Share

ISTRI YANG TAK DIAKUI
ISTRI YANG TAK DIAKUI
Penulis: Reinz Jr

Misi terakhir.

Penulis: Reinz Jr
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-28 11:37:29

Bab 1 Misi terakhir

Bab 1

Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktor baru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan." Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece.

"Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!" perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit.

Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kaki berat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yang tiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan dia tahu itu.

“Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementara tangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulai merayap.

Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalam brankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu, tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza.

“Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhir permainanmu, Letnan.”

Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balik jaketnya, bersiap untuk bertarung sampai titik darah penghabisan.

Suara tembakan menggelegar, menghantam dinding dan menembus udara di sekitar Quenza. "Bergerak!" serunya, suaranya tegas dan penuh kontrol meski keadaan di luar kendali. Rekannya di sampingnya jatuh dengan teriakan pendek, darah memercik ke pakaian Quenza, tapi dia tak goyah. Dia tak bisa goyah. Misinya terlalu penting untuk gagal.

Satu peluru menyasar dekat bahunya, mengoyak bagian kecil jaketnya, tapi Quenza hanya menyipitkan mata dan terus berjuang, menyelinap dari balik satu puing ke puing lainnya, mencari perlindungan. Tangannya masih kokoh menggenggam pistol. "Kita hampir sampai!" Quenza berteriak ke radio timnya, matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad. Namun, suara tanggapan yang diharapkan tidak pernah datang. Hanya kesunyian yang menjawab- rekannya sudah tewas, satu demi satu.

Napasnya mulai pendek, tapi bukan karena takut. Bukan, Letnan Quenza tidak kenal rasa takut. Dia tahu ini misi bunuh diri sejak awal, tapi keadilan untuk pembunuhan Perdana Menteri lebih penting daripada nyawanya. Dia akan membawa kejahatan Black Mamba ke permukaan, meskipun harus membayarnya dengan hidupnya sendiri.

"Letnan, mereka menyergap dari belakang!" seru salah satu anggotanya di radio, tetapi terlambat. Quenza hanya bisa menyaksikan melalui celah sempit ketika timnya diserang dengan brutal. Suara jeritan dan tembakan semakin jelas, lalu-diam.

Mata Quenza berkaca-kaca, tapi bukan karena putus asa. "Tidak ... ini. belum selesai, desisnya, mengumpulkan sisa kekuatannya dan berdiri. Dia melangkah keluar dari perlindungan, pistol siap di tangan. Dia tidak akan lari. Dia bukan pengecut.

Saat itulah Viktor, pemimpin Black Mamba, muncul di balik asap, wajahnya penuh kemenangan seperti binatang yang baru saja menangkap mangsa. "Aku sudah menunggumu, Letnan." Suaranya rendah dan menakutkan, tapi Quenza tidak gentar.

"Viktor." Quenza menyapa dingin, matanya tak pernah lepas dari sosok pria itu. "Kau pikir ini berakhir hanya karena kau menyergap kami? Aku akan membawamu jatuh bersamaku, dan kau tahu itu."

Viktor tertawa, sebuah tawa yang penuh ejekan. "Kau terlalu percaya diri untuk seseorang yang terjebak di sarang. Lihat sekelilingmu, Letnan. Tak ada yang tersisa dari tim mu. Ini hanya soal waktu sebelum kau jatuh juga."

Quenza tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun. "Aku tak butuh tim untuk menghabisimu. Cukup aku saja."

Viktor mengerutkan kening, tangannya dengan tenang menarik pistol dari balik jaketnya. "Sayangnya, kamu tidak akan punya kesempatan untuk itu. Kau tahu, kau terlalu bagus untuk dibunuh dengan cepat. Aku akan menikmati ini."

Quenza berlari maju, menembak tanpa ragu, melepaskan beberapa tembakan ke arah Viktor. Beberapa anak buah Viktor tersungkur, tapi Viktor sendiri gesit menghindar.

Quenza tahu dia harus mendekat. Pertarungan jarak dekat adalah spesialisasinya. Namun, saat dia mendekat, Viktor berhasil menendang senjatanya keluar dari tangan Quenza. Dengan cepat, Viktor menyerangnya, menjatuhkan Quenza ke tanah dengan satu pukulan keras. Darah menetes dari sudut bibirnya, tetapi mata Quenza tetap terbakar amarah. "Kau pikir bisa menghentikanku begitu saja?!" geram Quenza, menendang balik dengan lutut, membuat Viktor terhuyung mundur.

