Riuh tepuk tangan mengiringi langkah anggun perempuan yang berjalan dengan elegan itu. Ines yang tak tahan, turut berdiri. Hatinya sakit. Akal sehatnya sudah terpinggirkan. Dia berjalan keluar dari deretan tempat duduknya dan setengah berlari menghampiri Arlan dan perempuan itu yang baru saja berdiri bersisian di atas forum. Jika hatinya harus hancur, dia tak mau hancur sendirian.
Ines tak peduli ketika dia melewati tempat kakak iparnya duduk, mereka memanggilnya. Dia menuju panggung menghampiri dua pasang mata yang kini menatap ke arahnya.“Siapa dia, Sayang?” Aniska berbisik pada Arlan. Dia memandang Ines dengan tatapan heran. Sementara itu, Arlan menelan saliva. Kenapa Ines bisa datang, bukannya dia sudah meminta agar Ibu dan kakaknya jangan ada yang mengajaknya.Belum sempat Arlan menjawab, Ines sudah berdiri di atas panggung. Dia menatap Arlan dengan mata mengembun.“Mas, jelaskan padaku siapa dia?! Kenapa kamu menyebutnya perempuan istimewa? Bukankah aku yang istrimu? Kenapa bukan namaku yang kau sebut untuk menemanimu di sini?!” Suara Ines gemetar. Hatinya yang panas mengesampingkan rasa malu. Terserah orang mau mencemoohnya apa, yang penting dirinya mendapat kejelasan.“Hey, Mbak! Tolong, ya jangan buat keributan! Jangan ngaku-ngaku istrinya Mas Arlan. Mbaknya kayaknya salah orang, deh!” Aniska tak terima ada perempuan asing yang tiba-tiba datang mengakui Arlan sebagai suaminya.Ibu mertua Ines, Mirna dan Erna sontak berdiri. Mereka tak mau Arlan dipermalukan seperti ini. Ibu membisikkan sesuatu pada dua putrinya, setelah sepakat, mereka bergegas maju ke depan.Pembawa acara yang terkejut langsung menghampiri ketiga orang yang tengah bersitegang itu. Dia meminta agar urusan keluarga bisa diselesaikan di rumah dan jangan dibawa ke tempat acara. Namun dua perempuan itu tak menggubrisnya.Penghuni gedung mendadak riuh, saling berbisik dan saling menebak. Para petinggi perusahaan yang masih tersisa tergesa memanggil panitia. Mereka tak mau acara perhelatan akbar ini harus kacau hanya karena permasalahan sebuah keluarga.“Mbak yang terhormat, coba kamu tanya sama lelaki yang ada di samping, Mbak! Tanyakan padanya siapa aku? Aku gak mungkin salah orang. Aku ini istrinya Mas Arlan, Mbak! Tolong jangan jadi duri dari rumah tangga kami!” Ines menatap Aniska dengan air mata yang sudah mulai luruh.“Mas, tolong jelaskan! Siapa dia? Kenapa dia ngaku-ngaku jadi istri kamu?” Aniska menoleh pada Arlan yang mematung kaku. Seketika kepala Arlan mendadak berdenyut nyeri, tak mampu mengurai benang kusut yang ada di depannya saat ini.“Ahm, dia-” ucapnya tersendat.“Dia itu pembantu baru di rumah kami! Maaf semuanya sudah membuat suasana jadi tak nyaman! Kebetulan dia memang mengalami sedikit gangguan mental karena ditinggal nikah lagi sama suaminya! Maaf, ya, semua!” Retno---ibu mertua Ines memotong omongan Arlan. Dia tak mau nama baik putra kesayangannya tercoreng. Terlebih di depan mereka ada Aniska. Bisa-bisa Arlan nanti dikeluarkan dari pekerjaan kalau tahu kejadian yang sebenarnya. Bagaimanapun, ayah Aniska lah yang berjasa mengusahakan Arlan agar masuk di divisinya.“Ibu? Kenapa Ibu tega bicara seperti itu?” Ines menoleh pada tiga perempuan yang baru naik ke atas panggung. Ibu mertua dan dua kakak iparnya berjalan dengan anggun menghampirinya.“Ines, sudah! Ayo pulang! Jangan buat malu di sini!” Mirna menarik tangan Ines.“Enggak, Mbak! Aku gak akan pulang sebelum Kalian jelaskan semua ini! Kenapa kalian begitu jahat?! Apakah aku di mata kalian hanya dianggap sebagai pembantu! Apa semua janji kalian di depan Ibuku hanya omong kosong! Apa kalian malu mengakui aku yang memang berasal dari kampung ini sebagai keluarga kalian?! Aku gak terima kalian perlakukan seperti ini!” pekik Ines. Kendali akan dirinya sudah menghilang.Dua orang security yang dipanggil panitia akhirnya tiba di atas panggung. Mereka meminta semuanya bubar. Karena Ines yang dianggap biang keributan. Akhirnya dengan kasar mereka menyeret Ines keluar.“Pak, tolong jangan perlakukan saya seperti ini! Saya bukan orang gangguan mental seperti yang mereka katakan! Tolong, Pak! Saya hanya ingin mengungkap kebenaran!” Ines meronta meminta lepas.“Mbak, mohon maaf. Ini perintah dari panitia. Kami tak tahu masalah Mbak apa, tapi tolong selesaikan di rumah! Jangan merusak acara orang, Mbak!”Ines sudah kehabisan kata-kata. Hanya air mata yang luruh berderai dari dua kelopak matanya. Rasanya begitu sakit diperlakukan serendah ini.“Mbak, tolong jangan buat keributan lagi, ya! Lebih baik Mbak pulang saja!” tukas security itu setelah tiba di luar gedung.Ines abai. Dia berjalan menuju keluar pagar hotel lalu duduk di tepi jalan. Dia tak mau pulang, dia hendak menunggu Arlan keluar dan meminta kejelasan semuanya. Jika memang benar dirinya hanya dianggap pembantu, lebih baik dia pergi. Pembantu pun digaji bukan hanya diperas dan dimanfaatkan.Selama dia di rumah mertuanya, semua pekerjaan adalah tanggung jawabnya, memasak, membersihkan rumah, bahkan tiap malam bergantian dua kakak iparnya itu meminta dipijat padanya. Kebetulan memang pernah ikut belajar memijat di ibunya Mang Karman yang dulunya dia biasa menjajakan ikan asin. Begitupun Arlan, setiap malam sebelum dia pergi pasti minta dilayaninya, meskipun belum sampai melakukan hubungan suami istri karena memang dia sedang berhalangan. Namun sentuhan-sentuhan fisik sudah dirampas oleh Arlan.Dia terduduk seraya memandang pintu masuk acara. Berharap segera acaranya bubar dan dirinya akan segera membuat perhitungan. Juga tentang Aniska yang saat ini dia belum tahu siapa perempuan itu bagi Arlan. Mungkinkah istrinya? Ataukah hanya simpanan? Ines ingat ketika hendak menikah, di KTP Arlan masih tertulis lajang, meskipun memang mereka belum meresmikan ke KUA karena beberapa alasan yang Arlan kemukakan. Katanya nanti saja ngurusnya ketika Ines sudah ikut dengannya dan akan diurus di kota.Ines tepekur seraya memeluk lutut di trotoar depan hotel yang langsung terhubung ke jalan raya. Hilir mudik kendaraan dia abaikan. Dirinya butuh kepastian secepatnya untuk memutuskan langkah selanjutnya.Dari arah depan, sorot lampu sebuah mobil sport mewah memantul ke wajahnya. Namun karena Ines menunduk sambil menangis, dia pun tak hiraukan. Hingga mobil itu berhenti di dekatnya dan kaca mobil depan terbuka perlahan. Ines masih menunduk menyembunyikan wajahnya.Ines tepekur seraya memeluk lutut di trotoar depan hotel yang langsung terhubung ke jalan raya. Hilir mudik kendaraan dia abaikan. Dirinya butuh kepastian secepatnya sebelum kesuciannya pun direnggut oleh suami bajingannya itu. Dari arah depan, sorot lampu sebuah mobil sport mewah memantul ke wajahnya. Namun karena Ines menunduk sambil menangis tak dia hiraukan. Hingga mobil itu berhenti di dekatnya dan kaca mobil depan terbuka perlahan. Tanpa Ines sangka, seorang lelaki turun dan menyimpan sesuatu di depannya. Sontak Ines mendongak dan menatap lelaki dengan kumis tipis itu. Kedua mata mereka bersirobok. Ines menautkan alis seraya mengalihkan pandang pada kresek warna hitam yang ada di depannya.“Apa ini, Bang?” tanya Ines. Ya, usia lelaki itu sepertinya tak terpaut jauh darinya.“Buat Mbaknya makan! Tadi punya Pak Langga ketinggalan, pas saya tanyakan katanya suruh kasihin sama yang membutuhkan saja!” tukasnya sopan. Ines terdiam, rupanya dirinya dikira pengemis oleh lelaki itu. Nam
Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan. Mobil itu berhenti di depan garasi yang masih tertutup. Ibu mertua dan dan para kakak iparnya turun. Mereka tampak saling melirik. Ines sudah bersiap untuk menyerang jika sumpah serapah serta makian dia dapatkan. Namun salah dugaan Ines, Retno menghampiri dan memeluknya. “Maafin Ibu, Nes! Maafin Ibu! Tadi itu, Ibu hanya tak punya pilihan,” bisiknya. Mirna dan Erna pun turut menepuk lembut bahunya yang sedang dalam pelukan Retno. Sementara itu, Gugun dan Erda---suami Mirna dan Erna langsung membuka kunci pintu dan masuk ke dalam. Ines mematung, padahal dia sudah bersiap membela diri ketika ibu mertua dan para kakak iparnya menyerang. Namun semua dugaannya salah. Mereka
Wajah Ines memucat ketika Arlan mendekat. Bahkan wajah mereka nyaris tak berjarak. Hembusan napas Arlan yang mulai memburu dipenuhi birahi menghembus menyapu wajahnya. Ines sekuat tenaga mendorongnya agar suaminya itu menjauh. “Mas, aku masih halangan! Jangan sentuh aku!” Ines berkilah. Padahal baru saja dia bersuci. “Oh, gitu! Biar aku periksa sendiri!” bisik Arlan seraya menyentuh hujung handuknya yang menjuntai. Namun Ines menepis tangan itu kasar. Sudah tak peduli lagi tentang dosa, tentang laknat malaikat ketika menolak keinginan sang suami. Otak Ines sudah dipenuhi kebencian pada sosok yang kini mengkungkungnya itu. “Kamu itu harus nurut. Aku ini suamimu, Sayang!” tekan Arlan. “Iya aku akan nurut tapi pada suami yang seperti apa dulu? Bahkan kamu tak menghargaiku sebagai istrimu!” pekik Ines. Kedua tangannya sekuat tenaga mendorong dada Arlan. Namun lelaki itu malah menangkapnya. Lalu tanpa Ines sangka, Arlan membopong tubuhnya dan membawanya ke atas tempat tidur. “Lepas
“Istrinya Mas Arlan? Kapan mereka menikah, Ma? Bukankah ketika Mas Arlan menikahiku status di KTP-nya masih lajang?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Rupanya perempuan itu istri dari suaminya. Retno tersenyum mencoba tetap bersikap ramah. Dia mengelus punggung Ines yang duduk disisinya. Lalu dia meraih jemari Ines dan menggenggamnya. “Nes, dengarkan Ibu! Kamu adalah menantu kesayangan Ibu di sini! Kamu akan tetap menjadi menantu Ibu seperti janji Ibu pada Ibumu. Kamu akan selamanya di sini dan bahagia bersama Arlan!” ucapnya. Alih-alih menjelaskan, tetapi hanya berputar membuat Ines menghembuskan napas kasar. “Bu, tolong! Ines butuh penjelasannya!” Ines menatap pada kedua manik hitam Ibu mertuanya. “Hmmmm!’ Dia berdehem lalu menunduk sebentar. Setelah itu menarik napas panjang. Kedua bola matanya menatap Ines tajam. “Dia itu istrinya Arlan, maafkan kami yang tak menjelaskan apapun padamu! Namun seharusnya yang marah itu dia kalau tahu Arlan menikahimu karena kamu istri kedua
Otaknya yang tengah kalut tak bisa berpikir jernih. Berada dalam keadaan yang tak menyenangkan membuat Ines semakin merasa tertekan. Dia beranjak berdiri dan berjalan mendekati jendela. Menatap keluar dengan pandangan kosong. Berharap ada pangeran berkuda putih yang datang mengeluarkannya dari penjara itu. Namun semua asa itu hanya taburan harap belaka, pada kenyataannya kini dia tengah terkurung di rumah suaminya sendiri. “Kapan aku bisa hidup dengan kebahagiaan, ya? Rasanya dari kecil hanya pedih, sedih dan luka saja ….” Ines memejamkan mata. Membiarkan hembusan angina menyapu wajahnya. Menyelinap dari jendela yang terbuka. Andai tak ada trails yang menghalanginya, mungkin dia sudah melompat saja. Meninggalkan rumah yang semakin hari semakin membuatnya gerah. Berulang kali dia mengecheck pintu, tetapi masih saja terkunci dari luar. Sepertinya anak kuncinya sengaja tak dilepas, jadinya anak kunci yang dia pegang menjadi tak berguna. Hanya bisa masuk, tapi tak bisa berputar. “Ak
Ines mengerjap. Pengaruh obat bius yang diberikan Arlan padanya sudah lenyap. Namun alangkah kagetnya dia ketika terbangun, dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan tanpa sehelai benangpun. Pakaiannya berserakan di lantai. Selain itu ada rasa sedikit nyeri yang terasa perih di inti tubuhnya dan bercak darah para seprai di sekitar tempatnya terbaring. “Enggak, aku enggak relaaa!!!” Ines memekik seraya menjambak rambutnya yang terurai. Dia menarik selimut menutupi tubuh polosnya. Ines melempar-lemparkan bantal dan apa saja yang ada di dekatnya. Amarah memuncak, dirinya mulai membenci takdir yang tak berpihak. Hatinya hancur berkeping ketika mendapati kesucian yang selama ini dia jaga sudah direnggut paksa oleh lelaki yang bergelar suami, tetapi bukan seorang imam seperti impiannya. “Tuhan, apa aku serendah itu di mata-Mu? Bukankah sejak kecil aku sudah Kauerikan kesusahan, hidup kekurangan, Bapak ditabrak orang lalu sakit-sakitan, hidup aku dikucilkan dan pedih sejak dulu? Ke
“Hah, besok? Kenapa saya kebagian yang pertama, sih, Mbak?” protes Arlan pada sekretaris Airlangga. Bahkan dia belum tahu kondisi Ines sekarang. Semoga besok istrinya itu tak membuat kekacauan. “Bos tahu kalau Pak Arlan tinggal serumah dengan Pak Erda dan Gugun! Jadinya besok mau visit pertama ke sana, biar memangkas waktu. Sebentar lagi dia pergi lagi ke luar negeri lagi soalnya!” tukas Miati. “Iya deh, iya! Makasih ya, Mbak Mia!” Arlan akhirnya mengangguk pasrah. Segera dihampirinya Gugun dan Erda yang memang berbeda bagian. Rupanya dia sudah menelpon Retno dan memberitahunya untuk acara besok, sehingga Erna dan Mirna sudah pergi keluar untuk berbelanja. *** Ines sibuk membereskan satu kamar tamu lagi yang bersebelahan dengan kamar yang biasa ditempati olehnya dan Arlan. Dia tak punya pilihan selain tinggal setidaknya tiga bulan sepuluh hari di rumah itu. Terpaksa dia menepis keinginan untuk pergi meninggalkan rumah yang kini terasa mencekam itu sementara waktu. Ines takut j
Ines memasak semua bahan yang sudah dibeli oleh kedua kakak iparnya. Keringat sudah mengucur membasahi pelipis ketika semua sudah hampir selesai. “Duh, Mah kok jadi kayak gini, ya?” Terdengar suara Mirna dari arah ruang tengah menuju dapur. Ines tetap fokus pada pekerjaannya yang sebentar lagi akan beres. “Mamah juga sama, Mir! Kamu gak lihat ini leher, tangan sama kaki Mama beruntus semua? Merah-merah, gatal sama pedih banget!” Suara Retno menimpali. Ines tetap bergeming. Hanya sudut matanya sesekali melirik kedua orang yang tampak memeriksa dan mencicipi hasil masakannya. Andai bukan buat tamu, mungkin Ines sudah campurkan dengan obat pencuci perut biar semua kapok memakan makanan yang dimasaknya. Namun Ines masih waras, ada orang lain yang tak bersalah yang akan kena juga. “Mamah sih, mending mukanya enggak! Aku malah malu, Ma! Mukaku bintik-bintik merah seperti ini!” keluh Mirna lagi. “Ya sudah kamu pakai masker saja nanti kalau malu!” Terdengar saran Retno untuk Mirna. “Uda