Tangan Deva yang sudah hampir mengetuk pintu pun akhirnya hanya menggantung di udara dan kini sudah ia tarik lagi ke samping tubuhnya. Ia tersenyum aneh dan segera pergi dari depan pintu kamar tersebut.
Lisa pun akhirnya membuka pintu saat langkah Deva sudah berada di undakan tangga paling bawah. Pria itu sudah berjalan hendak menuju carport. Di depan pintu utama, Deva malah bertemu dengan Pak Bahrul, sopir pribadi kepercayaan sang papa. “Den Deva?” “Halo, Pak Bahrul. Apa kabar?” “K-kabar baik, Den. Aden kapan sampai?” “Semalam, Pak.” Deva memerhatikan mobil dan juga badan tegap Pak Bahrul yang seperti sudah siap sedia. “Bapak nungguin saya?” “Eh? Ee, bukan, Den. Bapak nunggu nyonya. Beliau mau keluar,” jawab sang sopir apa adanya. Deva hanya mengangguk tanpa mau memperpanjang narasi dan juga durasi. Ia harus segera pergi. “Carport sebelah mana, Pak? Mobil saya dibawa ke sini, kan?” “Oh. Iya, Den. Pasti atuh mobil Aden dibawa ke sini.” Pak Bahrul menunjukkan carport megah yang berada di samping bangunan bak istana ini. Letaknya agak ke belakang. Pak Bahrul pun sedikit berlari untuk mengambil kunci mobil milik putra tuannya yang ia simpankan. Deva cukup takjub dengan bangunan megah dan super mewah kedua milik sang ayah. Harganya pasti fantastis. Di dekat carport ada kolam renang beratap yang cukup estetik. Sangat kekinian. Dua buah mobil masih berada di tempatnya selain mobil mewah yang sedang Pak Bahrul persiapkan untuk mengantarkan sang nyonya. “Papa lagi mode bucin keknya,” ucap Deva sembari memasuki mobilnya sendiri. “Seindah apa mama tiriku sampai bokap se-effort ini buat nyenengin dia?” Deva tahu, rumah pertama yang Atmaja tempati bersamanya dan mendiang sang mama dulu akan menjadi milik Deva. Mungkin itu alasan sang papa membeli rumah baru serupa istana ini. Tak kalah mewah dari rumah pertama. Dalam perjalanan, Deva memberi kabar pada Dalion jika ia akan segera menemuinya lepas bertemu dengan sang papa di kantor. ‘Kabari aja, Va. Aku pasti siapkan waktu khusus buat my best friend,’ ucap Dali dari sambungan telepon. “Thanks, Brother.” Sesampainya di lobi kantor, beberapa karyawati yang berpapasan dengan Deva malah ternganga. Wajah bersih dan hidung bangir Kadeva dibingkai oleh berewok tipis yang rapi dan pas. Rambutnya yang panjang sebahu dan agak berombak ia cemol ke atas. Proporsi keindahan yang cukup memukau tergambar jelas di wajah keturunan Indonesia-Turki tersebut. “P-Pak Deva?” Deva hanya tersenyum singkat dan terus mengayun langkah. “Pagi, Pak Deva.” “Selamat datang, Pak.” “Selamat datang kembali, Pak Deva.” Sapaan demi sapaan mengantarkan Deva hingga ia menaiki lift khusus untuk para petinggi perusahaan. Tak berapa lama, lift terbuka dan tatapan Deva bersirobok dengan salah satu teman baik sang papa. “Kadeva?” “Om Vikram?” Keduanya saling berjabat hingga mendekap. “Apa kabar, Jagoan?” “Kabar baik, Om. Om sendiri apa kabar?” “Alhamdulillah, Om baik dan masih sehat, Nak. Tapi, Om kalah hoki dari papamu.” Vikram tergelak renyah, sementara Deva tersenyum lebar. Vikram menepuk-nepuk punggung Deva hingga dekapan keduanya melonggar. “Papa ada di dalam, Om?” “Oh, iya ada. Setengah jam yang lalu kami berbincang. Om baru selesai urusan dengan orang divisi. Dan ini sudah mau kembali ke kantor lagi.” “Buru-buru amat, Om?” “Udah. Ini udah molor. Takut Dali muring-muring.” Deva terkekeh. Dulu, ia dan Dali sering dibanding-bandingkan oleh oleh Atmaja. Dan Deva memang sesantai Vikram. Tidak seperti Dali dan Atmaja yang cukup serius dan juga perfeksionis. Terkadang Dalion dan Kadeva merasa sengaja ditukar saat mereka masih balita. “Habis dari sini, aku juga mau ketemu Dalion, Om.” “Oh. Silakan, Nak. Silakan. Om tunggu kedatanganmu.” Keduanya sama-sama tersenyum hangat. “Eh, Deva. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah berkenalan dengan mama barumu?” “Belum, Om. Enggak enak mau nemuin dia kalau enggak ada Papa. Takut khilaf, Om,” jawab Deva santai. Vikram tergelak. “Jangan nakali mamamu, Deva. Dia mengalami trauma yang cukup berat sebelum akhirnya mau dinikahi oleh papamu.” Deva mengernyit. “Maksudnya, Om?” “Temui papamu. Dia yang berhak bercerita semuanya.” Deva diam sejenak, lalu mengangguk bersamaan dengan Vikram yang menepuk lengan atasnya. “Ya sudah, Om pamit kembali ke kantor dulu, ya.” “Baik, Om. Silakan!” balas Deva sopan. Deva memerhatikan punggung ayah sahabatnya itu hingga hilang di balik lift. Ia terdiam sejenak. “Perempuan bermasalah kenapa malah Papa nikahin?” ucap Deva pelan, bertanya pada dirinya sendiri. “Secantik apa dia sampai seorang Atmaja Gandhi yang dingin dan cuek bisa luluh?” Deva menggeleng pelan dan berjalan untuk menuju ruangan papanya berada. Baru membuka pintu, tatapan datar Atmaja langsung bertemu dengan manik Deva. Sang pimpinan kembali menunduk melihat Ipad di tangannya. “Papa enggak kaget lihat Deva?” Atmaja kembali mengangkat pandangan. “Kenapa harus kaget? Kamu bukan nun mati ketemu ‘ain, lalu ‘ain terkejut.” Deva terkekeh. “Assalamualaikum, papaku sayang,” sambut Deva dengan kedua tangan merentang dan langkah mendekat. “Waalaikumsalam, anak nakal!” Atmaja akhirnya berdiri dan menyambut anak bujangnya. Keduanya berpelukan erat walau ini bukan pertama kalinya Deva pulang dari Turki setelah sekian lama. Tahun lalu, Deva sempat pulang karena suatu urusan. Hanya beberapa hari, lalu kembali lagi ke Turki. “Beberapa menit yang lalu Papa sudah melihatmu berinteraksi dengan Vikram dari pantauan CCTV lorong.” “Ah, sudah kuduga,” ucap Deva. Atmaja tersenyum dan dekapan pun melonggar. “Sudah sarapan, Nak?” “Sudah, Pa.” “Ayo! Kita ngobrol santai di sofa.” Deva pun memenuhi kemauan sang papa karena ia juga cukup penasaran dengan ucapan papa dari Dalion tadi ketika di lorong. Namun, sebelum itu pandangan Deva lebih dulu mengitari setiap sudut ruangan kerja milik sang papa. Pajangan masih sama, tak ada yang berubah. Bahkan di rumah baru Atmaja yang ia pijak dari semalam, tak ada foto sang papa dan mama barunya. Apa belum dicetak? “Pa, kenapa di rumah baru dan juga ruangan kantor Papa ini tak ada foto baru? Maksudku ... foto pengantin Papa dan istri barunya Papa?” Atmaja tersenyum. “Kenapa? Kamu mulai penasaran dengannya, hm?” “Sebenarnya biasa saja, sih, Pa. Cuma, aku takut saja kalau nanti di rumah ketemu wanita cantik dan aku enggak tahu kalau ternyata itu mama baruku. Enggak lucu, kan, kalau nanti aku bilang: Hai, Cantik. Maukah kamu menjadi menantu papaku?” Bukannya marah, Atmaja malah tergelak. “Ya, ya. Kamu benar. Apalagi dia memang cantik. Sangat cantik malah,” jawab Atmaja dengan pandangan sedikit menerawang. Menghadirkan sosok jelita yang belum lama sudah sah menjadi istrinya. Melihat papanya yang seperti sedikit melamun, Deva malah terkekeh dan kian penasaran. “Jadi, kenapa Papa tak mau memajang foto pernikahan kalian? Di rumah, di kantor, aku enggak lihat. Beda ketika sama mama. Papa seperti ingin mengabarkan pada seantero negeri kalau Papa bisa menikahi putri konglomerat Turki yang cantik dan berbudi pekerti. Apa ... mamaku lebih cantik dari mama sambungku?” Deva mulai berceloteh panjang. Terkadang, Atmaja juga penasaran kenapa putranya dengan Elnara sedikit somplak. Namun, Atmaja juga cukup bangga ketika perusahaan tekstil mertuanya yang di Turki semakin maju ketika Deva ikut bergabung bersama paman dan sepupunya dalam mengembangkan bisnis tersebut. Itu artinya, Deva tak sesomplak yang ia pikirkan. “Mama sambungmu cantik, Deva. Dia sangat cantik. Tapi, Papa hanya sedang mem-protect dia dari hal-hal yang membuat dia tak nyaman.” Putra Atmaja membenarkan duduknya. “Tak nyaman?” ulang Deva. “Papa dan Om Vikram menemukan seorang gadis cantik di hutan. Dia ... korban pem3rkosaan.” “Apa?!” (*)Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.