Quenza bangkit dengan gerakan cepat, mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhnya. "Aku takkan jatuh semudah itu," katanya sambil melangkah maju, menatap Viktor tajam.

Tapi Viktor sudah menyiapkan langkah terakhirnya. Dengan satu gerakan cepat, dia mengeluarkan pisau dari ikat pinggangnya dan menikam perut Quenza. Rasa sakit itu tak terlukiskan, tapi Quenza hanya menggertakkan giginya, menahan teriakannya. "Kau kalah," bisik Viktor, suaranya penuh kebencian, menekan pisau itu lebih dalam.

Quenza terhuyung, tangannya mencoba menahan darah yang mengalir dari lukanya. Tapi bukan rasa sakit fisik yang menghantamnya saat itu melainkan bayangan putranya, Kelvin, dan suaminya, Kenzo. Mereka menari di pikirannya, wajah mereka tersenyum, memanggilnya pulang. Dia merasakan rasa bersalah yang mendalam. "Maafkan aku," desah Quenza, tapi ini bukan permintaan maaf kepada Viktor. Ini untuk keluarga yang ditinggalkan. Untuk janji-janji yang tak bisa ditepati. Meski tubuhnya hampir mati rasa.

Quenza menatap Viktor sekali lagi. "Kau mungkin bisa menghabisiku, Viktor... tapi aku akan kembali untuk menghancurkanmu. Kau tidak akan pernah tenang."

Viktor tertawa lagi, menarik pisau itu keluar, membiarkan darah mengalir deras dari tubuh Quenza. "Oh, aku pastikan kau tidak akan kembali, Letnan."

Saat dunia mulai menggelap, Quenza tersenyum tipis, meski rasa sakit terus mendera. Dia sudah siap menghadapi akhir ini, tetapi sesuatu di dalam dirinya tahu, ini belum benar-benar akhir. Saat nafas terakhirnya keluar dari bibirnya.

"Kelvin … Renzo ...."

Saat tubuhnya tak lagi merespons, nafasnya terhenti, dan detak jantungnya melemah, Quenza merasa seolah-olah waktunya di dunia sudah habis. Namun, alih-alih rasa damai atau kebebasan yang diharapkan di akhir, sesuatu yang ganjil terjadi. Ia tidak pergi ke tempat yang seharusnya menjadi tujuannya setelah kematian. Tidak ada surga. Tidak ada neraka. Hanya kekosongan, sunyi, hampa—ruang gelap tanpa ujung. Ia terombang-ambing di antara hidup dan mati, tak tahu apa yang sedang terjadi.

"Ini... bukan mati," pikirnya, ia mulai merasakan sesuatu yang kuat, dorongan yang menarik jiwanya. Ia tidak bisa mengendalikan arah geraknya. Daya tarik itu begitu kuat, seolah ada tangan tak terlihat yang menggenggam rohnya dan menyeretnya ke tempat yang tidak ia pahami.

Di dalam kegelapan itu, ia merasa seolah-olah jiwanya tengah melintasi batas-batas yang tak bisa dipahami oleh manusia. Ada sesuatu yang menariknya, lebih kuat daripada sekadar gravitasi dunia, lebih kuat daripada kematian itu sendiri.

Kemudian, dia melihat seberkas cahaya di kejauhan, cahaya yang semakin mendekat. Cahaya itu seolah memanggil, mengundang, mengisyaratkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar akhir hidup. Cahaya itu menyilaukan, semakin mendekat, hingga akhirnya, dalam sekejap, semuanya berubah.

Splaassshhh!

Sebuah cahaya terang yang tiba-tiba muncul, menyelimuti tubuh Quenza yang tak bernyawa. Dalam hitungan detik, cahaya itu menarik jiwanya, secepat kilat membawanya menjauh dari tempat gelap dan dingin itu. Rasa sakit yang mengoyak dadanya lenyap seketika. Tidak ada darah, tidak ada tawa kejam Victor, tidak ada penderitaan.

Cahaya itu tiba-tiba berubah. Ia merasa tubuhnya dipaksa memasuki ruang yang asing, menekan, seolah-olah jiwanya dipaksa masuk ke dalam sesuatu yang bukan miliknya.

