"Apa yang kamu lakukan di sini? Kalau ada yang lihat gimana?" Aku mengoceh sambil mengikuti langkah cepatnya.
"Memangnya kenapa? Kita kan nggak ngapa-ngapain." Dia terus melangkah sambil menjawab ucapanku sebelum akhirnya berhenti di samping bangunan gedung rumah sakit yang cahayanya sedikit remang dan sepi."Kamu jangan keterlaluan dong, Mas! Kok aku sama sekali nggak direspon sih? Kan aku khawatir," omelnya kemudian."Ya ampuun Wi, kamu kan tahu aku lagi ada musibah. Ngertiin dulu dong." Kutatap wajah cemberut di depanku itu. Kini dia bersedekap menatapku, seolah aku adalah anak kecil yang pantas dimarahi karena pergi tidak pamit."Iya, tapi setidaknya kan kasih kabar, jangan pesanku malah cuma dibaca doang. Siapa yang nggak mikir aneh-aneh coba kalau kayak gitu?" protesnya."Iyaa, maaf. Ini aku tadinya juga mau nelpon kamu, Wi. Ibu sama adekku di dalam. Nggak mungkin kan aku telponan atau kirim-kiriman pesan sementara istriku lagi kayak gitu?""Memangnya gimana keadaannya?" Dewi terlihat mulai melunak."Sudah membaik. Tapi anak kami ….""Kenapa anak kalian?"Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya bicara. "Nggak bisa tertolong, Wi.""Hmmm gitu?""Iya. Ya sudah, kamu sekarang balik ya? Aku nggak mau kita kena masalah kalau ada yang lihat." Ragu aku menyentuh tangannya, tapi dia malah melihatku dengan tatapan aneh."Kenapa sih megangnya kayak orang jijik gitu?"Aduuh salah lagi aku. Dia marah gara-gara aku cuma menyentuh sebentar tangannya. Sebenarnya bukan apa-apa, aku hanya takut saja ada orang yang kukenal melihatku sedang bersama wanita lain yang bukan istriku, apalagi dalam kondisi Runa sedang kena musibah seperti sekarang."Su'udzon terus sih, Wi? Kita ini lagi di tempat umum lho. Memangnya aku harus gimana? Kan nggak mungkin peluk-pelukan juga." Aku mendecih kecil."Iyaa, tapi nggak perlu kayak orang jijik gitu juga dong. Dah ah, ayo anterin aku pulang." Dia menarik tanganku, tapi refleks kutepis."Wii, ingat! Kita di tempat umum lho ini. Jangan begini!""Tuh kan, gitu? Kita berhubungan udah hampir setahun lho, Mas. Masih mau ngumpetin aku terus? Toh anak kalian udah nggak ada kan? Jadi buat apa kamu masih bertahan sama dia?"Aku tersentak mendengar kalimatnya. Entah apa ini kebetulan atau tidak, tapi kenapa ucapan Dewi dan Runa hari ini bisa sama?"Sebentar, sebentar. Maksud kamu ngomong gitu tadi apa, Wi?" Aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran."Masa harus dijelasin sih, Mas? Istrimu kan udah nggak hamil lagi to? Ceraiin aja dia. Kan udah ada aku yang bisa gantiin."Mulutku membulat saking terkejutnya. Tidak. Sepertinya ada yang salah dengan semua ini. Aku memang sangat menyukai Dewi. Saat bersamanya aku memperoleh apa yang tak bisa kudapatkan dari Runa.Runa memang bukan kriteria wanita idamanku selama ini. Dia hadir dalam hidupku karena ibuku sudah sangat ingin aku menikah waktu itu, sementara aku masih belum punya seseorang yang dekat. Lalu muncullah ide ibu untuk menjodohkanku dengan putri sahabatnya semasa kecil di kampung.Awalnya aku memang menolak. Tapi saat diperkenalkan dengan gadis bernama Aruna Respati itu, sepertinya dia tak begitu jelek. Bahkan wajahnya terlihat manis dan keibuan.Berbekal itu, aku pun menerima perjodohan ibu