Share

Negoisasi

Acara selesai aku langsung mencari Alya untuk kugandeng pulang. Namun, nihil dia hilang entah kemana. Sepintas kulihat yang mirip dengan dia naik ke mobil keluaran terbaru. Ah, mungkin hanya prasangka saja melihat Alya naik ke dalam mobil yang pernah kutaksir. Tak mungkin dia sekaya itu. Atau dia pulang dengan si Ilham. Mungkin dikira aku cemburu kali padanya.

 

Semua kususuri, tapi Alya tetap tidak ada di tempat. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendiri. Daripada muter tidak jelas di acara orang. Hebat sekali si Alya sama sekali tidak peduli denganku.

 

Sampai rumah, dapur masih berantakan itu artinya Alya belum pulang. Apa benar aku tadi salah lihat jika Alya yang naik mobil. Namun, tak berselang lama ada mobil terparkir, ternyata benar Alya diantar oleh orang yang bernama Ilham itu. Benar-benar menjengkelkan! Oh, mungkin dia ingin membuatku cemburu? Jangan harap.

 

Dia masuk sambil menenteng sandal hak tingginya. Ckck ... lelah mungkin kakinya jalan.

 

"Maaf, bang. Aku pulang sama mas Ilham soalnya udah gak ada taksi," ucapnya polos.

 

"Gak masalah, kamu mau pulang sama siapa saja," ketusku.

 

"Oh, thank you, bang," jawabnya santai lalu masuk ke kamar.

 

"Eh tunggu dulu ....." Kali ini kenapa aku yang kikuk dengannya.

 

"Apa lagi?!" 

 

"Duduk dulu," ucapku memintanya. Entah mengapa aku dibuat salah tingkah. Apa aku mulai menyukainya? Ah, sepertinya hanya halusinasiku saja. 

 

"Kenapa?"  tanyanya. Aku bahkan dibuat grogi duduk dengannya.

 

Sengaja aku duduk di depannya ingin melihat wajahnya lebih dekat. Ternyata memang benar dia mahluk Tuhan yang sungguh indah bahkan bulu matanya begitu menawan jika dia dipoles sedikit saja.

 

"Ada masalah apa?" Dia membuyarkan lamunanku. 

 

"Kita buat negoisasi."

 

"Dalam rangka apa?" Aku bahkan baru sadar dia begitu tanggap.

 

"Uang belanja."

 

"Lalu?"

 

"Kamu mau berapa?" Dia terlihat berfikir aku justru semakin puas memandang wajahnya.

 

"Suka lauk apa?" tanyanya sambil menatapku.

 

"Aku suka steak, seafod dan makanan laut lainnya."

 

"Tiga ratus ribu sehari kayaknya cukup. Itu belum termasuk pajak."

 

"Apa?!" Eh, apa dia rentenir pakai hitung pajak. Jangan sampai dia menghitung suku bunga juga.

 

"Itu belum seberapa, tapi tak mengapa aku minta diskon belanja tiga ratus ribu. Akan kumasakkan Abang penuh cinta, tenang saja." Dengan entengnya dia menjawab. Jika dihitung tiga ratus ribu dikali sebulan sekitar sembilan jutaan sebulan. Ini sih pemerasan namanya.

 

"Apa kamu tidak terlalu berlebihan Alya? Tiga ratus ribu sehari itu banyak."

 

"Bang, itu sudah sangat murah. Apalagi Abang tidak perlu cari ART. Rumah bersih, makanan enak. Coba Abang hitung jika ada ART berapa pengeluarannya. Aku bahkan sebaik ini meminta hanya tiga ratus ribu."

 

Dia bahkan secerdas ini. Aku dibuat tak bisa berkata apa-apa.

 

"Kecuali kalau Abang hanya makan tahu, tempe, tongkol, seratus ribu tak masalah." Diiih, dong tidak ada gizi dalam tubuhku.

 

"Oke, deal."

 

"Karena kita tidak ada ART minimal setelah makan, cuci sendiri piring yang digunakan." Bahkan dengan uang tiga ratus ribu dia masih memintaku cuci piring.

 

"Tak masalah."

 

"Bahkan masak mie saja dapur sudah seperti kapal pecah," ucapnya sinis. Dia berlalu ingin mengganti bajunya.

 

"Mau kemana?" tanyaku mencegatnya. 

 

"Ganti baju, lah. Aku paling tidak suka dapur kotor."

 

"Jangan ...." Masalahnya aku tidak mau dia mengganti bajunya, dong, dia kembali kusam lagi.

 

"Ada apalagi!" Ketusnya. Dia nampak heran melihat tingkahku yang tidak jelas.

 

"Duduk saja, biar aku yang bersihkan." Aku hanya tidak ingin dia cepat-cepat ganti baju dan menghapus polesan di wajahnya.

 

"Gak kesambet?" Dia bahkan memegang kepalaku karena heran.

 

"Iya, aku kesambet."

 

Astaghfirullah, aku sampai jujur begini. Fix aku sudah Ter Alya Alya dibuat.

 

Kunaikkan kemejaku lalu kubersihkan dapur yang kotor ini. Dia duduk manis, meski risih yang melihatku cuci piring dengan suara piring yang keras tak jelas. 

 

Dia mau masuk untuk ganti baju, pusing mungkin melihat tingkahku yang aneh.

 

"Jangan masuk, diam disitu!" Lagi dia mundur. Biarkan saja dia heran melihat tingkahku yang aneh. Masalahnya kapan lagi bisa melihat wajahnya seperti bidadari.

