Share

Negoisasi

Author: Ummi Salmiah
last update Last Updated: 2023-07-04 10:21:14

Acara selesai aku langsung mencari Alya untuk kugandeng pulang. Namun, nihil dia hilang entah kemana. Sepintas kulihat yang mirip dengan dia naik ke mobil keluaran terbaru. Ah, mungkin hanya prasangka saja melihat Alya naik ke dalam mobil yang pernah kutaksir. Tak mungkin dia sekaya itu. Atau dia pulang dengan si Ilham. Mungkin dikira aku cemburu kali padanya.

 

Semua kususuri, tapi Alya tetap tidak ada di tempat. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendiri. Daripada muter tidak jelas di acara orang. Hebat sekali si Alya sama sekali tidak peduli denganku.

 

Sampai rumah, dapur masih berantakan itu artinya Alya belum pulang. Apa benar aku tadi salah lihat jika Alya yang naik mobil. Namun, tak berselang lama ada mobil terparkir, ternyata benar Alya diantar oleh orang yang bernama Ilham itu. Benar-benar menjengkelkan! Oh, mungkin dia ingin membuatku cemburu? Jangan harap.

 

Dia masuk sambil menenteng sandal hak tingginya. Ckck ... lelah mungkin kakinya jalan.

 

"Maaf, bang. Aku pulang sama mas Ilham soalnya udah gak ada taksi," ucapnya polos.

 

"Gak masalah, kamu mau pulang sama siapa saja," ketusku.

 

"Oh, thank you, bang," jawabnya santai lalu masuk ke kamar.

 

"Eh tunggu dulu ....." Kali ini kenapa aku yang kikuk dengannya.

 

"Apa lagi?!" 

 

"Duduk dulu," ucapku memintanya. Entah mengapa aku dibuat salah tingkah. Apa aku mulai menyukainya? Ah, sepertinya hanya halusinasiku saja. 

 

"Kenapa?"  tanyanya. Aku bahkan dibuat grogi duduk dengannya.

 

Sengaja aku duduk di depannya ingin melihat wajahnya lebih dekat. Ternyata memang benar dia mahluk Tuhan yang sungguh indah bahkan bulu matanya begitu menawan jika dia dipoles sedikit saja.

 

"Ada masalah apa?" Dia membuyarkan lamunanku. 

 

"Kita buat negoisasi."

 

"Dalam rangka apa?" Aku bahkan baru sadar dia begitu tanggap.

 

"Uang belanja."

 

"Lalu?"

 

"Kamu mau berapa?" Dia terlihat berfikir aku justru semakin puas memandang wajahnya.

 

"Suka lauk apa?" tanyanya sambil menatapku.

 

"Aku suka steak, seafod dan makanan laut lainnya."

 

"Tiga ratus ribu sehari kayaknya cukup. Itu belum termasuk pajak."

 

"Apa?!" Eh, apa dia rentenir pakai hitung pajak. Jangan sampai dia menghitung suku bunga juga.

 

"Itu belum seberapa, tapi tak mengapa aku minta diskon belanja tiga ratus ribu. Akan kumasakkan Abang penuh cinta, tenang saja." Dengan entengnya dia menjawab. Jika dihitung tiga ratus ribu dikali sebulan sekitar sembilan jutaan sebulan. Ini sih pemerasan namanya.

 

"Apa kamu tidak terlalu berlebihan Alya? Tiga ratus ribu sehari itu banyak."

 

"Bang, itu sudah sangat murah. Apalagi Abang tidak perlu cari ART. Rumah bersih, makanan enak. Coba Abang hitung jika ada ART berapa pengeluarannya. Aku bahkan sebaik ini meminta hanya tiga ratus ribu."

 

Dia bahkan secerdas ini. Aku dibuat tak bisa berkata apa-apa.

 

"Kecuali kalau Abang hanya makan tahu, tempe, tongkol, seratus ribu tak masalah." Diiih, dong tidak ada gizi dalam tubuhku.

 

"Oke, deal."

 

"Karena kita tidak ada ART minimal setelah makan, cuci sendiri piring yang digunakan." Bahkan dengan uang tiga ratus ribu dia masih memintaku cuci piring.

 

"Tak masalah."

 

"Bahkan masak mie saja dapur sudah seperti kapal pecah," ucapnya sinis. Dia berlalu ingin mengganti bajunya.

 

"Mau kemana?" tanyaku mencegatnya. 

 

"Ganti baju, lah. Aku paling tidak suka dapur kotor."

