Rachel duduk di ruang kerja Martin dengan tatapan kosong. Semua yang ia miliki kini terasa hampa.
Sejak menikah dengan Martin, hidupnya berubah drastis. Dari seorang gadis miskin yang kesulitan makan sehari-hari, ia kini hidup bergelimang harta. Gaun-gaun mahal menggantung rapi di lemarinya, perhiasan berkilauan mengelilingi tubuhnya, dan semua yang ia impikan kini ada di genggamannya. Namun, ada satu hal yang tidak ia sadari. Hatinya mulai berubah. Dulu, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan melupakan keluarganya. Namun, setelah terbiasa dengan kehidupan mewah, ia mulai menjaga jarak. Ibunya yang dulu selalu menemaninya dalam kesulitan, kini hanya mendapat sapaan singkat setiap beberapa minggu. Adik-adiknya yang dulu sering kelaparan bersamanya, kini hanya bisa melihatnya dari jauh. Rachel telah melupakan asal-usulnya. Martin, meskipun sadar akan perubahan Rachel, tidak pernah menegurnya secara langsung. Ia mencintai istrinya, terlepas dari segala kekurangannya. Namun, semuanya berubah ketika Martin jatuh sakit. Martin didiagnosis dengan penyakit yang membuatnya semakin lemah setiap hari. Tubuhnya yang dulu tegap kini terlihat kurus dan pucat. Rachel, bukannya merasa iba, justru mulai merasa kesal. “Untuk apa aku menikah dengan pria kaya jika pada akhirnya ia hanya akan menjadi beban?” pikirnya. Hari demi hari, ia semakin menjaga jarak. Ia lebih sering keluar rumah, menghadiri pesta, dan menghabiskan waktu dengan teman-teman barunya yang juga berasal dari kalangan atas. Ia bahkan mulai mengambil alih aset-aset Martin—menjual beberapa properti tanpa sepengetahuan suaminya, menggunakan rekeningnya untuk membeli barang-barang mewah, dan bahkan berencana menguasai seluruh kekayaan Martin sebelum semuanya terlambat. Martin, yang semakin lemah, mulai menyadari ada yang tidak beres. Suatu malam, ia memanggil Rachel ke kamar. “Rachel…” suaranya lemah, tetapi masih penuh kasih sayang. “Aku ingin berbicara denganmu.” Rachel, yang baru saja pulang dari sebuah pesta, hanya menghela napas. “Apa lagi?” Martin tersenyum pahit. “Apa aku masih berarti bagimu?” Rachel terdiam. Dulu, ia akan langsung menggenggam tangan suaminya dan menangis. Namun sekarang, yang ia rasakan hanyalah kejengkelan. “Jangan bicara hal-hal yang tidak perlu,” katanya datar. “Kamu harus istirahat.” Martin menatap mata istrinya dalam-dalam. “Aku tahu kau telah berubah.” Rachel merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Aku tahu kau mulai menjauh dariku,” lanjut Martin. “Dan aku juga tahu kau telah mengambil sebagian hartaku.” Rachel terkejut, tetapi ia segera menutupi ekspresinya. “Kamu hanya berhalusinasi karena sakit,” katanya dengan nada ringan. Namun, Martin hanya tersenyum kecil. “Aku tidak sebodoh itu, Rachel.” Rachel menelan ludah. “Kamu pikir aku tidak tahu kalau kau menjual villa di Bali? Atau menggunakan uang di rekeningku untuk membeli perhiasan?” Martin berbicara dengan tenang, tetapi kata-katanya seperti pisau yang menusuk langsung ke hati Rachel. Rachel membuka mulutnya untuk membantah, tetapi ia tahu tidak ada gunanya. Martin telah mengetahui segalanya. Namun, alih-alih merasa bersalah, ia justru merasa marah. Mengapa Martin harus mengetahuinya sekarang? Mengapa ia tidak bisa terus sakit dan membiarkannya mengambil alih segalanya? Rachel mengangkat dagunya. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” Martin menatapnya dengan penuh kesedihan. “Aku hanya ingin tahu… apa kau benar-benar tidak peduli padaku lagi?” Rachel terdiam. Ada bagian kecil dalam hatinya yang masih ingin mengatakan bahwa ia peduli. Bahwa ia masih mencintai Martin. Namun, keserakahannya telah menguasai segalanya. “Martin,” katanya akhirnya. “Kamu sakit. Kamu seharusnya tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti ini.” Martin menghela napas. “Baiklah. Jika itu yang kau pikirkan…” Ia menatap langit-langit kamar. “Aku hanya berharap kau tidak menyesal nanti.” Rachel mengabaikan kata-kata itu. Baginya, yang penting adalah bagaimana ia bisa mengambil sisa harta Martin secepat mungkin. Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa karma akan datang lebih cepat dari dugaannya. Keesokan harinya, dalam perjalanan menuju butik mahal untuk berbelanja, Rachel mengalami kecelakaan. Mobilnya melaju kencang di jalanan sepi ketika tiba-tiba sebuah truk besar muncul dari arah berlawanan. Sopirnya mencoba menghindar, tetapi semuanya terjadi terlalu cepat. BRAK!! Benturan keras mengguncang seluruh mobil. Rachel menjerit sebelum semuanya berubah menjadi gelap. Rachel terbangun di rumah sakit dengan tubuh penuh luka. Kepalanya berdenyut, dan ia merasa kesulitan mengingat apa yang telah terjadi. Saat matanya terbuka sepenuhnya, ia melihat Martin duduk di samping ranjangnya. Rachel mengerjap. “Kamu…?” Martin tersenyum kecil. “Akhirnya kau sadar.” Rachel merasa kepalanya berputar. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan, tetapi yang muncul di pikirannya hanyalah perasaan bersalah yang luar biasa. Ia menatap Martin dengan mata berkaca-kaca. “Aku… aku telah membuat kesalahan.” Martin tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menggenggam tangan Rachel dengan lembut. “Aku sadar sekarang,” bisik Rachel. “Aku telah melupakan segalanya… aku telah mengabaikan keluargaku… aku telah menyakitimu…” Martin menghela napas. “Rachel, aku tahu.” Rachel menatapnya dengan air mata mengalir. “Apakah kamu masih mau memaafkanku?” Martin diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Aku mencintaimu, Rachel. Aku hanya ingin kau kembali menjadi dirimu yang dulu.” Rachel menangis semakin deras. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar menyesal. Namun, sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, pintu kamar rumah sakit terbuka. Seorang pria masuk dengan langkah tegas. Rachel mengangkat kepalanya, dan matanya melebar. Itu Leonard. Siapa dia? Kenapa dia ada di sini? Martin menatap pria itu dengan ekspresi tegang. “Apa yang kau lakukan di sini?” Leonard hanya tersenyum dingin. “Aku datang untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku.” Rachel menahan napas. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?Langit sore di kota itu tampak kelabu, seolah menyatu dengan suasana hati Rachel. Di balkon rumahnya yang menghadap taman kecil, ia berdiri sendiri. Angin lembut menerpa wajahnya, membawa harum bunga melati yang ditanam almarhum ibunya dulu. Rachel menatap jauh ke depan, ke arah jalanan tempat Martin baru saja pergi untuk mengurus sisa perkara keluarga yang nyaris merenggut segalanya dari mereka.Rachel menarik napas dalam. Seluruh perjalanan panjang ini terasa begitu berat di pundaknya. Dari seorang perempuan sederhana yang hanya ingin hidup damai bersama suaminya, kini ia menjadi perempuan yang memanggul beban nama besar keluarga, konflik, warisan, dan luka yang menganga akibat pengkhianatan orang-orang yang ia percayai.Tapi sore ini, Rachel tahu: semuanya akan berakhir. Bukan karena dunia sudah berubah sepenuhnya, tapi karena ia sendiri yang berubah.Ketukan pelan di pintu balkon menyadarkannya. Clara berdiri di sana dengan mata yang berkaca-kaca. “Rachel… kamu baik-baik saja?”Ra
Senja itu, Rachel berdiri di depan cermin besar di kamar tidur mereka. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya jauh lebih tenang dibanding sebelumnya. Seolah semua badai yang telah dilewatinya mulai mereda. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya masih berputar—tentang sidang yang baru saja berlangsung, tentang Tante Renata yang tak mau menyerah, tentang keluarga besar yang kini memandangnya dengan iri sekaligus takut.Martin masuk ke kamar, melepaskan dasi, lalu mendekat. Tangannya menyentuh bahu Rachel lembut. “Semua akan segera selesai, sayang. Percayalah.”Rachel mengangguk pelan. “Aku percaya, Martin. Tapi aku juga tahu… ini bukan sekadar soal sidang atau warisan. Ini soal menutup semua luka masa lalu. Luka kita, luka keluargamu, luka keluarga kita.”Martin tersenyum pahit. “Dan kamu sudah melakukannya lebih baik dari siapa pun.”Rachel berbalik memandang Martin. “Besok aku ingin mengadakan syukuran di butik. Bukan untuk merayakan menang atau kalah. Tapi untuk mengakhiri s
