Share

LIMA

Memiliki seorang anak adalah impian Sarala.

Sejak dulu, dia begitu menyukai anak-anak. Impiannya dari menjadi guru taman kanak-kanak sampai menjadi seorang ibu. Impian yang bagi orang lain terdengar sepele namun baginya itu adalah impian yang paling luar biasa.

Sarala hanyalah seorang biasa yang dibesarkan oleh keluarga baik-baik, dimana dia tumbuh dengan penuh kasih sayang sebagai seorang anak tunggal hingga akhirnya kecelakaan merenggut kedua orangtuanya. Impiannya menjadi seorang ibu adalah untuk membangkitkan lagi perasaaan rindu kepada ibunya yang tidak pernah dia alami selama bertahun-tahun setelah kepergian mereka.

“Bunda!” Pekik bocah berusia empat tahun itu, berlari memeluk kaki Sarala. Anak laki-laki dengan wajah yang tampan, pipi yang gembul, kulitnya begitu putih bersih, matanya bulat dan rambutnya hitam pekat.

Tampan.

“Dia siapa? Kenapa panggil saya bunda?” Tanyanya kemudian, menatap kearah Kelam serta ART mereka. Semua yang berada disana terkesiap.

Mereka sudah mendengar apa yang terjadi pada Sarala tapi melihatnya secara langsung tetap saja mengejutkan, wanita itu tidak mengenali darah dagingnya sendiri. Anak laki-laki kesayangannya.

“Bunda, ini Soga…” Kata bocah laki-laki itu, menatap Sarala dengan wajah kebingungan. Tidak ada pelukan balasan, tidak ada kecupan, tidak ada tangkupan di pipi dengan kedua tangan yang selalu bundanya lakukan.

“Soga, ikut papa dulu yuk.” Kelam menengahi, menggendong Soga yang kemudian menjerit, menangis karena begitu merindukan bundanya.

Kelam menggendong masuk, berusaha menahan Soga yang meronta di pelukannya. Anak itu masih menangis sampai mereka ke dalam kamar dan Kelam menurunkan anak itu dari gendongannya, dia berjongkok sampai tatapan mereka sejajar. Dia bisa melihat bagaimana mata bocah itu berair dan sembab, perlahan dia mengusap air mata itu.

“Soga, papa ‘kan sudah bilang, bunda lagi sakit…” Ujar Kelam, menggenggam kedua tangan mungil anak laki-lakinya.

Soga masih terisak, “Tapi, mau peluk bunda…” Katanya merengek, matanya menatap Kelam dengan penuh rasa melas membuat hati Kelam perih. Kata apa yang harus dia pakai untuk menjelaskan pada anak sekecil ini kalau ibunya tidak bisa mengingat siapa dirinya, kalau ibunya kehilangan ingatan mengenai siapa dirinya.

“Sabar dulu ya sayang, nanti kalau bunda sudah sehat, Soga boleh peluk bunda banyak-banyak.”

Soga memeluk Kelam, menangis dalam pelukan sang ayah.

Tidak ada kata yang pas untuk penjelasan pada anak sekecil ini, pemahaman mereka terlalu minim untuk mengerti apa yang terjadi.

“Bu Ala sedang tidur di kamarnya.” Kata Bi Isah pada Kelam yang kini berada di dapur, mengecek bahan makanan yang seharusnya tugas Sarala sehari-hari.

“Dia kaget gak bi lihat kamarnya?” Tanya Kelam sembari duduk di salah satu kursi, mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya.

“Kaget pak, katanya bagus banget, luas..”

Kelam mengangguk-angguk. Tentu saja, istrinyalah yang mendesain semua ruang dan sudut rumah ini dengan para arsitek pilihan. Sarala tidak suka rumah yang bertingkat, dia lebih suka rumah yang luas. Maka, Kelam mencari arsitek terbaik untuk mewujudkan hal itu. Rumah ini memiliki empat kamar, kamar Soga, dua kamar tamu, dan kamar mereka.

Kadang kala, kamar tamu itu diisi oleh Bi Isah atau Bi Miah ketika mereka sedang tidak berada di rumah khusus para ART yang tidak jauh juga dari rumah utama.

“Pak, bu Ala kapan ingat den Soga?” Tanya Bi Isah kemudian, membuat Kelam mengalihkan pandangannya dan tersenyum kecil.

“Saya juga gak tahu bi, dokter gak kasih penjelasan. Katanya, biar Ala ingat sendiri.”

“Tapi pak, bu Ala terus-terusan minta ketemu sama mantan suaminya.”

