Share

Makan Bakso

Tanpa bantahan ia mengangguk. Kami pun kembali berjalan pulang meninggalkan rumah terakhir Yassir.

Di tengah jalan langkah Lusi terhenti tatkala kami melewati sebuah warung bakso.

"Bang itu." Ia menunjuk ke arah bakso yang dijejerkan dalam gerobak.

"Bakso? Lusi mau bakso?"

Lusi mengangguk. Kasihan, padahal tadi dia baru makan banyak tapi mungkin masih belum kenyang juga.

Akhirnya kubawa ia masuk ke dalam kios bakso itu, kupesan dua mangkok bakso urat seperti kesukaannya.

"Nah makanlah," titahku ketika dua mangkok bakso ada di hadapannya.

Dan hap hap hap. Tak ada sisa, semangkok bakso yang kuahnya masih panas itu berhasil ia habiskan dengan cepat, aku sampai harus meminjam satu mangkok kosong untuk memisahkan air dengan baksonya karena takut melukai mulut Lusi.

"Pelan aja Lus, masih banyak, nanti Abang beliin lagi."

"Enak Bang, Lusi suka bakso."

Hatiku kembali nyeri, jauh-jauh aku kerja ke luar negeri semua itu hanya untuk membuatnya bahagia dan mencukupi semua kebutuhannya agar ia tidak kekurangan apapun.

Tapi untuk memakan semangkok bakso saja istriku harus menunggu sampai aku pulang dulu? Siapa yang tak sakit? Ini istriku, wanita yang kupilih sendiri dan kuambil baik-baik dari kedua orang tuanya untuk kujadikan teman hidupku, tapi kenapa keluargaku tak bisa menyayanginya seperti mereka menyayangi keluarga sendiri?

Tatkala ia sedang melahap lagi semangkok baksonya kubelai kepalanya.

"Kasihan, emang kamu gak suka makan bakso kalau Abang lagi di Taiwan?"

Ia menggeleng polos. "Ibu marah."

Aku menarik napas berat.

Entah mengapa saat di luar rumah inilah aku merasa Lusi terlihat lebih baik, emosinya juga tidak naik turun seperti saat di rumah, ia juga lebih nyambung saat kuajak bicara.

Saat aku sedang menunggu Lusi menghabiskan baksonya, kulihat Kak Noni--kakak pertamaku bersama anaknya yang sudah gadis memarkirkan motornya di depan sebelah kios bakso ini.

Aku tak cepat bangkit untuk menyapa, kubiarkan saja dulu, kasihan juga jika Lusi harus kutinggal walau hanya ke kios sebelah.

"Bu, ada lauk sisa kan? Seperti biasa." Terdengar suara Kak Noni mulai bicara.

Saat itu kios bakso dan kios sebelah yang menjual nasi warteg sedang sepi, jadi obrolan kak Noni dengan sang pemilik warteg terdengar jelas di telingaku.

"Ada nih, 10 ribu aja," kata sang pemilik warteg.

"Mahal banget."

"Isinya banyak itu, ada pepes usus sisa kemarin juga sama sayur kangkung."

"Hilih besok-besok yang sederhana aja bisa kan, Bu? Jangan pepes, mahal, cuma buat dikasih ke orang gila ini," kata Kak Noni.

Teg. Mendengar ucapannya, benakku langsung menduga, jangan-jangan orang gila yang dimaksud kak Noni adalah Lusi istriku? Kupasang telinga lebih tajam lagi.

"Ya sisanya cuma itu Mbak Non, kemarin warteg ludes, saya gak masak lagi."

"Ah ya udahlah saya bayarin."

"Buat orang gila yang mana sih Mbak Non? Rajin banget pake ngasih makan orang gila segala?" Si pemilik warteg bertanya lagi.

"Ada orang gila di rumah ibu saya."

Tepat dugaanku, ucapan kak Noni memperjelas semuanya, ia memang membeli lauk sisa kemarin itu untuk diberikan pada Lusi istriku.

Jadi memang seperti ini cara mereka memperlakukan istriku? Kejam memang kejam mereka itu.

Padahal aku kurang baik apa? Saat aku di Taiwan kak Noni itu sering memelas meminjam uang untuk bayaran sekolah anaknya yang SMA itu, kuberi tanpa aku berharap ia mengembalikannya karena aku pikir apalah arti uang jika dibandingkan kebaikan yang mereka lakukan untukku.

Kupikir kak Noni, kak Tuti serta ibu bisa menjaga dan menyayangi anak istriku dengan baik, tapi kenyataan yang kutahu hari ini sungguh membuatku kaget dan benar-benar di luar dugaanku.

"Ma, Dara mau makan dulu lah di sini, di rumah Nenek takut gak ada makanan enak," kata Dara.

Setelah itu rupanya mereka duduk dan makan dulu di sana. Saat itulah aku segera membawa Lusi pulang karena sudah mau maghrib juga.

Sekitar pukul setengah 7 ketika aku masih di atas sejadah, kudengar suara motor kak Noni terparkir di halaman rumah ibu.

Tanpa menunggu atau mengucap salam mereka langsung masuk membuka pintu.

"Bu ... Bu ... makanan basi nya nih," teriak kak Noni sambil membanting bobot di atas sofa depan.

Suaranya jelas kudengar karena aku menempati kamar Lula yang letaknya paling depan bersisian dengan ruang tamu.

"Pada kemana sih nih orang, Dara kamu kasih tuh kangkung ke tante mu, belom makan kali dia dari pagi, kita kan baru sempet ke sini," kata Kak Noni lagi.

Kubiarkan saja, rupanya kak Noni belum mengetahui kedatanganku.

"Ih masa Dara sih, males banget kenapa gak Bibi Lula aja yang kasih?"

"Heh kamu nih ngeyel terus kenapa sih? Ya udah sana kamu panggil Nenek di kamarnya, pada kemana sih nih semua orang. Lula ... Ibu ... Kak Tuti!" Kak Noni berteriak.

Tak lama kak Tuti datang ke sana.

"Heh jangan teriak-teriak kan bisa," ucapnya.

"Pada kemana sih kok sepi banget? Nih makanan buat si Lusi, sekalian aja buat besok biar Noni gak usah beli lagi itu juga mahal," ujar Kak Noni tanpa jeda.

Kemudian kak Tuti terdengar berbisik dan memelankan suaranya. "Jangan ngomong sembarangan Noni, sekarang si Sandi udah balik."

"Apa?"

Aku mendengar keterkejutan pada suara kak Noni.

"Si S-andi udah balik? Kok bisa? Kapan? Di mana dia sekarang?" tanya Kak Noni lagi.

Komen (16)
goodnovel comment avatar
Niar Pardede
cerita luar biasa,tp kelanjjutany kok tdk bs kebuka ya
goodnovel comment avatar
Siti Hasni
kisah nyata yg mengharukan
goodnovel comment avatar
Guru Sahaja
sedih menguras air mata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status