dan Tante Ratna. Ibu sangat bahagia karena ternyata Runa bisa menjadi menantu sesuai dengan harapannya. Runa sopan, penurut, pandai menyenangkan hati orangtua. Dia juga pintar memasak masakan kesukaan kami dan sangat rajin.Jika sedang ada acara apapun, ibu selalu ingin membawa Runa serta. Dia sangat bangga memperkenalkan menantunya itu pada teman-temannya. itulah kenapa terkadang sering membuat cemburu Laras. Walau cemburunya Laras itu hanya sebatas candaan, karena Laras sendiri juga terlihat sangat menyayangi Runa. Bahkan jika sedang ngobrol berdua, mereka bisa melupakan aku yang ada di dekatnya.Tapi walau aku tidak mencintai Runa seperti pasangan pada umumnya, rasanya tak pernah ada sedikitpun niat di hati untuk menceraikannya. Kehadiran Dewi memang sangat membuatku bahagia, tapi menceraikan Runa? Mungkinkah itu? Bagaimana caraku menjelaskan pada keluarga besarku jika aku memutuskan untuk menceraikan wanita itu?"Mas! Kok malah ngelamun sih? Ayo anterin. Mau nggak nganterin?" Ucapan Dewi mengagetkanku."Tapi Wi ….""Mau nggak? Kalau nggak mau ya udah nggak apa-apa. Tapi nggak usah coba-coba temuin aku ya? Males banget aku."Usai mengatakan itu, kulihat dia segera membalikkan badan. Sepertinya dia bermaksud meninggalkanku. Seketika aku langsung panik dan dengan cepat kuraih lengannya sampai tubuh sintal itu kembali berada tepat di depanku lagi."Ya udah, aku anterin. Tapi …."Meski telah sangat paham dengan perasaan Runa, Bu Farida tetap tak rela melihat apa yang menimpa menantu kesayangannya itu. Namun apapun yang dikatakan oleh ibu mertuanya kali ini, sepertinya sudah tak bisa berpengaruh pada keputusan Runa. Malam itu, Runa memutuskan untuk tidur terpisah dari Tama. Tama yang masih terjaga tampak kaget melihat istrinya menenteng bantal guling dan bersiap meninggalkan kamar usai membersihkan diri seperti biasa. “Mau kemana?” tanyanya kaku, berusaha menghilangkan rasa penasaran. Sambil sedikit merendahkan gengsinya, tentu saja.“Oh iya, aku belum pamit ya, Mas?” Runa pun menghentikan langkah. Wanita dengan setelan piyama panjang itu kembali berjalan mendekat ke arah suaminya yang tadinya sudah bersiap untuk memejamkan mata. Hati Tama tiba-tiba berdesir kala Runa mulai duduk di tepi ranjang, sangat dekat sekali dengan tempatnya berbaring. “Aku sudah memutuskan, Mas,” ujarnya kemudian, usia menghela nafas berat. Tama mengerutkan dahi mendengar itu. “Me-m
Nama itu seperti tak asing di telinga Runa. Dia sepertinya telah beberapa kali mendengarnya disebutkan dalam perbincangan ibu mertua dan adik iparnya belum lama ini. "Ada perlu dengan saya?" tanya Runa hati-hati usai mendudukkan diri di kursi tamu. Sepertinya dia agak sedikit waspada dengan maksud dan tujuan wanita di depannya itu menemuinya. Wanita itu malah tertawa kecil dengan nada seperti meremehkan. "Kalau tidak ada perlu, aku nggak akan ke sini mencarimu, Nyonya Tama," katanya. Runa sedikit terkejut. Mereka berdua baru pertama kali bertemu, tapi gelagat wanita itu seolah sudah mengenal Runa lama. Sikapnya, bagi Runa juga kurang sopan. "Maaf, tapi sepertinya kita belum pernah bertemu," ucap Runa dengan dahi berkerut. Sepertinya dia pun mulai mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita di hadapannya saat ini. "Suamimu sudah banyak cerita soal kamu, Runa." Jantung Runa rasanya langsung berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Suaminya? Itu berarti Tama? Jadi, wanita inikah