 

"Pak Dave, aku mau  salat isya, mau berdosa istri belum salat?" Sial, tahu begini aku tak perlu capek-capek cuci piring. Kenapa juga dia tidak memberitahu jika belum salat.

 

"Cuci yang bersih, tu masih ada sabun di piringnya. Laki-laki kok gak bisa ngerjain apa-apa." Diih, kenapa dia yang jadi ngomel.

 

Dia masuk mengganti pakaian yang digunakan aku justru yang ngomel. Mana dia minta jatah tiga ratus ribu sehari lagi. Duh, bisa habis tabunganku karena ulah si Alya. Makanan apa coba yang akan dimasak sampai habis tiga ratus ribu. Benar-benar aku diperas olehnya. 

 

Dengan sambil mengomel akhirnya kelar juga cucian ini. Sebenarnya aku juga penasaran bagaimana masakan si Alya yang kata ibu enak itu. 

 

***

Aku masuk ke kamar, dia baru selesai salat. 

 

"Udah salat?" tanyanya. Aku diam, masalahnya salatku kadang bolong.

 

"Salat lah, masak nggak," jawabku sekenanya. Dia hanya menghembuskan nafas kasar. 

 

Kulihat wajahnya masih bersih, walau sudah terbasuh air wudu.

 

"O, ya, bang. Uang belanjanya bisa di transfer ke rekening ini. Bisa cash atau kredit." Dia menyodorkanku nomor rekening. Eh, maksudnya? Cash atau kredit bagaimana?

 

"Cash itu kalau langsung sebulan dikali tiga ratus ribu, kredit dicicil tiga ratus ribu sehari. Kalau lewat berarti besoknya cicilan beserta bunganya sesuai suku bunga rendah dua puluh persen." Astaga pakai suku bunga segala, betul-betul rentenir si Alya ini.

 

"Ckck ... baru kutahu kamu itu mengalahkan pinjaman online," ucapku.

 

"Jika suami tidak mau nikah lagi, tak masalah. Kalau sederhana begini saja abang sakit kepala bagaimana menghidupi dua orang istri. Ops, maaf aku bukan wanita yang lemah seperti yang lain. Jika abang masih merasa aku tidak menarik sesuai perjanjian kita, aku yang mundur."

 

Entah mengapa ucapan terakhirnya membuatku takut. Takut jika aku mulai menyukainya dan dia justru memilih menjauh. 

 

"Oke, aku transfer sembilan juta sesuai hari pada bulan ini." Dia tidak bahagia atau pun tersenyum, nampak biasa saja aku berucap demikian.

 

Dengan tangan gemetar akhirnya aku transfer uang sembilan juta. Tabungan yang kumiliki akhirnya akan mulai terkikis dengan ulahnya Alya.

 

"Terima kasih," ucapnya datar. Biasanya wanita dikasih uang segitu pasti matanya lebar. Eh, ini si Alya biasa-biasa saja. 

 

Dia lalu berbaring. Padahal aku ingin duduk berduaan dengannya. Tapi, sudahlah, toh juga sebentar lagi aku akan menerima Deswita yang mau menjadi istriku. Setidaknya ada yang lebih bening dari si Alya. 

 

Fix, besok aku akan membawa Deswita ke rumah ini biar si Alya tidak semena-mena denganku.

 

****

Bangun tidur, aroma masakan begitu menggiurkan. Entah jam berapa dia masak. Lalu, kapan dia berbelanja? Padahal kemarin dia bilang hanya beli telur dan mie rebus saja.

 

"Bangun ... pak Dave!" teriaknya. 

 

"Ini sudah pukul 06. 00. Apa manager bank semalas ini."

 

Astagfirullah. Aku hampir telat. Bergegas aku ke kamar mandi. Keluar kamar dia duduk menungguku.

 

"Salat subuh!" titahnya.

 

"Untuk apa totalitas dalam penampilan jika tidak totalitas dalam ibadah," ucapnya. Dia mulai cerewet lagi. 

 

Dan aku menurut begitu saja. Karena sadar diri memang selama ini ibadahku tidak baik.

 

Selesai salat subuh. Aku bersiap untuk ke kantor.  Dia dengan telaten menyiapkanku sarapan. Dan ini pertama kali aku sarapan dengannya. Ada omelate, roti bakar dan cemilan cake dibuatnya. Tak lupa segelas susu juga ada di meja. Dengan telaten tanpa banyak kata dia melayaniku pagi ini dengan baik.

 

"Alya, aku sudah memutuskan nanti sore membawa Deswita ke rumah."

 

Dia melihatku tanpa banyak ucap.

 

"Lalu?"

 

"Agar kamu bersiap diri jika aku tinggalkan."

 

"Sepertinya pak Dave terlalu percaya diri hingga merasa dicintai."

 

Dia memukul-mukul pisau yang dipegangnya. Kenapa aku jadi takut dibuatnya mengingat dia tak pernah takut melakukan apa yang dia mau.

 

"Bawa saja, kupastikan dia ...." Matanya melotot sambil memegang pisau.

 

Tanganku gemetar ketika pisau yang dipegang ditusuk dengan tajam ketika memotong roti yang dimakan.

 

Aku sampai tersedak karena ketakutan. Astagfirullah, dong bisa dibunuh anak orang!

 

 

 

Hahaha .... Bang Dave gitu aja takut, padahal cuma digertak Alya!

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status