"Kang kita mau ke mana?"
Aku tak dapat menahan tanya ketika pria dewasa berkumis tebal yang tak lain adalah Karso, kakak iparku sendiri, mendadak datang dan menyeretku dari makam bapak untuk mengikuti langkahnya."Nggak usah banyak tanya. Ikut saja!"Karso tetap saja memaksa sama sekali tak melepaskan cekalan tangannya. Pria bertabiat kasar yang selama ini suka mabuk dan judi itu, benar-benar terlalu kuat untuk aku lawan. Terlebih, sekarang tangan kiriku masih merasakan nyeri setelah menjalani operasi patah tulang usai kecelakaan di pagi buta tiga hari lalu yang merenggut nyawa bapakku.Aku masih terus memberontak, tetapi cekalan Karso pada tanganku begitu kuat, membuatku sulit untuk melepaskan diri. "Kang aku nggak mau ikut kamu!"Melihatku melawan Karso langsung menoleh ke samping dan menatapku tajam. "Katanya mau kuliah?!" Mata pria itu mendelik tajam ke arahku, membuat nyaliku sedikit ciut, terlebih ketika ia mengungkit cita-cita terbesarku. "Kalau mau kuliah, ikuti saja kataku! Kamu akan dapat uang banyak buat wujudin mimpimu itu!"Aku memang memiliki cita-cita untuk berkuliah di kota besar, kemudian menjadi guru. Namun karena didera masalah ekonomi, kuurungkan dulu rencanaku sembari mengumpulkan uang dengan membantu bapak bekerja di sawah milik orang lain.Saat pikiranku sibuk, rupanya Karso dengan mudah membawaku semakin jauh. Tidak sadar, kami sudah sampai di ujung jalan desa. Keningku mengerut, terlebih saat pendengaranku menangkap suara gemerisik daun yang terdengar aneh. Seperti suara daun yang dibuat oleh seseorang. Namun, saat aku menoleh, tak kulihat seorang pun di belakang kami.'Mungkin aku salah dengar.' Aku mulai mengabaikan prasangkaku, kembali memusatkan perhatian ke depan.Hingga tak lama kemudian, kami sampai di sebuah rumah papan yang cukup terawat, yang sebelumnya tak pernah aku tahu keberadaannya di ujung desa ini. "Kang ini rumah siapa?"Perasaanku semakin tidak enak sekarang. Apalagi gelagat Karso mulai terlihat berbeda, semakin memindaiku dengan tatapan lekat, sangat menyergap kuat. "Tunggu apalagi? Ayo masuk!"Kakak iparku semakin mendesak tak sabar. Dia mulai menarik pergelangan tanganku sembari menyeretku agar mau mengikuti langkahnya. Aku tak bisa melawan, bahkan dia kian kuat mendorong tubuhku agar aku bisa segera masuk ke rumah yang asing untukku.Saat di dalam, mataku menangkap sesosok pria bermuka bopeng yang sebelumnya sudah cukup aku kenal. "Juragan Mukti?!" Mataku membelalak saking kagetnya.Juragan Mukti adalah orang yang sempat melamarku beberapa hari sebelum bapak berpulang. Kala itu, lamarannya ditolak bapak mentah-mentah. Kini, kecurigaanku pun muncul. Apakah kecelakaanku dan bapak didalangi olehnya?Pria bertubuh besar itu malah terkekeh saat melihat kekagetanku. "Iyo, Cah Ayu. Ini memang aku."Pria yang awalnya sedang duduk santai sembari menikmati rokok cerutunya itu malah bangkit saat melihatku sudah berdiri di hadapannya. Dengan sangat kurang ajar pria kaya di desa kami itu malah menyentuh wajahku.Aku langsung menampik dan memalingkan muka yang membuat juragan itu menatapku nyalang. "Karso bilang kamu butuh uang?"Aku bergeming, masih enggan untuk menentang tatapan mesumnya yang sekarang bahkan sedang memindai