Share

Khawatir!

****

Setelah kepergian Nita aku merenung sendiri di dalam kamar. Banyak pertanyaan yang mulai memenuhi benakku, bahkan rasa bersalah pun tiba-tiba menyeruak begitu saja.

Mataku tak kunjung dapat terpejam, permasalahan tadi benar-benar membuang banyak energi yang kupunya. Bahkan sekarang aku merasakan seperti ada sesuatu yang membuat dadaku terasa terhimpit.

Hingga menimbulkan sesak yang kian mendera.

Karena tak kunjung bisa tenang, aku lalu duduk dari posisi berbaring. dan memilih untuk menenangkan pikiran dengan cara mencoba mengerjakan pekerjaan yang masih belum selesai.

"Astaga!" Aku menepuk jidat pelan.

Karena banyaknya permasalahan yang kuhadapi, aku sampai-sampai melupakan bahwa besok ada pertemuan penting di kantor.

Dengan tergesa-gesa aku bergegas menyiapkan berkas-berkas yang akan kubawa besok. Sarah juga, mengapa dia tak mengirimkan pesan untuk mengingatkan aku.

Argh! Benar-benar tak dapat diandalkan, pikirku.

Biasanya jika sedang sibuk bekerja, Nita akan menemaniku, membuatkan secangkir kopi untukku. Dia kadang bercerita tentang hari-harinya di toko kue yang ia punya, bahkan kadang menyanyi-nyanyi tak jelas.

Dan aku hanya mendengarkan sambil berdecak kesal. Entahlah, dulu menurutku itu membosankan. Namun malam ini, aku merasa kesepian tanpa cerita hangat yang biasa disajikannya.

Aku melihat jam di tangan, ternyata sudah hampir jam satu pagi. Tak terasa hampir dua jam aku mengerjakan proposal, akhirnya selesai juga.

Ya, meskipun beberapa kali aku sudah melakukan kesalahan. Namun tak masalah akhirnya juga aku menemukan hasil yang bagiku cukup memuaskan.

Ting!

Tiba-tiba pesan masuk ke ponselku. Dan pengirim pesan itu adalah Papa. Pikiran negatif mulai memenuhi pikiranku, apa jangan-jangan Nita mengadu pada Papa, pikirku yang mulai khawatir.

[Bagaimana perusahaan yang Papa tinggalkan, baik-baik saja, 'kan?] Aku membaca pesan itu berulang kali, setelahnya mengembuskan napas lega. Kupikir aku akan dimarahi, ternyata Papa hanya ingin tau bagaimana perkembangan perusahaan.

[Baik-baik saja, Pa,] balasku.

Tak lama, balasan langsung keterima.

[Kalo menantu Mama bagaimana, dia baik-baik saja, 'kan?] tulis Mama, rupanya mereka berdua memakai ponsel yang sama.

[Nita juga baik-baik saja, Ma,] balasku dengan jawaban yang berbohong.

[Mama mau vc dong, kangen sama menantu Mama yang unyu itu. Nggak sabar banget nunggu cucu Mama lahir,] balas Mama lagi yang membuatku terdiam, Cucu, itu artinya anakku.

Rasa bersalah kembali menghampiriku.

[Nita sudah tidur, Ma, lagipula di sini sudah jam 1 pagi. Mana ada yang bangun jam segini, wilayah kita itu berbeda, Ma,] balasku mencoba mengalihkan pembicaraan. Agar Mama tak bertanya-tanya lagi. Tak ingin larut dalam berbalas pesan, aku segera mematikan ponsel.

Lalu ke luar kamar, membawa kunci cadangan kamar tamu.

"Nita?" panggilku padanya. Namun tak ada sahutan dari dalam kamar.

Aku memegang engsel pintu, lalu dengan ragu ingin membukanya

"Apa-apaan ini untuk apa aku peduli pada gadis gendut itu. Mending sekarang aku tidur, karena besok harus datang lebih awal ke kantor," gumamku pada diri sendiri.

Aku lalu berbalik dan ingin menjauh dari kamar yang ditempati Nita. Namun lagi-lagi hatiku berkata, aku harus melihatnya.