Kelam memainkan gelas di tangannya, dia juga beberapa kali mendengar Sarala menangis karena ingin bertemu dengan Gandaria, merengek, memohon pada Bi Miah untuk membantunya menghubungi lelaki itu.

“Gak mungkin juga saya minta lelaki itu kesini bi..” Ujar Kelam.

Bi Isah mengangguk kecil, “Saya bingung harus jelasin apa lagi ke bu Ala kalau sekarang dia sudah gak sama suaminya yang dulu..”

Kelam mengamini di dalam hatinya, dokter mengatakan untuk perlahan memberitahu Sarala kalau sekarang dia bukan lagi berusia 20 tahun, dia sudah tidak lagi bersama mantan suaminya, hal yang terlihat begitu mudah tapi sulit dilakukan karena hal itu bisa mengguncang emosinya.

“Yang saya pikirin sekarang gimana kasih tahu dia kalau dia sedang hamil bi..”

“Aduh, benar juga ya pak… Ini sudah bulan kelima, nantinya bu Ala pasti ngerasain gerak adek bayi di perut.”

Masalah lain.

Apa yang harus Kelam katakan jika Ala bertanya mengenai kehamilannya.

Bi Isah menyimpan mangkok berisi bubur kacang hijau yang masih mengepul asapnya di depan Kelam, dia tahu benar kalau akhir-akhir ini majikannya kurang tidur dan juga selalu telat makan karena harus memikirkan banyak hal.

Kelam mengaduk bubur kacang itu dalam diam.

“Sebaiknya pak Kelam sudah sedikit-sedikit memberitahu bu Ala tentang itu pak.” Bi Isah melanjutkan, kini beliau duduk di samping Kelam yang tengah menyendokkan bubur masuk ke dalam mulut dan mengunyahnya. “Setidaknya, bu Ala gak begitu kaget kalau-kalau malahan dengar dari orang lain, atau nonton berita.”

Kelam masih terdiam, mengunyah bubur di dalam mulutnya.

“Saya masih mikirin cara yang tepat untuk kasih tau kalau dia sudah gak sama Gandaria lagi bi, penjelasan apa yang akan dia terima tentang itu. Kalau dia sama Gandaria sudah begitu lama usai karena hal menyakitkan. Saya cuma gak mau Ala ingat lagi.”

Dia tidak ingin Sarala tahu apa yang terjadi dengan pernikahan sebelumnya, namun dia mungkin harus melakukannya agar wanita itu tidak perlu lagi mencari Gandaria, mantan suaminya.

Suami yang memukulinya selama pernikahan dan berselingkuh, suami yang membuat hidupnya menderita selama lima tahun pernikahan. Berkedok bekerja untuk membahagiakan Sarala, Gandaria berselingkuh dengan banyak wanita, pergi ke club malam dan meniduri banyak wanita. Kelam tidak ingin memori buruk itu kembali kepada Sarala. Biarlah ingatan buruk itu menghilang bersama dengan memori kebersamaannya.

“Ingatan Ala sekarang masih ketika dia usia 20 tahun, bibi sendiri dengar gimana dia cerita tentang pernikahannya yang baru saja menginjak usia tiga bulan dengan mantan suaminya itu. Dia lagi di dalam momen bahagia.” Ucap Kelam, menelan kunyahan terakhir bubur kacang hijau yang mendadak terasa hambar di dalam mulutnya karena teringat cerita yang istrinya gaungkan berkali-kali mengenai si mantan suami.

Dia tidak ingin Sarala mengingat semuanya, dia hanya ingin Sarala mengingat hal-hal baik. Mengenai dirinya, mengenai Soga, mengenai buah hati mereka yang masih belum lahir dan juga mengenai keluarga kecil mereka. Keluarga kecil hangat yang mereka bangun bersama-sama karena cinta.

“Dia gak akan terima bi kalau pernikahan yang dia idam-idamkan dengan kekasih masa sekolahnya hanya bertahan selama lima tahun, saya gak mau Ala ingat apa yang terjadi dengan dia dan Gandaria sampai bikin dia trauma dulu.”

“Siapa yang trauma?”

tiba -tiba pertanyaan itu terdengar, Kelam dan Bi Isah menoleh dan mendapati Bi Miah tengah bersama Sarala.

“Siapa yang berpisah? Kenapa aku dan Ganda?!” Suaranya meninggi, Kelam dan Bi Isah serta Bi Miah menegang. Mereka masih terdiam ketika Sarala berteriak lagi,

“DIMANA GANDA?! AKU MAU GANDA!!!!!!!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status