Hari ini, Nita sudah diperbolehkan untuk pulang. Awalnya, dia sangat ingin ikut pulang ke kampung halamannya. Alasannya mungkin karena tak ingin lagi serumah dengan Damar.Namun lagi-lagi harus diurungkan, karena tak diperbolehkan oleh Damar. Walaupun begitu Nita tetap menuruti apa yang diucapkan Damar, jauh di lubuk hatinya. Rasa cinta kepada Damar lebih besar dari rasa sakit hatinya.Memang benar kata orang, cinta itu buta.Dan akhirnya, keputusan yang didapat adalah Imah akan menemani Nita hingga sembuh di rumah Damar."Ayo, masuk, Bu," ajak Damar saat mereka sudah sampai di depan rumah. Imah menatap sekeliling, melihat rumah menantunya yang begitu besar. Benar ternyata, pantas saja Nita dulu begitu minder saat tau dijodohkan dengan anak orang yang berpunya.Nita didorong menggunakan kursi roda. Tak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Hanya wajah pucat yang tak berselera untuk melanjutkan kehidupannya.Damar lalu membukakan pintu rumah dan membawa barang-barang Nita masuk terlebih
"Bu, Damar berangkat kerja dulu," pamit Damar. Imah mengangguk, lalu menepuk pelan bahu Damar.Mulutnya seolah-olah mengatakan kata 'sabar', Damar tersenyum mengangguk dan melangkahkan kaki pergi ke luar rumah."Ayo ikut saya, Bu," ujar Mpok Wati. Melangkah menunjukkan kamar yang ditempati Nita."Baik, terima kasih," jawab Imah sopan.Sesampainya di kamar, hening menyapa dua orang di dalamnya."Kamu kenapa bersikap begitu terhadap Nak Damar?" tanya Imah pada Nita yang sedang mengistirahatkan dirinya."Mungkin hanya bawaan sakit saja, Bu." Nita menjawab tak berselera.Entahlah, dibilang cintanya hilang rasanya tidak mungkin."Jangan begitu, Nita. Ibu tau kamu masih belum bisa menerima semuanya, tapi ...." Ucapan Imah terpotong kala melihat mata Nita yang berkaca-kaca."Tapi apa, Bu?" tanya Nita sambil menahan tangis."Kamu kenapa? Kenapa menangis," ujar Imah panik.Nita buru-buru membersihkan air matanya, takut ibunya melihat."Di mana yang sakit, biar Ibu lihat," ucap Imah dengan nada
Damar terdiam dan mengalihkan pembicaraan. "Ini bukan saatnya menjelaskan, Pa. Nyawa menantumu bisa saja terancam jika Papa tak bergegas melakukan sesuatu."Bagas terdiam. "Baiklah, aku akan melakukan apapun untuk menangkapnya. Akan tetapi, kau jangan merasa aman, Damar. Justru setelah masalah ini selesai, aku akan menagih penjelasanmu!" tegas Bagas, berlalu meninggalkan ruangan sang putra. *Nita terdiam menatap pantulan diri di depan cermin, wajahnya terlihat sangat pucat. Badannya juga semakin kurus tak terurus.Entahlah, bahkan Nita sendiri pun seperti tak mengenali siapa yang berada di cermin itu.Mengingat perkataan Damar yang menyakitinya. Nita semakin merasakan sakit. "Nita," panggil Imah saat berada di depan pintu kamarnya."Masuklah, Bu," ujar Nita.Kriieett ....Pintu dibuka, lalu Imah masuk dengan membawa semangkuk bubur di tangannya."Makan dulu, Nak," ucap Imah sambil menaruh mangkuk bubur di atas meja."Apa ada masalah, Nak? Semenjak kamu sakit, Ibu melihat ada sesua
Imah memegang tangan Nita, lalu berkata, "Ibu tak ingin ikut campur rumah tangga kalian lebih dalam, Nak. Namun Ibu berharap, jika masih bisa dipertahankan pertahankan lah, di dalam pernikahan memang banyak ujian yang harus dilewati.""Seperti jalanan yang penuh lika-liku, begitu juga kehidupan. Kadang kita berada di titik bahagia. Akan tetapi, suatu saat juga bisa membuat menangis hingga sulit bersuara.""Dulu, Ibu dan bapakmu juga sering bertengkar, kami bahkan bisa tidak bertegur sapa. Kadang ego memang memaksakan kita, ego membuat diri menjadi lebih merasa benar sendiri.""Tak ada manusia yang sempurna, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Percayalah, Nak Damar mencintaimu, Ibu bisa melihat kekhawatiran di matanya saat di rumah sakit. Ibu juga melihat Damar begitu kehilangan dengan bayi kalian," papar Imah mencoba memberikan nasehat pada Nita putri satu-satunya.""Dia hanya ingin terlihat sedih, Bu. Padahal Nita tau pasti dia sangat bahagia melihat kondisi Nita yang be
