Bab 2
Dia hanya menyodorkan tangan, dan aku—dengan tangan yang hampir membeku—menyambutnya. Jemari kami bersentuhan. Tapi tak ada kehangatan. Hanya formalitas. Seperti dua aktor dalam drama yang naskahnya tak pernah kami sepakati bersama. Aku mencoba mencuri pandang ke arah keluarganya. Sang ibu duduk anggun di barisan depan. Wajahnya datar. Tidak tersenyum, tidak mengangguk. Hanya mengamati. Seolah sedang menilai barang yang dibelinya tanpa menyentuhnya terlebih dahulu. Ayah dan Ibu di sampingku sama bungkamnya. Pernikahan itu berjalan begitu cepat. Ikrar. Tanda tangan. Doa yang meluncur tanpa makna. Dan saat orang-orang mulai bersorak pelan dan memberikan ucapan selamat, aku hanya bisa berpikir: Aku baru saja kehilangan segalanya. Tidak ada pelukan. Tidak ada ucapan selamat malam. Malam pertama sebagai istri Reyhan terasa seperti berada di ujung dunia yang asing. Dia tidur di sofa, membelakangi cahaya, membelakangi aku. Sementara aku meringkuk di ranjang selebar dunia, tapi terasa sempit oleh beban rahasia yang kian mem berat. Kupikir, semuanya akan lebih mudah setelah hari pernikahan selesai. Ternyata tidak. Aku bangun pagi dengan mata sembab dan kepala berat. Tapi dunia tetap berjalan seperti biasa, seolah pernikahan penuh kebohongan ini bukan sesuatu yang perlu dihentikan. Saat aku turun ke ruang makan, aroma kopi dan roti panggang menyambut. Di sana, keluarga Reyhan sudah duduk rapi, seperti foto di majalah—terlalu sempurna untuk kenyataan. “Selamat pagi, Alya,” sapa Mama Reyhan dengan senyum tipis. Wajahnya cantik dan dingin, suara lembut tapi bernada pengawasan. “Tidurmu nyenyak?” tanyanya. Aku mengangguk, meski tidurku tadi malam hanya pergulatan antara tubuh yang lelah dan pikiran yang menolak diam. Reyhan duduk di sampingku, wajahnya tenang seperti biasa. Tapi aku tahu… itu hanya topeng. Ada sesuatu yang disembunyikannya, dan entah kenapa, aku merasa itu berhubungan dengan Alya. “Kami berencana mengadakan makan malam kecil minggu depan,” ucap Papa Reyhan sambil meneguk kopinya. “Hanya keluarga inti dan beberapa kolega.” Aku menahan napas. Perayaan? Itu berarti aku harus terus memainkan peran ini lebih lama… dan lebih sempurna. Padahal aku bahkan belum sepenuhnya percaya diriku sendiri. “Baik, Ayah,” sahut Reyhan. Kata itu—“Ayah”—masih terasa asing. Tapi ia mengucapkannya seperti biasa, seolah pernikahan ini memang sudah ditakdirkan. Sementara aku? Aku hanya perempuan pengganti yang terjebak dalam permainan yang belum sepenuhnya kupahami. --- Setelah sarapan, Reyhan menarikku ke balkon belakang. Angin pagi menyapu rambutku, membawa serta rasa dingin yang menggigit. “Dengar baik-baik, Alia.” Aku langsung membeku. Suaranya pelan… tapi terlalu tenang. Bukan Alya. Dia memanggilku Alia. “Reyhan—” “Kau pikir aku tidak tahu?” potongnya, matanya menusuk. Aku terdiam. Tak bisa bernapas. Apakah dia tahu sejak awal? Dia menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas. “Aku tahu Alya kabur. Aku tahu kau bukan dia.” Suara itu—jujur, datar, dan tak ada kejutan di dalamnya. Seolah dia tidak pernah benar-benar peduli siapa yang berdiri di sisinya hari itu… selama seseorang tetap berdiri. “Dan… kau membiarkannya?” tanyaku dengan suara serak. “Aku membiarkan semuanya berjalan seperti seharusnya,” balasnya. “Ini bukan pernikahan cinta. Ini aliansi. Kesepakatan. Nama keluarga kami dipertaruhkan. Dan sekarang, tidak ada yang rusak. Semuanya tetap terlihat sempurna.” Dunia seolah bergeser di bawah kakiku. “Lalu aku… hanya bagian dari strategi?” Dia tak menjawab. Hanya menatapku. Wajahnya tetap seperti marmer, tapi aku bisa melihat retakan kecil dalam sorot matanya. “Pernikahan ini… akan berlangsung sesuai kontrak,” lanjutnya akhirnya. “Kau tinggal di sini, berperan sebagaimana mestinya. Dan setelah semua urusan selesai, kau bebas pergi.” Aku tertawa pelan. Pahit. “Dan kalau aku menolak?” Kau tidak akan,” katanya tenang. “Kau terlalu peduli pada keluargamu.” Itu benar. Dan dia mengetahuinya. *** Hari-hari berikutnya berjalan seperti adegan yang terus diulang. Aku bangun, berdandan, sarapan bersama keluarga, tersenyum palsu. Reyhan dan aku menjadi pasangan sempurna… di hadapan orang lain. Tapi ketika malam tiba, dia kembali ke sofa, dan aku kembali pada pikiranku sendiri. Kami jarang bicara. Kalaupun iya, hanya tentang hal-hal dangkal: jam makan malam, jadwal kunjungan, atau pakaian apa yang harus kupakai saat menjamu tamu. Hingga malam keempat. Reyhan pulang larut. Dasinya longgar, aroma alkohol samar tercium dari napasnya. Tapi langkahnya tetap kokoh. Aku duduk di tepi ranjang, masih terjaga. “Kau belum tidur?” tanyanya tanpa ekspresi. Aku menggeleng. “Tak bisa.” Dia mendekat, tapi tidak duduk. Hanya berdiri di hadapanku. “Kau masih penasaran,” katanya pelan. Aku mengerutkan kening. “Tentang apa?” “Kenapa aku menyetujui pernikahan ini.” Aku mengangguk. Pertanyaan itu memang menghantuiku. Kenapa pria seperti Reyhan—dingin, cerdas, penuh kendali—mau menikahi seorang perempuan yang bahkan tak ia kenal? “Alya pernah menyelamatkan nyawa adikku,” ucapnya. Aku tercekat. “Tiga tahun lalu, adikku ditemukan overdosis di apartemen teman-temannya. Alya yang membawanya ke rumah sakit. Kalau dia terlambat lima menit saja, mungkin adikku sudah mati.” Ia berhenti sejenak, menatap lantai. “Aku berhutang nyawa padanya.” Aku menunduk. Dadaku sesak. Jadi Alya punya alasan untuk dihubungkan dengan Reyhan… lebih dalam dari yang kukira. “Tapi…” ia menatapku. “Itu juga alasan kenapa aku tahu dia menyembunyikan sesuatu. Dia terlalu diam… terlalu takut. Sejak itu, dia tak pernah benar-benar sama.” Aku menatapnya lama. “Apa kau tahu kenapa dia pergi?” Aku menggeleng. “Tidak.” Dia mengernyit. “Kau yakin?” Aku kembali mengangguk. Tapi dalam hati, aku mulai ragu. Mungkinkah… ada hal yang Alya sembunyikan dariku juga?Langkah kaki itu berhenti. Di atas sana, entah siapa yang sedang berdiri di ujung tangga. Aku tak bisa melihatnya jelas dari bawah. Tapi suara langkahnya… pelan, berat, seperti ragu. Tapi cukup keras untuk terdengar di malam yang nyaris senyap ini. Aku dan Reyhan saling pandang. “Siapa di atas?” tanyaku pelan. Reyhan langsung melangkah ke arah tangga, tapi aku menahan lengannya. “Jangan. Kalau itu… sesuatu yang kita belum siap hadapi…” “Kalau kita terus diam, justru bahayanya makin besar,” katanya tenang, tapi aku tahu dia juga tegang. Matanya menatap tajam ke atas, lalu dengan pelan, ia mulai menaiki anak tangga satu per satu. Aku mengikuti di belakangnya. Setiap kayu di bawah kaki kami berderit. Rumah ini sudah lama, dan setiap sudutnya seperti menyimpan rahasia yang sengaja dikunci rapat. Sampai akhirnya kami tiba di lantai atas. Tidak ada siapa-siapa. Lorong itu gelap. Hanya ada satu cahaya redup dari lampu kamar tamu yang dibiarkan menyala. Pintu-pintunya tertutup semu
Pagi itu, aku dan Reyhan berjalan menyusuri sisi belakang rumah tua yang sudah lama tak dihuni. Tanahnya becek, dipenuhi ranting dan daun gugur. Tapi yang membuatku berhenti melangkah adalah jejak sepatu yang belum lama tercetak di tanah. “Ini bukan jejak kita,” gumamku pelan, sambil jongkok dan menyentuh bekas tapaknya. “Masih baru.” Reyhan ikut menunduk, wajahnya berubah serius. “Ada yang datang sebelum kita…” Kami saling pandang. Tidak ada yang bicara, tapi pikiran kami sama: kami diawasi. Tak jauh dari situ, di balik pagar kayu yang hampir roboh, aku menemukan sisa bungkus permen dan puntung rokok. Masih hangat saat disentuh. “Reyhan… kayaknya kita gak sendirian dari tadi,” kataku sambil melirik ke arah jendela dapur rumah tua itu. “Apa mungkin… ada yang ngikutin kita?” Reyhan mengangguk, rahangnya mengeras. “Aku curiga udah dari kemarin. Tapi ini bukti pertama.” Aku menggenggam lengannya. “Kalau gitu… sekarang kita harus cari tahu siapa.” Kami masuk kembali ke rumah, men
