Share

Mandi

"Lusi, Abang kirim uang buat kamu tiap bulan, kamu ambil tidak?" Aku kembali bertanya walau Lusi sedang menangis.

Ia lalu menggelengkan kepalanya lagi, dipeluknya kedua lutut itu dengan tangannya.

"Jadi selama 5 tahun Abang kirim uang kamu gak pernah dikasih? Tapi kamu bilang ditelep--." Hampir saja aku ikut terbawa emosi andai aku tidak cepat melihat istriku yang semakin ketakutan di tempatnya.

"Eh enggak maaf maksud Abang, Abang bukan mau sentak Lusi, Abang cuma--kesel sama keluarga Abang."

Keterlaluan! Bener-bener keterlaluan! Jadi bener selama ini aku kirim uang dan Lusi gak pernah dikasih, pantas saja jika sekarang istriku stres bisa jadi penyebabnya karena dari sana juga.

Lusi kemudian mengangkat wajah dan menatapku pilu. "Lusi gak gila Bang, Lusi gak gila," katanya dengan suara serak dan pelan, digeleng-gelengkan kepalanya itu seperti sedang menolak sesuatu dengan cepat.

Aku berusaha menenangkannya, kupeluk ia, kuciumi keningnya juga.

"Iya iya Abang percaya kok Lusi gak gila, Lusi sehat, Lusi baik-baik aja."

Setelah Lusi sedikit tenang aku lalu membawanya mandi, kasihan badannya sudah dekil banget gak beda jauh sama ODGJ yang sering kulihat di jalanan, entah ibuku tidak memandikannya berapa bulan, aku pun tidak tahu tapi jika kucium dari bau nya memang menyengat sekali.

"Bang, Lusi takut." Lusi menghentikan langkahnya saat sudah di luar kamar.

"Kenapa takut? Ada Abang di sini, Lusi gak usah takut lagi ya."

Kubawa ia perlahan, untunglah di dapur tidak ada siapa-siapa jadi Lusi tidak ketakutan lagi untuk melangkah ke kamar mandi.

Di kamar mandi air hangat sudah disiapkan Kak Tuti dalam ember. Segera kumandikan istriku, kuberi sabun, sampo dan sikat gigi tentunya.

"Ya ampun Lusi, ini kamu gak mandi berapa bulan sih? Kok kotor banget," tanyaku sambil sibuk mengguyurkan air pada kepalanya.

Lusi tak menjawab, ia justru terlihat senang bermain-main dengan air seperti anak kecil.

Kemudian ia berteriak. "Yassir sini, Nak."

Hatiku mencelos ada luka terselubung yang kemudian membentuk kepompong. Sakit sekali rasanya, sakit lebih dari yang bisa kugambarkan hingga tak terasa sudut mataku basah oleh air mata.

"Yassir," teriaknya lagi.

Aku mengusap air di sudut mata kemudian berbisik di dekat telinganya. "Yassir lagi tidur, jangan teriak-teriak dulu ya."

Barulah setelah itu Lusi diam, tetapi sorot matanya kini kembali kosong.

"Aw perih Bang." Ia meringis kesakitan tatkala air sabun mengenai punggungnya.

"Sakit banget ya Lus? Sebentar ya, kalau kamu gak mandi lukamu malah bisa infeksi."

Lusi mengangguk, kali ini seperti memahami apa yang kuucapkan padanya.

Butuh waktu hampir 1 jam aku di kamar mandi, semua daki-daki dan kotoran di tubuh Lusi sangat mengerak dan susah hilang, mungkin aku perlu beli spons khusus atau sabun khusus perontok daki agar badan Lusi kembali bersih seperti dulu.

Setelah memandikan Lusi aku memakaikannya baju baru, baju yang kubelikan dari Taiwan tepatnya.

Karena saat kubuka lemari baju Lusi sudah tak ada baju bagus yang tersisa, semuanya robek, lusuh dan bahkan kotor karena berantakan di lantai kamar ber rantai itu.

"Bagus, Bang," ucap Lusi sambil menciumi lengan bajunya.

"Bagus kan? Sekarang udah seger?"

Ia mengangguk. Aku tersenyum getir, kuraih pipi istriku.

"Maafkan Abang ya karena gak bisa jagain kamu."

Lusi diam, kemudian menundukan kepalanya tetapi sejurus kemudian lagi-lagi dia tertawa seperti ada yang lucu di depannya.

Hatiku kembali tersayat. Ya Tuhan, benarkah istriku ini gila?

"Lusi ayo antar Abang ke makam Yassir," pintaku kemudian. Ia lalu diam menatapku.

"Makam?" tanyanya seperti tak memahami apa yang kumaksud.

"Iya makam, makam anak kita."

Lusi menggeleng. Aku menarik napas berat kucoba menghadapi dirinya lebih sabar lagi.

"Ya udah ayo ikut Abang."

Lusi lagi-lagi menolak ketakutan saat akan dibawa keluar kamar.

"Gak apa-apa Lusi, ada Abang di sini."

Kubawa istriku pelan-pelan meski langkahnya makin berat dan gemetar, kebetulan di teras rumah kak Tuti dan ibu sedang sibuk bermain ponsel masing-masing, segera kuhampiri mereka.

"Bu, kami mau ziarah ke makam Yassir, ada di sebelah mana, ya?" tanyaku pada beliau.

Ibu mengangkat wajah menatapku dan Lusi. "Mau pada ke makam Yassir?"

"Iya."

"Di taman pemakaman umum blok E10."

Aku pun segera membawa istriku ke sana dengan hanya berjalan kaki karena letak makam yang ibu maksud tak terlalu jauh dari rumah, ya mungkin hanya berjarak sekitar berapa puluh meter saja.

Selain itu rasa rinduku pada kampung halaman membuatku betah berlama-lama menghabiskan banyak waktu seperti ini, aku juga berharap Lusi akan merasa lebih baikan saat kubawa ia jalan-jalan keluar rumah sambil menghirup udara di sore hari.

Tepat pukul 5 sore kami sampai, kutatap pembaringan terakhir anakku tanahnya masih merah, bunga-bunga juga masih bertabur di atasnya meski sudah mulai layu dan mengering.

Kulantunkan do'a dan kata-kata terakhirku untuknya meski setiap melihat nisan papan nya ada rasa sakit yang menyelubung hingga ke ulu.

Di sampingku Lusi bergeming, ia kemudian memeluk gundukan tanah merah itu sebelum akhirnya ia menangis juga di atasnya.

Rasa pilu yang teramat kulihat jelas dalam isakannya, kehilangan seorang anak memang hal terberat bagi manusia bergelar orang tua, tak heran jika hal itu sampai membuat istriku stres bahkan gila kata mereka.

"Maafin Bunda ya, Sir," lirihnya. Kutengok istriku sekali lagi.

Katanya istriku gila sampai harus dipasung tapi kenapa aku seperti merasa ia baik-baik saja? Hanya memang emosinya naik turun dan tak terkendali.

Atau apa perlu besok kubawa saja dia ke dokter untuk memastikan keadaannya? Istriku benar gila atau hanya sedang mengalami stres berat.

"Sir, Bunda udah bilang kamu jangan jauh-jauh dari Bunda, di dekat kita banyak orang jahat, tapi kamu nya gak denger kenapa, Nak?" isaknya pelan, nyaris tak terdengar oleh telingaku andai aku tak cepat mendekati wajahnya untuk memberi dia semangat.

Kuelus punggung Lusi. "Yassir lagi bobo, kita pulang dulu ya, besok ke sini lagi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status