Share

Bab 5

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2022-08-22 10:21:37

Ines tepekur seraya memeluk lutut di trotoar depan hotel yang langsung terhubung ke jalan raya. Hilir mudik kendaraan dia abaikan. Dirinya butuh kepastian secepatnya sebelum kesuciannya pun direnggut oleh suami bajingannya itu. Dari arah depan, sorot lampu sebuah mobil sport mewah memantul ke wajahnya. Namun karena Ines menunduk sambil menangis tak dia hiraukan. Hingga mobil itu berhenti di dekatnya dan kaca mobil depan terbuka perlahan.

Tanpa Ines sangka, seorang lelaki turun dan menyimpan sesuatu di depannya. Sontak Ines mendongak dan menatap lelaki dengan kumis tipis itu. Kedua mata mereka bersirobok. Ines menautkan alis seraya mengalihkan pandang pada kresek warna hitam yang ada di depannya.

“Apa ini, Bang?” tanya Ines. Ya, usia lelaki itu sepertinya tak terpaut jauh darinya.

“Buat Mbaknya makan! Tadi punya Pak Langga ketinggalan, pas saya tanyakan katanya suruh kasihin sama yang membutuhkan saja!” tukasnya sopan. Ines terdiam, rupanya dirinya dikira pengemis oleh lelaki itu. Namun, demi mendengar nama Airlangga disebut, akhirnya Ines mengangguk seraya mengucap terima kasih.

“Baik, makasih, Bang!” tukas Ines seraya meraih kantong plastik itu.

“Iya, Mbak! Itu pasti enak, walau belinya di pinggir jalan, tapi itu satu-satunya makanan favorit Pak Langga yang tak pernah terlewatkan kalau pas ke Indonesia!” tukasnya seraya tersenyum.

Ines mengangguk. Tak lapar sebetulnya, jangankan merasakan lapar. Yang ada batinnya sedang panas. Namun sekali lagi, nama Airlangga menjadi alasannya menerima bungkusan dalam plastik warna hitam itu.

“Makasih banyak, Bang!” ucap Ines pada akhirnya.

“Sama-sama, Mbak! Oh iya, Mbak, maaf banget nih, ya ... daripada mengemis kayak gini, mending cari kerja, hmmm ... kebetulan di rumah orang tua Pak Langga lagi cari ART, kalau mau Mbak bisa melamar ke sana!” tukasnya seraya menatap iba.

"Oh betulkah? Saya memang lagi cari kerja, apa boleh minta alamatnya?" Entah kenapa tiba-tiba Ines tertarik, walaupun belum jelas statusnya setelah ini akan seperti apa. Lelaki itu terdiam, lalu masuk ke dalam mobilnya seperti mencari-cari sesuatu. Tak lama dia keluar lagi dan menyerahkan selembar kartu nama.

"Mbak, ini alamat orang tua Pak Langga, bilang saja dapat info dari Herman---sopirnya Pak Langga."

"Makasih, Bang!" Ines menerima selembar kertas itu lalu memasukkan ke dalam saku gamisnya. Herman berpamitan dan melanjukan mobilnya ke dalam, mau mengambil barang Pak Langga yang tertinggal. Senyuman terukir di bibirnya, menatap paras Ines yang rupawan membuatnya ingin agar perempuan itu kerja di majikan yang sama dengannya.

"Ah, semoga dia adalah jawaban dari doaku, Tuhan! Jodohkanlah aku dengannya!" batin Herman seraya meninggalkan Ines sendirian.

Ines sudah beralih fokus pada plastik hitam yang diberikan Herman. Perlahan jemari Ines membuka bungkusan kertas nasi yang ada di dalam plastik itu.

“Sate kambing?”Ines bergumam sendirian. Makanan itu benar-benar mengingatkannya pada Airlangga kecilnya dulu.

***

Airlangga kecil mengikuti ayunan langkah kaki Ines yang hanya beralaskan sandal jepit menuju ke arah perempatan. Mendengar cerita Ines tentang makanan yang enak, rasa penasaran Airlangga memuncak.

“Mang, satenya dua porsi!” tukas Ines seraya duduk pada bangku panjang yang berdekatan dengan meja.

