Share

IYM 5

“Hai, cewek cantik!”

Sebuah suara bariton terdengar dari sebuah mobil dengan jendela kacanya dibuka. Ayumi yang melihatnya hanya diam tanpa mau perduli dan tetap mendorong sepedanya. Namun, pnaggilan genit dari pengendara di mobil tersebut bukannya berhenti malah semakin gencar menggodanya. Mendapati perlakuan demikian, tiba-tiba rasa cemas menggelayut di hati Ayumi, terlebih jalan yang dilalui kini telah sepi, dan di depannya jalan yang terlihat gelap tanpa penerangan, kecuali karena cahaya bulan yang kebetulan purnama. Dengan berat hati, Ayumi menghentikan langkahnya yang mulai gemetar.

“Kalian siapa?” suara Ayumi berusaha tetap tenang dan tak kasar membalas sapaan genit pria tak dikenalnya.

“Kami kumpulan cowok ganteng, manis. Sini masuk, kita siap anterin ke mana pun kamu pergi, bahkan ke surga sekali pun,” sahut pria yang ada tepat di sebelah Ayumi berdiri.

“Surga dunia maksudnya, hahaha ...,” sambung pria yang memegang kemudi.

Mendengar jawaban aneh dari keduanya, tak dapat Ayumi pungkiri lagi jika saat ini dia sedang berhadapan dengan para pria jahat. Mendadak lutut Ayumi semakin bergetar dan lemas serta matanya melirik ke kiri dan ke kanan. Namun, tak ada tanda-tanda warga yang lewat, sedangkan keadaan sekitar tak ada rumah warga sekitar. Tanpa aba-aba, Ayumi langsung melepas sepeda tua miliknya dan lari secepat mungkin ke arah berlawanan dari rumahnya kembali ke arah pabrik tempatnya bekerja untuk mendekati rumah warga.

Tanpa menoleh, Ayumi terus berlari dengan air mata yang terasa mulai menetes di pipi karena ketakutan kian menyelimuti dirinya, hingga tak jauh dari pandangannya, terlihat rumah warga, dan beberapa orang masih duduk berbincang di depan warung klontong yang masih buka. Senyum lega terukir jelas di wajah Ayumi yang pias karena kelelahan. Namun, ketika beberapa meter tubuhnya mencapai warung tersebut dan ingin berteriak, tiba-tiba tubuh Ayumi didekap seseorang dari belakang, lalu menempelkan sebuah sapu tangan berwarna putih ke hidungnya. Dalam hitungan detik, tubuh Ayumi lemas, pandangan matanya perlahan kabur, dan tak sadarkan diri.

Warga yang asik berbincang sambil memutar radio, tak melihat tubuh Ayumi diseret masuk ke mobil. Bahkan, tidak mendengar suara kisruh yang ditimbulkan oleh penculik, hingga mobil itu berlalu meninggalkan area tersebut menembus gelapnya malam yang kian larut dan dingin.

Di rumah, Yuliawati, sang ibunda Ayumi menunggu dengan cemas anak gadisnya yang tak kunjung pulang, sedangkan waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Padahal jam lembur pabrik berakhir jam 9 dan seharusnya Ayumi sudah tiba di rumah sekitar jam 10 paling lambat. Mondar mandir karena cemas, akhirnya Yulia memutuskan untuk ke rumah Tiwi guna menanyakan tentang Ayumi, dan berharap jika ternyata Ayumi ada di sana untuk mampir sebentar. 10 menit berjalan kaki, akhirnya Yulia tida di rumah Tiwi yang nampak sepi. Dengan berat hati, Yulia melangkahkan kakinya dan mengetuk pintu kayu yang kondisinya jauh lebih kekar dari pintu di rumahnya.

‘Tok tok tok’

Suara pintu terdengar diketuk beberapa kali oleh Yulia, hingga tak berapa lama terdengar suara seseorang dari dalam yang kian mendekat, dan pintu terbuka. Ternyata Dewi, ibu dari Tiwi yang membuka pintu dengan mata terlihat masih terjaga.

“Assalamualaikum, Bu.”

“Walaikum Salam. Bu Yulia, ada apa? Ayo silahkan masuk!” sahut Bu Dewi selaku ibunda Tiwi menyambut ramah.

“Tidak, Bu Dewi, terima kasih. Maaf, saya sudah mengganggu malam-malam begini,” ujar Yulia tak enak hati menganggu jam istirahat malam.

“Tidak apa-apa, Bu. Kebetulan saya belum tidur, masih nonton tv. Ada apa ya?” timpal Dewi lembut.

“Apa Tiwi sudah pulang, Bu? Saya ingin menanyakan tentang Ayumi. Dia belum juga pulang sampai saat ini. Saya khawatir, Bu!” papar Yulia dengan wajah yang terlihat sekali cemasnya.

“Tiwi sudah pulang sejak maghrib, Bu. Dia tak ambil lembur karena ikut saya melihat bibinya yang lahiran,” jawab Dewi sesuai kenyataan yang ada.

