Lani sejenak memandang Alzam. Rasa aneh dan canggung menjadi terasa di hatinya. Demikian juga dengan yang dialami Alzam. Padahal sebelumnya itu justru tak mereka rasakan.
"Aku mau sholat saja duluh dengan tayamum. Aku takut tiap pegang air selalu kedinginan."
"Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar mandi duluh. Aku mau wudhu, nanti sholatnya aku imami, ya."
Lani mengangguk. Lalu tayamum.
Alzam kemudian ke kamar mandi dan sebentar saja sudah kembali. Mereka pun segera berjamah. Ada yang sejuk dirasakan Lani saat mendengar ayat suci dilantunkan Alzam dengan fasihnya saat dia menjadi imam. Diam-diam Lani merasa jika benar dia dinikahi Alzam memang karena pria itu tak ingin melakukan dosa dengan terus bersamanya tanpa ada kata muhrim.
"Kenapa memandangiku?"
"Enggak, ghak apa-apa," sahut Lani bingung.
"Jangan terus memandangi aku, nanti kamu jatuh cinta sama aku."
"Aku takkan berani jatuh cinta padamu. Aku tau aku siapa. Hidupku telah hilang dibawa lelaki itu."
"Kenapa kamu berkata seperti itu?"
"Apa yang bisa membuatku berharap pada seorang lelaki agar mau menerimaku?" Lani mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh. "Aku harus segera sembuh. Uang untuk anakku sudah dirampas para biadab itu," ucap Lani dengan turun.
"Tunggu aku."
"Aku sebenarnya takut dengan air, tapi aku tak mungkin ghak buang air kecil. Tiap aku dari sana, aku selalu kedinginan."
"Kan kamu sekarang bisa bebas peluk aku kalau kamu dingin," goda Alzam dengan mengerling.
Lani mendengus sebal, terlebih melihat tatapannya yang masih mengingatkan dia pada seseorang. Entah apa ada hubungan atau sebuah kebetulan dia dengan orang itu, pikir Lani.
"Ternyata kamu lebih cantik saat memakai jilbab," puji Alzam dengan melihat pantulan Lani di cermin. Lani sampai ikut memperhatikan dirinya. Dan menilai pujian Alzam benar. Hinggah dia kemudian melepas kembali jilbabnya.
"Lho, kok dilepas, baru dibilang cantik."
"Biar aku tak terlihat cantik lagi di matamu."
"Lho, kok gitu, bukannya seorang istri itu harus terlihat selalu menarik di depan suaminya?"
"Iya, itu kalau nikahnya bener, lawong nikah kita aja udah ghak benar."
"Ghak bener mananya? Kita sudah sah."
"Ah, terserah kamu deh, Mas. Yang pasti jangan menuntut apa-apa dariku." Lani nampak terhuyung. Alzam segera menggendongnya ke kamar mandi. Mata mereka yang kemudian bertaut, membuat mereka tak bisa berpaling dari pandangannya.
"Tinggalkan aku, aku sudah di dalam."
"Enggak, aku akan tetap di sini saja."
"Mas,.. kamu normal kan?"
"Apa?" Alzam sampai terbelalak dengan pertanyaan Lani.
"Kalau masih normal, tinggalkan aku. Keluarlah."
"Sudahlah, aku ghak akan kenapa napa, kamu lekas kencingnya. Aku jagain, daripada kamu jatuh lagi kayak kemarin."
Lani mendengus. "Hadap sana," titahnya.
"Iya, iya."
Tak lama Lani sudah berdiri. Dengan kedinginan. Alzam kembali menggendongnya dan diletakkan di tempat tidur. Diselimutinya Lani dengan dipakaikan jilbab terlebih dahulu. Bibirnya yang mungil dan kemerahan bergetar menahan gemertak di badannya yang kedinginan. Alzam pun dengan tanpa beban lagi dengan memeluk Lani dari belakang hinggah Lani tertidur pulas
Lani yang terbangun duluan meletakkan tangan Alzam yang melingkar di pinggangnya. dibalikkannya badannya hinggah miring menghadap Alzam. Dipandanginya pria tampan dengan kulit putih yang kini mendengkur halus di depannya.
"Jangan biarkan aku jatuh cinta padanya, Tuhan. Aku bukanlah orang yang cukup berharga untuknya. Biarkan aku menerima kebaikannya, dan hanya sebatas itu," bathin Lani.
"Kamu sudah bangun?"
Lani kaget dengan suara yang tiba-tiba saja bersamaan dengan mata yang terbuka di depannya. Dia kemudian menunduk malu saat ketahuan dia tengah memperhatikan wajah Alzam.
"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam dengan menyimpan senyumnya untuk Lani yang pipi putihnya sampai kemerahan karena menahan malu. Dari tadi Alzam memang sudah tidak tidur saat Lani menatapnya.
Lani mengangguk.
Segera saja Alzam menggendongnya.
"Mas, turunin saja aku, aku mau jalan."
"Ghak usah, toh tubuh kamu mungil saja," ucap Alzam walau dia kini mengakui tubuh yang mungil itu kini membuatnya berdetak karena melihat keelokan padat tubuhnya dan lingkar dadanya. Ih, kenapa pikiranku sekarang jadi begini, guman Alzam dengan tak enak hati. Namun Alzam tak ingin istighfar dengan pikirannya. Bukankah dia telah halal untukku?
"Mas, kamu tinggalin aku di depan ya, sepertinya ghak berputar lagi kepalaku."
."Beneran?"
Lani mengangguk dengan menatap sekeliling yang sekarang sudah tak berputar lagi. Dia pun tersenyum dan membayangkan kesembuhannya.
"Baiklah kalau begitu. Syukurlah kamu berangsur baik."
Namun setelah tersentuh air, lagi-lagi Lani menggigil kedinginan. Padahal dia sudah senang dengan kepalanya yang enteng. Lani dengan cepat berjalan ke tempat tidurnya, dan menyelimuti dirinya dengan selimut tebal dengan sudah bisa duduk. Alzam segera menyusulnya dengan bermaksud mendekap Lani, namun ditahan oleh Lani.
"Aku tidak apa-apa, Mas. Jangan sering mendekapku." Lani memang merasa ada yang lain dengan diperlakukan Alzam seperti itu. Dan Lani tak ingin semakin terhanyut dengan perasaannya yang menurutnya tak pantas dia rasakan untuk siapapun. Terlebih untuk seorang Alzam.
"Tapi kamu menggigil."
"Kamu segeralah wudhu, Mas. Aku ikut sholat. Biar aku pakai kerudung saja biar dinginnya hilang di telingaku. Bukankah itu kata-katamu?"
"Pakailah mukenamu juga untuk sholat. Kamu sudah bisa sambil duduk kan?" Alzam sudah memakaikan mukena untuk Lani.
"Terimakasih. Mukenanya cantik," puji Lani pada mukena krem berenda keemasan itu.
"Sama cantiknya dengan kamu."
"Gombal lagi kamu, Mas."
Alzam terkekeh. Lalu segera ke kamar mandi.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Alzam ke Dandi setelah tiba di kantornya.
"Sepertinya dia,
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan. "Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya." Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari." Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini." Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?" Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok." Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se