ROGER Harus yang paling bagus." Sopir sekaligus asisten andalan yang lima menit lalu kupanggil, mengangguk pasti. Hanya satu kali intruksi dia segera melajukan mobil untuk membelikan berbagai kebutuhan Safna. Aku tak suka dia tampil dengan pakaian lusuhnya. Semua harus dilenyapkan. Bakar kalau perlu. ***** Andai saja si tua bangka itu tak terus meneror, pastinya tak sudi pulang ke Jakarta. Berpisah dengan kesenanganku itu menyebalkan. "Kau tetap di sini. Jangan keluar, tunggu aku kembali." Tanpa basa-basi aku memberi berbagai perintah pada wanita yang tampilannya lebih modis sekarang. "I, iya, Tuan." "Jangan melakukan pekerjaan apapun. Aku tak rela tubuh indahmu rusak. Serahkan semua pada asisten. Ingat, kau hanya boleh masak untukku." "I, iya, Tuan." Benar-benar membingungkan. Mengapa tak pernah memberi sanggahan atau apalah yang biasa Arsela lakukan? Pasif sekali dia, padahal aku tak sekejam itu padanya. Tak bicara bila tak ditanya. "Ada yang mau kau tanyakan?" "Apa ak
ARSELA Jika ditanya pernah bahagia hidup dengan orang yang tak dicintai? Pernah. Aku pernah merasakan kebahagiaan itu. Namun, semua lenyap entah ke mana. Di awal pernikahan, memposisikan diri menjadi istri yang baik, menerima kekurangan dan kelebihan pria yang telah sah menjadi suamiku. Kini, semua menghilang ... melebur seiring berjalannya waktu. Tak ada lagi tampang dengan senyum manis itu, semenjak dia disibukan dengan segudang pekerjaan. Waktu untukku seakan tak tersisa. Jangankan memberi kabar, pulang keperaduan sendiri saja seakan lupa. Bahkan diri ini tak pernah lagi terjamah hangatnya sentuhan. Berbaur dengan sekelompok wanita sosialita terglamor di kelasnya, yang memiliki kehidupan sama denganku. Mencari kesenangan tiada batas, sekedar mengusir sepi dan mereguk kebahagiaan semu. Sang mantan kekasih, kerap kali mengajak bertemu, mencari tahu kehidupan Roger. Bram orang yang tak pernah menyerah, meski dia tahu, statusku kini sebagai istri orang. *** Telinga menangkap de
ARSELALelaki tampan yang sudah lima tahun mengisi palung hati. Jalinan cinta kami tak berakhir dengan perubahan statusku sebagai nyonya Alvendo. Perhatiannya selalu ada untukku. Dia tak pernah lelah mengejar dan menggodaku. *** Sebuah pesan masuk ke ponsel. Membuka pesan WAG wanita sosialita penikmat kesenangan dunia. Mereka mengajak bertemu di sebuah club malam. Melirik benda yang menggantung di dinding kamar, sudah pukul 22.30 WIB. Tak peduli selarut ini, aku pasti datang. Menaburkan berbagai make up mahal, bersolek seelok mungkin. Penampilan tak kalah glamor dengan model papan atas. Mengenakan barang-barang mewah pemberian Roger, jam tangan berlapis emas, cincin bertahta berlian, dan beberapa perhiasan lainnya. Mengenakan pakaian Off-Shoulder Top, warna merah menyala, kontras dengan warna kulit putih mulus tanpa cacat. Menonjolkan bagian atas dada hingga leher. Kupadupadankan dengan rok mini, memperlihatkan kaki jenjang hingga paha yang terpampang jelas. Sekali lagi mematut
SAFNA Inikah garis takdirku? Menjadi pemuas napsu dia yang bergelimang harta? Menjalani hari hingga minggu dalam rutinitas sama, pelayan ranjang sang tuan. Airmata telah habis seiring kepasrahanku akan takdir yang digariskan menjadi istri rahasia tuan. Melaksanakan semua maunya, tanpa bantahan. Rasaku, lelahku, bahagiaku, pedihku bukanlah pertimbangan. Semua harus berjalan seperti yang ia inginkan. Seminggu berjalan aku mulai beradaptasi dengan kehidupan baru ini. Hanya saja untuk menikmati sepertinya belum terjadi. Hari ini tuan akan pulang dan entah kapan kembali. Sebelum keberangkatannya kami sarapan terakhir kali. Meski tetap tanpa obrolan, suasana tak lagi mencekam seperti sebelumnya. Sesekali pandangan kami bertemu, lepas itu selalu aku yang tertunduk malu. Kadang jari kami bersentuhan, aliran hangat langsung menjalari raga. Kubiarkan tuan meremasnya hingga ia yang melepaskan. Aku mengantarnya hingga sampai di depan sedan hitam yang pasti sangat mahal harganya. Sisi hatik
SAFNA"Mak, semua barang pemberian si Rey, keluarkan, bakar sekalian!" Amarah abah meletup-letup, bagai gunung memuntahkan lahar panas. Emak langsung menuruti perintah abah. Barang yang bersangkutan dengan Reyhan dikumpulkan jadi satu. Aku mencoba meraupnya. Namun, abah menahan tubuh ini. "Emak, jangan, Mak! Aku meronta dari cengkraman abah, meraung histeris. Berusaha mengejar emak yang membawa semua barang pemberian Reyhan. Abah mendorong tubuhku, lalu mengunci pintu, membiarkan aku histeris di dalam kamar sambil menggedor tiada henti. "Abah ... buka pintunya, kumohon! Emak jangan dibakar barang-barang dari Rey ...." Teriakan dan tangisku sama sekali tak meluluhkan hati keras mereka. Bersimpuh di atas lantai bersandar pada pintu, gedoran semakin melemah. Satu jam terkukung di kamar meratapi kesakitan, ditemani rinai bening yang berhamburan tiada henti. Maafkan aku Rey, entah bagaimana nanti menghadapimu. Kau pasti membenciku. *** Kenangan tentang Reyhan mulai kukubur seiring a
ROGER "Arsela! Mau ke mana?" Pukul sebelas malam kulihat Arsela berdandan, melangkah cepat-cepat menuruni tangga. Keterlaluan! malam-malam masih saja mau keluyuran. Bukannya menjawab, wanita batu itu malah berlari menuju mobil yang terparkir di halaman. Hanya butuh semenit untuk menarik tangannya di teras. Kilatan tajam itu beradu dengan sorot menekanku. Dihempaskan tangan ini dan pergi setelah membanting pintu. Amarah ini memuncak temboklah yang jadi sasaran. Wanita itu benar-benar bebal. Kalau saja tak terkurung penjara papi, sudah kuceraikan sejak dulu. Kubanting guci keramik yang terlewati. Tak dihargai sebagai suami itu menggaris luka pada harga diri. Entah apa yang dikerjakan malam ini. Mabuk, judi atau bercinta dengan para bajingan? Mungkin saja. Damm! *** Kubuka pintu kamar yang tak dikunci penghuninya. Bau alkohol menyengat indera penciuman. Tidur telungkup dengan kaki yang masih memakai heels. Gelengan kepala tak dapat kutahan melihat kondisi menyedihkan di depan
ROGERSenyum lebar wanita bergincu tebal itu musnah. Begitu juga dengan dua lelaki manja di sampingnya. Malas membahas proyek, aku memilih tak meneruskan pembicaraan. Papi pun seolah paham, lalu mengalihkan pembicaraan. "Apa sudah ada tanda-tanda isi, Arsela?" Seperti ingin balas dendam, nenek penyihir itu melontarkan kata-kata yang membuat Arsela tersedak. "Sudah." Arsela menoleh sekilas, menyorotkan tanya yang tak segera kujawab. "Benarkah? Syukurlah. Akhirnya aku punya cucu!" Jelas, terpancar kilat bahagia di raut yang beberapa bagian sudah mengerut itu. "Kau harus lebih menjaga Arsela, Roger. Ibu hamil harus lebih diperhatikan. Aku tak mau dengar Arsela keguguran." "Iya, Pih." Tak sulit mengelabui pria tua itu. Urusan ke depan, belakangan saja kupikirkan. Yang penting menyelamatkan muka dari mulut beracun wanita munafik itu. Aku tahu Arsela tak mungkin hamil karena sudah tak disentuh selama delapan bulan. Namun, tenang saja, ada Safna. Kalau dia hamil anak itu yang akan
ARSELA Roger kembali tak pulang di hari Sabtu dan Minggu. Entah kemana dia pergi. Masa bodohlah! Aku malah senang tak harus makan semeja dengan lelaki salju itu. Sejak bangun, tubuhku agak aneh. Lemas, mual dan kepala rasa berputar. Menarik kembali selimut berharap mereda ketidaknyamanan ini. Sialan! Kenapa makin mual, sih? Apa harus minum sesuatu untuk meredakan atau tidur lagi saja. Di tengah upaya menepis rasa tak enak, terlintas dalam ingatan siklus bulananku belum menyapa. Menyibak selimut, lalu duduk. Tidak ... itu tidak mungkin! Mengenyahkan pikiran, bahwa aku hamil. Bram, hanya dengannya aku melebur hasrat, tetapi dia selalu bermain aman. Jadi, tak mungkin aku hamil. Untuk menghilangkan penasaran, meminta ART membelikan aku selusin tespack. "Yang paling bagus ya, Bik," ucapku, memberikan beberapa lembar uang seratusan ribu. Tak berapa lama Bik Inah kembali, kuselipkan di tangannya uang sisa kembalian sebagai penutup mulut. Tespack pertama, dua garis biru. Shit ... In