Lamunanku buyar kala sapaan dari Andra terdengar dari arah belakang. Pria itu sudah berdiri dengan jarak sekitar satu meter dari tempatku berada.Pria itu mendekat hingga kami berdiri bersisian. Aku tahu apa maksudnya mendekatkan diri begini. Pasti soal Armila."Saya masih mencintai Armila, sangat mencintainya. Saya akan terus berupaya meluluhkan hatinya. Saya memang pernah khilaf dan akan menebus kesalahan itu meski harus banyak berkorban.""Saya pernah di posisi Armila, dan tahu sekali sesakit apa dikhianati. Saya rasa Anda akan sangat sulit mendapat kepercayaan lagi. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun atau bahkan tidak sama sekali."Kini kami berhadapan. Pria berahang tegas itu menajamkan pandangan. Mungkin tersinggung dengan kata-kata tadi. Sayangnya itu fakta, Armila tak selemah dari tampilannya. Dia itu pemegang prinsip. Tidak, ya tidak.Bahkan, aku pun mundur untuk menyatakan cinta dulu sewaktu SMP sebab tahu prinsipnya. Ia pernah mengatakan tak mau main hati sebelum siap naik
ARMILAAku sangat emosi ketika mas Andra marah-marah gak jelas. Seolah aku ini pendosa berat hanya karena keluar rumah di masa iddah.Aku paham perempuan di masa iddah tak boleh menerima lamaran atau punya hubungan dengan lelaki manapun. Aku bukan perempuan gatal seperti Resti. Armila punya harga diri. Takkan ia merendahkan diri demi seorang laki-laki.Kandasnya pernikahan ini membuatku berpikir seribu kali untuk membuka pintu hati pada laki-laki. Bukan berarti mau balikan juga ke mas Andra, tidak sama sekali.Aku terlampau sakit hati diduakan, dimaki, difitnah dan ditalak begitu saja. Meski hal tersebut telah disesali mas Andra, aku tak peduli. Hati ini sudah berdarah-darah jadi jangan harap termakan bujuk rayunya.Apalagi masih ada Resti. Wanita ular itu pasti takkan tinggal diam atas niat mas Andra rujuk denganku. Dia akan melakukan segala cara untuk menghalanginya.Cukup sekali aku mengalami masa diinjak-injak hingga berujung talak. Saat ada di masa itu, aku seperti bukan manusia
ARMILAKalau tak ada ketukan di pintu, aku mungkin akan terus terlelap bersama Affan. Kaget juga kenapa jadi ketiduran padahal tadi janji mau menyerahkan Affan pada mas Andra."Bu, maaf, bapak nungguin dari tadi!"Aku cepat-cepat merapikan diri sebelum keluar menemui mas Andra. Kasihan juga dia menunggu kami yang tengah tertidur."Bapak eudah makan, Bi?""Sudah, Bu. Tadi saya siapkan di meja makan!""Makasih, Bi, sekarang bapak di mana?""Di gajebo lagi ngelamun. Ehm, saya jadi kasihan, Bu! Eh, maaf!"Aku meninggalkan bi Cicah yang lagi senyum-senyum malu.. Sebenarnya wanita itu baik pada mas Andra, tapi sempat benci saat aku disakiti.Kupandangi mas Andra dari balik pintu. Pria itu tengah khusyuk menatap gulungan awan yang warnanya kini tengah menguning.Sepertinya ia tak sedang benar-benar menatap awan. Pikirannya mungkin tengah mengembara hingga mata pun tak fokus pada fakta di depannya."Maaf, Mas tadi aku ketiduran. Affan masih tidur, kasihan kalau dibangunin." "Iya, tak apa. Ay
RESTIMas Andra masih mengharapkan balikan sama Armila. Nyata banget kulihat di pesta pernikahan anak temannya. Pria itu mencuekkanku demi mengejar mantannya. Brengsek banget emang. Aku hanya bisa menahan gelegak emosi melihat kebucinan mas Andra. Dia benar-benar tak menghargaiku lagi. Di benaknya hanya ada Armila dan Armila.Terus, aku dianggap apa?Sepertinya aku harus menghentikan hayalan mas Andra untuk kembali pada Armila. Enak saja, perceraian ini telah terjadi berkat kerja kerasku. Masa sekarang harus dihancurkan oleh rujuk.Lihat saja, Resti bukan wanita lemah yang hanya bisa menangisi keadaan. Aku bisa berbuat apapun demi mencapai tujuan."Awww!"Aku meringis sebab tubuh rasa ditimpa benda keras. Ternyata aku ditabrak seorang laki-laki paruh baya. Meski sudah berumur, tubuhnya masih kekar. Buktinya aku sampai kesakitan saat bertabrakan."Maaf, Nona saya berjalan tidak fokus Maafkan sekali lagi!"Tadinya aku mau marah, tapi mulut rasa dikunci pas mendengar suara lembutnya. Se