“Ayam atau kambing?” tanya penjual sate. Airlangga yang baru hendak duduk berdiri lagi dan menatap kesal pada penjual sate.

“Kan teman saya bilang sate, kenapa Om ngatain dia ayam sama kambing?” tukasnya seraya berkacak pinggang.

Ines yang baru hendak menjawab saling lempar pandang dengan penjual sate, lalu keduanya tergelak seraya menatap wajah Airlangga yang memerah. Raut muka Airlangga berubah, dia tampak kebingungan karena kini malah ditertawakan. Namun akhirnya dia paham ketika penjual sate itu menjelaskan.

“Wah adek ganteng ini pandai melucu rupanya, yang Mamang maksud itu mau satenya , sate ayam atau sate kambing?” tukasnya menjelaskan seraya mengulum senyum. Sontak wajah Airlangga yang putih bersih itu diserang rona merah. Malu sekali sudah salah sangka dengan penjual sate yang dimarahinya.

***

Penggalan kenangan manis itu berlarian ketika dari arah pintu keluar terdengar suara hingar bingar. Ines menoleh seraya membungkus kembali sate kambing yang sudah bercampur lontong itu.

Rupanya acara sudah selesai. Para karyawan dan keluarganya berhamburan menuju tempat parkir.

Ines tersenyum miring, awalnya dia sudah hendak memburu Arlan dan meminta penjelasan. Namun melihat dua security yang tadi menyeretnya kembali berjaga, Ines mengurungkan niatnya.

Dia memiliki ide lain. Ines mengedarkan pandang ke sekitar angkot-angkot yang berbaris tak jauh dari tempatnya duduk. Ah, keberuntungan sedang berpihak rupanya. Tampak seorang ojol menepi dan memeriksa layar gawainya. Mungkin sudah malam dan sudah mau pulang. Semoga saja mau ketika Ines mintakan tolong.

“Bang, ojek?” sapa Ines. Sementara itu, sudut matanya sesekali menatap gerbang di mana para pengendara sudah mulai keluar. Dia hapal nomor mobil Arlan. Karenanya dia tak mau lagi kecolongan.

“Iya, Mbak! Langsung pesen saja di applikasi!” tukasnya.

“Hmmm … maaf, Bang! HP saya ketinggalan, tapi ini penting banget! Saya harus mengikuti seseorang. Ini berhubungan dengan nyawa dan masa depan saya!” Ines memelas. Tukang ojek itu tampak berpikir. Namun dari sudut mata, Ines melihat mobil Arlan sedang bersiap berbaur ke jalan raya. Ines tak punya banyak waktu dia langsung saja mengambil helm dan naik ke atas boncengan dan meminta tukang ojek itu jalan.

“Bang, ikuti mobil Innova warna hitam itu! Tapi jaga jarak, ya!” tukas Ines seraya menunjuk pada mobil Arlan. Dia sudah melingkarkan kerudung juga untuk menutup sebagian wajahnya.

“Ya sudah deh, Mbak!” tukang ojek itu nampak pasrah.

Sepeda motor yang ditumpangi mereka akhirnya melaju mengikuti innova hitam yang dikendarai Arlan. Setelah sekitar satu setengah jam, akhirnya mobil itu berbelok dari jalan utama dan masuk ke sebuah cluster perumahan. Ines masih mengikutinya dalam diam.

Di depan sebuah minimalis berlantai dua, innova hitam itu berhenti. Tampak Arlan turun dan membukakan gerbang. Lalu dia naik lagi dan memasukkan mobilnya ke dalam.

Ines mengawasinya seraya menjaga jarak aman. Lalu dia mengeluarkan gawainya dan mengambil gambar. Ines sudah memiliki rencana sendiri untuk membuat perhitungan dengan Arlan yang sudah menipunya. Pantas saja setiap sore setelah dia pijiti, Arlan selalu beranjak meninggakan rumah dengan alasan mengecheck karyawan shift malam di perusahaan. Rupanya bukan karyawan shift malam, tetapi istri simpanannya.