Seminggu setelah Runa kembali bekerja, Tama semakin sering uring-uringan. Entah kenapa dengan lelaki itu. Padahal biasanya dia tak terlalu peduli dengan kehadiran istrinya itu di sampingnya. Namun semenjak tak dilihatnya Runa hingga beberapa jam di rumah, Tama merasa ada yang kurang. Tak ada yang bolak balik keluar masuk ke dalam kamar mereka dan menanyakan makan seperti biasa. Pun tak ada yang bisa dia suruh- suruh ini dan itu beberapa hari ini. Meski Dewi tak pernah absen mengirimkan pesan setiap hari, bahkan jika Bu Farida sedang keluar, Tama dengan berani menelpon wanita simpanannya itu hanya untuk mengobrol tak jelas di kamarnya. Safitri satu-satunya orang yang kerap jadi sasaran amarahnya sekarang. Jelas dia tak akan berani marah pada sang ibu.Seperti hari ini, Tama begitu rewel minta ini dan itu pada asisten rumah tangga itu sambil marah-marah tak jelas, membuat Safitri hampir kehilangan kesabarannya. Namun sebagai seorang pembantu, wanita itu tak bisa berbuat banyak. Akhirny
"Run! Runaaa!"Terdengar suara teriakan Tama dari kamarnya. Bu Farida yang sedang membantu Safitri membereskan jemuran di halaman belakang sampai kaget mendengar itu. Wanita paruh baya itu pun bergegas masuk ke rumah. "Ada apa, Tam? Kenapa teriak-teriak gitu?" tanya sang ibu."Ini lho, Tama mau ambil buku itu. Runa kemana sih?" tanya lelaki itu gusar. "Kamu ini gimana? Tadi pagi bukannya kamu sudah dipamiti sama istrimu kalau hari ini dia mulai kerja. Kok sudah lupa to." Tama merengut. Dia sebenarnya bukan lupa, tapi dia memang hanya ingin berteriak saja karena kesal dengan kondisinya yang tidak bisa apa-apa. "Kalau butuh apa-apa kan bisa panggil ibu. Jangan teriak gitu. Nggak enak didengar tetangga," jelas sang ibu."Nanti ibu capek ngurusin Tama." Lelaki itu merajuk, melengos ke arah lain."Yo ndak apa-apa to capek, namanya juga ngurus anak." Bu Farida terkekeh kecil, menertawakan tingkah sulungnya."Lagian kenapa sih Runa pakai kerja segala. Padahal aku kemarin udah larang dia,
[Aku udah kangen banget, Mas. Aku ke situ ya?] Wanita itu menuliskan kalimat bernada rengekan yang langsung membuat muka Tama merah padam. [Jangan Sayang, sabarlah sedikit. Plis, jangan ke sini.] Di tengah kepanikan, Tama membalas. Dia tahu bagaimana watak Dewi. Terkadang wanita itu bisa sangat nekat jika tak dibujuk pelan-pelan.[Sampai kapan, Mas? Aku udah nggak tahan pengen ketemu kamu.] Wanita di seberang sana terus saja merengek dalam tulisannya.[Wi, tolong jangan kasih aku masalah. Meskipun saat ini kita masih belum bisa ketemu, tapi aku tetep berusaha selalu kasih kamu jatah loh. Jadi tolong mengerti ya, Sayang?][Kamu kapan dong sembuhnya, Mas? Kan waktunya belum jelas. Aku udah nggak tahan. Aku kangen.] Lagi-lagi Tama menghela nafas membaca itu. Sebenarnya dia pun sama tidak tahannya dengan selingkuhannya, tapi apa daya kondisinya tak memungkinkan untuk saling bertemu.[Ya sabar lah, Wi. Sakitku ini kan bukan masuk angin yang sebentar aja udah sembuh. Aku bisa diamuk orang
Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb