Share

ISTRI LUGU MANDOR TAMPAN
ISTRI LUGU MANDOR TAMPAN
Penulis: Mastuti Rheny

1. Sebuah Imbalan

"Kang kita mau ke mana?"

Aku tak dapat menahan tanya ketika pria dewasa berkumis tebal yang tak lain adalah Karso, kakak iparku sendiri, mendadak datang dan menyeretku dari makam bapak untuk mengikuti langkahnya.

"Nggak usah banyak tanya. Ikut saja!"

Karso tetap saja memaksa sama sekali tak melepaskan cekalan tangannya. Pria bertabiat kasar yang selama ini suka mabuk dan judi itu, benar-benar terlalu kuat untuk aku lawan. Terlebih, sekarang tangan kiriku masih merasakan nyeri setelah menjalani operasi patah tulang usai kecelakaan di pagi buta tiga hari lalu yang merenggut nyawa bapakku.

Aku masih terus memberontak, tetapi cekalan Karso pada tanganku begitu kuat, membuatku sulit untuk melepaskan diri. "Kang aku nggak mau ikut kamu!"

Melihatku melawan Karso langsung menoleh ke samping dan menatapku tajam. "Katanya mau kuliah?!" Mata pria itu mendelik tajam ke arahku, membuat nyaliku sedikit ciut, terlebih ketika ia mengungkit cita-cita terbesarku. "Kalau mau kuliah, ikuti saja kataku! Kamu akan dapat uang banyak buat wujudin mimpimu itu!"

Aku memang memiliki cita-cita untuk berkuliah di kota besar, kemudian menjadi guru. Namun karena didera masalah ekonomi, kuurungkan dulu rencanaku sembari mengumpulkan uang dengan membantu bapak bekerja di sawah milik orang lain.

Saat pikiranku sibuk, rupanya Karso dengan mudah membawaku semakin jauh. Tidak sadar, kami sudah sampai di ujung jalan desa. Keningku mengerut, terlebih saat pendengaranku menangkap suara gemerisik daun yang terdengar aneh. Seperti suara daun yang dibuat oleh seseorang. Namun, saat aku menoleh, tak kulihat seorang pun di belakang kami.

'Mungkin aku salah dengar.' Aku mulai mengabaikan prasangkaku, kembali memusatkan perhatian ke depan.

Hingga tak lama kemudian, kami sampai di sebuah rumah papan yang cukup terawat, yang sebelumnya tak pernah aku tahu keberadaannya di ujung desa ini. "Kang ini rumah siapa?"

Perasaanku semakin tidak enak sekarang. Apalagi gelagat Karso mulai terlihat berbeda, semakin memindaiku dengan tatapan lekat, sangat menyergap kuat. "Tunggu apalagi? Ayo masuk!"

Kakak iparku semakin mendesak tak sabar. Dia mulai menarik pergelangan tanganku sembari menyeretku agar mau mengikuti langkahnya. Aku tak bisa melawan, bahkan dia kian kuat mendorong tubuhku agar aku bisa segera masuk ke rumah yang asing untukku.

Saat di dalam, mataku menangkap sesosok pria bermuka bopeng yang sebelumnya sudah cukup aku kenal. "Juragan Mukti?!" Mataku membelalak saking kagetnya.

Juragan Mukti adalah orang yang sempat melamarku beberapa hari sebelum bapak berpulang. Kala itu, lamarannya ditolak bapak mentah-mentah. Kini, kecurigaanku pun muncul. Apakah kecelakaanku dan bapak didalangi olehnya?

Pria bertubuh besar itu malah terkekeh saat melihat kekagetanku. "Iyo, Cah Ayu. Ini memang aku."

Pria yang awalnya sedang duduk santai sembari menikmati rokok cerutunya itu malah bangkit saat melihatku sudah berdiri di hadapannya. Dengan sangat kurang ajar pria kaya di desa kami itu malah menyentuh wajahku.

Aku langsung menampik dan memalingkan muka yang membuat juragan itu menatapku nyalang. "Karso bilang kamu butuh uang?"

Aku bergeming, masih enggan untuk menentang tatapan mesumnya yang sekarang bahkan sedang memindai seluruh tubuhku.

"Nggak usah malu-malu, Cah Ayu."

Aku semakin meradang saat pria yang memiliki aroma tak sedap dan mulut bau tembakau itu kembali akan menyentuh wajahku. Aku kembali menampik tangannya, tapi kali ini dengan gerakan yang lebih lugas.

Pria itu tampak makin tersinggung. Melihat perlawananku pada Juragan Mukti, Karso kemudian tak tinggal diam. "Jangan melawan, Rindu!" sergah Karso sembari menahan tanganku.

Aku tak bisa memberikan perlawanan yang berarti setelah Karso mencekal tanganku. Keadaanku yang tak berdaya dimanfaatkan oleh Mukti untuk menggerayangi tubuhku.

Aku berusaha berontak sambil berteriak keras sembari berteriak meminta tolong, berharap akan ada seseorang yang mendengar teriakanku. "Tolong! Siapa pun tolong aku!"

Nyatanya kedua pria brengsek itu malah tergelak ketika mendengar jeritanku.

"Nggak ada gunanya kamu berteriak, Cah Ayu. Turuti saja aku. Kamu akan dapat bayaran mahal jika bisa memuaskanku."