Yulia hanya mengangguk pelan mendengar ucapan Dewi jika Tiwi tak lembur, lalu bagaiman dengan Ayumi. Terlihat wajah Yulia yang semakin gusar dengan kedua tangan yang saling bertautan, hingga sosok Tiwi tiba-tiba muncul dari dalam.

“Bu Yulia? Ada apa, Bu?” tanya Tiwi langsung ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.

“Saya sedang cari Ayumi, Wi. Sudah jam segini dia belum pulang, ibu khawatir terjadi apa-apa dengannya. Ayumi tidak biasanya seperti ini,” tutur Yulia yang mulai terdengar sedih dan putus asa.

“Belum pulang?” bingung Tiwi dengan mulut menganga.

Sekelebat perasaan tak enak kembali menyapa hatinya yang sebenarnya sejak pagi dia rasakan. Benar, Tiwi sudah merasakan cemas terhadap Ayumi sejak tadi pagi ketika menanyakan masalah lembur. Namun, Tiwi mencoba menepis segala rasa cemasnya dan berharap tidak terjadi hal-hal yang tak diharapkan.

“Iya, Ayumi belum pulang. Ibu khawatir jika terjadi sesuatu dengannya, hiks ..., ” terdengar tangisan yang sudah meluncur dari bibir Yulia. Menaik nafas dalam, Tiwi melangkah mengelus pundak Yulia guna menenangkan, walaupun tak berpengaruh apa-apa bagi Yulia.

“Ya sudah, mending sekarang kita susul saja Ayumi ke pabrik. Bagaimana, Bu?” ucap Tiwi menawarkan solusi paling memungkinkan saat ini.

Dengan cepat, Yulia membalas Tiwi dengan anggukkan yakin. Tak menungu lama, mereka bergegas menuju pabrik, dan ayah Tiwi yang ikut serta karena dibangunkan oleh Dewi. Mereka akhirnya menuju pabrik dengan berjalan kaki membelah jalan yang sudah sepi dan gelap. Sedangkan Ita akhirnya ikut bergabung karena kebetulan yang rumahnya searah dengan jalan menuju pabrik itu.

Di sepanjang jalan, tak henti-hentinya Yulia berdoa hal yang baik untuk Ayumi, berharap agar tak terjadi sesuatu padanya. Cukup lama mereka berjalan, hingga akhirnya berhenti di jalan di mana sepeda milik Ayumi tergeletak mengenaskan. Pak Iwan selaku ayah dari Tiwi langsung memeriksa sepeda yang dikenali sebagai milik Ayumi dan ternyata ban bagian belakangnya mengalami kempes. Bu Yulia yang berdiri tak jauh dari sepeda kempes tersebut semakin menangis dan perasaan cemasnya kian menjadi. Tiwi dan Ita mengelus lembut pundak Yulia yang terisak memikirkan nasib Ayumi kini.

“Ya Allah, Ayumi, di mana kamu, Nak? Hiks ... hiks ...,” tangis Yulia akhirnya pecah membuat semuanya menarik nafas dalam.

Tak dipungkiri, jika hati Tiwi dan Ita mulai dirundung rasa cemas dan tak enak. Firasat Tiwi semakin tak karuan melihat apa yang terjadi kini. Semua terasa nyata. Pak Iwan mendorong perlahan sepeda tua itu dan bersama mereka tetap melanjutkan pencarian Ayumi ke pabrik, hingga sampai di warung klontong yang masih buka dan suara radio sebagai penghibur. Melihat kedatangan mereka, pemilik klontong dan dua orang warga yang asik berbincang segera mematikan radio. Wajah mereka seolah sudah mewakili pertanyaan yang ada di kepala mereka.

“Pak Iwan! Mau ke mana larut malam begini masih di luaran?” tanya Asep yang kini berdiri menghampiri mereka.

“Kami sedang mencari neng Ayu, Sep. Dia belum pulang ke rumah sampai saat ini. Bu Yulia sudah kebingungan karena tak biasanya Ayumi seperti ini,” tutur Pak Iwan cukup jelas untuk dipahami.

“Neng Ayu? Tadi mah saya lihat dia jalan sambil dorong sepeda sekitar jam 9 lebih sedikit ke arah pulang. Kok bisa belum sampai?” jelas Asep yang memang melihat Ayumi dari warung.

“Begitulah, Sep. Ini sepedanya saya temukan ada di ujung jalan sana tergeletak begitu saja seperti sengaja ditinggal,” sambung Iwan lagi.

Mata Asep menatap sepeda yang memang dia kenali sebagai milik Ayumi yang tadi didorongnya. Beberapa kali mengerjap, Asep menggaruk kepalanya yang ikut bingung mendengar kenyataan jika Ayumi tak sampai ke rumah, hingga sebuah suara mengalihkan semua yang berada di situ.

“Lihat!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status