*“Baiklah aku akan melakukan apapun untuk menangkapnya. Akan tetapi, kau jangan merasa aman, Damar. Justru setelah masalah ini selesai aku akan menagih penjelasanmu!” tegas Bagas, berlalu meninggalkan ruangan sang putra.“Jadi, gimana, Mar. Kapan kita bergerak melacak keberadaan wanita itu?” tanya aryo.“Diamlah sebentar. Kepalaku mendadak pusing memikirkan permasalahan ini. Aku benar-benar ingin mem*unuh Sarah rasanya. Karena dia, aku harus kehilangan anak yang seharusnya lahir melihat dunia.“Maka dari itu ayo secepatnya kita cari wanita itu,” ucap Aryo. Sebenarnya ia juga tak tega melihat kondisi sang sahabat, belum lagi dengan perubahan istrinya di rumah pasti itu sangat-sangat membuat Damar tertekan, pikirnya.Drrrt … drrrt … drrrt!Tiba-tiba ponsel Damar berdering, nomor asing yang tertera di sana. Damar mengernyitkan kening, karena tak tau itu nomor siapa. Dia tak mengangkatnya, membiarkan panggilan itu berhenti dengan sendirinya.“Kenapa tidak diangkat?” tanya Aryo.“Aku tida
PERKELAHIAN*Damar menaiki mobil dengan kecepatan tinggi, ia tak sabar untuk segera bertemu dengan Sarah.Ting!Satu pesan masuk ke gawai Damar. Pengirimnya adalah Sarah dia mengirim sebuah foto di mana Nita sedang duduk lemas tak berdaya di kursi dengan keadaan terikat.[Cepatlah kemari, Damar, atau wanita ini akan segera berakhir hidupnya. Kau tau bukan aku tak pernah bermain-main dengan ucapanku. Kutunggu kau setengah jam lagi di sini. Kalo tidak, wanita ini hanya akan kembali padamu dalam keadaan tak bernapas lagi,] ancam Sarah.“Sh*t!” umpat Damar. Ia segera menghubungi Aryo dan juga ayahnya. Mengabarkan bahwa Nita dalam bahaya dan mereka harus datang secara sembunyi-sembunyi dengan membawa polisi. Setelah selesai menelepon, Damar bergegas memacu mobilnya ke tempat yang sudah ditentukan.*“Aku ingin bermain-main denganmu dulu, Nita. Oh ya, katanya sekarang Damar sudah mulai mencintaimu, ya?” tanya Sarah dengan nada mengejek.Nita masih dalam keadaan setengah sadar, bibirnya me
Asih berjalan tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit. Ia mencari kamar dengan nomor yang sudah diberitahukan oleh petugas rumah sakit.Sesampainya di sana, Asih terkejut melihat Damar yang dilarikan ke ruang UGD, sedangkan Nita sudah dipindahkan ke ruangan VIP.“Bagaimana keadaan Nak Damar?” tanya Asih pada Bagas yang menundukkan kepalanya.“Masih ditangani oleh dokter di dalam ruangan,” jawab Bagas sendu. Saat ini ia merasa bingung dengan apa yang terjadi. Bahkan, inti permasalahan ini pun Bagas tak tau apa. Ia hanya tahu, anak dan menantunya sedang dalam posisi yang tidak baik-baik saja.“Bu, gimana keadaan Nita?” tanya Putri yang tiba-tiba datang setelah tau kondisi sahabatnya. Sepulangnya dari mengantarkan Nita ke rumah sakit kemarin, Putri tak kembali lagi untuk menjenguk Nita. Karena ada banyak pekerjaan yang tidak dikerjakannya dan membuatnya jadi berantakan. Hal itu juga membuat Putri dimarahi oleh atasannya.Dan hari ini kembali lagi terjadi hal-hal seperti sebelumnya, un
*“Gimana keadaan anak kita, Pa?” tanya Aida saat baru saja sampai. Ia menatap ke dalam ruangan bercat putih itu.“Tinggal menunggu dia sadar saja, Ma,” ucap Bagas.“Apakah sudah boleh ditemui, Pa?” tanya Aida tak sabar menemui sang putra. Ia ingin segera memeluk Danar, seperti anak kecil yang terluka.“Nanti saja ya, setelah Bagas sudah bisa dipindahkan ke ruangan lain.”“Mama bersyukur banget Damar nggak papa.” Aida mengusap wajahnya, senyum bahagia terbit di bibirnya saat mendengar kabar sang putra yang baik-baik saja.“Alhamdulillah, Papa juga bersyukur sekali. Kita berdoa saja semoga Damar segera sadarkan diri.” Bagas menatap dari kaca luar, menatap anaknya yang berada di dalam ruangan itu.“Lagipula kata dokter, untung saja luka tusuknya tidak terlalu dalam. Jadi lumayan mudah untuk ditangani,” ujar Bagas lagi.“Syukurlah …,” gumam Aida sangat bersyukur dengan pernyataan yang didengarnya.“Aryo terima kasih banyak sudah menolong Damar dan juga Anita, ya,” ujar Aida sangat-sangat