 

"Jangan ...." Masalahnya aku tidak mau dia mengganti bajunya, dong, dia kembali kusam lagi.

 

"Ada apalagi!" Ketusnya. Dia nampak heran melihat tingkahku yang tidak jelas.

 

"Duduk saja, biar aku yang bersihkan." Aku hanya tidak ingin dia cepat-cepat ganti baju dan menghapus polesan di wajahnya.

 

"Gak kesambet?" Dia bahkan memegang kepalaku karena heran.

 

"Iya, aku kesambet."

 

Astaghfirullah, aku sampai jujur begini. Fix aku sudah Ter Alya Alya dibuat.

 

Kunaikkan kemejaku lalu kubersihkan dapur yang kotor ini. Dia duduk manis, meski risih yang melihatku cuci piring dengan suara piring yang keras tak jelas. 

 

Dia mau masuk untuk ganti baju, pusing mungkin melihat tingkahku yang aneh.

 

"Jangan masuk, diam disitu!" Lagi dia mundur. Biarkan saja dia heran melihat tingkahku yang aneh. Masalahnya kapan lagi bisa melihat wajahnya seperti bidadari.

 

"Pak Dave, aku mau  salat isya, mau berdosa istri belum salat?" Sial, tahu begini aku tak perlu capek-capek cuci piring. Kenapa juga dia tidak memberitahu jika belum salat.

 

"Cuci yang bersih, tu masih ada sabun di piringnya. Laki-laki kok gak bisa ngerjain apa-apa." Diih, kenapa dia yang jadi ngomel.

 

Dia masuk mengganti pakaian yang digunakan aku justru yang ngomel. Mana dia minta jatah tiga ratus ribu sehari lagi. Duh, bisa habis tabunganku karena ulah si Alya. Makanan apa coba yang akan dimasak sampai habis tiga ratus ribu. Benar-benar aku diperas olehnya. 

 

Dengan sambil mengomel akhirnya kelar juga cucian ini. Sebenarnya aku juga penasaran bagaimana masakan si Alya yang kata ibu enak itu. 

 

***

Aku masuk ke kamar, dia baru selesai salat. 

 

"Udah salat?" tanyanya. Aku diam, masalahnya salatku kadang bolong.

 

"Salat lah, masak nggak," jawabku sekenanya. Dia hanya menghembuskan nafas kasar. 

 

Kulihat wajahnya masih bersih, walau sudah terbasuh air wudu.

 

"O, ya, bang. Uang belanjanya bisa di transfer ke rekening ini. Bisa cash atau kredit." Dia menyodorkanku nomor rekening. Eh, maksudnya? Cash atau kredit bagaimana?

 

"Cash itu kalau langsung sebulan dikali tiga ratus ribu, kredit dicicil tiga ratus ribu sehari. Kalau lewat berarti besoknya cicilan beserta bunganya sesuai suku bunga rendah dua puluh persen." Astaga pakai suku bunga segala, betul-betul rentenir si Alya ini.

 

"Ckck ... baru kutahu kamu itu mengalahkan pinjaman online," ucapku.

 

"Jika suami tidak mau nikah lagi, tak masalah. Kalau sederhana begini saja abang sakit kepala bagaimana menghidupi dua orang istri. Ops, maaf aku bukan wanita yang lemah seperti yang lain. Jika abang masih merasa aku tidak menarik sesuai perjanjian kita, aku yang mundur."

 

Entah mengapa ucapan terakhirnya membuatku takut. Takut jika aku mulai menyukainya dan dia justru memilih menjauh. 

 

"Oke, aku transfer sembilan juta sesuai hari pada bulan ini." Dia tidak bahagia atau pun tersenyum, nampak biasa saja aku berucap demikian.

 

Dengan tangan gemetar akhirnya aku transfer uang sembilan juta. Tabungan yang kumiliki akhirnya akan mulai terkikis dengan ulahnya Alya.

 

"Terima kasih," ucapnya datar. Biasanya wanita dikasih uang segitu pasti matanya lebar. Eh, ini si Alya biasa-biasa saja. 

 

Dia lalu berbaring. Padahal aku ingin duduk berduaan dengannya. Tapi, sudahlah, toh juga sebentar lagi aku akan menerima Deswita yang mau menjadi istriku. Setidaknya ada yang lebih bening dari si Alya. 

 

Fix, besok aku akan membawa Deswita ke rumah ini biar si Alya tidak semena-mena denganku.

