"Kamu ngomong apa sih, Run?" Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku. Kutatap mata sembab itu dengan lekat, tapi Runa justru memalingkan wajah dan berurai air mata lagi.
"Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu ngomong seperti itu? Coba bilang sama aku." Kulembutkan suara agar dia mau bicara. Tapi nihil, dia malah menutup rapat mulutnya kali ini."Sudah Mas, biarkan Mbak Runa istirahat dulu." Laras mendekati kami dan mengisyaratkan padaku untuk menyingkir. Kulihat Laras membenarkan letak bantal Runa saat aku beranjak.Tiba-tiba kalimat terakhir Runa terngiang-ngiang di kepalaku. Kenapa dia mendadak bicara seperti itu? Apakah ini ada hubungannya dengan Dewi? Tapi mana mungkin? Runa tidak mungkin tahu hubunganku dengan Dewi. Selama ini dia terlihat baik-baik saja dan tak pernah mengatakan hal-hal yang aneh padaku, apalagi sampai mencurigaiku. Pagi itupun, dia masih bermanja-manja saat melepasku berangkat kerja. Ada apa dengan Runa?Merasa terganggu dengan pikiran itu, aku bermaksud ke luar kamar mencari udara segar. Namun baru sampai pintu, ibu menghadangku."Kalian ada masalah apa?" bisiknya lirih.Aku menoleh ke arah Runa. Saat kulihat dia masih sibuk dengan Laras, langsung kukedikkan bahu."Ayo ikut ibu!" Lalu ibu menarik lenganku ke luar dan mengajakku duduk di salah satu bangku depan kamar perawatan."Kamu beneran nggak sedang ada masalah sama istrimu, Le?" Sekali lagi ibu bertanya, membuatku bingung harus menjelaskan apa."Masalah apa sih, Bu? Ibu kan lihat sendiri aku sama Runa sehari-hari gimana. Nggak pernah berantem kan?""Ya memang enggak, Tam. Runa juga mana berani berantem sama kamu di depan ibu. Maksud ibu … apa kamu sudah melakukan hal yang menyakiti hati istrimu itu sampai dia bicara kayak tadi? Kamu selingkuh yo?" Ibu menatap mataku tajam, membuatku langsung gelagapan. Tentu saja aku kaget ibu bertanya seperti itu padaku, karena selama ini hampir tak pernah ada pembicaraan aneh seperti itu di rumah kami."Jangan ngacau ah, Bu. Mana mungkin aku begitu?" Kupalingkan wajah ke arah lain agar ibu tak melihat sesuatu yang aneh pada raut mukaku. Sejujurnya, jantungku tiba-tiba berdetak cepat karena takut ibu akan mengetahui apa yang sedang kusembunyikan.Ibuku adalah wanita yang pernah tersakiti karena ditinggalkan bapak menikah dengan wanita lain. Bagaimana jadinya jika dia tahu anak lelakinya ini berbuat hal yang sama dengan orang yang telah mengkhianatinya? Aku bergidik membayangkan kemarahan ibu."Ibu bukan nuduh kamu, Tam. Ibu cuma ingin memastikan kamu tidak berbuat hal yang menyakiti istrimu. Ibu tidak akan memaafkanmu kalau sampai kamu berbuat seperti itu," terangnya. Kalimatnya kalem, tapi sangat menusuk ke jantungku."Enggak Bu, enggak. Percaya deh sama Tama. Tama nggak mungkin beg …." Belum sempat kuselesaikan kalimat, tiba-tiba Laras keluar dari kamar."Bu, lihat HPnya Mbak Runa nggak?" tanyanya."HP Runa? Ibu nggak lihat tuh. Memangnya dibawa ke sini tadi?" Ibu balik bertanya."Bukan begitu maksud Laras, tadi pas ibu sama Mas Tama pulang, HP Mbak Runa dibawain ke sini nggak?""Walah, mana ibu kepikiran masalah HP to, Ras. Mbakyumu itu yang lebih penting. Coba kamu telpon si