Share

Nita Menangis Lagi!

****

Aku memasuki rumah dengan bersenandung ria. Kuedarkan pandangan ke sana kemari, rumah ini masih tetap sama. Namun dengan keadaan yang sepi.

Tak kutemukan Nita baik di ruang keluarga, maupun di dapur.

"Astaga! Apa jangan-jangan dia pergi dari rumah," tebakku. Aku langsung panik, mencarinya ke sana kemari.

"Gila! Ke mana dia." Aku berusaha beripkir positif, tak ingin gegabah dan membuat kesalahan yang sama lagi. Setelahnya mencoba untuk menenangkan pikiran yang mulai kacau.

"Nita!!!" teriakku dari dalam rumah.

Namun tak kunjung ada sahutan dari pemilik nama itu.

"Mpok Ti!!!" Aku mencoba memanggil Mpok Wati. Tak lama, terdengar sahutan dari dapur.

"Iya, Tuan!" sahutnya terdengar samar-samar.

Aku lalu bergegas menghampirinya dengan keadaan panik tadi. Mpok Wati yang melihatku juga malah ikutan panik.

"Ada apa, Tuan?" tanyanya terlihat bingung.

"Mpok, Nita di dimana?" ucapku sambil memegang lengannya.

"Nyonya Nita?" tanya Mpok Wati padaku. Ia terlihat mengerutkan kening, menatapku dengan pandangan heran dan tak bisa kuartikan. Aku menunggunya untuk berbicara.

"Bukannya tadi Nyonya ke luar ya, Tuan. Katanya ke luar bersama Tuan!"

Aku menganga tak percaya. Mana mungkin, bukankah Mpok Ti harusnya tau, bahwa kami tadi sempat bertengkar hebat.

"Mpok gimana sih, kan tadi pagi kami bertengkar. Gimana caranya saya bisa ngajak dia ke luar," omelku padanya.

Mpok Wati terlihat tak nyaman. Sedangkan aku gusar karena tak tahu ia pergi ke mana.

"Maaf, Tuan. Saya pikir yang pergi bersama Nyonya tadi adalah Tuan," jawabnya lagi yang membuatku kelimpungan.

Bagaimana bisa, pergi bersama? Apa maksudnya. Apa jangan-jangan Nita selingkuh di belakangku.

"Arrggh!" teriakku keras.

Teriakanku mengagetkan Mpok Wati.

"Eh, ayam-ayam."

Mpok Wati melompat, karena terkejut mendengar teriakanku. Sedangkan aku kembali ke ruang tamu, lalu mengusap wajah dengan kasar.

"Lu ke mana sih! Ada bikin susah, nggak ada malah tambah bikin susah. Emang hidup lu bisanya bikin orang susah aja!" teriakku tak beraturan.

Puk!

Tiba-tiba terdengar bunyi sesuatu yang terjatuh.

Mataku langsung tertuju ke arah pintu. Di mana Nita berdiri dengan tatapan sendu.

Ia mengambil plastik yang jatuh.

Aku tak tau apa yang dibawanya, tapi sepertinya makanan.

"Darimana kamu?" tanyaku padanya.

"D-dari rumah Putri, Mas," jawabnya dengan suara bergetar.

"Apa itu yang kau bawa?" tanyaku padanya.

"Ini?" tanyanya balik yang membuatku berdecak.

"Ya!" jawabku singkat.

"Martabak manis kesukaanmu, Mas. Tadi aku membelinya, waktu ingin pulang ke sini." Ia lalu maju dan memberikannya padaku.

Aku tak langsung mengambilnya. Pandanganku menelisik menatap wajahnya lalu turun hingga ke telapak kakinya.

"Buang saja, aku sudah tak suka dengan martabak." Aku bersyukur di dalam hati, karena Nita tak pergi dan akhirnya rasa panik ini berubah menjadi rasa lega. Andai saja dia bilang dari awal bahwa ingin pergi, pasti aku juga tidak akan marah-marah seperti tadi, 'kan?

