"Pi, maafkan Mami. Beri Mami kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya,"nujar Clara sesaat setelah menemui John."Aku sudah sering memberimu kesempatan, tapi lagi-lagi kau sia-siakan. Rasanya kita memang tak cocok lagi untuk saling bersama Clara, karena bagaimana pun aku berjuang untuk mempertahankan rumah tangga kita. Pemenangnya tetap orang lama yang kamu suka." John tak melirik Clara sama sekali, dia masih fokus pada lembaran kertas di tangannya."Laura juga sudah besar, tak ada salahnya jika kita memilih jalan hidup masing-masing mulai saat ini. Aku tahu, mempertahankanmu akan membuatmu lebih menderita lagi begitu pun denganku juga. Laura pasti mengerti mengapa Papi dan maminya bercerai. Laura sudah bukan anak kecil lagi."Tanpa mereka sadari, Laura sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Laura menahan isak tangisnya yang hampir terdengar. Laura memutuskan untuk segera pergi dari kegiatan mengupingnya. Dia masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas ranjang."In
*Brugh!Nita terjatuh, aku menoleh ke belakang melihat ia yang sedang memegang lututnya. Aku menepuk jidat sambil memejamkan mata, menetralkan emosi yang mulai memuncak. Betapa malunya diri ini ketika dia menjadi bahan tertawaan orang lain, tak ingin berlama-lama melihatnya, terutama mendengar tertawa mereka yang silih berganti. Jadi, kubiarkan saja dia di situ dan tetap melanjutkan langkah dengan tegap.Saat ini aku sedang menghadiri acara pertunangan teman kerja. Sebenarnya aku ingin merahasiakan dari Nita untuk hadir, tapi dia malah lebih dulu tau karena diberitahukan oleh orang tuaku. Orang tuaku memang tak mengerti dengan perasaanku yang benar-benar tak dapat digambarkan bagaimana kondisinya saat ini.Benar-benar menyebalkan, apalagi melihat tingkah lakunya yang seperti kekanak-kanakan. "Mas, kok ninggalin aku. untung tadi ada Putri teman aku bantuin berdiri, ternyata dia sekarang jadi tukang make up. Dia itu teman sekampung aku waktu dulu, bahagia banget aku bisa ketemu sama d
****Saat ini aku memutuskan untuk mencari hiburan, salah satunya bermain biliar bersama Aryo temanku."Aku rasa tadi kau keterlaluan pada Nita, Mar!" Aryo menghentikan permainan, lalu duduk di kursi yang sudah disediakan untuk beristirahat."Keterlaluan bagaimana? Aku hanya memberinya sedikit pelajaran. Aku benar-benar malu dibuatnya." Kuhela napas kesal, padahal kan itu semua kulakukan karena Nita yang tak pernah mengerti bagaimana rasanya jika berada di posisiku.Aryo menatapku dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan. Namun, dari pandangannya yang tajam, ia seperti menyimpan amarah terpendam."Bodoh! Kau terlihat bodoh. Tingkahmu tadi benar-benar tak menunjukkan bahwa kau adalah pria sejati!" Aryo membentakku, lalu mencengkeram erat kerah baju yang kugunakan. Aku yang tak tau dengan aksinya, tak bisa mengelak saat tubuh ini terangkat sedikit karena kerah bajuku yang dipegangnya erat."Kau kenapa marah?" tanyaku santai pada Aryo. "Dia istriku, aku berhak melakukan apapun padanya
**** Aku memasuki rumah dengan bersenandung ria. Kuedarkan pandangan ke sana kemari, rumah ini masih tetap sama. Namun dengan keadaan yang sepi. Tak kutemukan Nita baik di ruang keluarga, maupun di dapur. "Astaga! Apa jangan-jangan dia pergi dari rumah," tebakku. Aku langsung panik, mencarinya ke sana kemari. "Gila! Ke mana dia." Aku berusaha beripkir positif, tak ingin gegabah dan membuat kesalahan yang sama lagi. Setelahnya mencoba untuk menenangkan pikiran yang mulai kacau. "Nita!!!" teriakku dari dalam rumah. Namun tak kunjung ada sahutan dari pemilik nama itu. "Mpok Ti!!!" Aku mencoba memanggil Mpok Wati. Tak lama, terdengar sahutan dari dapur. "Iya, Tuan!" sahutnya terdengar samar-samar. Aku lalu bergegas menghampirinya dengan keadaan panik tadi. Mpok Wati yang melihatku juga malah ikutan panik. "Ada apa, Tuan?" tanyanya terlihat bingung. "Mpok, Nita di dimana?" ucapku sambil memegang lengannya. "Nyonya Nita?" tanya Mpok Wati padaku. Ia terlihat mengerutkan kening, me
****Setelah