"Memangnya apa dugaanmu?"
"Aku kira orang-orang itu sudah sampai memperkosanya dan menularkan penyakit tertentu."
"Syukurlah tidak, setidaknya aku bisa lega," ucap Alzam dengan tersenyum. "Hari ini puyengnya sepertinya mulai hilang. Hanya rasa dinginnya yang sepertinya belum pulih."
"Tenaganya terkuras waktu melarikan diri itu. Terlebih dia harus melawan arus sungai yang lagi deras-derasnya."
"Setidaknya dia bisa diajak bicara dan mulai mempercayai aku. Tidak seperti saat awal-awal duluh yang seperti membenciku."
"Kamu tidak bertanya kenapa dia seolah membencimu dengan mengatakan mata dan tatapanmu itu mengingat dia pada seseorang yang teramat dia benci ?"
"Aku takut itu bisa mengusik masa lalunya yang sesungguhnya ingin dia buang."
"Bener juga kamu, Kep."
" Aku tak bisa membayangkan kehidupan apa yang telah dialaminya. Saat masih SMA telah mengalami pelecehan dan bahkan harus melahirkan anak dari orang itu. Lalu dia berjuang mati-matian dengan menghidupi anaknya dengan menjual gorengan di pertokoan."
"Dia bercerita padamu?"
"Tidak. Tapi pada Mbok Sarem. Dialah yang menuturkannya padaku."
"Asal kamu jangan terlena saja. Nanti kamu jatuh cinta sama dia." Dandi terkekeh.
"Tak taulah, Dan." Alzam seolah menyerah dengan kata-kata itu tanpa berani mengatakan pada sahabatnya, termasuk mengatakan kalau dia telah menikahi Lani walau itu nikah siri dan tak terjadi apapun diantara mereka seperti layaknya suami istri.
"Sekali lagi aku ingatkan, jangan main api. Kehidupanmu, masa depanmu sudah dipastikan."
Alzam hanya terdiam.
"Jika sembuh, apa rencananya?"
"Katanya dia mau cari kerja untuk menghidupi anaknya."
"Kamu kan bisa menyuruh dia bantu-bantu di usahamu itu, toh katanya dia otaknya encer sampai mau dapat jalur beasiswa ke universitas. "
"Bener juga kamu, Dan. Lagipula selama ini aku juga kesulitan menghandel semuanya. Apalagi kalau pas panen membludak dan pesanan juga berdatangan. Aku sampai jarang tidur ngurusi itu usaha."
"Semoga cepat sembuh, dan dia tak lagi terlunta-lunta di jalan dengan bisa bekerja di tempatmu."
Alzam mengangguk. Setidaknya ada alasan untuk menahannya agar tak jauh dariku, bathinnya dengan menyimpan senyum, senyum yang kemudian menghiasi wajahnya sampai dia tak sadar ada yang menyapanya.
"Siang, Kapten!"
Alzam sudah tak dapat mendengar sapaan lain lagi, selain bayangan Lani untuk dia segera pulang. Namun saat dia sampai di kamar Lani, dia tak mendapati wanita itu di sana. Dengan panik dia mencarinya.
"Ke mana Lani, Mbok?"
"Itu, duduk di sana, Mas." Jari Mbok Sarem menunjuk ke arah taman di samping rumah.
Alzam membuang nafasnya yang seolah tadi berhenti karena dikiranya Lani telah pergi.
"Dia berjalan sendiri ke sana?"
"Iya, alhamdulillah, Mas. Walau dengan masih agak sempoyongan."
Alzam berusaha mendekat ke Lani. Wanita yang menggerai rambutnya yang sepunggung itu, masih sibuk menatap bunga-bunga yang berjejer di taman rumah Alzam. Sejenak Alzam menata hatinya yang berdetak tak karuan, terlebih saat Lani kemudian menoleh dan tersenyum padanya.
"Terimakasih, bajunya bagus. Bisa pas di badanku. Maaf, aku belum bisa pakai kerudungnya."
"Kan aku sering menggendongmu, jadi aku tau seberapa mungilnya badanmu itu," ucap Alzam yang disambut dengan senyum Lani yang seolah merasa terejek. Padahal dengan tinggi badannya yang 157cm dia tak merasa menjadi orang yang kecil sekali. Hanya saja jika dibandingkan dengan Alzam yang tingginya 175cm dengan bentuk badan proporsional, dia memang terlihat mungil.
"Kepalamu sudah baikan?" tanya Alzam dengan menata hatinya yang berdetak. Dilihatnya Lani begitu cantik dengan dandan tipisnya.
"Heem."
"Lalu, kamu kok udah dandan cantik, emang kamu udah bisa mandi?'
"Belum, hanya seko saja. Tadi minta Mbok Sarem air hangat. Maaf aku memakai bedak yang kauberi itu. Rasanya ghak enak ghak pakai bedak jika sudah mandi sore, walau cuma seko."
"Itu memang untukmu," ucap Alzam tentang satu set kosmetik yang dia beri di hari pernikahan mereka.
"Terimakasih. Kayak menikah sungguhan saja. Pakai alat make up segala. Aku bahkan sampai sekarang tak pernah mengangankan sebuah pernikahan."
"Setiap orang berhak berangan."
"Tapi itu bukan untukku," ucap Lani lalu tersenyum, senyum yang datar. Bukan senyum yang dimiliki Alzam yang sekilas membayangkan Lani di barisan prosesi pedang poranya, dan menggandengnya.
"Ah, ya,.. kenapa mencariku?" tanya Lani.
"Aku hanya pastikan kamu baik-baik saja."
"Aku sudah baik-baik saja. Mungkin ghak akan lama lagi aku akan sembuh. Terimakasih untuk selama ini merawatku. Setelah ini aku akan pergi dan bisa memulai hidup aku kembali. Agar anakku bisa tetap di sekolah yang aku ingin."
"Bagaimana kalau aku menawari sesuatu?"
Lani menatap Alzam.
"Kamu bisa membantuku mengolah pengolahan jeruk nipis. Minggu depan kayaknya ada panen lagi."
"Yang penting aku dapat kerjaan. Terimaksih."
"Syukurlah kamu mau. Aku suka bingung kalau pas dinas lama."
"Kamu juga kenapa, sudah enak jadi TNI, merintis usaha juga."
Alzam terkekeh. "Menjadi TNI adalah impianku sejak kecil. Keren saja lihat orang berseragam. Namun keluargaku dari pengusaha. Abi Exportir untuk komuditas Hortikultura. Demikian juga dengan masku," ucap Alzam dengan sedih.
"Kamu punya Mas?"
"Heem. Sayang, dia telah pergi mendahului kami belum lama ini," ucap Alzam dengan mata mengaca. "Kami begitu dekat. Dia yang duluh mensupport aku untuk meneruskan cita-cita militerku di saat semua orang menentangku. Kami sering pergi bersama. Bahkan orang sering melihat kami seolah saudara kembar."
"Masmu exportir?" tanya Lani dengan suara bergetar sambil terus menatap Alzam yang mengangguk. Mata itu? Apakah dia,..
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan. "Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya." Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari." Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini." Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?" Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok." Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se