seluruh tubuhku."Nggak usah malu-malu, Cah Ayu."Aku semakin meradang saat pria yang memiliki aroma tak sedap dan mulut bau tembakau itu kembali akan menyentuh wajahku. Aku kembali menampik tangannya, tapi kali ini dengan gerakan yang lebih lugas.Pria itu tampak makin tersinggung. Melihat perlawananku pada Juragan Mukti, Karso kemudian tak tinggal diam. "Jangan melawan, Rindu!" sergah Karso sembari menahan tanganku.Aku tak bisa memberikan perlawanan yang berarti setelah Karso mencekal tanganku. Keadaanku yang tak berdaya dimanfaatkan oleh Mukti untuk menggerayangi tubuhku.Aku berusaha berontak sambil berteriak keras sembari berteriak meminta tolong, berharap akan ada seseorang yang mendengar teriakanku. "Tolong! Siapa pun tolong aku!"Nyatanya kedua pria brengsek itu malah tergelak ketika mendengar jeritanku."Nggak ada gunanya kamu berteriak, Cah Ayu. Turuti saja aku. Kamu akan dapat bayaran mahal jika bisa memuaskanku."Aku semakin bergidik ngeri saat mendengar ucapan pria berwajah bopeng itu. "Karso cepat bawa Rindu ke kamar, aku sudah tidak tahan lagi. Kamu tunggu di luar. Aku akan berikan kamu uangnya setelah dia selesai memuaskanku."Mataku membelalak mendengar kalimat pria mesum itu. 'Jadi, Karso menjualku pada Juragan Mukti?'"Baik Juragan, puas-puaskan Juragan sama Rindu, biar aku yang jaga di luar.""Kang, aku akan adukan ini pada Mbak Murni!"Kupikir, ketika aku membawa nama kakakku, Karso akan takut dan berempati. Namun, Karso malah tertawa saat mendengar protesku. Bahkan setelah itu Karso membantu Juragan Mukti untuk menyeretku ke dalam kamar."Lepas!" Aku masih berusaha berontak, tapi lagi-lagi aku tak berdaya.Juragan Mukti berhasil mengurungku di kamar, dengan ia yang sudah menanggalkan pakaian atasnya."Saya mohon, Juragan, jangan lakukan ini." Aku menghiba dan memohon untuk dilepaskan.Namun, pria itu malah menarik gamisku dari belakang saat aku akan berlari menuju pintu."Mau ke mana, Cah Ayu?" Setelahnya, tubuhku dihempaskan ke atas ranjang untuk bisa ia kukung dengan sekujur tubuhnya yang besar."Argh!" Aku menjerit kesakitan bersama dengan rasa takut yang turut menyeruak.Pria itu mengabaikan dengan telak segala jerit tangisku. Ia semakin beringas bahkan mulai menyobek gamisku dan membuang kerudung yang aku pakai. Sebagian tubuhku mulai terlihat, membuat nafsu lelaki itu terunggah."Kulit kamu halus sekali, Nduk."Pria bopeng itu mulai meraba-raba tubuhku. Aku merasakan kengerian yang teramat sangat. Sampai kemudian dari luar sayup-sayup aku mendengar suara baku hantam dan teriakan kesakitan dari Karso. Perhatian Mukti menjadi teralihkan.Raut wajahnya yang semula penuh gairah, kini merengut tak suka. Namun, meski demikian ... Aku masih terkungkung di bawahnya, karena tangannya yang masih mencengkeram. Aku mulai menangis saat pria buruk rupa itu kembali melancarkan aksinya.Tak lama dari itu, terdengar dobrakan keras dari arah pintu, bersamaan dengan terbebasnya kungkungan di atas tubuhku. Kulihat, tubuh pria bopeng itu sudah berada di lantai dengan wajah menahan kesal dan sakit.Belum sempat melawan, Mukti dibuat tak berdaya dengan pukulan-pukulan dari seorang pria berpenampilan bersih itu. Aku terlalu terperangah dengan apa yang terjadi. Sampai