kepergian Nita aku merenung sendiri di dalam kamar. Banyak pertanyaan yang mulai memenuhi benakku, bahkan rasa bersalah pun tiba-tiba menyeruak begitu saja.Mataku tak kunjung dapat terpejam, permasalahan tadi benar-benar membuang banyak energi yang kupunya. Bahkan sekarang aku merasakan seperti ada sesuatu yang membuat dadaku terasa terhimpit. Hingga menimbulkan sesak yang kian mendera.Karena tak kunjung bisa tenang, aku lalu duduk dari posisi berbaring. dan memilih untuk menenangkan pikiran dengan cara mencoba mengerjakan pekerjaan yang masih belum selesai."Astaga!" Aku menepuk jidat pelan. Karena banyaknya permasalahan yang kuhadapi, aku sampai-sampai melupakan bahwa besok ada pertemuan penting di kantor.Dengan tergesa-gesa aku bergegas menyiapkan berkas-berkas yang akan kubawa besok. Sarah juga, mengapa dia tak mengirimkan pesan untuk mengingatkan aku. Argh! Benar-benar tak dapat diandalkan, pikirku.Biasanya jika sedang sibuk bekerja, Nita akan menemaniku, memb
****"Selamat pagi, Sayang." Baru saja sampai ke ruangan. Sarah sudah menyambutku dengan senyuman yang membuatku melototkan mata. Bagaimana tidak, bibirnya sangat menor dengan warna lipstik yang terlalu mencolok. Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal.Bukannya tertarik, diri ini malah merasa geli melihat lipstik di bibirnya yang semakin hari semakin tebal. Seperti ingin pergi ke suatu tempat saja dia ini. Padahal jelas-jelas di sini tidak diperbolehkan memakai make up yang terlalu berlebihan."Kenapa wajahmu begitu pucat?" tanyanya padaku. Tangannya bergerak ingin menyentuh wajahku. Namun bubur-buru kulangkahkan kaki menjauh darinya."Aku baik-baik saja. Apa kau sudah menyiapkan segala keperluan untuk kita meeting nanti siang?" tanyaku tanpa meliriknya. Aku tak ingin tertawa saat melihat wajahnya itu."Tentu saja sudah. Oh, ya, kapan kau akan meninggalkannya?" Sarah tiba-tiba bertanya seperti itu padaku.Aku menatapnya dari atas hingga bawah."Meninggalkan siapa maksudmu?" Aku menatap
"Jika kamu masih ingin bekerja di sini, bersikaplah sewajarnya layaknya atasan dan juga bawahan. Jangan bermimpi terlalu tinggi berharap padaku," kataku dengan senyum sinis.Isak tangis Sarah perlahan menghilang, ia lalu melangkah menjauh dan duduk di kursinya. Kami berdua mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ini tak bisa dibiarkan, aku secepatnya akan menghentikan Sarah bekerja di tempatku. Hanya tinggal dua bulan lagi, kontrak kerja dengannya berakhir."Siapkan perlengkapan untuk meeting nanti, jangan sampai ada yang kurang!" perintahku pada Sarah. Dia diam tak menyahut ucapanku."Kau dengar Sarah!" tegasku padanya."Baik, Pak," jawab Sarah pelan.Tangannya lalu mulai sibuk menyiapkan berkas-berkas, lalu setelahnya aku juga bersiap untuk bergegas ke ruangan yang telah disediakan untuk pertemuan..****Sepanjang meeting tadi pikiranku tak karuan. Aku bahkan sempat ditegur Sarah. Entahlah, kata yang terucap dari mulutku tak sinkron dengan apa yang sedang tergambar di pikiran
"**Hari ini pekerjaanku sangat banyak, sehingga agak sedikit malam untuk pulang ke rumah. Itu pun kutambah kecepatan mobil agar segera sampai di rumah.Sesampainya di rumah segera kutekan bel rumah. Kebetulan tadi pagi aku tak ingat untuk membawa kunci cadangan. Kulihat jam di lenganku, sudah menunjuk pukul 10 malam, kuharap masih ada yang bangun di dalam.Klek!Pintu dibukakan, tapi bukan Nita yang membukanya melainkan Mpok Wati. "Nita di mana, Mpok?" tanyaku padanya, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.Mpok Wati menghampiriku setelah mengunci pintu kembali."Sudah tidur, Tuan," jawab Mpok Wati."Tidur," ujarku mengulang perkataan Mpok Wati Aku melirik sekali lagi jam yang berada di tangan di tangan, masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Pantas saja Nita sudah tidur, tapi biasanya ketika aku lembur hingga larut malam pun ia akan tetap menungguku di sofa ruang tamu."Tumben dia tidur lebih dulu, Mpok?" tanyaku pada Mpok Wati dengan rasa penasaran dan sepi. Rasanya agak lain saat N