Share

Membawa Deswita Ke Rumah

Aku langsung terdiam menikmati sarapan di depannya. Setelah selesai, dia menitipkan kotak bekal untuk kubawa ke kantor.

 

"Ini bekalnya, bang. Kalau tidak dimakan kasih OB kantor saja," ucapnya enteng.

 

"Jangan lupa bawa kotak bekalnya pulang." Astagfirullah,  ini aku yang pelit atau dia sih. Kotak bekal diharuskan bawa pulang.

 

"Jangan sampai kotak bekalnya hilang, ini kotak bekal limited edition." Diih, kotak bekal apa, sih, yang mahal. Akal-akalannya si Alya ini mah.

 

"Iya, cerewet!" ketusku.

 

"Biar aku tidak dianggap korupsi oleh manager bank, makanya kusiapkan bekal. Untuk nota belanja tiga puluh hari kedepan aku akan buat  rinciannya," jawabnya lagi.

 

Lebih baik aku segera ke kantor. Makin mumet aku di rumah olehnya. Seperti biasa tampilannya kembali lagi, celana training dan jilbab instan. Dan anehnya pakaiannya itu-itu saja bikin tidak ada selera menatapnya.

 

Aku berangkat dengan perasaan tak menentu. Mana saldoku berkurang dibuatnya. Aku seperti terhipnotis mentransfer uang ke rekeningnya. Entah apa salah dan dosaku bertemu dengan wanita yang tidak jelas rimbanya ini.

 

***

Sampai kantor semua seperti menungguku. 

 

"Pak Dave, pangling aku lihat istri pak Dave yang begitu cantik. Tutur bahasanya seperti orang kalangan bangsawan," ucap Dito menyambutku. Lagi-lagi si Alya jadi bahan pembicaraan.

 

"Tau darimana?"

 

"Tadi malam Sinta berkenalan dengannya, lesung pipitnya bikin candu pak lihatnya." Eh, kenapa mereka yang heboh.

 

"Bener pak, waktu bapak dekat dengannya kami nguping. Istri cantik begitu harusnya dipamerin pak Dave. Aku sampai kebawa mimpi."

 

"Hahaha ... sekalinya emak bedaster dandan buaya mati hidup kembali," bisik Fery. Eh, tau darimana coba si Fery ini.

 

"Sok tahu kamu, Fer."

 

"Tau lah aku 'kan penikmat komen emak-emak Kabeem."

 

"Hahaha ... ente kadang-kadang bikin hati snep." Si Fery justru tak dapat menahan tawanya. Satu kantor pun mulai ter Alya Alya dibuat. Memang sehebat apa si Alya ini.

 

Aku segera masuk ke ruangan. Mengecek semua pekerjaan hari ini. Kutaruh bekal yang dibuat Alya pagi ini. Bahkan bekal yang tidak seberapa harganya diperhitungkan. Kotaknya pun harus kubawa pulang kembali. Dikira enak kali masakannya. 

 

Entah mengapa pikiranku selalu ke Alya membayangkan pesonanya tadi malam membuatku sampai belum bisa melupakannya. Sesekali kupandang bekal yang dibawa, tak lupa kubayangkan transfer sembilan juta itu. Biasanya wanita-wanita atau para istri di sinetron lemah, kenapa Alya begitu kuat seperti tidak ada takutnya padaku. Ibaratnya, silahkan cari yang lain tak masalah bagiku. Aku dibuat dilema olehnya.

 

Di dunia ini yang paling kutakuti adalah ibuku. Sebisa mungkin aku selalu mengikutinya hingga dijodohkan dengan Alya pun aku terima begitu saja. Meski beliau tidak pernah protes jika tidak pernah kuberi uang belanja. Namun, sekarang ada personil baru yang mulai mempengaruhi pikiranku,o siapa lagi kalau bukan Alya. Ibu begitu menyayanginya entah darimana ibu mendapatkan wanita seperti Alya. Aku dibuat bertekuk lutut. Jika begini terus bisa-bisa kesehatanku terganggu dibuat oleh si Alya.

 

***

Tak terasa istirahat makan siang tiba. Seperti biasa si Fery selalu datang mengganggu. Kulihat bekal yang disiapkan Alya untukku. Namun, gengsi ini sudah di ubun-ubun.  