Fitri, suruh simpankan dulu HPnya Runa kalau ada di rumah.""Iya udah, Laras telpon Mbak Fitri dulu kalau gitu."Laras pun kembali ke dalam kamar, disusul ibu setelah mengucapkan wejangan-wejangannya padaku. Dan aku hanya menanggapinya dengan mengangguk-angguk seperti biasa.Mendengar Laras menyebut kata HP, aku jadi teringat Dewi. Entah sudah berapa jam kubiarkan dia menunggu. Tanganku pun mulai bergerak ke saku celana untuk meraih benda pipih itu. Namun kemudian kata-kata ibu barusan begitu menggangguku. Haruskah kuakhiri saja hubunganku dengan Dewi saat ini? Aku takut ibu akan murka jika tahu kelakuan anak lelaki yang dibanggakannya ini. Tapi mana mungkin aku sanggup hidup tanpa Dewi? Wanita itu benar-benar sudah membuatku tergila-gila.Perlahan aku bangkit, lalu melongok sebentar ke dalam kamar perawatan Runa. "Bu, Tama cari rokok dulu ya di depan," pamitku."Ya, jangan lama lama lho," pesannya.Kusempatkan untuk melihat ke arah Runa berbaring, tapi dia langsung menoleh ke tempat lain saat mata kami bertemu. Ah, biarkan saja, mungkin dia hanya sedang terbawa perasaan karena sedang sedih. Nanti dia pasti juga akan ceria lagi seperti biasanya.Kemudian aku melangkah sedikit tergesa menyusuri koridor. Niatku hanya ingin mencari warung di depan rumah sakit, lalu memesan kopi agar bisa menelpon Dewi dengan leluasa. Kakiku baru keluar dari lobby rumah sakit saat tiba-tiba ada tangan yang menarikku. Aku kaget, walau kaki ini refleks sempat mengikuti gerakannya menjauh dari pintu."Dewi? Ngapain kamu di sini?""Apa yang kamu lakukan di sini? Kalau ada yang lihat gimana?" Aku mengoceh sambil mengikuti langkah cepatnya."Memangnya kenapa? Kita kan nggak ngapa-ngapain." Dia terus melangkah sambil menjawab ucapanku sebelum akhirnya berhenti di samping bangunan gedung rumah sakit yang cahayanya sedikit remang dan sepi."Kamu jangan keterlaluan dong, Mas! Kok aku sama sekali nggak direspon sih? Kan aku khawatir," omelnya kemudian."Ya ampuun Wi, kamu kan tahu aku lagi ada musibah. Ngertiin dulu dong." Kutatap wajah cemberut di depanku itu. Kini dia bersedekap menatapku, seolah aku adalah anak kecil yang pantas dimarahi karena pergi tidak pamit."Iya, tapi setidaknya kan kasih kabar, jangan pesanku malah cuma dibaca doang. Siapa yang nggak mikir aneh-aneh coba kalau kayak gitu?" protesnya."Iyaa, maaf. Ini aku tadinya juga mau nelpon kamu, Wi. Ibu sama adekku di dalam. Nggak mungkin kan aku telponan atau kirim-kiriman pesan sementara istriku lagi kayak gitu?""Memangnya gimana keadaannya?" Dewi te
"Tapi aku nggak bisa lama-lama ya, Wi. Aku nggak mampir. Nanti langsung pulang aja," kataku hati-hati, takut kalau-kalau dia akan marah lagi. Entah kenapa aku selalu lebih takut didiamkan oleh Dewi daripada istriku sendiri."Terserah kamu," ucapnya singkat. Lalu bergerak mengikutiku menuju ke tempat parkir. Kemudian aku pun melangkah sedikit lebih cepat agar tak sampai berjalan beriringan dengannya. Meski di malam hari, tetap saja tak bisa membuatku tenang berjalan berduaan di tempat umum seperti ini bersamanya. Jantungku selalu berdebar-debar saat kami sedang berada di tempat terbuka. Aku selalu takut seseorang akan melihat kami. Tapi anehnya, hal itu tak pernah bisa membuatku berpikir untuk menghentikan hubungan terlarangku dengan Dewi ini. Bahkan ini justru jadi seperti tantangan untukku. Takut, tapi tetap ingin menjalani. Sepanjang perjalanan, kulihat wanita keduaku itu membisu. Sepertinya ada yang sedang dipikirkannya saat ini. "Kenapa, Wi?" Kulirik wajah murung itu di sela-se
