menjagaku?’ batin Liora. ‘Untuk apa? Supaya kau terlihat baik di mata orang? Supaya keluargamu tidak tercoreng? Supaya kamu merasa tidak bersalah?’Adrian diam. Sorot matanya mengendur. Ia tahu… Liora tidak akan percaya apa yang dia katakan. Ia layak dipertanyakan. Ia layak dicurigai. Ia telah berbuat terlalu banyak salah.“Bukan hanya karena na
Adrian berdiri mematung di sisi ranjang, menatap sosok rapuh yang kini kembali membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, gerakannya lemah, tapi napasnya mulai teratur.“Liora...” bisiknya nyaris tak terdengar, suara yang penuh haru, penuh rasa syukur yang tak sanggup ia sembunyikan, “Kamu sudah sadar?”Liora langsung memejamkan matanya kembali—dalam. Napasnya mendesah pelan, tapi bukan karena lega. Wajahnya meringis, tubuhnya menegang menahan sakit yang seolah menyerbu tanpa ampun.Adrian langsung panik. Ia mendekat, membungkuk dengan gugup.“Liora? Apa yang sakit? Mana yang sakit?” tanyanya terburu-buru. “Kepalamu? Perutmu?”Ia refleks menggenggam tangan Liora yang berada di samping ranjang. Genggaman itu hangat, tapi tidak sempat menguat. Karena Liora langsung menepisnya.Pelan, tapi jelas.Penolakan itu begitu nyata dan terasa seperti tamparan telak di wajah Adrian.