 

"Apa itu, Bro." 

 

"Bekal dari Alya."

 

"Serius? Ngiler, neh. Ingat gadis cantik yang buat, bikin makin lapar." Mulai dah si Fery.

 

"Makan aja, jan muji-muji dia terus, pen mual ane."

 

"Lah ente, istri cantik gitu dianggurin, payah banget jadi suami. Aku justru bersyukur jika istri biasa-biasa saja, nyambut pulang rumah dengan penuh senyuman. Si Dina makin menjadi-jadi dengan teman sosialitanya kemarin totok wajah uang ane tiga juta melayang." Eh, si Fery malah curhat.

 

"Cantik itu mahal. Tapi kalau suami banyak cicilan harusnya si Dina sadar diri, boro-boro mau masak. Ogah ma dia." Si Fery semakin banyak curhat bikin makin pening mendengarnya dikira aku akan kuluh mungkin sama si Alya.

 

Dengan semangat dia membuka bekal dari Alya. Aku hanya menatapnya dengan keheranan, dia lapar apa doyan? Ada rendang dibuat oleh Alya. Entah mengapa aku dibuat ikut lapar, tapi gengsi mengatakannya.

 

"Gila enak banget, Dave. Dapat darimana kamu bidadari seperti istrimu? Jarang-jarang aku makan masakan rumahan." Dia begitu semangat makan sambil muji si Alya.

 

"Eh, ente doyan apa lapar?" Jangan sampai bekal ini habis olehnya. Aku juga ingin mencicipi walau sedikit. Penasaran dengan bekalnya Alya. 

 

Astaghfirullah dia hanya menyisakan satu potong dan sedikit nasi. Pen ditabok si Fery ini.

 

"Makasih, bro. Besok aku mampir lagi. Mayan gratisan. Cita rasanya mengalahkan cafe di sebelah," ucapnya berlalu. 

 

Ya Ampun benar-benar si Fery, aku hanya di sisain sedikit saja olehnya.

 

Kuambil satu potong daging itu karena penasaran. Namun, lagi-lagi ada halangan Deswita datang ke ruangan.

 

"Pak Dave tidak makan siang?" tanyanya. Aku ingat janjiku ke Alya untuk bawa Deswita sore ini.

 

"Makan dimana?" aku menanyakannya sekalian ingin mengajaknya ke rumah.

 

"Kita coba cafe baru di sebelah. Masih tiga puluh menit lagi."

 

"Oke."

 

Akan kubuat si Alya perhitungan. Dia pikir wanita hanya dia saja, nyatanya Deswita begitu mengejarku meski dia tahu aku sudah beristri. Baru aku tahu ada cafe baru di sebelah kantor. Meski rendang buatan Alya masih dipikiranku. Namun, misi harus tetap dijalankan agar si Alya tidak semena-mena. 

 

"Des, aku mau ajak kamu sore ini ke rumah menemui istriku."

 

"Aku sangat menunggu hari ini tiba. Aku sudah sering dengar tentang istri pak Dave yang kusam dan jarang dandan itu."

 

"Iya, dia anti untuk sekedar memoles diri sedikit saja."

 

"Mungkin dikira tinggal di hutan kali, pak."

 

"Hahaha ... kamu bisa saja, Des."

 

"Berarti aku bisa menggantikan istri pak Dave, jadi satu-satunya di hati pak Dave. Aku akan tampil memukau hari ini," sambungnya penuh antusias.  Semoga saja si Alya tak banyak ulah. Aku justru yang deg-degan.

 

"Aku harap kamu bisa mengalahkan istriku yang jarang senyum itu. Ini karena aku menerima begitu saja perjodohan ini."

 

"Tenang saja, pak Dave. Aku sudah biasa mengalahkan gadis-gadis yang tidak jelas seperti itu." Deswita begitu semangat. Tak sabar rasanya menunjukkan semua ini ke Alya.

 

Selesai makan kami langsung kembali ke kantor. Rasanya tak sabar pmelihat reaksi Deswita bertemu Alya.

 

Sampai ke ruangan kulihat lagi bekal yang bersisa satu potong itu. Kuambil sedikit lalu kumakan. Rasanya benar-benar enak, pantas si Fery seperti tidak sadar diri makan masakan si Alya.