“Aku tak mau hancur sendirian, Mas! Mari kita hancur sama-sama sekalian!” batin Ines seraya menarik napas panjang. Lalu dia meminta tukang ojek itu menjauh dan kembali menuju kediaman ibu mertuanya. Ines tak hendak hidup berlama-lama di sana, tetapi dia hanya butuh penjelasan dan kepastian tentang statusnya. Menjadi pengantin baru yang harusnya indah, rupanya tidak berlaku baginya. Permasalahan yang menguras emosi kini menunggu diselesaikannya.

Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI YANG DISIA-SIAKAN   Bab 49 - End

    Ucapan ijab qabul menggema mengiringi janji suci dua orang yang hari ini resmi diikat oleh pernikahan. Arlan duduk menunduk seraya menyeka keringat yang bermunculan. Bahkan dunianya seakan berhenti berputar. Dirinya tak menyangka ketika pada akhirnya bisa menemukan jalan hijrah dan anugerah cinta. Dia pun masih tak menyangka ketika dirinya dipertemukan dengan seorang yang lembut dan berhati baik, berharap sang mampu melengkapi kurangnya pengetahuan agamanya. Tiga bulan setelah pertemuan di masjid ketika acara hari itu. Arlan mendapatkan tawaran untuk kerja sebagai salah satu staff di pondok pesantren modern. Semua itu atas nama rekomendasi Azizah dan tentunya rekomendasi dari Ikbal---sang ketua DKM. Dia melihat Arlan yang cukup ulet dan gigih selama menjadi marbot masjid. Ikbal cukup dekat dengan Arlan dan seringkali dimintai pendapat olehnya. Melihat kesungguhan Arlan untuk hijrah, akhirnya dia pun yakin jika semua keburukan Arlan telah menguap bersama status sosialnya.Arlan sempat

  • ISTRI YANG DISIA-SIAKAN   Bab 48

    Airlangga memekik haru ketika benda pipih bergaris merah itu ditunjukkan Ines padanya. Dia langsung membopong tubuh Ines dan menghujani wajah sang istri dengan kecupan. Bahagia tak terkira ketika akhirnya dirinya akan segera menjadi seorang ayah. “Terima kasih, Ya Allah … terima kasih, Sayang!” “Kak, ih … nanti aku jatuh gimana?” Ines mengalungkan lengannya pada leher Airlangga. “Aku bahagia, Dik! Aku ingin merayakan semua kebahagiaan ini dengan semua karyawan perusahaan! Hmmm baiknya bikin acara apa, ya?” Airlangga menurunkan Ines perlahan dan menudukannya di atas sofa. “Ya, bagi-bagi voucher belanja mungkin, Kak. Kan gak ribet juga,” tukas Ines. “Ide bagus! Oke, nanti kita minta Rendra urus semua!” Airlangga begitu berbahagia. Diusapnya pipi Ines dengan lembut. “Kita ke dokter sekarang, ya! Biar kamu dapat asupan vitamin yang bagus! Habis itu kita ke tampat Papi dan Mami. Terus kita kabarin Ibu.”Airlangga berbicara dengan mata berbinar. Ines mengangguk dan turut mengiyakan. K

  • ISTRI YANG DISIA-SIAKAN   Bab 47

    Arlan duduk termenung, kalimat demi kalimat yang almarhum ayahnya sampaikan kembali terngiang. Entah kenapa baru kali ini dia menyadari begitu banyak petuah sang ayah yang sudah dia tinggalkan. “Jadilah pelindung untuk dua kakakmu, Jadilah pelindung untuk Ibumu, Bapak rasa umur Bapak sudah tak lama. Jadilah anak sholeh yang doanya bisa menerangi alam kubur Bapak.” Semua kalimat itu seolah ada tanggung jawab yang dilimpahkan. Almarhum ayahnya mempercayakan Ibu dan kedua orang kakaknya padanya. Namun pada kenyataannya, justru berbanding terbalik. Arlan tak mampu mengendalikan mereka, justru dirinya yang dikendalikan Retno dan Mirna. Kesibukan mempersiapkan acara tabligh akbar, akhirnya kembali mengalihkan perhatiannya. Dengan kakinya yang masih terpincang dan dibantu gerak oleh tongkat yang menyangga ketiaknya. Arlan membantu sebisanya. Menata kursi, memasang taplak meja, lalu menyajikan air mineral untuk para anggota DKM yang sebagian besarnya anak muda. Menjelang siang, nasi kotak

  • ISTRI YANG DISIA-SIAKAN   Bab 46

    Dering bell yang terdengar membuat Narendra bergegas keluar dari rumah. Dia baru saja selesai membuat sarapan untuknya. Dua tangkup roti bakar dan segelas kopi hitam sudah tersaji di meja. “Pagi Pak Rendra!” Senyum manis Fika menyapanya. Perempuan itu juga tampak sudah rapi. “Pagi, Bu Fika! Ada apa, ya? Kalau mau ngasih kopi, maaf banget, saya sudah buat.” Narendra menautkan alis menatap Fika yang membawa cangkir di tangannya. Fika tersenyum seraya menggeleng kepala. Satu tangan menutup bibirnya, tingkahnya berbeda sekali dengan Fika yang begitu tegas ketika menindak karyawan yang melanggar peraturan. Fika di luar jam kantor, lebih tampak manja dan nekat kalau Narendra bilang. “Bukan mau ngasih kok, Pak Rendra! Saya mau minta air panas. Maklum rumah baru, Pak. Saya kira sudah lengkap kemarin tuh. Eh nyatanya gak ada kompor juga buat manasin air, dispenser ada, sih, tapi mati.” Fika terkekeh dan menunduk. “Oh, mari masuk! Banyak kok kalau sekadar air panas, sih!” Narendra menggese

  • ISTRI YANG DISIA-SIAKAN   Bab 45

    “Andai kebahagiaanku adalah Mas Arlan, Pah? Bagaimana?” lirih Aniska seraya menutup wajahnya dan membiarkan tangis lepas meluahkan beban yang terasa berat di pundaknya.“Tidak! Papa tidak akan mengijinkanmu memelihara pengkhianat itu di rumah ini! Andai dia hanya cacat dan tak bisa kerja, tetapi hatinya setia … Papa masih bisa pertimbangkan. Namun masa depan seperti apa yang kamu harapkan dari seorang lelaki pengkhianat, cacat dan pengangguran?! Gak ada, Nis! Gak ada!” Hafid berucap dengan tegas dan lantang. Aniska menunduk. Hatinya membenarkan apa yang sudah menjadi keputusan ayahnya. Dia pun sadar, semua yang dikatakan ayahnya adalah benar. Bahkan sakit hatinya masih terasa ketika mendengar pengakuan perempuan yang mengaku tengah mengandung anak dari suaminya. Hafid langsung meminta pengacaranya bergerak cepat untuk menggugat cerai Arlan yang masih terbaring tak berdaya. Hafid merasa ditusuk dari belakang oleh orang yang teramat sangat disayanginya itu. Bahkan setiap kesalahan kec

  • ISTRI YANG DISIA-SIAKAN   Bab 44

    Di tengah keraguan hatinya. Narendra melajukan mobilnya bukan menuju ke arah rumah, melainkan menuju ke kediaman Abi Firdaus dan Umi Zubaidah. Dia hendak bertanya beberapa hal terkait Azizah. Bagaimanapun dia telah memintanya langsung pada kedua orang tuanya. Apa jadinya jika tiba-tiba dia memilih FIka tanpa mengetahui seperti apa kondisi sebenarnya perempuan yang awalnya diharap bisa menjadi istrinya itu.Mobil yang dikendarai Narendra akhirnya tiba di kediaman Umi dan Abi. Dirinya disambut baik dan dipersilakan seperti biasa. Tak banyak basa-basi yang terjadi. Narendra mengungkapkan pertanyaan seputar penolakan Azizah padanya.“Apakah dia sudah memiliki calon lain yang u sesuai keinginannya, Umi, Abi?” tanya Narendra.“Setahu Umi sih belum, Pak Rendra. Dia masih butuh waktu untuk menyembuhkan trauma. Namun Iza tak mau terikat dengan siapapun saat ini dan entah sampai kapanpun dia tak memberikan kepastian pada Umi,” tukasnya. “Apakah saya boleh tahu seperti apa kriteria calon suami

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status