RESTIOh, iya. Ya, ampun pertanda apakah ini aku bertemu dengan pria itu lagi. Mau apa orang itu di sini? Masa iya belanja?"Saya sedang mengontrol butik milik almarhum istri. Kalau tidak keberatan, mari mampir!""Tapi, saya-!""Sebentar saja, tempatnya tak jauh dari sini!""Ba, baik!"Aku mengikuti langkah kaki pria yang mungkin usianya hampir dua kali lipat dari usiaku. Meski begitu, postur dan gaya jalannya masih terlihat gagah.Pikiranku jadi liar ketika membayangkan hal terlarang. Mungkin ini efek lalainya mas Andra atas nafkah batinku.Huh, jangan salahkan aku yang pada akhirnya kelaparan. Apalagi aku masih tergolong pengantin baru.Aku terperangah katika masuk ke butik milik tuan Bima. Ternyata bukan butik kaleng-kalengan. Argh, napsuku pada barang-barang mentereng itu jadi meronta-ronta.Setiap mata memandang, yang terlihat hanya pakaian indah nan memesona. Kalau bisa, aku ingin membawa sebagian besar pulang."Ini butik peninggalan almarhum istri saya. Sekarang yamg mengelola
ANDRAKeputusan sidang perceraian telah membuatku merasa jadi manusia paling sengsara di dunia. Biduk rumah tangga yang baru dijalani tiga tahun harus kandas akibat terjangan badai. Sebagai nahkoda, aku telah gagal mengarahkan bahtera ini menuju pelabuhan bahagia. Kapalku karam di setengah jalan. Meski Armila masih dalam masa iddah, untuk saat ini tetap tak punya jalan rujuk. Wanita itu kukuh dalam pendiriannya. Tak mau kembali. Maka dari itu harapan sepertinya harus kuempas jauh-jauh.Sakit, jelas terasa. Hatiku yang telah terpotong, kini diiris tipis-tipis. Tiap irisan itu mengalirkan darah hingga seluruh bagiannya memerahSatu minggu ini aku terus larut dalam lumpur kesedihan. Aku tak peduli dengan semua urusan termasuk tingkah Resti dan hal apapun juga.Aku hanya ingin menikmati kesendirian dalam gulita malam. Bahkan ketika mentari menyengat pun, aku tetap merasa ada dalam kepekatan malam.Sungguh, perpisahan adalah hukuman paling berat yang kurasakan sebab menyakiti Armila. Ribu
ANDRATiap hari Resti pergi pagi pulang malam. Entah ke mana dan melakukan apa. Awalnya aku tak peduli, tapi lama-lama gerah juga dengan tingkah tak patutnya itu.Sepertinya aku harus menyuruh orang untuk mengikuti ke mana Resti pergi. Aku punya firasat buruk terkait tingkahnya kali ini. Sebelum makin parah, baiknya dideteksi dari sekarang.Aku membayar seseorang untuk mengintai Resti. Dia wajib melaporkan kegiatanmya siang dan malam. Pergi ke mana dan dengan siapa musti didata.Terpaksa kulakukan ini sebab sudah paham tabiatnya. Ia pasti tengah asyik dengan sesuatu yang mungkin tak baik. Atau malah tengah membuat kejutan buruk lagi..Sebelum terlambat, aku harus segera bertindak. Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Aku tak mau terjebak terus menerus dalam permainannya.Di hari pertama belum ada kabar aneh dari orang bayaran. Dia hanya melaporkan kegiatan biasa saja. Belanja dan juga kumpul bareng temannya.Begitupun di hari ketiga. Masih sama laporannya hingga aku berpikir meman
RESTIPria ini menceraikanku tanpa basa-basi. Jelas aku tak terima perlakuannya. Aku tidak berhubungan jauh dengan om Bima hanya sekedar jalan, makan dan ke butiknya. Jangankan berzina, pegangan juga tidak."Kenapa dengan mudahnya mas menceraikan aku. Lelaki macam apa kau ini? Idiotkah? Harusnya kau tanya siapa lelaki itu dan bagaimana hubungan kami. Bukan malah menyimpulkan sendiri!" serangku dengan menatap mata itu dengan garang. Kemarahan telah menguasaiku hingga tak ada lagi takut atau gentar padanya. "Bukan hanya persoalan Bima yang membuatku hari ini memutuskan perpisahan. Tapi, kelakuanmu sebelumnya adalah pertimbangan matang untuk ini. Maaf, Resti, kata talak telah kuucap dengan sadar. Jadi kita resmi berpisah!"Pria itu menjelaskan denagn nada tenang. Tak ada kemarahan seperti biasa. Ia sepertu sudah menyiapkan ini dengan matang. "Mengapa baru sekarang kau ungkit kelakuan itu, hah! Aku juga sudah tidak berbuat seperti itu lagi'kan! Nomor Armila saja sudah kublokir. Lantas,