 

***

 

Menjelang pulang Deswita sudah siap. Dia bahkan merias diri sebelum berangkat denganku. Sudah tak sabar rasanya sampai rumah. 

 

Tak lama di perjalanan kami sampai ke rumah.

 

"Ini rumah pak Dave?" tanyanya. 

 

"Iya, ini rumah pribadiku."

 

"Rasanya ingin cepat-cepat tinggal disini." Walau kulihat si Deswita ini aneh dan sedikit matre, tapi kurasa itu wajar karena dia selama ini sangat menginginkanku.

 

Aku memencet bel, terdengar suara langkah dari dalam membuka pintu. Alya menggunakan tunik keluaran terbaru dengan pasmina digunakan. Dia tersenyum manis memyambut kami.

 

"Katanya istrinya dekil, pak. Itu sih mirip artis," bisik Deswita. Sial, bahkan Deswita sempat-sempatnya memuji si Alya. Aku dibuat tak berkutik dengan sikapnya Alya yang begitu manis sore ini. 

 

"Silahkan masuk, ini dengan Deswita, ya," sapanya ramah. Rumah bahkan disulap harum dan wangi. Kenapa aku deg-degan begini.

 

"Iya, aku Deswita."

 

"Ayo, bang. Ajak Deswita masuk," sapanya dengan lembut. Duuh jantungku entah mengapa berdetak lebih cepat.

 

Aku dan Deswita masuk, meski firasatku aneh. Namun, kutepis semuanya demi membuat Alya bertekuk lutut. 

 

Dia duduk dengan anggunnya,  tak ada sedikit pun raut wajah cemburu atau takut aku membawa Deswita. 

 

"Pantas suamiku tertarik, ternyata mbak Deswita begitu cantik." Dia memulai percakapan. Nampak jelas wajah Deswita yang terpesona dipuji.

 

"Biasa perawatan wajah dimana? Pasti mahal." Dengan santai si Alya bertanya. 

 

"Aku biasanya ke Spa yang bukan kawe-kawean."

 

"Berarti yang Spa terbaik, lah, ya di kota ini," jawab Alya. Dia terus menatapku tanpa berkedip.

 

"Berapa biayanya? Ini penting agar bang Dave bisa menyiapkan diri, takutnya jantungnya kumat kalau transfer uang," ucapnya enteng. Astaga si Alya ini.

 

"Sekitar dua belas juta, lah, setiap bulan untuk perawatan. Itu sudah lengkap dengan perawatan harian. Aku kalau yang bukan produk terkenal tidak cocok," jawab si Deswita. Dia tidak tahu jika aku menelan ludah mendengar ucapannya. Ha, dua belas juta sebulan? Gila! Bisa habis gajiku hanya membiayai skincare saja.

 

"Karena cantik itu mahal, ya, mbak," sambung Alya. Aku dibuat mati kutu.

 

"Asal jangan dikasih nafkah tiga puluh ribu saja, mbak. Bisa hitam kulit mbak dibuat," sambung si Alya mengejekku.

 

"Hahaha ... kalau aku laki modelan gitu  juga langsung ku gugat, mbak. Aku kan wanita yang hobi shopping masalahnya." Aku semakin menelan ludah. Dibuat tak berkutik.

 

"Bang Dave kok tegang begitu, santai saja. Punya istri cantik itu butuh modal, bang."

 

"Aku salut dengan mbak Alya yang santai suami bawa wanita ke rumah."

 

Alya lalu berbisik ke Deswita membuat wajah Deswita panik. 

 

"A ... n ... u." Deswita bahkan dibuat gagap. Entah apa yang dibisikkan.

 

"Pak Dave lebih baik cari saja wanita lain. Aku ... tidak ... bisa." Deswita terlihat panik seperti orang ketakutan.

 

"Maksudnya? Kamu mau nikah lagi Davee!!"

 

 Tiba-tiba ibu di depan pintu berteriak. Deswita ingin kabur, tapi ditahan oleh ibu. Aku gemetar, mati aku ketahuan oleh ibu.

 

"Ibu!"

 

Si Alya malah santai minum melihat aku akan dihajar oleh ibu. Deswita juga tak kalah gemetarnya.

 

Duh, bagaimana nasib kami!

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status