Pagi itu aku duduk di meja makan sendirian. Teh di cangkirku sudah dingin, tapi belum juga kusentuh. Pikiran masih berputar pada kalimat Reyhan semalam. “Orang yang nggak boleh tahu kalau kalian berdua masih hidup…” Siapa yang dia maksud? Dan kenapa harus disembunyikan? Langkah kaki Reyhan terdengar dari arah dapur. Dia datang dengan wajah lelah, matanya sembab seperti baru begadang semalaman. “Alia,” ucapnya sambil duduk di seberangku. “Hari ini kita harus ke rumah lama Nadira.” Aku mengerutkan dahi. “Kenapa?” “Aku nemu sesuatu tadi malam. Dari Alya. Aku rasa… udah saatnya kamu tahu semua.” Aku terdiam. Banyak hal yang ingin kutanya, tapi aku tahan. Aku tahu, kalau aku desak, Reyhan bisa saja kembali menutup diri. “Rumahnya di mana?” tanyaku akhirnya. “Di pinggiran kota. Dulu mereka tinggal bareng di sana sebelum… semua ini mulai kacau.” *** Rumah itu sepi dan tua. Lokasinya agak tersembunyi, dikelilingi semak dan pohon yang sudah tak terurus. Reyhan berhenti di depan pag
Suara langkah kaki itu—lembut, pelan, tapi pasti—membuat napasku tercekat. Dada ini sesak oleh ketegangan yang tak bisa kujelaskan. Aku belum siap. Tapi kapan aku pernah benar-benar siap menghadapi kenyataan? Pintu dapur terbuka perlahan. Dan di sana… Seorang perempuan berdiri. Rambut panjangnya tergerai kusut, wajahnya pucat namun cantik. Tatapannya seperti milikku—lelah, penuh tanya, tapi tetap berdiri dengan kepala tegak. Alya. Tubuhku seperti membeku. Kakakku… tunangan Reyhan yang dulu dikabarkan kabur di hari pertunangan. Dia, yang selama ini menjadi bayang-bayang gelap dalam pernikahanku yang aneh ini. “Kau…” suaraku tercekat. Alya menatapku. Lama. Seolah ingin memastikan aku nyata. “Kau mirip Ibu,” katanya pelan. Lalu bibirnya melengkung, bukan senyum, lebih seperti perih yang dipaksakan menjadi ramah. “Tapi kau juga mirip aku.” Reyhan berdiri di tengah kami. Terjebak di antara dua kenyataan yang tak bisa ia hindari. “Alya, ini bukan—” “Bukan waktunya?” potongku cepa
Pertanyaan itu menusuk pikiranku seperti jarum-jarum kecil yang menembus pelan tapi pasti. Semakin aku memejamkan mata, semakin jelas wajah Alya berputar-putar di benakku. Senyumannya. Tatapan matanya. Cara ia bicara—lembut, namun tegas. Kakakku yang sempurna. Kakakku… yang kini menjadi teka-teki hidupku sendiri. Reyhan belum tidur. Aku bisa mendengar langkah kakinya mondar-mandir di ruang kerja, sesekali terdengar suara gelas diletakkan, atau pintu lemari terbuka dan tertutup. Ia bilang besok akan menjelaskan semuanya. Tentang Nadira. Tentang Alya. Tentang pernikahan yang gagal dan tentang masa lalu yang selalu mengendap di antara kami. Tapi aku mulai sadar… mungkin aku tak bisa hanya duduk dan menunggu penjelasan orang lain. Ada sesuatu dalam diriku yang mulai mendorong untuk mencari tahu sendiri. Bukan sebagai Alia si adik yang penurut, tapi sebagai seseorang yang selama ini dijadikan pion dalam permainan yang bahkan tidak kupahami aturannya. Besok, Reyhan akan membawaku ke t
"Alya menghubungimu?" tanyaku lirih, mataku terpaku pada layar ponsel Reyhan yang masih menampilkan nama itu—nama yang terus menghantuiku sejak hari pertama aku menginjak rumah ini. Reyhan tidak langsung menjawab. Ia menatapku sejenak, seolah menimbang apakah sudah waktunya aku tahu. Lalu ia mengangguk pelan. “Iya. Dan itu bukan pertama kalinya.” Aku tercekat. “Maksudmu… dia pernah menghubungimu sebelumnya?” Reyhan menurunkan ponselnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bersandar di dinding, wajahnya penuh ketegangan. “Alya tidak benar-benar kabur, Alia. Dia… memilih pergi. Dan selama ini, dia memang menghindari semua orang—termasuk aku. Tapi beberapa minggu terakhir, dia mulai mengirim pesan.” Kakiku terasa lemas. Aku menjatuhkan diri di sofa, mencoba mencerna semuanya. “Kenapa kau tidak bilang sejak awal?” Pertanyaan itu menusuk pikiranku seperti jarum-jarum kecil yang menembus pelan tapi pasti. Semakin aku memejamkan mata, semakin jelas wajah Alya berputar-p