“Elang! Aku tak ingin menikah dengan wanita yang hatinya sudah menjadi milik orang lain. Zahra itu masih sangat mencintaimu. Dan aku yakin kau juga punya perasaan yang sama.”“Omong kosong! Percuma aku datang kesini hanya untuk mendengarkan bualanmu saja! Buang-buang waktu saja! Lebih baik aku pergi dari pada mendengar ocehan orang yang sedang mabuk sepertimu!” Elang meninggalkan Budi dengan kesal. Namun Budi mencegahnya dan berhasil mencekal pergelangan tangannya.“Aku tidak mabuk dan dalam keadaan sadar sepenuhnya. Apa yang aku katakan bisa dipertanggungjawabkan. Aku mohon, bicaralah dengan Zahra. Apapun keputusan dia nanti, aku siap menerima dengan lapang dada, sekalipun engkaulah yang akan dipilih oleh Zahra!”Suara Budi kembali bergetar. Hatinya benar-benar tersayat. Namun hal ini harus dilakukan demi kebahagiaan Zahra. Dia tak boleh egois dan hanya memikirkan diri sendiri.Setelah itu Budi memutuskan untuk pergi dan menunggu Zahra di lantai bawah. Budi tak peduli saat Zahra yang
“Sayangku. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Dan ... sekuat apapun kita mempertahankan hubungan kita ... kalau memang takdir tak berpihak kepada kita. Kita takkan bisa menyatu. Dan kita harus bisa menerima dengan lapang dada.” Elang menghapus air mata di pipi zahra.“Jadi maksudmu ... aku harus tetap menikah dengan Budi?”“Iya. Budi orang yang baik. Dia tidak bersalah. Kalau kau membatalkan pernikahan dan menikah denganku itu akan sangat menyakiti hatinya. Apalagi dia baru saja sembuh dari keterpurukan. Belum lagi keluarganya dan juga keluargamu. Akan banyak yang kena imbasnya dari hubungan kita. Kau juga harus memikirkan semuanya! Kita tak boleh egois dan hanya memikirkan diri kita sendiri!”“Jadi keputusanmu akan meninggalkanku? Kau tak mencintaiku, Elang?” tanya Zahra dengan perasaan hancur. Harapan untuk bersama pria yang dicinta pupus sudah.“Bukan begitu. Maksudku ...”“Apa kau akan menikah dengann wanita lain?”“Kalau kau tak menginginkannya, aku bersedia untuk tak menikah de
Sepanjang perjalanan tak ada sepatah katapun yang terucap baik dari Zahra maupun Budi. Pria itupun tak berani bertanya. Sesekali hanya melirik ke arah wanita yang berada di sampingnya. Walau tak terlihat tangisan di sana, tapi Budi yakin pasti hati sucinya sedang dalam keadaan bimbang dan sedih.Budi hanya bisa diam dan terus berkonsentrasi dalam mengemudi.Setelah hampir dua puluh menit berlalu, mereka sampai di rumah Zahra.“Sudah sampai.” Budi membuka percakapan.“Oh, ya. Terimakasih.” Jawab Zahra singkat dengan wajah datar.Budi melihat calon istrinya akan membuka pintu mobil. Sepertinya dia memang tak mau bercerita apapun. Namun budi tak bisa diam saja. Dia harus tahu apa keputusan Zahra setelah bertemu dengan Elang.“Zahra. Tunggu!” seru Budi saat Zahra sudah turun dari mobil.Budipun turun dan memutari mobil. Lalu berhenti di depan Zahra.“Bisa kita bicara sebentar?”“Boleh. Kita duduk di sana.” Zahra menunjuk ke salah satu meja bundar dengan kursi yang sudah tertata rapi.Sebe
Hari ini seharusnya menjadi hari yang paling bahagia dan dinantikan oleh calon pengantin. Senyum kebahagiaan terpancar dari wajah yang telah dipoles oleh make up yang sempurna.Namun hal itu tidak terjadi kepada Zahra. Walau make up yang menempel begitu sempurna tak mampu menutupi kesedihan pada wajahnya. Kebaya pengantin berwarna putih tak mampu mencerahkan mendung yang menggelayut pada wajahnya. Sorot matanya kosong dan tak ada senyum yang menghiasi wajahnya.Sang pengantin wanita hanya bisa menatap ke luar lewat jendela kamar di mana dia berdiri saat ini. Tatapannya masih kosong dan tanpa asa.Gadis berhijab itu menatap langit yang sangat cerah. Tak nampak sedikitpun awan hitam menutupi pancaran cahaya mentari.Zahra menatap langit dan ingin mencurahkan hatinya.“Hai, langit. Hari ini aku akan menjadi istri dari pria yang tidak aku cintai. Aku akan menjadi orang lain yang berpura-pura hidup bahagia dengan pernikahan tanpa cinta. Setelah ini aku tak bisa menjadi diriku kembali. Aku
“Kamu dari mana saja?” tanya Ibu Budi saat melihat putranya muncul. Sedari tadi dia tak melihat putranya hingga membuatnya cemas.“Tadi kan aku sudah bilang dari toilet, Bu.” Jawab Budi dengan tersenyum.“Ya sudah. Tuh, lihat. Calon istrimu cantik sekali. Seandainya saja ... ““Sstt.” Budi meletakkan telunjuk di bibir memberi kode kepada ibunya untuk diam.Budi menatap ke arah Elang yang sedang berjalan menuju kursi tamu undangan di bagian paling depan. Lagi-lagi ada yang berdenyut dari dalam dadanya. Rasa sakit yang sulit terlukiskan dengan kata-kata.Pada saat yang bersamaan tatapan keduanya bersirobok. Sejenak Budi terlihat tidak nyaman. Namun perasaannya berubah tenang saat Elang tersenyum dan menganggukkan kepala. Budipun membalasnya dengan menguntai senyum manis.Terlihat calon pengantin wanita yang begitu cantik dan mulai memasuki ruang untuk ijab kabul bersama ibunya. Semua mata menatap kagum terhadap kecantikan sang pengantin. Walau terlihat sedrhana tapi terkesan elegan dan
“Karena saya ... “ sejenak budi menghentikan ucapannya. Pria itu menngambil napas dalam sembari menundukkan kepala. Sangat sulit untuk mengatakan hal ini. tenggorokannya terasa tercekat dan seolah tak mampu untuk meneruskan kata. Tangannya semakin erat menggengam sang ibu.“Apa yang akan kau ucapkan?!” elang terdiam ditempat. Dia sangat cemas menunggu ucapan Budi yang terhenti.Para tamu undangan semakin bertanya-tanya. Mereka saling berbisik dengan opini masing-masing.“Ibu. Tolong kuatkan aku.” Tangan Budi gemetar. Bibirnya juga bergetar.“Bicaralah, Nak. insya alloh keputusanmu yang terbaik untuk kedua belah pihak.” Sang bunda berusaha menguatkan putranya. Sekuat mungkin wanita itu menahan air mata, namun tak mampu. Air mata mengalir deras membasahi pipi yang mulai keriput.“Katakan apa yang ingin kau katakan, Budi!” kembali Elang berteriak dengan kesal.“Mohon maaf. Aku akan membatalkan pernikahan ini!” seru Budi dalam satu tarikan napas. Dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya.
221 HASIL PEMBICARAAN“Aku sama sekali tak ingin membuat keluargamu malu. Dan apa yang aku lakukan itu demi kebahagiaanmu.”Budi mencoba meyakinkan Zahra.“Aku tahu kemana arah pembicaraanmu. Jangan pernah membahas tentang Elang di sini karena kau tahu sendiri jika hubunganku dengannya sudah berakhir!” jawab Zahra dengan ketus. Dadanya naik turun menahan emosi.“Tapi kalian masih saling mencintai! Aku tak ingin kau menikah denganku karena terpaksa. Jangan pernah mengulangi kebodohan untuk yang kedua kali!”“Mas Budi! Dengarkan aku ...”“Kau yang harus mendengarkan aku! Demi Tuhan. Aku tak rela melihatmu tidak bahagia karena menikah denganku!”“Siapa bilang aku tak bahagia kalau menikah denganmu?!”“Jangan potong pembicaraanku!” Budi sedikit meninggikan suaranya.Zahra memalingkan wajah dan melipat tangan di dada. Dia sudah menduga kejadiannya akan begini. Zahra tahu kalau Budi seorang pria yang berjiwa besar. Dia bersedia melakukan apapun demi wanita yang dicintai, sekalipun itu mampu
“Elang! Tolong, menikahlah dengan Zahra!” ucap Budi dengan bibir gemetar. Bukan hal yang mudah untuk mengatakan hal tersebut. Walau berusaha tegar, tapi jauh di lubuk hatinya ada perih yang tak mampu terobati. Luka tersayat bak disiram air cuka. Sakit yang teramat sakit. Melepas wanita yang hanya tinggal beberapa detik saja menjadi miliknya, membuat separuh nyawanya terasa melayang.“Jangan gila kamu, Budi! Apa kamu pikir dia itu barang yang bisa kau ambil dan buang sesukamu?! Kau tak lebih bejat dari pria hidung belang diluar sana!” Elang menarik pakaian yang dikenakan oleh Budi dengan kasar. Emosinya mulai tak terkontrol.“Elang!”Terdengar suara Mustafa yang berteriak dengan keras dan melangkah ke arahnya. Namun Budi mengangkat tangan untuk memberi tanda dia baik-baik saja.“Tolong, jangan ada yang ikut campur! Ini menjadi urusanku dengan Elang! Uhuk ... uhuk ...!” Budi mulai terasa sesak napas. Namun dia berusaha untuk bertahan.“Elang! Apa yang kau lakukan?! Lepaskan Mas Budi!” t