Share

SALAHKAH

ROGER

Aku tak melepas pandangan pada wanita yang semalam memenuhi segala hasrat terpendam. Rambut basah dengan aroma sensasional mengundang kembali gejolak itu untuk dilepaskan.

Tubuh itu membeku di depan cermin kala tanganku melingkar di pinggangnya. Raut polos itu sungguh makin membawaku pada angan liar.

"Tu, tuan, saya mau membuat sarapan."

Jari lentiknya menempel pada pergelangan besarku. Aku tahu dia berusaha melepasnya, akan tetapi mana mungkin tenaga itu menandingi kekuatan berkali lipat.

Pasrah, yang bisa dia lakukan.

Shit!

Deringan ponsel sialan itu membuatku harus menghentikan kesenangan. Seperti domba yang lepas dari cengkraman serigala, Safna setengah berlari keluar kamar, lalu aku sibuk dengan panggilan dari pemegang saham utama perusahaan.

"Minggu depan aku kembali."

Apa dia sudah pikun, masa liburku belum habis. Mengapa harus pulang?

"Pecat saja!"

Kubanting telpon yang belum sempat dimatikan. Teriakan ayah benar-benar menyulut emosi.

Aku tak mempan dengan gertakan dari pria yang berjalan pun sudah tak kuasa. Kadang berpikir kapan si tua itu mati agar harta jatuh padaku semua. Dan, benalu-benalu itu bisa kutendang ke jalanan.

Ya, ibu tiri dan anak-anak penjilatnya.

Brengsek memang! Menikmati gratis hasil kerja keras dan terampasnya kebebasanku.

Sebaiknya aku menyiram kepala ini dengan air pegunungan.

*****

Dari balik pintu dapur, tak bosan kupandangi gerakan tubuh dan tangan itu. Jari mungilnya lincah sekali memainkan alat masak. Memotong sayuran, mengiris daging dan bumbu.

“Istri yang baik.”

Entah mengapa tak mau melepas pemandangan ini. Hal yang tak pernah kudapatkan selama bersama Arsela.

Wanita pertamaku itu hanya peduli dengan kesenangan menghamburkan harta. Harta yang aku raih dengan perampokan kebebasan diri. Tanpa ada timpal balik ketenangan hidup yang ia tawarkan. Apalagi sebuah penghormatan sebagai pemimpin rumah tangga.

Lalu, salahkah aku mencarinya di sisi Safna?

Hmmm! Aroma masakan sudah membuat irama kantung makanan makin tak beraturan. Sebelum dia menoleh, kubalikkan badan menuju teras samping.

Menghenyakkan tubuh di kursi kayu jati dengan ukiran melengkung-lengkung serupa singgasana. Menikmati sebatang rokok dan kopi luwak yang sudah tersaji sedari tadi.

"Tu, tuan, sarapan sudah siap." Baru saja rokok itu kuisap tiga kali, suara mendayu menyapa indera pendengaran.

Berdiri setelah menekan ujung rokok dan menyimpan sisanya di asbak.

Aku tersenyum tipis melihat Safna berjalan cepat mendahului. Seperti takut kuterkam kembali.

Perempuan yang baru berusia delapan belas tahun itu mengambil posisi duduk agak jauh dariku. Tangannya bergetar saat mengisi piring dengan makanan. Setakut itukah padaku? Padahal aku tak akan menyakitinya.

Bibir itu perlahan sekali melumat makanan. Gerakannya makin menambah sisi sensual yang memancingku untuk menyentuhnya.

Aku bangkit dan mengambil posisi di sampingnya. Raut itu berubah tegang.

Menggemaskan. Sepertinya sarapan ini harus segera dihabiskan agar keindahan semalam bisa diulang.

Sebelum tangan itu meraih alat-alat makan untuk dibereskan, aku menggenggamnya. Hanya dengan tatapan, Safna paham apa tugasnya sekarang.

Aku tahu ada kaca-kaca di bola bening itu. Namun, hasrat sialan ini membuatku hilang kesabaran. Bagai boneka, dia pun diam saja atas apa yang kemudian kulakukan.

Setengah jam kemudian, kutinggalkan wanita muda yang tengah kelelahan itu di atas ranjang. Dia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

Ingin tidur mungkin atau menangis.

Biarlah, mungkin belum terbiasa dengan dunia baru ini. Lama-lama juga dia akan menikmati. Aku hanya perlu memberinya waktu.

"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status