Wanita itu segera mengalihkan pandangan ke jendela saat bersitatap dengan mata suaminya. Entah kenapa, melihat wajah lelaki itu membuat luka kehilangan calon buah hatinya semakin terasa perih bagai ribuan pedang menusuk jantungnya. Aditama Wiguna adalah lelaki yang menikahinya satu setengah tahun lalu atas bujukan ibunya. "Jaman gini kok masih dijodoh-jodohin to, Bu? Enggak ah, Runa nggak mau," protesnya waktu itu pada sang ibu. Mendengar penolakannya itu, kedua orangtuanya langsung terkekeh "Kamu bilang begitu kan karena kamu belum ketemu saja sama anaknya Tante Farida itu, Run. Nanti kalau kamu sudah lihat orangnya, pasti beda lagi ceritanya. Ya kan, Pak?" Bu Ratna menoleh pada sang suami, yang hanya menanggapinya dengan seulas senyum."Bapak sih terserah Runa. Semantapnya dia saja. Kalau dia setuju dengan rencana kamu dan Farida untuk menjodohkan mereka ya bapak nggak ada masalah. Yang penting buat bapak itu Runa harus bahagia. Itu aja." Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara
"Mbak, Mbak Runa kenapa?!" Laras berteriak panik, membuat ibunya yang sedang tertidur di sofa terbangun karena kaget."Kenapa, Ras?" Bu Farida gelagapan mencari penutup kepalanya, lalu tergopoh-gopoh menghampiri Laras yang sedang kebingungan di samping ranjang Aruna."Mbak Runa, Bu!" Laras nyaris terisak saat mengadukan kondisi Runa pada sang ibu. "Panggil suster, Ras. Cepat!" Laras pun segera berlari ke luar ruangan menuju tempat jaga perawat, sementara Bu Farida terlihat langsung mondar mandir memeriksa suhu semua bagian tubuh menantunya. Kondisi Aruna drop. Beberapa menit kemudian setelah salah satu perawat datang untuk memeriksa, terlihat dia keluar lagi untuk memanggil bantuan dua orang temannya. "Mohon Ibu tunggu di luar dulu ya," pintanya pada Bu Farida yang wajahnya sudah pucat pasi melihat kondisi sang menantu. Orang tua itu pun berjalan ke luar ruangan dengan hati cemas. "Telpon masmu, Ras! Kemana sih dia nggak balik-balik dari tadi? Katanya cuma mau beli rokok," gerut
"Sabar ya, Rid. InsyaAllah Tama akan baik-baik saja. Dia laki-laki yang kuat." Bu Ratna memeluk sahabatnya erat. Beberapa saat setelah menerima telepon dari kepolisian, tangis Bu Farida pecah saat kembali ke dalam kamar. Semua jadi panik melihat itu. Apalagi setelah wanita itu menjelaskan apa yang terjadi pada putranya. Tangis Bu Ratna dan Laras pun pecah dan saling berangkulan. Hanya Runa yang tak bereaksi apa-apa. Di atas pembaringannya, wanita itu hanya diam menitikkan air mata tanpa suara."Kalau begitu, tinggalkan saja Runa. Biar aku dan bapaknya yang mengurus dia. Sekarang yang lebih penting Tama, Rid. Urus dulu Tama," kata Bu Ratna sembari mengelus punggung sang sahabat. Bu Farida dan Laras pun menyetujui usul itu."Kamu yang tenang ya, Run. Suamimu pasti nggak kenapa-napa. Ibu tinggal dulu ya? Kamu juga harus semangat dan harus cepat sembuh. Ibu tinggal ya, Sayang," pamit Bu Farida mengedup kening menantunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit bersama anak gadisnya. *