Dengan meyakinkan diri dan menepiskan rasa ragu. Aku tetap memilih kata hati untuk melihat bagaimana keadaan Nita sekarang.

Ceklek!

Pintu terbuka. Aku menatap sekeliling masih sangat terang.

Kuedarkan pandangan, dan tak sengaja pandanganku langsung tertuju pada Nita yang tertidur di atas sajadah.

Jujur, dari dalam hati nurani. Aku tak tega melihat wajahnya dengan mata yang sembab dan bibir pucat.

Aku berinisiatif untuk mengangkatnya ke atas ranjang.

Aku melepaskan mukenanya. Nita mengerjapkan mata. Lalu pandangan mata kami beradu.

Mata coklat ini sangat indah, batinku tiba-tiba berucap.

Sempat beberapa menit kami saling bersitatap, tiba-tiba Nita mendorongku dengan sangat keras.

"Argh!" teriakku saat aku terjatuh dari atas ranjang dengan pinggul yang terasa sakit.

Nita hanya memandangi tanpa berniat membantu.

"Apa yang kau butuhkan?" tanyanya dingin dengan wajah datar.

Dia ... bukan Nita yang kukenal. Aku merasakan perubahan padanya.

"Aku ... aku--" Tenggorokanku rasanya tercekat. Alasan yang kucoba rangkai di pikiran, tak juga membuahkan hasil.

"Kenapa aku tiba-tiba jadi begini," gumamku pelan.

"Jika tidak ada, silakan pergi ke kamar Anda, Tuan." Nita lalu menatapku dan pintu secara bergantian.

"Kau siapa menyuruhku, ini rumahku. Jadi aku berhak tidur di mana pun," ucapku padanya. Aku berdiri lalu berniat naik ke atas ranjangnya.

"Baiklah, aku saja yang akan ke luar dari kamar ini," ucapnya yang membuat langkahku terhenti.

"Tak perlu, tidurlah, kau harus menjaga kesehatan dan juga anak yang berada dalam perutku. Lagipula ini juga sudah hampir pagi. Aku akan kembali ke kamarku."

"Tak perlu mengkhawatirkan aku dan juga anakku," jawabnya.

"Bukan aku, tapi ini perintah Papa dan juga Mama," ujarku lalu menatap mata dan perutnya secara bergantian.

Setelahnya aku beranjak, dan mulai ke luar dari kamar.

Nita hanya diam, kulihat matanya sangat bengkak, pipinya memerah. Sepertinya dia lama menangis.

Cantik, ucapku di dalam hati. Namun setelah tersadar, aku buru-buru langsung menggeleng-gelengkan kepala.

Apa yang kau pikirkan, Damar, batinku berkata.

Aku bergegas ke luar kamar Nita dan menuju ke kamarku.

***

Pagi hari.

Aku benar-benar kelimpungan. Pakaian kantorku yang biasanya sudah disiapkan tak ada di sini. Bahkan sekarang aku harus mencarinya sendiri.

Nita benar-benar membuatku rusuh. Hanya karena aku memarahinya tadi malam, ia lupa akan kewajibannya sebagai istri.

"Nita!" teriakku padanya.

Beberapa menit, Nita tak kunjung datang ke kamarku.

Aku terpaksa ke luar hanya menggunakan boxer dan juga kaus putih.

Aku mencari keberadaan Nita, ternyata dia sedang menata makanan di meja bersama Mpok Wati.

"Nita, di mana baju kerjaku yang berwarna biru?" tanyaku padanya.

Nita menatapku dari atas hingga bawah. Ia lalu mendekat. Kukira menghampiriku, tapi ternyata malah melewatiku begitu saja.

Aku mengikuti Nita dari belakang.

Ia lalu membuka lemari bajuku, mengambil baju, celana, dan jas. Selanjutnya Nita juga menyiapkan kaus kaki dan sepatu.

Aku memperhatikan apa yang dilakukan Nita. Dia benar-benar telaten mengurus perlengkapan pakaian kerjaku.

Tadi saat aku membuka lemari, aku tak menemukan apa yang kucari. Namun mengapa setelah Nita yang mencarinya, tak menunggu waktu lama langsung ketemu.

Pasti Nita mempunyai ilmu untuk menyembunyikan apa yang kuperlukan, batinku

.