akhirnya pria yang memiliki cambang halus di kedua rahangnya yang tegas itu mulai mendekatiku usai membuat babak belur lawan."Pakai ini untuk menutupi tubuh kamu." Pria itu kemudian melemparkan jaket kulit yang sebelumnya dia pakai. Aku segera mengenakannya dengan cepat, untuk menutupi tubuh bagian atasku karena gamis yang aku pakai sudah penuh sobekan. "Ayo sekarang kita pergi dari sini!" ajak pria bertubuh tegap itu pasti.Aku segera melakukan apa yang sudah ia katakan tanpa banyak bertanya. Saat aku berada di luar, barulah aku bisa mengenali pria penolongku yang ternyata adalah Pak Mandor. Aku memanggilnya demikian karena ia adalah seorang mandor yang mengawasi proyek jembatan dan bendungan di desa kami itu.Kualihkan pandanganku dari menatap Pak Mandor. Kini, tak jauh dari tempatku berdiri, kondisi Karso pun tak kalah mengenaskan. Kakak iparku itu sudah jatuh pingsan dengan beberapa luka lebam. Tak jauh berbeda dengan keadaan Juragan Mukti di dalam."Ayo, aku antar kamu pulang sekarang." Suara tegas pria itu membuatku tergagap dan segera mengabaikan kondisi Karso. "Biar dua pria itu aku yang urus."Kuikuti langkahnya dari belakang dengan pandangan berkaca-kaca. Tak terbayang, bagaimana nasibku jika ia tidak datang tepat waktu? "Pak Mandor sudah menyelamatkan saya. Terima kasih, Pak." Aku bergumam lirih ketika kami sudah berjalan menjauh dari rumah tempat aku disekap tadi.Pria yang memiliki aroma harum dan segar itu malah melirikku sesaat. "Aku melakukan ini tidak dengan cuma-cuma."Pria dewasa yang memiliki garis wajah yang tampan itu malah menatapku lekat, membuatku tergagap. "Ma-maksud Pak Mandor?""Aku meminta sebuah imbalan dari kamu.""Imbalan apa Pak?"Aku menatap pria itu gamang, menjadi penasaran dengan apa yang akan dikatakannya. Detik berikutnya, imbalan yang ia maksudkan sukses membuatku terkejut bukan kepalang."Menikahlah denganku."***Apa Pak? "Menikah?"Aku terlalu terkejut ketika mendengar tawarannya. Bagaimana mungkin seorang pria yang begitu luar biasa seperti dirinya mengajakku menikah? Aku hanya seorang gadis desa yang tidak memiliki keunggulan apapun selain wajahku yang lumayan bening, yang malah membuatku nyaris kehilangan kehormatan tadi.Perasaanku menjadi campur aduk. Baru saja aku terbebas dari jerat licik Juragan Mukti, tetapi kini aku kembali dikejutkan dengan ajakan menikah tiba-tiba dari Pak Mandor. Lidahku kelu, pikiranku penuh. Berbanding terbalik denganku, pria berwajah bersih khas orang kota itu malah terlihat menatapku penuh arti. "Tidak perlu dijawab sekarang. Aku akan berikan kamu waktu berpikir beberapa hari." Matanya kemudian bertemu dengan netraku, yang langsung aku alihkan menatap objek lain. "Tapi kuharap, hanya jawaban 'iya' yang keluar dari mulutmu."Pak Mandor berucap dengan sangat tegas yang membuatku kembali terperangah resah. "Ta-tapi, Pak--""Sekarang, masuklah dan bersihkan tubu
