Cerita 21+ Bocil Harap melipirr jangan sampai keplintir!!Mikhaela Alova Suryawan, gadis cantik berkulit putih mulus, tingginya pun semampai. Namun penampilannya itu tertutupi oleh bentuk tubuhnya yang gemuk. Mikhaela menjadi korban pernikahan dadakan karena pejodohan yang di lakukan keluarganya selama puluhan tahun. Naas terpaksa dialami gadis itu setelah sang suami terkejut melihat bentuk tubuh Mikhaela yang terlalu besar, tak sesuai harapannya, apalagi sang mantan tunangan adalah seorang super model dunia. Pria itu pun kabur tanpa pesan dan melayangkan perceraian beberapa bulan kemudian tanpa ingin bertemu lagi. Penghinaan yang dirasa Mikhaela sudah cukup membuatnya terjerumus dalam kubangan lumpur. Keduanya di pertemukan kembali beberapa tahun kemudian saat penampilan Mikhaela sudah berubah total. "Masih benci?" "Banget!" "Bener-bener cinta ya?" "Igh amit-amit!" "Apah Atit-atit?" Begitulah Mikha akan terus memasang jarak dari Gabriel walau pria itu tak patah semangat. Akankah perjuangan Gabriel untuk memikat seorang Cinta Graciella, identitas barunya, dapat membuahkan hasil?
View MoreSore itu aku duduk di meja makan bersama dengan Jenar, ibu tiriku dan anaknya yang lebih tua 4 tahun dariku, Jihan.
Menunggu ayah pulang bekerja, makanan spesial sudah terhidang. Sengaja, aku yang memasaknya untuk merayakan pencapaianku yang mampu lulus SMA dengan nilai memuaskan.
Tak berselang lama, ayahku tiba dan langsung tersenyum seraya memelukku. "Selamat ya Mikha, kamu sudah membuat Ayah bangga."
Meski tangan ayah tidak sampai mengelilingi tubuhku yang besar, perasaan hangat terasa menyeruak ke dalam lubuk hatiku.
Bagaimana tidak, ayah adalah orang yang begitu dihormati di dunia pendidikan. Tentu, mendapatkan apresiasinya adalah sebuah kesenangan tersendiri untukku.
"Terima kasih, Yah," jawabku dengan senyum tersipu.
Mataku seketika berbinar. Namun hal itu tak berlangsung lama, saat dua orang wanita di hadapan kami menatapku dengan remeh.
Dialah Jenar dan Jihan, dua makhluk yang jauh lebih sempurna dariku dalam penampilan fisik.
Tidak sepertiku yang memiliki tubuh seperti gajah, mereka bahkan layak untuk kusebut bidadari.
Hanya saja… hanya wajah mereka yang cantik, padahal hati mereka busuk semua.
“Ehm, kalian pasti sudah lapar, ya.” Ayah yang seharusnya duduk di sisiku, kini berpindah di sisi istrinya.
Semula, aku tidak menghiraukan dan lebih memilih menyantap makan malamku. Hanya saja, melihat tiga figur sempurna itu tengah bersisian, mataku mau tidak mau jadi membandingkan tubuhku dengan mereka.
Terutama, dengan ibu dan juga saudara tiriku.
Aku juga cantik sebetulnya, hanya saja selera makanku sangat tinggi.
Ketika stres, makan jadi obatku. Pun ketika senang, makanan enak jadi simbol perayaanku. Jadilah, bobotku kini mencapai ratusan kilo, persis sapi kualitas unggul yang siap disembelih.
“Kamu lupa kalau kami tidak makan malam, Mas?” Jenar berkata lembut sembari tersenyum.
Namun dari lirikan matanya yang mengarah sinis padaku, aku tahu sebentar lagi dia akan menjatuhkan sindirannya.
“Lagi pula, dengan porsi makanan seperti ini, aku yakin Mikha bisa menghabiskannya sendiri. Iya kan, Sayang?”
“Nah, bener, kan?” Ibu tiriku itu kini melirik sambil tersenyum.
Ayah yang ada di sampingnya ikut tersenyum. Bedanya, Ayah tidak terlihat menyindirku.
“Mikha memang selalu punya selera makan yang baik.”
Di hadapan mereka, aku menundukkan pandangan.
Garis mataku tiba-tiba menggenang. Susah payah, kucoba menelan makanan yang sudah dikunyah. Setelahnya, kuusap cepat air mata yang nyaris saja luruh.
Ah, Ibu. Andai masih ada sosok malaikat sebenarnya itu di hadapanku….
Jika Ibu masih ada, kami bertiga pasti akan merayakan kelulusanku dengan bahagia. Bisa kubayangkan, mama memasak makanan kesukaanku, menyiapkan perayaan kecil-kecilan sembari menunggu ayah.