"Nita, tolong masukkan berkas yang di atas meja itu ke dalam tas kantorku, ya." Aku meminta tolong pada ia yang melangkah ke luar kamar.

Awalnya Nita berhenti, tapi selanjutnya ia malah berlalu begitu saja.

Aku merasa seperti meminta tolong pada patung. Tak ingin menunggu lama, aku bergegas pergi ke kamar mandi. Setelahnya langsung berpakaian, dan bergegas memasukkan berkas yang akan kubawa untuk meeting.

Jam di lenganku sudah menunjukkan pukul enam kurang 3 menit.

Aku melangkahkan kaki menuju meja makan.

Di sana Nita sedang menikmati roti dan juga segelas susu.

Hanya keheningan yang memenuhi ruangan di sini. Nita fokus dengan makanannya, sedangkan aku sesekali melirik ke arahnya.

"Nita, untuk perlakuanku tadi malam. Tolong jangan diambil hati, aku--" Belum selesai aku berbicara, Nita langsung memotong pembicaraanku begitu saja. Benar-benar tak sopan.

"Tak masalah, aku sudah terbiasa dengan hal itu." Nita menjawabnya dengan nada tegas dan dingin. Ia membersihkan sisa makanan di mulutnya, lalu meninggalkanku sendiri di sini yang termenung.

"Tuan, ini bekal yang sudah disiapkan, Nyonya." Tiba-tiba Mpok Wati datang dengan membawakan kotak nasi.

Aku menatapnya sebentar, lalu mengambil kotak di tangannya. Bahkan di saat marah pun dia masih sempat menyiapkan makanan untukku. Ya, walaupun bukan dia yang langsung memberikannya padaku dan melalui perantara orang lain. Namun, seperti ini saja membuatku sedikit senang, itu artinya masih ada sisa perhatiannya untukku, bahkan bisa dibilang dia juga masih menyimpan rasa cinta yang begitu besar padaku. Tak ingin berlarut-larut dengan perasaanku yang aneh ini, aku langsung memutuskan untuk bergegas berangkat bekerja agar nantinya tak terlambat.

Namun lagi, kali ini kepergianku ke kantor sangat terasa hampa, tak ada lagi Nita yang mengantarkan kepergianku dengan senyum yang merekah. Tak ada lagi ocehan-ocehan cerewetnya yang mengiringi keberangkatanku. Ah, entah mengapa aku merindukan itu.

Apa-apaan ini, kenapa pikiranku malah selalu terfokus pada Nita. Aneh, jangan sampai karena kejadian tadi malam aku mulai jatuh cinta padanya.

Argh! Tak dapat kubayangkan bagaimana seorang Danar Bagaskoro bisa luluh pada wanita yang levelnya jauh lebih rendah daripada dirinya.

Sudahlah, untuk apa juga aku memikirkan wanita itu yang ada dia hanya akan membuatku semakin stres saja.

"Tuan," panggil Pak Sopir. Aku yang sedang melamun langsung terkejut mendengarnya memanggil

"Ya," jawabku.

"Ayo berangkat sekarang, Tuan," ujarnya. Aku lalu menganggukkan kepala. Pandanganku tak sengaja melihat ke kamar yang ditempati Nita, ternyata dia sedang berdiri di sana dengan raut wajah datar.

Aku menatapnya dari kejauhan, bahkan untuk melambaikan tangan saja ia tak melakukan itu. Hanya tatapan sendu yang diperlihatkannya setelahnya, tapi tetap saja senyuman tak menghiasi bibirnya.

secepat itukah Nita berubah, padahal rasanya tadi malam aku mencoba untuk berbuat lebih lembut padanya. Namun, sepertinya tetap saja ia mempertahankan egonya.

Tak ingin berlama-lama, aku segera masuk ke mobil dan menunggu tiba ke perusahaan milikku dengan pikiran kacau yang kubawa.

Nita, Nita, mengapa sekarang hanya dirimu yang memenuhi pikiranku, keluhku membatin.

-

-

Next?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Eka Hasriana
hehehe... diamnya wanita
goodnovel comment avatar
Kuswati Budi
ya gitu nita biarkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status