Share

Bab 5

"Apa yang kamu lakukan di sini? Kalau ada yang lihat gimana?" Aku mengoceh sambil mengikuti langkah cepatnya.

"Memangnya kenapa? Kita kan nggak ngapa-ngapain." Dia terus melangkah sambil menjawab ucapanku sebelum akhirnya berhenti di samping bangunan gedung rumah sakit yang cahayanya sedikit remang dan sepi.

"Kamu jangan keterlaluan dong, Mas! Kok aku sama sekali nggak direspon sih? Kan aku khawatir," omelnya kemudian.

"Ya ampuun Wi, kamu kan tahu aku lagi ada musibah. Ngertiin dulu dong." Kutatap wajah cemberut di depanku itu. Kini dia bersedekap menatapku, seolah aku adalah anak kecil yang pantas dimarahi karena pergi tidak pamit.

"Iya, tapi setidaknya kan kasih kabar, jangan pesanku malah cuma dibaca doang. Siapa yang nggak mikir aneh-aneh coba kalau kayak gitu?" protesnya.

"Iyaa, maaf. Ini aku tadinya juga mau nelpon kamu, Wi. Ibu sama adekku di dalam. Nggak mungkin kan aku telponan atau kirim-kiriman pesan sementara istriku lagi kayak gitu?"

"Memangnya gimana keadaannya?" Dewi terlihat mulai melunak.

"Sudah membaik. Tapi anak kami …."

"Kenapa anak kalian?"

Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya bicara. "Nggak bisa tertolong, Wi."

"Hmmm gitu?"

"Iya. Ya sudah, kamu sekarang balik ya? Aku nggak mau kita kena masalah kalau ada yang lihat." Ragu aku menyentuh tangannya, tapi dia malah melihatku dengan tatapan aneh.

"Kenapa sih megangnya kayak orang jijik gitu?"

Aduuh salah lagi aku. Dia marah gara-gara aku cuma menyentuh sebentar tangannya. Sebenarnya bukan apa-apa, aku hanya takut saja ada orang yang kukenal melihatku sedang bersama wanita lain yang bukan istriku, apalagi dalam kondisi Runa sedang kena musibah seperti sekarang.

"Su'udzon terus sih, Wi? Kita ini lagi di tempat umum lho. Memangnya aku harus gimana? Kan nggak mungkin peluk-pelukan juga." Aku mendecih kecil.

"Iyaa, tapi nggak perlu kayak orang jijik gitu juga dong. Dah ah, ayo anterin aku pulang." Dia menarik tanganku, tapi refleks kutepis.

"Wii, ingat! Kita di tempat umum lho ini. Jangan begini!"

"Tuh kan, gitu? Kita berhubungan udah hampir setahun lho, Mas. Masih mau ngumpetin aku terus? Toh anak kalian udah nggak ada kan? Jadi buat apa kamu masih bertahan sama dia?"

Aku tersentak mendengar kalimatnya. Entah apa ini kebetulan atau tidak, tapi kenapa ucapan Dewi dan Runa hari ini bisa sama?

"Sebentar, sebentar. Maksud kamu ngomong gitu tadi apa, Wi?" Aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

"Masa harus dijelasin sih, Mas? Istrimu kan udah nggak hamil lagi to? Ceraiin aja dia. Kan udah ada aku yang bisa gantiin."

Mulutku membulat saking terkejutnya. Tidak. Sepertinya ada yang salah dengan semua ini. Aku memang sangat menyukai Dewi. Saat bersamanya aku memperoleh apa yang tak bisa kudapatkan dari Runa.

Runa memang bukan kriteria wanita idamanku selama ini. Dia hadir dalam hidupku karena ibuku sudah sangat ingin aku menikah waktu itu, sementara aku masih belum punya seseorang yang dekat. Lalu muncullah ide ibu untuk menjodohkanku dengan putri sahabatnya semasa kecil di kampung.

Awalnya aku memang menolak. Tapi saat diperkenalkan dengan gadis bernama Aruna Respati itu, sepertinya dia tak begitu jelek. Bahkan wajahnya terlihat manis dan keibuan.

Berbekal itu, aku pun menerima perjodohan ibu dan Tante Ratna. Ibu sangat bahagia karena ternyata Runa bisa menjadi menantu sesuai dengan harapannya. Runa sopan, penurut, pandai menyenangkan hati orangtua. Dia juga pintar memasak masakan kesukaan kami dan sangat rajin.

Jika sedang ada acara apapun, ibu selalu ingin membawa Runa serta. Dia sangat bangga memperkenalkan menantunya itu pada teman-temannya. itulah kenapa terkadang sering membuat cemburu Laras. Walau cemburunya Laras itu hanya sebatas candaan, karena Laras sendiri juga terlihat sangat menyayangi Runa. Bahkan jika sedang ngobrol berdua, mereka bisa melupakan aku yang ada di dekatnya.

Tapi walau aku tidak mencintai Runa seperti pasangan pada umumnya, rasanya tak pernah ada sedikitpun niat di hati untuk menceraikannya. Kehadiran Dewi memang sangat membuatku bahagia, tapi menceraikan Runa? Mungkinkah itu? Bagaimana caraku menjelaskan pada keluarga besarku jika aku memutuskan untuk menceraikan wanita itu?

"Mas! Kok malah ngelamun sih? Ayo anterin. Mau nggak nganterin?" Ucapan Dewi mengagetkanku.

"Tapi Wi …."

"Mau nggak? Kalau nggak mau ya udah nggak apa-apa. Tapi nggak usah coba-coba temuin aku ya? Males banget aku."

Usai mengatakan itu, kulihat dia segera membalikkan badan. Sepertinya dia bermaksud meninggalkanku. Seketika aku langsung panik dan dengan cepat kuraih lengannya sampai tubuh sintal itu kembali berada tepat di depanku lagi.

"Ya udah, aku anterin. Tapi …."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status