Sesampainya di restoran yang biasa datangi. Sepasang pengantin baru itu, segera menunju meja yang kosong, di dekat jendela.Eka sengaja memilih meja itu, sebab bisa melihat pemandangan jalan raya dan pertokoan sekitar.Tak berselang lama, pelayan pun datang. Ia menyapa dengan sangat ramah dan kemudian menyodorkan buku menu kepada Eka dan Dika."Kamu mau makan apa, Dek?" tanya Dika lembut, sambil melihat-lihat daftar menu yang ada di restoran tersebut."Biasa, Om. Ayam bakar pedes. Hari ini aku pengen banget makan yang pedes-pedes." "Mba, aku pesan ini ya. Satu porsi," lapor Eka pada pelayan itu sambil menunjuk salah satu gambar pada buku menu tersebut.Pelayan itu mengangguk paham, segera ia mencatat pesanan yang Eka inginkan. Kemudian dia menatap kembali sepasang suami itu. "Om mau makan apa? Om jangan makan yang pedes ya," tambah Eka memberi peringatan kepada Mahadirga, yang memang dilarang untuk makan masakan pedas.Dika mengerutkan keningnya. Ada raut kekesalan di wajah tampanny
"Ada apa dengan kalian?" tanya Ar dengan raut wajah keheranan, menatap dan menggerakkan jari telunjuknya ke arah Dika serta Eka bergantian.Bukan Ar saja, tapi Eka pun juga menjatuhkan tatapan penuh keheranan kepada Dika."Kalian kenapa melihat saya seperti itu? Apa ada yang salah dengan saya?" Dia bertanya seolah tidak memahami situasi."Seharusnya aku yang tanya. Kenapa Om, enggak mau nonton film? Biasanya, Om seneng banget ajak aku ke bioskop buat nonton film?" Eka menjawab cepat. Dia membeberkan sedikit hal yang menjadi kesenangan Mahardika. Sementara sang aktor utama memilih untuk tak langsung menjawab.Pikirannya sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menyusun kalimat jawabannya."Dika lagi cemburu tuh, Dek," celetuk Ar, sebelum Dika selesai berpikir.Pemuda dua puluh lima tahun itu, seolah bisa membaca pikiran dari sang adik ipar. Dika tidak terlalu terkejut karena yang dikatakan Ar benar adanya."Cemburu?" Eka mengerutkan keningnya. Semula dia menatap Ar, kini telah memali
"Dek, bangun. Udah subuh," ucap Dika lembut, sambil mengelus pipi chubby istrinya.Sentuhan lembut pria tiga puluh tahun itu, membuat Eka menggeliat manja layaknya putri malu yang ketika disentuh, maka akan terkantup."Heummmmmm .... entar lagi, Om. Aku masih ngantuk," erang Eka bernada manja seperti anak kucing yang malah bangun dan matanya masih terpejam erat, walaupun Dika sudah berusaha membangunkannya sedari tadi. Dika menghela napas panjang. Kembali ia melihat jam dinding yang berada di sudut ruangan. "Dek, udah jam lima. Kapan kamu mau bangun? Seharusnya hari ini kamu ke kampus kan?" Pria tiga puluh tahun itu, masih berusaha untuk membangunkan sang istri. Kalimat demi kalimat coba Dika ucapkan. Namun, Eka masih enggan tersadar dari mimpinya."Ya sudah kalau kamu masih pengen tidur. Hari ini kita enggak jadi ke kampus. Kamunya aja malas bangun," sambungnya, yang kali ini nada suaranya sedikit ditinggikan.Tiba-tiba Eka membuka matanya, seolah kalimat yang baru saja terucap l
Selesai sarapan. Dika pun mengecek ulang keperluan Eka untuk ke kampus. Dia mengubek-ngubek kembali ransel hitam itu."Saya sudah masukin cemilan, permen dan bekel makan siang. Kamu harus makan bekelnya nanti. Saya tidak mau, kamu jajan sembarangan. Jadi, saya sudah taruh cemilan di tas," ujar Dika dengan raut wajah serius.Eka yang memperhatikan dari jarak satu meter pun, sedikit memiringkan kepalanya. Dipandanginya terus menerus, wajah tampan sang suami. Didengarnya terus celoteh itu. Anehnya, sama sekali tidak membuat bosan atau sakit kepala."Kenapa kamu liatin saya seperti itu? Ada yang salah, Dek?" tanya Dika sedikit ketus, sebab Eka sedari tadi hanya cengengesan tanpa kata. Gerak geriknya mencurigakan dan patut untuk diwaspadai.Eka menggeleng cepat. Bukannya menjawab, dia melompat dan berlari. Memeluk Dika penuh semangat dan antusias."Aku sangat mencintaimu, Om," ucapnya kemudian."Terima kasih, suamiku tersayang," tambahnya dengan nada suara manja, seperti yang biasa ia laku
"Kamu jaga diri baik-baik ya, Dek. Nanti kalau sudah selesai, hubungi saya," pesan Dika terdengar berat. Saking tidak ingin berpisah, ia sampai menggenggam erat kedua tangan Eka. Ya, berat ketika harus berpisah dengan istri tercinta, padahal bukan untuk pergi jauh, melainkan untuk menuntut ilmu. Bahkan sore pun sudah bisa bertemu kembali. Eka mengangguk penuh yakin, "iya, Om. Aku akan ingat pesan suamiku tersayang," katanya kemudian sambil merapatkan giginya karena gemas dengan sikap Mahadirga yang manja."Om Dika, tenang aja. Aku pasti kabarin, kalau udah selesai kok. Sekarang Om semangat kerjanya, ya. Semangat!""Iya, Dek. Kamu juga ya. Semangat belajarnya."Muachhhhhhhhhhh!Dika mengecup kening Eka penuh kehangatan. "Udah, Om! Jangan cium-cium aku. Entar ada yang lihat gimana?" protes Eka, bernada kesal dan sedikit mendorong bidang dada suaminya, supaya lebih menjaga jaraknya.Berhubung mereka sedang berada di tempat sepi, jauh dari keramaian. Jadi, adegan tadi tidak ada yang me
"Mau pergi kemana kamu?" tanya pria paruh baya, yang seluruh rambutnya sudah memutih itu, pada seorang pemuda tampan tiga puluh tahun yang rapi dengan setelan jas hitam, dasi kupu-kupu dan celana panjang warna senada. Pemuda bernama Mahardika itu, menghentikan langkahnya sembari menghela napas panjang, "ya, apa lagi kakek, selain ke kantor. Aku harus menghadiri rapat penting dengan beberapa petinggi perusahaan. Rapatnya akan dimulai satu jam lagi."Mahardika melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. Keningnya sedikit mengerut karena jalanan pasti akan sangat ramai di jam-jam segini. "Duduklah! Ada hal penting yang ingin kakek bicarakan denganmu," pinta pria tujuh puluh lima tahun itu, mengiba. Mahardika mengangguk pelan. Padahal ia ingin menolak. Namun, diurungkannya karena yang meminta adalah sang kakek. "Sebenarnya, apa yang ingin kakek bicarakan denganku?" Kini giliran Mahardika yang bertanya."Batalkan, rapat itu!" tegas pria paruh baya itu, tanpa berkedip. "Dibatalkan
"Ah, Om? Siapa yang kamu panggil Om?" Mahardika mengerutkan keningnya."Ya, Om lah. Memangnya siapa lagi yang aku ajak bicara sekarang? Tidak ada orang di sini selain kita." Gadis itu berbicara ketus, melipat kedua tangannya di dada dan membuang pandangan ke arah berbeda.Mahardika merasa kesal dan mendidih aliran darahnya. Dia belum setua itu, untuk dipanggil om-om berkumis dan perut buncit. "Hendak pergi kemana kamu? Jangan-jangan, kamu ingin kabur ya?" terka Mahardika, yang membuat gadis tersebut semakin membuang pandangannya. "Ayo, ngaku kamu! Di saat yang lain ada di dalam, kenapa kamu ada di sini?" tambahnya semakin curiga.Gadis cantik yang akrab dipanggil Eka itu, menurunkan tangannya. "Om sendiri gimana? Kenapa ada di luar, bukannya di dalam?" sunggut Eka, membalikkan ucapan Mahardika.Sang pria sedikit menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Soal itu ..." Bola matanya berputar cepat. Mencari cela untuk menyusun kata-kata."Kenapa, Om? Jangan-jangan, Om Dika, mau kabur juga ya
Hari yang dinanti-nanti pun tiba.Ruangan yang telah didekorasi sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti negeri dongeng di dunia nyata. Di bawah derasnya guyuran hujan, tidak menyulutkan semangat dua keluarga dan para tamu undangan yang sudah memenuhi ruangan. Mahardika sudah duduk berhadap-hadapan dengan Teguh Saputra. Ayah, sekaligus orang yang bertindak sebagai wali nikah di hari paling bahagia ini. "Saya nikahkan dan kawinkan, ananda Mahardika Wijaya bin Frans Adi Wijaya dengan putri saya, Eka Maheswari Saputra binti Tegus Saputra, dengan maskawin uang tunai sebesar 10 juta, emas lima gram, serta satu unit rumah dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinya Eka Maheswari Saputra dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" ucap Mahardika dengan satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" kata para Saksi serentak. Begitu juga dengan para tamu yang berteriak berbarengan. Selanjutnya Pak Penghulu memimpin doa. Mahardika mengangkat kedua tang