Aku semakin bergidik ngeri saat mendengar ucapan pria berwajah bopeng itu. "Karso cepat bawa Rindu ke kamar, aku sudah tidak tahan lagi. Kamu tunggu di luar. Aku akan berikan kamu uangnya setelah dia selesai memuaskanku."

Mataku membelalak mendengar kalimat pria mesum itu. 'Jadi, Karso menjualku pada Juragan Mukti?'

"Baik Juragan, puas-puaskan Juragan sama Rindu, biar aku yang jaga di luar."

"Kang, aku akan adukan ini pada Mbak Murni!"

Kupikir, ketika aku membawa nama kakakku, Karso akan takut dan berempati. Namun, Karso malah tertawa saat mendengar protesku. Bahkan setelah itu Karso membantu Juragan Mukti untuk menyeretku ke dalam kamar.

"Lepas!" Aku masih berusaha berontak, tapi lagi-lagi aku tak berdaya.

Juragan Mukti berhasil mengurungku di kamar, dengan ia yang sudah menanggalkan pakaian atasnya.

"Saya mohon, Juragan, jangan lakukan ini." Aku menghiba dan memohon untuk dilepaskan.

Namun, pria itu malah menarik gamisku dari belakang saat aku akan berlari menuju pintu.

"Mau ke mana, Cah Ayu?" Setelahnya, tubuhku dihempaskan ke atas ranjang untuk bisa ia kukung dengan sekujur tubuhnya yang besar.

"Argh!" Aku menjerit kesakitan bersama dengan rasa takut yang turut menyeruak.

Pria itu mengabaikan dengan telak segala jerit tangisku. Ia semakin beringas bahkan mulai menyobek gamisku dan membuang kerudung yang aku pakai. Sebagian tubuhku mulai terlihat, membuat nafsu lelaki itu terunggah.

"Kulit kamu halus sekali, Nduk."

Pria bopeng itu mulai meraba-raba tubuhku. Aku merasakan kengerian yang teramat sangat. Sampai kemudian dari luar sayup-sayup aku mendengar suara baku hantam dan teriakan kesakitan dari Karso. Perhatian Mukti menjadi teralihkan.

Raut wajahnya yang semula penuh gairah, kini merengut tak suka. Namun, meski demikian ... Aku masih terkungkung di bawahnya, karena tangannya yang masih mencengkeram. Aku mulai menangis saat pria buruk rupa itu kembali melancarkan aksinya.

Tak lama dari itu, terdengar dobrakan keras dari arah pintu, bersamaan dengan terbebasnya kungkungan di atas tubuhku. Kulihat, tubuh pria bopeng itu sudah berada di lantai dengan wajah menahan kesal dan sakit.

Belum sempat melawan, Mukti dibuat tak berdaya dengan pukulan-pukulan dari seorang pria berpenampilan bersih itu. Aku terlalu terperangah dengan apa yang terjadi. Sampai akhirnya pria yang memiliki cambang halus di kedua rahangnya yang tegas itu mulai mendekatiku usai membuat babak belur lawan.

"Pakai ini untuk menutupi tubuh kamu." Pria itu kemudian melemparkan jaket kulit yang sebelumnya dia pakai. Aku segera mengenakannya dengan cepat, untuk menutupi tubuh bagian atasku karena gamis yang aku pakai sudah penuh sobekan. "Ayo sekarang kita pergi dari sini!" ajak pria bertubuh tegap itu pasti.

Aku segera melakukan apa yang sudah ia katakan tanpa banyak bertanya. Saat aku berada di luar, barulah aku bisa mengenali pria penolongku yang ternyata adalah Pak Mandor. Aku memanggilnya demikian karena ia adalah seorang mandor yang mengawasi proyek jembatan dan bendungan di desa kami itu.

Kualihkan pandanganku dari menatap Pak Mandor. Kini, tak jauh dari tempatku berdiri, kondisi Karso pun tak kalah mengenaskan. Kakak iparku itu sudah jatuh pingsan dengan beberapa luka lebam. Tak jauh berbeda dengan keadaan Juragan Mukti di dalam.

"Ayo, aku antar kamu pulang sekarang." Suara tegas pria itu membuatku tergagap dan segera mengabaikan kondisi Karso. "Biar dua pria itu aku yang urus."

Kuikuti langkahnya dari belakang dengan pandangan berkaca-kaca. Tak terbayang, bagaimana nasibku jika ia tidak datang tepat waktu? "Pak Mandor sudah menyelamatkan saya. Terima kasih, Pak." Aku bergumam lirih ketika kami sudah berjalan menjauh dari rumah tempat aku disekap tadi.

Pria yang memiliki aroma harum dan segar itu malah melirikku sesaat. "Aku melakukan ini tidak dengan cuma-cuma."

Pria dewasa yang memiliki garis wajah yang tampan itu malah menatapku lekat, membuatku tergagap. "Ma-maksud Pak Mandor?"

"Aku meminta sebuah imbalan dari kamu."

"Imbalan apa Pak?"

Aku menatap pria itu gamang, menjadi penasaran dengan apa yang akan dikatakannya. Detik berikutnya, imbalan yang ia maksudkan sukses membuatku terkejut bukan kepalang.

"Menikahlah denganku."

***

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Fidia Haya
ceritanya bagus. mengalir dari awal bagus. good luck
goodnovel comment avatar
Yusuf Julianto
bintang lima
goodnovel comment avatar
Yusuf Julianto
Bagus saya suka ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status