Bukan seperti sekarang, mereka bahagia, sementara aku merana melihat kebahagiaan mereka.
Suara sopir keluarga kami yang datang dengan membawa sebuah amplop membuatku terhenyak.
"Permisi pak Harun." Ketiga manusia di hadapanku pun mendongak serempak. "Ada undangan makan malam dari keluarga Warren, Pak."
Mataku mengerjap ketika nama Keluarga Warren terucap.
"Ada apa sayang?" tanya Jenar penasaran usai sopir itu pergi.
"Ini….” Ayah menunjukkan amplop yang rupanya undangan itu ke arah Jenar.
“Soal perjodohan dengan keluarga Warren. Almarhum ayahku dulu berjanji untuk menjodohkan cucunya dengan putra semata wayang Gelael Warren, yaitu Gabriel Warren."
Bisa kulihat, mata Jenar mengilat, menatap ke arah Jihan–anaknya yang sudah menginjak 22 tahun.
"Ah, kebetulan sekali, Jihan sudah memasuki usia dewasa. Bukankah sudah saatnya bagi kita untuk mengantarnya ke pinangan keluarga terhormat?"
Mata Jenar hampir keluar percikan kembang api. Wanita itu merasa kegirangan setengah mati.
Sementara ayah, beliau mencoba tersenyum tetapi matanya selama beberapa detik melirikku.
Aku berlagak tak perduli, walau sebenarnya telingaku mencoba mendengarkan lekat-lekat percakapan itu.
"Ah, iya. Tapi, mereka meminta Mikha, Sayang.”
Aku makin geli mendengar kata-kata sayang yang keluar dari mulut Ayah yang terkesan kaku dan dipaksakan.
Sorot wajah ibu tiriku sontak berubah. Dia tidak terlihat se-senang tadi. Aku bisa tebak, dia kesal karena tahu akulah yang keluarga Warren minta, bukan anak kandungnya, Jihan.
“Tapi, Sayang, Mikha baru saja lulus SMA. Dia masih terlalu muda untuk melangkah ke jenjang pernikahan.”
Sementara ibu tiriku membujuk ayah, kulihat jari-jemari Jihan berselancar di atas layar gawainya.
Mata saudara tiriku itu memelotot heboh. Dia bergantian menatap layar gawainya, juga menatapku, sebelum kemudian menyiku sang ibu.
“Mah, lihat ini!”
Kini, mata Jenar yang gantian menatapku nyalang. Dia kemudian mengambil ponsel Jihan untuk ditunjukkan kepada ayah.
“Pah, kamu yakin mau jodohin pria ini dengan Mikha?” ibu tiriku bertanya dengan tatapan mata terperangah, juga dengan suara meninggi.
“Maksudku, kamu lihat kan Mikha seperti apa?”
Seketika, aku menegakkan duduk. Ada perasaan kesal ketika mendengar lagi-lagi ibu tiriku menghina fisikku.
Namun, jauh di lubuk hati, aku sadar diri. Pria seperti Gabriel Warren dengan paras sempurna itu… sangat-sangat mustahil kan, tertarik pada wanita serupa gajah sepertiku?
‘Apa sebaiknya aku mundur saja dari perjodohan itu?’
Tok TokBerulang kali pintu kamar El di ketuk. Aku keluar setelah terbangun dari posisi rebahan ternyaman ini.Ceklek..Seorang pria bertampang model international berdiri tepat di hadapan Berta yang mendongak menatapnya."O-- pak Gabriel, selamat malam pak?"Berulang kali mengangguk, untuk menghormati sang bos besar."Cintanya?"Kening sedikit di kerutkan tangan kanannya menunjuk ke arah dalam ruangan itu. Pria tanpa ekspresi itu, menampakkan ekspresi heran untuk pertama kalinya."A--h Ellanya pulang ke rumah orang tuanya pak?"Garuk-garuk, puncak kepala Berta yang tak bersalah turut terkena dampak kebohongannya."Bener?"Satu minggu sudah Gabriel kesulitan menghubungi Ella. Gadis itu mendadak menghilang dari pandangan. Bahkan di pengadilan, Ella seolah menghindarinya. Suka kabur-kaburan, itu yang di lakukan Ella.Hembusan angin menerpa ke sekujur kulit Bertha, tiba-tiba merinding. "Bertha, apa temanmu itu menghindari aku?"Gabriel meyakinkan lagi."A--h tidak tuh pak, eh maksud sa
~Warren Apt Residence~Melarikan diri, aku bergegas pergi saat pria itu lengah. Bagaimana bisa dia menggunakanku untuk mengusir mantan pacarnya. Da-sar b-ajingan!"Ber ini terakhir gue ultimatum ama lo, kalo elo nggak mau tuker tempat tinggal, gue nggak bakal nganggep lu jadi temen gue, seumur hidup!""Okay-okay babe, okay, elo bisa tinggal di apartemen gue, tapi ceritain dulu duduk perkaranya?"Berta ingin kejelasan kenapa aku sampai panik dan ketakutan seperti ini. Sebenarnya ini bagian dari pengingkaran, aku takut tidak bisa mengendalikan diri, aku takut khilaf, tak mampu menghindari buaiannya yang memabukkan itu.Apalagi ciu-mannya, apa di c-ium itu bisa sen-ikmat itu? A--h! Aku geplak puncak kepalaku sendiri karena sudah meracau."Gabriel men-cumbu gue.""A-pah?"Sorot mata temanku itu memelototi ku. Bibirnya menganga beberapa saat."Wow! Selamat El?""Apa-an sih?""Gila sih, gue ucapin selamat beneran buat sahabat gue ini, gue nggak bisa berkata-kata lagi El?"Berta mondar-man
"Honey, aku merindukanmu."A-h mimpi apa aku tadi, hingga harus bertemu dengan super model yang wajahnya selalu menjadi icon majalah mode dunia. Pas banget kan, yang satunya Ceo perusahaan international dan yang satu artis international.Rasanya tidak ada yang lebih menggiurkan dari meliput berita pasangan ini. Kini, keduanya malah berpelukan mesra. Dasar tak tahu tempat, kenapa nggak di kamar aja sih!"Permisi pak!"Entahlah kenapa aku kesal. Takut, aku nggak mau keduanya berbuat yang nggak-nggak di sini, jadi sebaiknya aku menyingkir saja. Aku menggeletakkan berkas tadi di atas meja tepat di depan sofa dengan segala resiko besok di pecat oleh atasan.Biarkan saja-lah itu resiko yang harus aku tanggung karena sudah mangkir dari tanggung jawabku hari ini."Cinta!"Gabriel melepaskan pelukan yang ternyata hanya sepihak tadi. Menjauhkan tubuh kekasihnya lalu bergegas berlari ke arahku."Saya pamit karena saya ti---hmmpfhf!"Astaganaga nurlela! Kenapa pria ini menciumku di depan pacarnya
"Sudah bangun?" Wajah pria tertampan yang pernah ku temui di muka bumi sedang menatapku. Pandangan mata barusan masih buram, kini menjelas. Gabriel memperhatikan cara tidurku dari dekat. Terperanjat dari ranjang mewah ini begitu saja, saat kulihat dari jendela kamar jalanan sudah macet dan gelap. Ya ampun sudah berapa lama aku tidur sih? "Pakai ini?" Gabriel menutup kaki jenjangku yang polos dengan selimut. "A---h!" Memekik, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang. Selalu saja melakukan hal bodoh untuk kesekian kalinya. Kebiasaanku jika mengantuk, aku membuka celana yang kupakai dan melemparkannya ke sembarang tempat yakni di lantai kamar Gabriel. Sontak aku kabur ke dalam kamar mandi untuk membenahi penampilanku yang acakadul. Pun menggosok gigi dengan sikat baru yang sudah di siapkan di nakas. Aku membayangkan berapa puluh wanita yang sudah menginap di kamar ini? "Kacau-kacau!" Aku mengeplak kepalaku sendiri karena hal bodoh yang terus menerus terulang jika bersamanya. Aku kelua
"Sudah sarapan?""Ya--h terima kasih berkat anda saya bisa sarapan enak."Bohong, aku tidak terbiasa dengan sarapan sejak tubuhku berukuran mini.Hampir sampai, aku bersiap untuk keluar lift, tetapi saat di lantai 10 tangan pria ini menahanku. "Mulai hari ini kamu ke ruanganku.""A---h, ta--pi pak Theo bilang saya harus ke ruangannya.""Siapa yang berkuasa disini?"Tanpa menengok ke arahku pria ini memasukkan kedua tangannya ke kantong celananya sendiri. Singkat, padat dan jelas, perintahnya harus di patuhi. Arogan, sok berkuasa itu yang aku baca.Dia memencet lantai 40 dan tetap di posisinya, seperti biasa Gabriel menunggu aku keluar dari lift terlebih dulu.Tiga wanita berpakaian kantor super se-xy sudah menunggu untuk menyapanya."Selamat pagi boss," ucap ketiganya serempak setelah melihat baik-baik keadaan make up mereka yang terlalu menor untuk ukuran pegawai kantoran.Kelihatan jelas bukan hanya Jihan yang ingin mendapat perhatian dari pria ini melainkan stafnya juga tak kalah be