Langit Lembang mendung, awan kelabu menggantung rendah seolah menambah berat di dada Rachel. Vila tua keluarga besar Anshari berdiri kokoh, menjadi saksi bisu betapa rapuhnya tali persaudaraan yang sebentar lagi diuji. Rachel menatap bangunan itu dari balik jendela mobil. Di sampingnya, Martin menggenggam tangannya, berusaha menyalurkan kekuatan.“Kamu yakin mau hadapi ini, Rachel?” tanya Martin lirih.Rachel mengangguk. “Kalau aku lari, selamanya mereka akan menganggap aku pengecut. Dan aku nggak akan biarkan kebenaran dikubur begitu saja.”Martin mengangguk, meski hatinya tak kalah gelisah. Mereka turun dari mobil bersamaan dengan datangnya mobil-mobil lain. Dari mobil hitam mengilap, keluar Tante Renata dengan gaun mahal dan tatapan menusuk. Di belakangnya, para paman, bibi, sepupu, dan anggota keluarga besar lain yang jarang ditemui Rachel. Semua berkumpul karena satu alasan: mempertanyakan warisan Malik Anshari.Saat semua masuk ke dalam vila, Rachel berdiri di depan mereka. Meja
Pagi itu, Rachel bangun lebih awal dari biasanya. Udara segar pagi menyambutnya di balkon kamar, namun pikirannya sudah penuh dengan rencana hari ini. Hari pertama audit menyeluruh Anshari Properti dimulai, dan Rachel tahu langkah ini akan mengguncang banyak pihak.Martin muncul membawa secangkir kopi. “Kamu belum tidur cukup, ya?”Rachel tersenyum lelah. “Tidak apa-apa. Ini bukan soal lelah. Aku harus memastikan tidak ada celah lagi untuk mereka mencuri hak orang banyak.”Martin duduk di sampingnya. “Aku bangga padamu.”Rachel menatap suaminya, lalu menggenggam tangannya erat. “Aku juga bangga padamu, karena selalu berdiri di sampingku.”Di kantor pusat, suasana lebih tegang dari kemarin. Rachel, Martin, dan Reza sudah berada di ruang audit, bersama tim independen yang mereka tunjuk. Layar besar menampilkan aliran dana perusahaan selama lima tahun terakhir.“Ini laporan pertama,” ujar Reza sambil menunjuk grafik. “Kita temukan ada dana masuk yang tidak pernah tercatat dalam laporan r
Pagi di rumah Rachel disambut matahari yang hangat, namun suasana hatinya tetap penuh waspada. Kemenangan di pengadilan dua hari lalu ternyata belum benar-benar memberi kelegaan. Di meja ruang makan, koran-koran dengan berita utama terpampang: “Rachel Ayuningtyas Sah Miliki 40% Saham Anshari Properti”, “Keluarga Besar Anshari Pecah Karena Warisan”, “Rachel: Wanita Biasa, Pewaris Luar Biasa”. Rachel menatap tajuk-tajuk itu dengan campuran rasa lega dan gelisah. Martin datang membawa secangkir teh hangat, meletakkannya di depan istrinya. “Koran hari ini penuh tentang kamu lagi,” ucapnya pelan. Rachel mengangguk. “Dan mungkin akan begitu untuk beberapa waktu. Aku tidak ingin dikenal hanya karena saham ini, Martin.” Martin duduk di hadapannya. “Kamu akan dikenal karena caramu menjaga amanah ini, Rachel. Bukan karena angka 40% itu.” Rachel menarik napas panjang. “Aku ingin mulai bekerja hari ini. Kita harus pastikan perusahaan ini benar-benar dikelola dengan jujur. Tak boleh ada cel
Dua hari terakhir ini menjadi dua hari terberat dalam hidup Rachel. Setiap malam terasa panjang, setiap detik penuh cemas. Sejak sidang ditunda untuk musyawarah hakim, pikirannya terus dihantui kemungkinan terburuk. Tak jarang ia terjaga hingga fajar, menatap langit gelap dari jendela kamar, bertanya-tanya: Apakah aku kuat menghadapi semua ini?Pagi ini, matahari baru saja muncul dari ufuk timur ketika Rachel berdiri di depan cermin. Ia menatap pantulan dirinya. Mata itu, yang dulu selalu dipenuhi keraguan, kini memancarkan keteguhan. Bibirnya mengatup erat, menahan kegugupan. Gaun abu-abu sederhana membalut tubuhnya, rambutnya dibiarkan tergerai tanpa hiasan. Ia tak mengenakan perhiasan mewah, hanya cincin kawin di jari manisnya—satu-satunya simbol bahwa ia punya sandaran yang selalu setia.Martin masuk membawa secangkir kopi hangat. Tanpa berkata-kata, ia meletakkannya di meja dan berdiri di belakang Rachel, memandang istrinya dari pantulan cermin. Tangan Martin terulur, memegang p