“Mas ....”Tanpa sadar aku menarik nafas panjang saat mendengar kalimatnya barusan. Ia menjauhkan wajahnya, kemudian menatap penuh padaku. Ada sorot kagum, penuh kerinduan yang kutangkap dari matanya kala menatapku.“Kamu sudah membuatku lama menunggu, Rindu.”Aku kembali dibuat terkesiap oleh kalimat Mas Bara. Kami bahkan tidak akrab, bagaimana mungkin ia sudah lama menungguku?Namun, karena kalimatnya itulah aku kembali teringat oleh berbagai tanya dalam kepala. Apa yang membuat seseorang seperti Mas Bara dengan ketampanan dan kemampanannya memilih untuk memperistri diriku yang cuma seorang gadis desa? Ditambah lagi, dengan nama baik yang sudah tercoreng karena peristiwa itu.Posisi kami bagaikan bumi dan langit. Mas Bara orang terpandang dengan pendidikan yang pasti tinggi, kalau tidak mana mungkin dia bisa merancang bangunan jembatan. Satu lagi yang selalu membuat para gadis kampung sepertiku bangga, adalah bahwa pria yang sudah memperistriku itu berasal dari kota. Kabarnya, Mas B
""Ma-af Mas, aku ...."Tanpa sadar aku menggeleng ragu. Aku terlalu takut untuk melakukan apa yang Mas Bara kehendaki."Kamu menolakku?" tanya Mas Bara yang langsung membuatku terkesiap dan mulai menatapnya gamang.Tatapan Mas Bara masih saja terarah lugas padaku yang membuatku semakin rikuh. Nyatanya Mas Bara sekarang malah tertawa singkat sembari tidak melepas tatapan intensnya pada tubuhku. Sekarang bahkan pria itu sudah beringsut semakin mendekat. Gelisahku kian terunggah nyata ketika akhirnya Mas Bara kembali membelai wajahku seperti yang tadi sudah dia lakukan.Aku terlalu malu hingga memilih menunduk. Tapi lagi-lagi Mas Bara menahanku kembali mengangkat wajahku dengan meraih daguku untuk ia gerakkan ke atas. "Jangan pernah menundukkan wajahmu lagi."Mas Bara berbisik begitu dekat kala aku sudah mendongakkan muka. Tatapan Mas Bara intens memindai, membuat degup jantungku semakin sulit dikendalikan. "M-maaf, Mas.""Berhenti juga meminta maaf, Rindu." Suara pria itu mulai terdenga
'Lina? Siapa itu Lina?'Hatiku menjadi bertanya-tanya. Dengan memendam rasa ingin tahu, tanganku mulai bergerak hendak menjangkau benda yang kembali berdering itu. Namun sebelum aku bisa meraih ponsel itu, mendadak Mas Bara datang dan segera menyambar ponsel tersebut begitu saja. Aku hanya bisa termangu memandang punggung lebarnya yang langsung menjauh sembari membawa ponsel itu.Setelah beberapa lama, akhirnya Mas Bara kembali lagi ke dalam kamar dengan membawa senyumnya. Seketika aku menyergapnya dengan tatapan ingin tahu."Telepon dari siapa Mas?" "Bukan siapa-siapa," jawabnya datar.Aku memilih untuk tak terlalu banyak bertanya, terlebih sekarang suamiku tampak sibuk mencari sesuatu di dalam kopernya. Aku tak memiliki keberanian untuk mendesak suamiku meski rasa penasaranku masih menghantui."Apa ada yang bisa aku bantu, Mas?"Aku menawarkan diri. Mas Bara hanya melirikku sesaat. "Aku mencari sereal yang aku bawa kemarin untuk sarapan."Mas Bara menunjukkan sebungkus minuman inst
“Assalamualaikum, Rindu!” Aku yang sedang duduk berdampingan dengan pria asing yang baru kemarin menjadi suamiku segera mendongak dan mengarahkan tatapan pada asal suara di ambang pintu. Segera kerikuhan menyergapku terlebih setelah melihat tatapan Mas Bara yang begitu tajam ketika melihat sosok pemuda yang sedang mengulas senyum padaku itu, tamu kami yang tak terduga datang di awal pagi. Aku berusaha menenangkan diri dengan membalas salamnya. “Wa’alaikumsalam,” balasku dengan pelan sembari mulai bangkit dari dudukku. Aku tak bisa segera mendekat pada pria berpenampilan rapi yang masih menyunggingkan senyumnya padaku itu. Tatapan lugas Mas Bara yang membuatku ragu melangkah. “Siapa dia Rindu?” Pada akhirnya Mas Bara bertanya dengan tegas meski dia masih bertahan duduk di tempatnya. Aku tak segera menjawab karena detik berikutnya tatapan Mas Hilman yang merupakan teman baikku itu ikut tertuju pada Mas Bara yang masih menampakkan dominasinya. Ketika melihat tatapan Mas Hilman ya
Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Bara kemudian malah memintaku untuk menemaninya berolahraga dengan berlari di sekeliling desa.Sudah sejak setengah lalu aku mendampinginya, berlari mengitari desa sembari sesekali membalas sapaan para tetanggaku, penduduk desa yang tampak sangat menaruh hormat untuk pria yang tak pernah aku sangka sekarang berstatus sebagai suamiku itu.Tapi ketika sampai di pertengahan desa aku sudah mulai menyerah. Rasanya dadaku menjadi sesak dan butuh asupan oksigen besar yang membuatku menarik nafas dalam-dalam sembari berhenti sejenak hingga aku tertinggal di belakang Mas Bara.Ketika mulai menyadari keberadaanku yang tak lagi di sisinya, Mas Bara kemudian ikut menghentikan larinya dan segera menoleh ke belakang.“Maaf Mas, berhenti dulu ya, aku capek,” ucapku sembari menyeka keringat di keningku dengan lengan baju.Tanpa banyak berkata Mas Bara lalu memutar tubuhnya dan berlari menghampiriku.“Apa kamu tidak pernah berolahraga sebelumnya?”“Aku biasanya
Meski aku sedikit bisa menduga kalau Mas Bara memintaku melayani hasratnya, tapi tetap aku tidak menyangka kalau suamiku akan menggempurku sedahsyat ini hingga menjelang saat maghrib.Jika saja aku tidak mengatakan kalau aku harus datang ke acara pengajian tujuh harinya bapak, pasti Mas Bara tetap akan mengurungku di kamar megah ini dengan kasurnya yang sangat empuk.Saat berada di kamar mandi lagi-lagi aku terpukau dengan berbagai perangkat modern yang ada di dalamnya. Ada kran yang dilengkapi dengan wajah keramik halus dan berkilau, yang dikatakan Mas Bara sebagai wastafel, juga ada kran besar lubang-lubang kecil yang disebut dengan shower, yang bisa mengucurkan air dengan deras. Belum lagi ada bak besar yang sekarang kami masuki bersama yang membuat Mas Bara kembali menjahiliku saat dia memaksa untuk mengusapkan gelembung-gelembung sabun di sekujur tubuhku.Aku sendiri tidak mengerti Mas Bara sangat suka sekali mengel
Aku semakin gusar kian terseret dalam sikap yang serba salah saat Mas Hilman terang-terangan mengajakku untuk mengobrol dan saling bercerita seperti dulu.Bahkan tatapan Mas Bara sudah terlihat nyalang sekarang. Pastinya Mas Bara sudah terlihat tersinggung sekarang karena ajakan Mas Hilman padaku.“Tapi tentu saja kamu harus mengajak suami kamu juga, karena aku juga ingin bisa mengenal suami kamu lebih dekat.”Kali ini Mas Hilman mulai menyunggingkan senyumnya pada suamiku, tapi tetap saja Mas Bara masih menunjukkan sikapnya yang cenderung dingin.Ibu yang melihat jika suasana sudah menjadi kurang nyaman, akhirnya mulai melerai kami.“Sepertinya kamu sudah mengantuk ya Rindu? Ya sudah kamu pulang saja, ke rumah suami kamu. soal baju-baju kamu besok saja kamu ambil, nanti biar Mbak Murni yang menyiapkannya.”“Benar Rindu memang me