Aku membuang pandangan dari makanan itu dan tentu saja tak ingin menatap raut wajah sedihnya. Bukannya malah kasihan yang ada hanya membuatku bertambah kesal padanya.

"Sejak kapan?" tanya Nita menatapku.

"Apanya?" tanyaku balik tanpa menatapnya.

"Sejak kapan kau tak menyukai martabak ini?" tanyanya lagi dengan suara yang mulai parau.

"Sejak kau menjatuhkannya!" Aku menatap Nita dengan tajam, ia lalu menunduk dalam.

"T-tapi ini bersih, Mas. Aku hanya tak sengaja menjatuhkan plastiknya saja," jawab Nita pelan dan terdengar lembut di telinga

Tidak-tidak, aku tak boleh luluh padanya. Bisa saja ini adalah trik yang digunakan Nita agar aku jatuh cinta padanya.

Aku lalu mengambil martabak dari tangannya dan melemparkannya dengan sangat kasar

"Mas!" teriaknya. Air matanya mengalir membasahi ke dua pipinya yang berisi.

"Nggak usah cengeng!" bentakku lagi padanya.

"Aku rela membelikannya hujan-hujanan, agar kau tak marah lagi padaku. Aku rela membelinya dan hampir saja membuatku kehilangan nyawa!" teriaknya padaku.

"Harusnya dari awal aku tak pernah memaksakan kehendakku. Harusnya dari awal, aku tak pernah berkhayal tinggi bahwa suatu saat kau akan mencintaiku! Karena semua yang kukhayalkan hanya menambah lukaku semakin banyak dan menganga!" ujarnya dengan suara nyaring.

Baru kali ini aku melihat Nita semarah ini padaku. Bukannya meredam emosiku, Nita malah semakin membuat emosiku memuncak.

Brak!!

Aku memukul meja dengan keras.

"Aku tak pernah meminta kau membelikannya! Berhenti bertingkah, seolah-olah kau orang yang penting dalam hidupku. Kau menyusahkan! Kau membuatku selalu malu! Aku membencimu, Nita!" teriakku padanya.

"Kamu tak senang dengan kehadiranku, Mas?" tanya Nita dengan suara yang semakin lemah.

"Ya! Dan kau harus tau. Aku tak pernah menginginkan kehadiranmu dan juga ... anak ini!" Jari telunjukku mengarah pada perut Nita yang membesar.

"Penderitaan ini berawal, saat kamu menerima perjodohan kita. Jadi, nikmati saja!" Aku membisikkan kata-kata itu di telinganya.

"Oke! Baik, aku tak akan memaksa kau untuk mencintaiku. Aku juga tak akan pernah mengganggu waktumu lagi! Aku tak akan memaksamu untuk mencintaiku, karena aku tau selamanya tak akan pernah terjadi! Dan maaf Mas jika kehadiranku dan anakku membuatmu semakin menderita!"

Terlihat Nita menarik napasnya dalam dengan air mata yang semakin deras.

"Maaf karena sudah menerima perjodohan ini. Maaf untuk segala yang kulakukan hingga membuatmu tersiksa. Pegang janjiku, Mas. Aku tak akan merepotkanmu selama aku hamil anakku. Aku tak akan cerewet lagi, tak akan bawel lagi terhadapmu. Kau bisa pegang ucapanku ini!"

Nita menghapus kasar air matanya. Ia lalu mengambil makanan yang kulemparkan tadi.

Dia berjalan cepat, tanpa memedulikan aku yang terdiam. Entah mengapa ada rasa sakit, saat mendengar Nita mengeluarkan seluruh sakitnya.

"Harusnya dari awal aku sadar terhadap diriku. Gadis desa, gendut, dekil ini tak pantas bersanding denganmu yang layaknya seorang pangeran."

"Selama ini penilaian ku salah terhadapmu," lirihnya lalu kembali melanjutkan langkah meninggalkanku yang terpaku disini

Bahkan sekarang aku tak lagi melihat Nita yang lemah lembut. Nita yang kulihat sekarang adalah sosok yang berbeda.

Kali ini sepertinya aku terlalu berlebihan. Namun apa boleh buat, Ia sudah terlanjur sangat-sangat marah. Aku benar-benar kacau, pikiranku terbagi.

Apakah yang kulakukan tadi terlalu menyakitinya, batinku bertanya?

Aku menatap kepergian Nita dengan pilu. Aku ingin menyusulnya, tapi badan terasa berkeringat. Jadi kuurungkan dan memilih untuk membersihkan diri. Tak ingin membuang waktu, aku bergegas pergi ke kamar dan langsung melaksanakan ritual mandi.

Setelah selesai, kulangkahkan kaki untuk pergi ke dapur, perutku benar-benar terasa lapar. Sebenarnya martabak yang ia bawa tadi menggiurkan, tapi rasa gengsiku lebih besar di hadapannya daripada rasa lapar ini.

Sesampainya di dapur, aku tak sengaja mendengar isak tangis Nita. Kulangkahkan kaki mendekati suara tangisan itu.

"Sabar, Nyonya. Bibi tau perasaan, Nyonya. Sudah jangan menangis lagi, kasihan dedek bayinya." Terdengar suara Mpok Wati sedang menenangkan Nita.

"Nita takut, Bi. Nita takut pernikahan Nita sama kayak orang tua Nita. Anak Nita masih perlu ayahnya." Serak terdengar suara Nita.

Dadaku terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menghantam. Apa mungkin, Nita selama ini bertahan hanya karena anak yang berada di dalam perutnya?

"Nita tau, Nita jelek. Nita gendut, jerawatan, tapi dulu nggak gini."

"Nyonya cantik, di mata orang yang menghargai. Sudah jangan menangis lagi. Nanti ketahuan Tuan, Nyonya malah akan dimarahi lagi. Semua ini terjadi karena tergantung hormon, jadi tak bisa dianggap sebagai sebuah kesengajaan apalagi sampai dibilang tak tau perawatan." Mpok Wati mencoba menenangkan Nita.

Perlahan isak tangis itu mulai mereda. Dan selanjutnya hening yang tersisa

Aku lalu menjauh agar tak ketahuan bahwa sedang menguping pembicaraan mereka. Dari sini aku bisa melihat Nita yang membawa makanan dengan mata sembabnya.

Aku duduk di meja makan dan menikmati makanan yang sudah tersedia ... sendirian.

****

Saat memasuki kamar, aku melihat Nita membereskan pakaiannya ke dalam koper. Dia menatapku sebentar, lalu kembali dengan kegiatannya memasukkan pakaian.

"Kau mau ke mana?" tanyaku padanya.

Ia hanya diam tak menjawab. Setelah selesai Nita melangkah melewatiku begitu saja. Namun tangannya segera kupegang.

"Kau mau ke mana? Kau mau membuatku di marahi Papa, hah?!" tanyaku penuh penekanan.

Nita melepaskan tanganku yang mencekal pergelangan tangannya. Tatapan matanya menusuk, tak ada lagi mata sendu yang selalu menatapku itu. Bahkan senyuman pun tak lagi menghiasi bibirnya.

"Jangan memegangku, aku takut tanganmu menjadi najis karena memegangku yang kotor ini. Seorang majikan tak pantas bersanding dengan babu. Jadi aku akan tidur bersama Mpok Wati saja."

"Jangan!" Aku langsung memegangnya lagi. Mana boleh dia tidur dengan Mpok Wati, bagaimana jika Papa tau. Bisa habis aku dimarahinya.

"Sudah kubilang jangan memegang tanganku!" Ia menghempaskan tanganku dengan kasar.

"Kau tidur di kamar tamu saja."

Entahlah, tiba-tiba kata-kata itu ke luar begitu saja dari mulutku.

Nita menatapku, dari tatapannya aku mengerti bahwa ia kecewa. Aku ingin mencegah agar dia tetap bersama denganku di kamar ini. Namun lidahku terasa sangat kelu hanya sekadar bersuara.

-

-

Next?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Madam Rz
sedihnya, kasihan nita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status