Tiba-tiba, ia membuka mata.

"Dia... hidup?" salah satu perawat berbisik, matanya membelalak tak percaya.

“Ini kuasa Tuhan....” Dokter utama, yang sebelumnya memeriksa denyut nadi yang sudah tidak ada, menatap ke arah monitor. Mesin menunjukkan tanda-tanda kehidupan—denyut yang kembali muncul, meski pelan dan lemah. Mereka semua terpaku.

Sementara tubuh pasien bergerak perlahan, kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Nafasnya berat dan tidak teratur, matanya masih kosong, seolah-olah jiwanya belum benar-benar kembali ke tubuhnya.

Seluruh tim medis dalam ruangan itu bergerak dengan kecepatan gila, meski kebingungan dan ketegangan merayapi mereka. Dokter kembali memeriksa organ vitalnya, sementara seorang perawat segera menyiapkan alat bantu pernapasan, dan yang lain memastikan bahwa tubuh pasien tidak mengalami kerusakan lebih lanjut.

"Apa yang terjadi ...?" pikirnya dalam kebingungan. Tapi suaranya tidak bisa terdengar. Ia merasakan dorongan yang kuat untuk bangkit, meski tubuhnya terasa sangat lemah. Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapas lagi.

"Di mana aku ...?" Suaranya lemah.

Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dan kurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadi padaku?"

"Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kau istirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kau rasakan, Nyonya?"

“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut dengan pertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaan teraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Akhir segalanya.

    Eliza berdiri mematung di bawah langit senja, warna keemasan menyelimuti halaman rumah Renzo. Karangan bunga memenuhi halaman rumah Renzo. membawa aroma kesedihan yang bercampur dengan rasa hormat. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi matanya memancarkan kesedihan yang sulit disembunyikan."Kau senang? Ini yang kau inginkan?" tanya Diego, suaranya datar, namun sorot matanya penuh tanya.Eliza menoleh perlahan, menatap Diego. Untuk sesaat, tak ada jawaban yang terucap. Kata-kata terasa seperti beban yang sulit diungkapkan. Benarkah ini yang ia inginkan? Dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia harapkan selama ini."Aku tidak tahu, Diego," jawab Eliza akhirnya, suaranya lirih. "Aku hanya menjalani apa yang ada di hadapanku. Takdir ini... bukan pilihanku."Diego menghela napas, matanya menatap jauh ke arah bunga-bunga itu, seolah mencoba membaca makna yang tersembunyi di baliknya. "Takdir memang bukan pilihan, El. Tapi apa yang kau lakukan setelahnya, yang akan menentukan segalanya

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Berkumpul lagi

    Di tengah keheningan mencekam, hanya terdengar suara sirene mobil polisi dan percakapan samar melalui radio petugas. Asap tebal membubung dari reruntuhan gedung, menyelimuti area dengan aura suram dan menyesakkan.Diego dan Renzo terduduk lemas di tanah, wajah mereka memancarkan keputusasaan yang mendalam. Namun, di tengah keputusasaan itu, mereka menangkap gerakan kecil di rerumputan yang bergoyang tak jauh dari mereka."Apa itu?" Renzo bergumam, matanya penuh harapan bercampur rasa tak percaya.Tiba-tiba, sebuah penutup logam perlahan terangkat dari bawah tanah. Asap mengepul keluar dari dalam, dan detik berikutnya, kepala Eliza menyembul keluar, wajahnya berlumur darah dan debu, matanya penuh tekad meski lelah."Eliza!"Diego dan Renzo berteriak serempak, seruan mereka memecah keheningan. Dengan cepat, mereka berlari ke arahnya, tak peduli dengan luka di tubuh mereka.Mereka membantu Eliza keluar dari pintu bawah tanah. Eliza terbatuk-batuk, tubuhnya limbung, tetapi senyumnya tipis

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Akhir sebuah dendam

    "Ibu!" teriak Kelvin, suaranya penuh kebahagiaan dan kelegaan."Mama!" seru Miko, matanya bersinar cerah meskipun situasi masih mencekam.Eliza menatap kedua anaknya dengan lembut. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya, khawatir.Keduanya mengangguk dengan senyum kecil, meskipun masih tampak cemas."Kita harus pergi dari sini!" kata Diego tegas, wajahnya serius."Victor sudah memasang bom di gedung ini!" Sela Renzo.Kekhawatiran langsung melintas di mata Eliza. Waktu mereka sangat terbatas. "Kalian bawa anak-anak!" perintah Eliza, sambil menyentuh bahu Diego. "Aku akan melindungi kalian. Cepat!"Diego tanpa ragu menggendong Miko, dan Renzo segera menggendong Kelvin. Dengan langkah cepat dan hati-hati, mereka berlari keluar dari ruangan, menuju pintu utama. Eliza tetap berada di belakang, memastikan mereka aman, sembari mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang ada di depan. Tembakan terdengar di kejauhan, namun Eliza hanya fokus pada satu tujuan, melindungi keluarganya dan memastika

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Damon

    Damon tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada pria berjas hitam di belakangnya. Tanpa sepatah kata pun, pria itu berjalan ke meja dan menekan tombol yang memulai proses di layar monitor. Monitor besar itu menyala, menampilkan berbagai gambar dan data yang berpindah dengan cepat."Lihatlah," kata Damon, suara rendah namun penuh ketenangan. Dia memperhatikan ekspresi Eliza yang berubah saat layar memperlihatkan rekaman markas yang meledak, diikuti dengan gambaran tubuh Letnan Quenza yang terluka parah, tergeletak tanpa nyawa. Namun, di detik-detik terakhir, seorang pria bertubuh kekar, salah satu anak buah Damon, muncul membawa tubuh Letnan Quenza yang sekarat ke rumah sakit terdekat. Proses transfer memori yang menegangkan terlihat jelas di layar, alat-alat medis canggih digunakan untuk memindahkan semua ingatan Quenza ke tubuh Eliza yang telah dinyatakan mati."Tidak mungkin!" teriak Eliza, wajahnya berubah kaget dan marah. Dengan cepat, ia mengangkat senjata

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Teroris

    Sesampainya di pusat kota, Eliza dengan cekatan menyembunyikan senjatanya di balik jaket panjang yang ia kenakan. Diego dan Renzo melakukan hal yang sama, memastikan tak ada yang mencurigai mereka.Mereka melangkah keluar dari mobil yang diparkir di sudut jalan, tubuh mereka sudah bersih dari luka-luka yang sempat mereka rawat seadanya. Hiruk-pikuk kota menyambut mereka, dengan keramaian manusia yang memadati jalan untuk merayakan hari kemerdekaan Mazatlán.Karnaval Mazatlán berlangsung meriah. Jalanan penuh dengan parade warna-warni, musik tradisional mengalun keras, dan sorak-sorai warga menambah semarak suasana. Polisi tampak berjaga di setiap sudut kota, mengawasi kerumunan dengan ketat.Eliza mengedarkan pandangannya dengan hati-hati. Matanya menelusuri setiap wajah di kerumunan, setiap gerakan yang terasa sedikit janggal. Renzo dan Diego berjalan di belakangnya, sikap mereka sama waspadanya.Namun, suasana meriah itu berubah dalam sekejap.DUAR!Sebuah ledakan keras mengguncang

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Ide gila Diego

    Mobil melaju dengan kecepatan maksimal membuat jalanan sepi di depan terasa semakin sempit. Diego mengepalkan tangan di setir, matanya fokus ke mobil musuh yang melaju dari arah berlawanan."Aku akan adu banteng dengan mereka!" serunya."Diego, kau gila! Kita bisa mati!" Renzo berteriak, suaranya penuh kepanikan. la memegang dashboard dengan erat, keringat mengucur di wajahnya."Menunduk!" perintah Diego tanpa ragu, suaranya tegas.Eliza langsung merunduk, tapi matanya tetap memperhatikan situasi, rahangnya mengatup rapat. Sementara Renzo hanya bisa berteriak lagi. "Diego! Aku belum mau mati!"Mobil Diego dan musuh semakin mendekat, jarak di antara mereka hanya hitungan detik.BRAK!!Tabrakan keras terjadi. Mobil Diego menghantam mobil musuh dengan kekuatan penuh. Bunyi logam beradu memekakkan telinga, pecahan kaca beterbangan ke segala arah. Benturan itu begitu hebat hingga mobil Diego terlempar ke luar jalur, berputar beberapa kali di udara sebelum menghantam tanah dengan keras.Tub

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status