Pagi di rumah O’Neil, suasana hangat, tapi Maia gugup ingin mengatakan sesuatu.
Juan sedang membaca berita pagi lewat tablet saat Maia datang dengan dua cangkir kopi dan wajah sedikit gelisah.“Sayang... boleh aku bicara sebentar?”Juan menoleh, melihat ekspresi Maia yang tidak seperti biasanya.“Kalau itu soal rekaman single baru atau pemotretan, jawabannya tidak. Kau belum boleh keluar, banyak paparazzi mengintai,” ucapnya sambil tersenyum menggoda.Maia menggeleng sambil menarik napas.“Bukan, ini serius. Aku… ingin ikut kelas latihan menembak.”Juan langsung menaruh tablet, menatap istrinya tajam, “Apa?”Maia duduk, menatapnya lurus, “Setelah semua yang terjadi aku tidak bisa tidur tenang. Aku sudah ikut kelas bela diri, dan aku bersyukur kau izinkan,”“Tapi aku sadar kadang kita perlu sesuatu yang lebih dari sekadar teknik tangan kosong. Aku cuma ingin tMaia memandangnya sedikit lama sebelum tersenyum hangat dan tulus, setidaknya untuk ditunjukkan di permukaan.“Rose…” suara Maia lembut. “Aku juga rindu saat-saat itu. Hidup memang tidak bisa diputar ulang. Tapi kau kuat. Kau pasti bisa bangkit lagi.”Rose menatapnya lega. Gaya dramanya seperti naik lagi, “Terima kasih, Ruby. Apa kau masih mau memelukku?”Maia melangkah maju, merentangkan tangan dan memeluk Rose erat. Dan di saat itulah, bibir Maia bergerak pelan di dekat telinga Rose. Tanpa ada yang mendengar kecuali mereka berdua.“Kau kira kau siapa mau menyaingi aktingku?” bisikan Maia membuat mata Rose melebar.“Aku bersinar bagai bintang, tapi kau hanya setangkai duri yang sifatnya melukai. Kau pantas membusuk di sel, Jalang...”Telinga Rose langsung merah, bukan karena emosi, tapi karena seperti tersiram lava panas dari kalimat itu.Ia menahan napas, mempererat pelukannya agar ekspresi wajahnya tak berubah di depan Juan dan petugas.Maia tersenyum makin lebar saat melepas peluk
Hujan mengguyur pelan sore itu. Langit mendung seakan membawa kesan horor di tiap gang sempit sel narapidana.Di sana tampak sepi, karena semua tahanan sedang mengantri untuk makan malam yang jadwalnya lebih awal. Tapi, ada satu narapidana yang belum terlihat keluar dari sel-nya.Seorang wanita petugas lapas berjalan mendekat ke sel Madam Brenda. Tapi baru saja dia berhenti di depan sel, matanya harus terbelalak melihat pemandangan yang cukup mengerikan.“Nyonya Brenda?!” Teriakan panik terdengar dari lorong sempit blok khusus lansia. Petugas perempuan itu menjatuhkan nampan makanan yang ia bawa, membuat piring plastik dan sendok logam bergeming ke lantai, menimbulkan suara nyaring yang menggema.“Hai, kalian. Ke sini cepat! Ada yang aneh!” teriak sipir wanita itu.Petugas jaga yang mendengar teriakan itu langsung berlari ke sumber suara. Dua menit kemudian, koridor itu dipenuhi orang berseragam, semua terdiam menatap pemandangan tak lazim di dalam kamar kecil itu.Madam Brenda tergel
“Hey. Lihat aku. Fokus ke misi. Simpan semua pertanyaanmu untuk nanti. Oke?”Mata mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya, Juan merasa asing melihat mata istrinya sendiri.Sorot itu… bukan Ruby.Sorot itu seperti seseorang yang pernah membunuh dalam diam.Sorot itu… milik seorang prajurit.Juan mulai berlari ke arah yang ditunjuk. Maia menunggu beberapa detik lalu berbalik arah dan menyelinap ke sisi barikade. Dia sengaja menjauh.Bukan karena ingin kabur, tapi karena dia mulai mengira mungkin juga si pemburu itu mengincarnya, bukan Juan. Jadi Maia memisah, untuk meyakinkan anggapannya.“Kau cari aku? Ke arah sini, Bangsat!”Maia mengambil napas dalam-dalam, lalu berlari zig-zag, melompat ke atas salah satu peti kayu dan melempar senapan paintball-nya ke arah semak sebagai umpan.Tak lama kemudian, suara peluru tajam melesat, menghantam tempat senapan paintball itu jatuh. Tepat sasaran, tapi Maia sudah bergerak cepat ke sisi kiri, masuk ke lorong sempit di antara barikade.Dan saa
Juan duduk sendirian di ruang kerjanya yang sunyi. Satu tangannya menopang dagu, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk meja pelan, tidak berirama, tanda pikirannya sedang tidak tenang. Dia kembali mengingat ulang insiden penculikan itu. Pembawaan Ruby seperti bukan wanita lemah lembut yang bertahun-tahun di rumah. Bukan hanya sekedar refleksi diri karena baru ikut kelas bela diri. Hanya, Juan merasa wanita itu bukan Ruby yang ia kenal. Ruby yang dulu seolah menjadikan kamarnya adalah dunia. Tapi sekarang? Setiap langkah Ruby seperti bukan orang yang baru melihat dunia luar. Dia yang ini seperti… ‘Ah, aku pusing.’ Itulah isi pikiran Juan saat ini. Dia mematikan laptop lalu menggosok wajahnya kasar. "Aku yang sudah gila atau dia yang berubah total?" Dan bukan cuma sekali dua kali. Setelah itu, Ruby tiba-tiba rewel ingin ikut kelas menembak. Katanya supaya bisa menjaga diri. Juan sempat menolak, tapi yang membuatnya benar-benar merinding adalah kejadian di wahana virtual game te
Wahana permainan tersebut terdiri menjadi tiga bagian. Area permainan dalam ruangan, wahana permainan luar ruangan, dan terakhir adalah akuarium raksasa bawah air.Maia berjalan sesuai keinginan Leo yang lebih tertarik untuk melihat pemandangan laut dengan dekat. Bukannya Leo tidak pernah mendatangi tempat seperti itu sebelumnya, tapi kali ini begitu berkesan dan membuatnya sangat bahagia karena datang bersama Maia.Suasana yang seperti ini merupakan Family Time yang tidak pernah Leo rasakan sebelumnya. Merasakan bahagianya memiliki seorang ibu dan ayah yang menggandeng kedua tangannya. Dan Leo berharap kebahagiaan ini akan selamanya ada dengan hadirnya sosok Maia untuknya.Lain yang dirasakan Leo lain pula perasaan Juan. Ia merasa bangga bersama seorang anak tampan dan istri yang begitu cantik. Dan benar, setiap mata yang memandang pasti takjub dengan pasangan serasi yang parasnya terukir sempurn
Pagi di rumah O’Neil, suasana hangat, tapi Maia gugup ingin mengatakan sesuatu.Juan sedang membaca berita pagi lewat tablet saat Maia datang dengan dua cangkir kopi dan wajah sedikit gelisah.“Sayang... boleh aku bicara sebentar?”Juan menoleh, melihat ekspresi Maia yang tidak seperti biasanya.“Kalau itu soal rekaman single baru atau pemotretan, jawabannya tidak. Kau belum boleh keluar, banyak paparazzi mengintai,” ucapnya sambil tersenyum menggoda.Maia menggeleng sambil menarik napas.“Bukan, ini serius. Aku… ingin ikut kelas latihan menembak.”Juan langsung menaruh tablet, menatap istrinya tajam, “Apa?”Maia duduk, menatapnya lurus, “Setelah semua yang terjadi aku tidak bisa tidur tenang. Aku sudah ikut kelas bela diri, dan aku bersyukur kau izinkan,”“Tapi aku sadar kadang kita perlu sesuatu yang lebih dari sekadar teknik tangan kosong. Aku cuma ingin t