Niat awal ingin pulang untuk beristirahat, Laras justru dibuat sakit kepala dengan kedatangan Dewi. Walau akhirnya dia berhasil mengusir teman lamanya itu dari rumahnya, tetap saja gadis itu jadi tak bisa beristirahat dengan tenang. Wajah ibunya terus saja terbayang di pelupuk mata. Tidak mungkin rasanya dia ceritakan masalah itu sekarang pada wanita itu. Ibunya yang sedang bersedih karena sakitnya putra dan menantunya pasti akan bertambah terpuruk jika harus mendengar berita buruk itu juga. Tapi jika tidak disampaikannya, kasihan sekali nasib kakak iparnya. Mbak Runa-nya pasti sangat sengsara jika tahu bahwa suaminya telah berkhianat."Bagaimana ini?" Gadis itu kini nampak hanya berjalan mondar mandir saja di dalam kamarnya. Laras benar-benar bingung harus berbuat apa. ***Sore itu di rumah sakit, Runa nampak sangat gelisah. "Apa sudah ada kabar soal Mas Tama, Bu?" tanyanya pada Bu Ratna. Tak segera menjawab pertanyaan putrinya, Bu Ratna malah bersiap untuk menyuapinya.Runa meng
"Kamu ngapain sih ke sini lagi, hah?!" Pagi itu, Laras dikejutkan lagi oleh kedatangan Dewi yang tiba-tiba. Gadis itu baru hendak masuk ke mobil untuk berangkat kerja saat Dewi datang dan mencegahnya menutup mobil. "Ras, tolong Ras, bilang sama aku dimana Mas Tama sekarang!" Ekspresi Dewi sama sekali berbeda dari saat datang di hari sebelumnya. Kali ini dia begitu panik. Entah apa yang telah terjadi pada wanita itu. Laras menatapnya dari kursi kemudi di dalam mobil dengan keheranan. "Ngapain lagi sih kamu nyari kakakku? Kalian itu bukan suami istri. Ingat itu!" ketus Laras."Tapi aku nggak bisa hubungin Mas Tama dari kemarin, Ras. Dia dimana sih? Dia ada di rumah kan? Iya kan, Ras?" tebak wanita itu, padahal dia ragu dengan pernyataannya sendiri karena tak dilihatnya mobil Tama di garasi."Nggak ada! Apa kamu nggak lihat rumah sudah aku kunci semua gitu? Nggak ada siapa-siapa di rumah, Wi. Pergi kamu! Nggak usah dateng-dateng ke sini lagi!" bentaknya."Tapi Ras, aku butuh ketemu M
"Mas Tama, gimana keadaanmu Mas?" Dewi langsung mendekati pria yang masih terbaring tak berdaya di atas pembaringan itu saat pintu kamar terbuka. Bu Farida dan Safitri yang kaget, hanya bisa terbengong menyaksikan hal itu. Beberapa detik kemudian saat tersadar, Bu Farida segera mendekat dan bertanya pada wanita yang baru datang ke kamar perawatan anak sulungnya itu. "Kamu siapa?" Bu Farida memandangi wanita yang tengah mendekap erat tas di dadanya itu. Tama yang sempat kaget di atas pembaringannya, masih belum bisa percaya bahwa Dewi nekat menemuinya di rumah sakit."Wi, kam-mu ngapain di sini?" tanyanya lirih dan terbata. "Kamu kenal wanita ini, Le? Dia siapa?" Dengan tatap curiga, Bu Farida kini memandang putranya. Tama terlihat salah tingkah di tengah kesakitannya."Itu Bu, dia De-wi …." "Dewi siapa?" Bu Farida makin lekat menatap Tama. Lalu beralih ke tamu anaknya itu. "Kamu siapa?" tanyanya kemudian."Aku Dewi, Tante. Aku temannya Mas Tama." Dengan sedikit ragu Dewi mulai men