Keesokan harinya aku penuhi seisi kulkas dengan kudapan yang di beli Gabriel untukku. A--h benar-benar dua hari berturut-turut hidupku penuh dengan nama pria itu. Aku berangkat pagi sekali dengan memesan ojek online. Hari ini masih sama, aku harus mengumpulkan bukti di kantor Warren Enterprise. Sedangkan ponsel ini tak berhenti berbunyi. Barisan pria-pria ini megirimiku pesan berantai. Dony, Erfan, Mario teman s2 di bandung, dan yang terakhir Theo. Tidak ada yang aku jawab satu-pun. Pertanyaan sama mereka lontarkan. "Apa kabar, sudah makan, kamu lagi apa?" Tidak penting, tetapi aku akan menggunakan salah satunya jika di perlukan. Sebaliknya aku memutuskan untuk megirim pesan pada si empunya belanjaan. Kekeh, ku minta nomor rekeningnya untuk mengembalikan biaya belanjaan ini, yang ujung-ujungnya malah di beri nomer rekening panti asuhan. Jujur, aku tak pernah menghapus nomor rekening pria itu. Nomor rekening pengembalian mas kawin 1 Miliar yang tak tersentuh sama sekali. Masih t
"Cinta!" Seru Erfan menyapa."Oh halo."Pertemuan yang tak disangka-sangka. Selepas mencuci tangan di wastafel sederhana warung itu, tak sengaja aku bertemu dengan Jaksa muda teman Mirna tadi siang. Mataku berbinar sembari melepas kuncir kuda untuk mengembalikan ke bentuk semula. Sengaja, aku mempertontonkan keakraban untuk menghapus jalan pikiran Gabriel agar tidak kepedean mengira aku tertarik dengan pesonanya, heh, jangan harap.Menghindar, itu yang aku lakukan secepat kilat setelah tertangkap basah memandang lekat Gabriel yang sedang menyantap makananku dengan lahap. Malu, lebih baik menyingkir dari sisinya daripada degup jantung ini meledak berhamburan. "Sama siapa? Pacar?"Berkelit, nggak mungkin kan aku jawab sama klien. "A--h bukan.""Oh, Cinta, besok aku ada acara syukuran di hotel Narani, ak--u sangat senang jika kamu bisa menyempatkan datang.""A--h coba aku lihat jadwal aku dulu."Pasti pria ini mengira kenapa aku lebih ramah padanya. Sedangkan tadi siang sikapku siap me
Menyebalkan dan menjengkelkan itulah yang kurasa saat jalan berdua seperti ini. Aku merasa selama perjalanan lawan bicaraku itu benda mati. Sebelas dua belas dengan tembok, hanya tampak tapi datar sekali.Ternyata tepat di belakang hotel ada tempat lesehan yang menjual makanan seperti karedok, kerak telor, soto betawi, bebek sambel korek, lele, gado-gado, bakso. Sontak air liurku meluber kemana-mana."Jangan sampai bapak pilih tempat ini karena saya yang traktir? Hanya saja baju saya nggak cocok kalau harus makan di tempat high class seperti tadi, bapak harus tahu itu."Pria itu tak mendengarkan omelanku dengan memanggil pemilik warung untuk datang ke meja kami. "Waaah den Gabriel, tumben bawa bidadari, silahkan neng gelis, mau pesan apa atuh?""Gurame bakar pake sayur mentah sama sambal terasi pak super pedes ya?""Kalo den Gabriel?""Saya menu biasa pak." ucapnya seraya tersenyum simpul pada mang Sadeli."Kira-kira pria terkaya no 5 di negeri ini mau makan apa di tempat seperti ini?
Copot jantung, aku mendorong tubuhnya kala kepala ini menimpa kepalanya, hingga bibir kami tak sengaja bertemu. A----h kacau sekali!Jalan tempat aku berdiri tadi adalah jalan turunan sedangkan Gabriel masih berjalan mendekat ke arahku yang sedikit naik diatasnya. Dia menangkap cepat tubuhku saat ku rengkuh lehernya setelah bahu ini terhantam benda keras sekali."Kamu nggak apa-apa?"Tanyanya saat menangkap semburat merah darii wajah ini. Aku sampai meringis menahan nyeri di tengkukku, membuat pria itu berlagak panik. Apa iya dia khawatir?"Tidak pak saya baik-baik saja. Bapak sebaiknya per--""Oke."Dia memotong ucapanku dan mantap meninggalkanku. Sudah begitu saja, seenaknya dia masuk ke pintu ruangan tepat di sebelah apartemenku. Aku harus kroscek ke Berta perihal ini. Kok bisa Gabriel tinggal selantai denganku? Ini nggak bisa di biarkan!Mondar-mandir menunggu panggilanku diangkat oleh Bertha. Tidak sabar, diri ini meluruskan semuanya. Pindah saja, protesku jika benar Gabriel ti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments