Share

Bab 4

"Kamu ngomong apa sih, Run?" Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku. Kutatap mata sembab itu dengan lekat, tapi Runa justru memalingkan wajah dan berurai air mata lagi.

"Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu ngomong seperti itu? Coba bilang sama aku." Kulembutkan suara agar dia mau bicara. Tapi nihil, dia malah menutup rapat mulutnya kali ini.

"Sudah Mas, biarkan Mbak Runa istirahat dulu." Laras mendekati kami dan mengisyaratkan padaku untuk menyingkir. Kulihat Laras membenarkan letak bantal Runa saat aku beranjak.

Tiba-tiba kalimat terakhir Runa terngiang-ngiang di kepalaku. Kenapa dia mendadak bicara seperti itu? Apakah ini ada hubungannya dengan Dewi? Tapi mana mungkin? Runa tidak mungkin tahu hubunganku dengan Dewi. Selama ini dia terlihat baik-baik saja dan tak pernah mengatakan hal-hal yang aneh padaku, apalagi sampai mencurigaiku. Pagi itupun, dia masih bermanja-manja saat melepasku berangkat kerja. Ada apa dengan Runa?

Merasa terganggu dengan pikiran itu, aku bermaksud ke luar kamar mencari udara segar. Namun baru sampai pintu, ibu menghadangku.

"Kalian ada masalah apa?" bisiknya lirih.

Aku menoleh ke arah Runa. Saat kulihat dia masih sibuk dengan Laras, langsung kukedikkan bahu.

"Ayo ikut ibu!" Lalu ibu menarik lenganku ke luar dan mengajakku duduk di salah satu bangku depan kamar perawatan.

"Kamu beneran nggak sedang ada masalah sama istrimu, Le?" Sekali lagi ibu bertanya, membuatku bingung harus menjelaskan apa.

"Masalah apa sih, Bu? Ibu kan lihat sendiri aku sama Runa sehari-hari gimana. Nggak pernah berantem kan?"

"Ya memang enggak, Tam. Runa juga mana berani berantem sama kamu di depan ibu. Maksud ibu … apa kamu sudah melakukan hal yang menyakiti hati istrimu itu sampai dia bicara kayak tadi? Kamu selingkuh yo?" Ibu menatap mataku tajam, membuatku langsung gelagapan. Tentu saja aku kaget ibu bertanya seperti itu padaku, karena selama ini hampir tak pernah ada pembicaraan aneh seperti itu di rumah kami.

"Jangan ngacau ah, Bu. Mana mungkin aku begitu?" Kupalingkan wajah ke arah lain agar ibu tak melihat sesuatu yang aneh pada raut mukaku. Sejujurnya, jantungku tiba-tiba berdetak cepat karena takut ibu akan mengetahui apa yang sedang kusembunyikan.

Ibuku adalah wanita yang pernah tersakiti karena ditinggalkan bapak menikah dengan wanita lain. Bagaimana jadinya jika dia tahu anak lelakinya ini berbuat hal yang sama dengan orang yang telah mengkhianatinya? Aku bergidik membayangkan kemarahan ibu.

"Ibu bukan nuduh kamu, Tam. Ibu cuma ingin memastikan kamu tidak berbuat hal yang menyakiti istrimu. Ibu tidak akan memaafkanmu kalau sampai kamu berbuat seperti itu," terangnya. Kalimatnya kalem, tapi sangat menusuk ke jantungku.

"Enggak Bu, enggak. Percaya deh sama Tama. Tama nggak mungkin beg …." Belum sempat kuselesaikan kalimat, tiba-tiba Laras keluar dari kamar.

"Bu, lihat HPnya Mbak Runa nggak?" tanyanya.

"HP Runa? Ibu nggak lihat tuh. Memangnya dibawa ke sini tadi?" Ibu balik bertanya.

"Bukan begitu maksud Laras, tadi pas ibu sama Mas Tama pulang, HP Mbak Runa dibawain ke sini nggak?"

"Walah, mana ibu kepikiran masalah HP to, Ras. Mbakyumu itu yang lebih penting. Coba kamu telpon si Fitri, suruh simpankan dulu HPnya Runa kalau ada di rumah."

"Iya udah, Laras telpon Mbak Fitri dulu kalau gitu."

Laras pun kembali ke dalam kamar, disusul ibu setelah mengucapkan wejangan-wejangannya padaku. Dan aku hanya menanggapinya dengan mengangguk-angguk seperti biasa.

Mendengar Laras menyebut kata HP, aku jadi teringat Dewi. Entah sudah berapa jam kubiarkan dia menunggu. Tanganku pun mulai bergerak ke saku celana untuk meraih benda pipih itu. Namun kemudian kata-kata ibu barusan begitu menggangguku. Haruskah kuakhiri saja hubunganku dengan Dewi saat ini? Aku takut ibu akan murka jika tahu kelakuan anak lelaki yang dibanggakannya ini. Tapi mana mungkin aku sanggup hidup tanpa Dewi? Wanita itu benar-benar sudah membuatku tergila-gila.

Perlahan aku bangkit, lalu melongok sebentar ke dalam kamar perawatan Runa. "Bu, Tama cari rokok dulu ya di depan," pamitku.

"Ya, jangan lama lama lho," pesannya.

Kusempatkan untuk melihat ke arah Runa berbaring, tapi dia langsung menoleh ke tempat lain saat mata kami bertemu. Ah, biarkan saja, mungkin dia hanya sedang terbawa perasaan karena sedang sedih. Nanti dia pasti juga akan ceria lagi seperti biasanya.

Kemudian aku melangkah sedikit tergesa menyusuri koridor. Niatku hanya ingin mencari warung di depan rumah sakit, lalu memesan kopi agar bisa menelpon Dewi dengan leluasa. Kakiku baru keluar dari lobby rumah sakit saat tiba-tiba ada tangan yang menarikku. Aku kaget, walau kaki ini refleks sempat mengikuti gerakannya menjauh dari pintu.

"Dewi? Ngapain kamu di sini?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fati Ma
aku suka banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status