 

****

Bangun tidur, aroma masakan begitu menggiurkan. Entah jam berapa dia masak. Lalu, kapan dia berbelanja? Padahal kemarin dia bilang hanya beli telur dan mie rebus saja.

 

"Bangun ... pak Dave!" teriaknya. 

 

"Ini sudah pukul 06. 00. Apa manager bank semalas ini."

 

Astagfirullah. Aku hampir telat. Bergegas aku ke kamar mandi. Keluar kamar dia duduk menungguku.

 

"Salat subuh!" titahnya.

 

"Untuk apa totalitas dalam penampilan jika tidak totalitas dalam ibadah," ucapnya. Dia mulai cerewet lagi. 

 

Dan aku menurut begitu saja. Karena sadar diri memang selama ini ibadahku tidak baik.

 

Selesai salat subuh. Aku bersiap untuk ke kantor.  Dia dengan telaten menyiapkanku sarapan. Dan ini pertama kali aku sarapan dengannya. Ada omelate, roti bakar dan cemilan cake dibuatnya. Tak lupa segelas susu juga ada di meja. Dengan telaten tanpa banyak kata dia melayaniku pagi ini dengan baik.

 

"Alya, aku sudah memutuskan nanti sore membawa Deswita ke rumah."

 

Dia melihatku tanpa banyak ucap.

 

"Lalu?"

 

"Agar kamu bersiap diri jika aku tinggalkan."

 

"Sepertinya pak Dave terlalu percaya diri hingga merasa dicintai."

 

Dia memukul-mukul pisau yang dipegangnya. Kenapa aku jadi takut dibuatnya mengingat dia tak pernah takut melakukan apa yang dia mau.

 

"Bawa saja, kupastikan dia ...." Matanya melotot sambil memegang pisau.

 

Tanganku gemetar ketika pisau yang dipegang ditusuk dengan tajam ketika memotong roti yang dimakan.

 

Aku sampai tersedak karena ketakutan. Astagfirullah, dong bisa dibunuh anak orang!

 

 

 

Hahaha .... Bang Dave gitu aja takut, padahal cuma digertak Alya!

 

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRIKU TAK SUKA DANDAN   Yang Penting Bersamamu

    Alya begitu sibuk di dapur menyiapkan si kecil makanan. Kadang dia menggendongnya sambil menggoreng. Bukan tak mau cari asisten rumah tangga, Alya ingin memberikan yang terbaik untuk laki-laki kecil kami yang bernama Althaf itu. "Duduk di sini, dulu, sayang." Alya begitu sibuk, kadang dia suka lupa makan. Itu yang membuatku tak tega melihatnya. "Sudah makan?" tanyaku. Dia menggeleng pelan. Aku langsung mengambiil Althaf, kesehatan Alya yang paling utama. Seringkali aku menegurnya agar tidak lupa untuk makan. "Jangan tidak makan, tubuh kita juga butuh nutrisi." Selama ada Althaf, Alya memang begitu sibuk. Tak jarang dia bisa hanya sekedar makan. Bayi yang beranjak semakin besar itu terlihat semakin sehat diasuh Alya. Semakin hari dia semakin menggemaskan. Kami dibuat semakin menyanyanginya. "Dia sudah berceloteh, Bang." "Alhamdulillah, apakah melelahkan, sayang?" tanyaku. Aku begitu menyanyangi Alya, hingga khawatir dia sakit atau tidak makan. Alya fokus menjaga kami, dia memili

  • ISTRIKU TAK SUKA DANDAN   Takdirku Bersamamu

    Aku selalu yakin jika takdir itu selalu pada orang yang tepat. Selalu pada orang yang dipilih. Semesta seperti turut mendukung karena Tuhan selalu menggariskan pada orang yang tepat menurut-Nya. Iham langsung memberikan hasil tes DNA nya. Respon Alya seperti biasa. Dia tipe orang yang tidak begitu euforia terhadap sesuatu. Beda jauh denganku yang suka heboh sendiri. Apalagi kali ini takdirku dengannya tetap bersatu. "Kenapa bisa sekandung?" tanyaku penasaran."Aku dan Alya memiliki ayah yang sama." Alya tetap tenang tak ada sama sekali guratan terkejut di wajahnya."Ibunya Alya adalah cinta pertama ayahku."Lagi, aku memandang Alya yang nampak tenang. Dia sama sekali tak terkejut mendengar penuturan Ilham.“Al, kenapa kamu bisa setenang itu?”tanyaku lagi.“Karena waktu tes DNA aku dan papanya Ilham ke rumah sakit bersamaan," jawabnya santai. Astgafirullah, kembali aku elus dada. Ilham juga Nampak terkejut. Bisa-bisanya dia lebih tahu duluan.“Siapa yang mengarahkanmu untuk tes DNA

  • ISTRIKU TAK SUKA DANDAN   POV ILHAM

    POV ILHAMWanita idolaku itu selalu berdiam diri di sudut sekolah, entah bagaimana ceritanya dia masuk SMK yang sama denganku, aku dan dia mengambil jurusan yang berbeda, aku mengambil Desain. Sementara, dia mengambil teknik. Semua laki-laki di sekolaku memujinya, meski bar-bar dia tetap santun sesuai kodratnya sebagai perempuan. Itu yang membuat satu sekolah sungkan dengannya. Sampai menjelang kuliah tak ada laki-laki yang dekat dengannya. Aku menyukainya karena dia apa adanya, walau tak pernah kulihat dia dandan sedikit pun. Siapa lagi kalau bukan Alya Putri.Berkali-kali kudekat dengannya selalu ditolak entah apa salahku padanya. Segala hal kulakukan hanya demi dekat dengannya selalu dia buang muka.“Jangan pernah dekat denganku Ilham!” aku ditolak berkali-kali tanpa ampun sedikit pun.Apa aku begitu memuakkan baginya hingga dia sama sekali tidak melirikku. Aku begitu insecure dengannya.“Bagaimana, Bro. Apa dia bisa ditaklukkan?” tanya Fondy sahabatku. Hanya dia yang tahu bagaim

  • ISTRIKU TAK SUKA DANDAN   Karena Kamu Adalah Jodohku

    Cukup lama aku memeluknya, merasakan cinta yang terus bersemi dan bermekar di hati ini. Cinta ini terus tumbuh tanpa bisa kutahan. "Bang, kapan selesainya kalau dipeluk terus?" tanya Alya menyadarkanku. Duh, sekarang terasa malunya. Aku membenci diriku yang mengatakan bahwa dia layak bahagia dengan yang lainnya, padahal aku sendiri begitu terluka. Lidah memang tak bertulang, gampang berucap sulit untuk dilakukan."Maaf." Hanya itu yang keluar dari mulutku.Alya hanya membalas dengan senyuman. Dengan telaten dia menyiapkan sarapan untukku. Makanan yang disajikan simpel, tapi rasanya begitu enak di lidah. Namun, entah mengapa aku tak tertarik kali ini. Pikiranku isinya hanya Ilham dan Alya. Apa Ilham akan tetap berjuang atau sebaliknya. Aku membenci segala prasangka ini. "Makan yang banyak, ibu sedang sakit jangan sampai kita lemah," jelasnya.Benar, harusnya kata-kata itu diucapkan oleh suami. Namun, ini justru sebaliknya. Aku akui, aku memang lemah. "Terima kasih, Al." Aku menyan

  • ISTRIKU TAK SUKA DANDAN   Adakah ruang untuk kita?

    Aku selalu berharap ada ruang untuk kita bisa bersama, merangkai rindu yang pernah hilang. Merangkai banyak cerita yang pernah sulit kita lalui, meski aku sadar diri untuk tidak berharap lebih dari dirimu. ~Dave_Abimanyu****"Kenapa senyum-senyum gitu, Bang?" tanya Alya."Aku bahagia, Al. Cinta yang kurasakan berbalas." Dia tersenyum, andai aku serakah mungkin aku langsung memeluknya. Namun, aku sadar diri bahwa luka yang kutoreh tidak sedikit. Harus diobati perlahan-lahan. "Ayo kita masuk, Bang. Angin malam tidak terlalu baik," ajak Alya. Aku hanya membalas dengan anggukan meski rasa canggung ini jangan ditanya.Aku memilih tidur di luar dengan pak Sahmat sementara Alya bersama bik Inah ada di dalam."Kenapa senyum-senyum gitu mas Dave. Ciyee, ada yang CLBK," kata pak Sahmat meledekku. Ada-ada aja pak Sahmat."Tipis harapan pak Mat," balasku. Meski begitu aku bahagia karena kami saling mencintai. Rasanya seperti jatuh cinta lagi seperti anak muda."Harapan itu selalu ada selagi ki

  • ISTRIKU TAK SUKA DANDAN   Terbuka

    "Jangan siksa dirimu, Nak. Jika kamu tidak sanggup melanjutkan pernikahan dengan Dave, ibu terima apa pun keputusanmu," balas ibu."Iya, Bu. Istirahatlah," balas Alya sopan. Tidak mengiyakan atau menolak ucapan ibu, dia hanya membalas dengan senyuman.Aku benar-benar merasa tidak percaya diri. Sejauh apa pun aku melangkah dan kembali, tidak ada yang bisa memaksa keadaan. Begitu pun dengan Alya, dia berhak bahagia dengan siapa pun yang dia mau.Aku mundur teratur membiarkan ibu dengan Alya. Aku memang anak yang tidak berguna membiarkan ibu lebih merasa nyaman dengan Alya, dibandingkan dengan aku, anaknya.Ibu bahkan lebih fokus dengan Alya tanpa melihatku di sampingnya. Tangan Alya terus dipegang. Orang akan memperlakukanmu seperti caramu memperlakukannya. Ibu lebih nyaman dengan Alya, mengajaknya bicara dari hati ke hati.

  • ISTRIKU TAK SUKA DANDAN   Harapan

    Terbuat dari apa hatimu yang begitu tenang, setenang air. _Dave"Tenanglah, do'a anak yang soleh itu sampai ke langit ketujuh," ucap Alya menasehatiku. Dia begitu tenang, sementara aku jangan ditanya debaran di dada ini."Ibu sakit sejak enam bulan yang lalu, beberapa kali ibu mengeluhkan kepalanya yang sakit." Alya menceritakanku dengan suara yang begitu tenang."Setelah diperiksa beliau hipertensi dan gula darahnya juga tinggi.""Tapi mengapa kalian tidak mengabariku?""Ibu yang minta, sebagian dari pikiran orang tua selalu tentang kenyamanan anaknya, meskipun mengabaikan diri sendiri. Ibu kulihat seperti itu, beda dari orang tua yang lainnya yang kadang egoisnya lebih tinggi, " sambung Alya. Seperti pukulan telak bagiku yang menelantarkan ibu."Sifat

  • ISTRIKU TAK SUKA DANDAN   Keluarkan Bebanmu, Al

    Kamu tahu hal yang membuatmu dijauhi orang lain adalah kamu tidak bisa mengontrol ucapanmu, membiarkan setiap bait yang keluar dari mulutmu adalah bahwa apa yang kamu ucapkan semuanya benar, tanpa kamu sadari bahwa itu bisa melukai orang lain. ~Alya_Putri ***"Abang kira mudah menjadi aku?" Alya mulai membuka suaranya."Abang bahkan tahu prinsipku, jika harga diriku terluka dan ideologi tidak sama denganmu, maka jangan salahkan aku jika aku pergi meninggalkanmu." "Abang kira mudah begitu saja bagiku memaafkan, ha? Kurasa orang yang paling egois di sini itu adalah abang." "Menghilang, tapi memberi harapan." Lagi, dia menekan suaranya membuatku semakin bersalah.Kubiarkan dia mengeluarkan segala yang ada di hatinya, mungkin itu membuatnya lebih tenang. Cukup lama kami saling menatap, meski titik-titik air itu terus turun tanpa diminta. Aku bahkan menghapus air yang terus turun dari matanya. "Maafkan aku, Al.""Aku benci, Abang. Sangat benci!" teriaknya sambil menangis dan memukulku.

  • ISTRIKU TAK SUKA DANDAN   Rindu ini menyiksa

    Pulang dari masjid ibu sudah bangun, wajahnya lebih segar mungkin efek obat yang diminum."Ibu ...." Aku mencium tangannya berkali-kali. Kali ini lebih terasa karena ibu lebih terlihat segar."Dave ...." Ibu terisak memelukku."Maafkan Dave, Bu." Ibu menggeleng. Kami menangis tersedu-sedu."Yang penting kamu sehat, Nak," ucap Ibu memelukku dengan erat."Alya mana? Apa Alya belum datang?" tanyanya. Maksud ibu?"Iya, Bu. Kan sudah ada Dave," jawabku. Namun, ibu menggeleng."Ibu maunya ada Alya di sini," balas ibu.Sekarang aku yang bingung mau jawab apa."Nanti Dave panggil Alya, ya," jawabku. Kenapa ibu sangat manja pada Alya."Hanya dia yang paham takaran makan minum ibu," ucap ibu.Aku semakin bingung dengan kondisi ibu. Apa selama ini Alya selalu dat

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status