“Hai, cewek cantik!”
Sebuah suara bariton terdengar dari sebuah mobil dengan jendela kacanya dibuka. Ayumi yang melihatnya hanya diam tanpa mau perduli dan tetap mendorong sepedanya. Namun, pnaggilan genit dari pengendara di mobil tersebut bukannya berhenti malah semakin gencar menggodanya. Mendapati perlakuan demikian, tiba-tiba rasa cemas menggelayut di hati Ayumi, terlebih jalan yang dilalui kini telah sepi, dan di depannya jalan yang terlihat gelap tanpa penerangan, kecuali karena cahaya bulan yang kebetulan purnama. Dengan berat hati, Ayumi menghentikan langkahnya yang mulai gemetar.
“Kalian siapa?” suara Ayumi berusaha tetap tenang dan tak kasar membalas sapaan genit pria tak dikenalnya.
“Kami kumpulan cowok ganteng, manis. Sini masuk, kita siap anterin ke mana pun kamu pergi, bahkan ke surga sekali pun,” sahut pria yang ada tepat di sebelah Ayumi berdiri.
“Surga dunia maksudnya, hahaha ...,” sambung pria yang memegang kemudi.
Mendengar jawaban aneh dari keduanya, tak dapat Ayumi pungkiri lagi jika saat ini dia sedang berhadapan dengan para pria jahat. Mendadak lutut Ayumi semakin bergetar dan lemas serta matanya melirik ke kiri dan ke kanan. Namun, tak ada tanda-tanda warga yang lewat, sedangkan keadaan sekitar tak ada rumah warga sekitar. Tanpa aba-aba, Ayumi langsung melepas sepeda tua miliknya dan lari secepat mungkin ke arah berlawanan dari rumahnya kembali ke arah pabrik tempatnya bekerja untuk mendekati rumah warga.
Tanpa menoleh, Ayumi terus berlari dengan air mata yang terasa mulai menetes di pipi karena ketakutan kian menyelimuti dirinya, hingga tak jauh dari pandangannya, terlihat rumah warga, dan beberapa orang masih duduk berbincang di depan warung klontong yang masih buka. Senyum lega terukir jelas di wajah Ayumi yang pias karena kelelahan. Namun, ketika beberapa meter tubuhnya mencapai warung tersebut dan ingin berteriak, tiba-tiba tubuh Ayumi didekap seseorang dari belakang, lalu menempelkan sebuah sapu tangan berwarna putih ke hidungnya. Dalam hitungan detik, tubuh Ayumi lemas, pandangan matanya perlahan kabur, dan tak sadarkan diri.
Warga yang asik berbincang sambil memutar radio, tak melihat tubuh Ayumi diseret masuk ke mobil. Bahkan, tidak mendengar suara kisruh yang ditimbulkan oleh penculik, hingga mobil itu berlalu meninggalkan area tersebut menembus gelapnya malam yang kian larut dan dingin.
Di rumah, Yuliawati, sang ibunda Ayumi menunggu dengan cemas anak gadisnya yang tak kunjung pulang, sedangkan waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Padahal jam lembur pabrik berakhir jam 9 dan seharusnya Ayumi sudah tiba di rumah sekitar jam 10 paling lambat. Mondar mandir karena cemas, akhirnya Yulia memutuskan untuk ke rumah Tiwi guna menanyakan tentang Ayumi, dan berharap jika ternyata Ayumi ada di sana untuk mampir sebentar. 10 menit berjalan kaki, akhirnya Yulia tida di rumah Tiwi yang nampak sepi. Dengan berat hati, Yulia melangkahkan kakinya dan mengetuk pintu kayu yang kondisinya jauh lebih kekar dari pintu di rumahnya.
‘Tok tok tok’
Suara pintu terdengar diketuk beberapa kali oleh Yulia, hingga tak berapa lama terdengar suara seseorang dari dalam yang kian mendekat, dan pintu terbuka. Ternyata Dewi, ibu dari Tiwi yang membuka pintu dengan mata terlihat masih terjaga.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Walaikum Salam. Bu Yulia, ada apa? Ayo silahkan masuk!” sahut Bu Dewi selaku ibunda Tiwi menyambut ramah.
“Tidak, Bu Dewi, terima kasih. Maaf, saya sudah mengganggu malam-malam begini,” ujar Yulia tak enak hati menganggu jam istirahat malam.
“Tidak apa-apa, Bu. Kebetulan saya belum tidur, masih nonton tv. Ada apa ya?” timpal Dewi lembut.
“Apa Tiwi sudah pulang, Bu? Saya ingin menanyakan tentang Ayumi. Dia belum juga pulang sampai saat ini. Saya khawatir, Bu!” papar Yulia dengan wajah yang terlihat sekali cemasnya.
“Tiwi sudah pulang sejak maghrib, Bu. Dia tak ambil lembur karena ikut saya melihat bibinya yang lahiran,” jawab Dewi sesuai kenyataan yang ada.
Yulia hanya mengangguk pelan mendengar ucapan Dewi jika Tiwi tak lembur, lalu bagaiman dengan Ayumi. Terlihat wajah Yulia yang semakin gusar dengan kedua tangan yang saling bertautan, hingga sosok Tiwi tiba-tiba muncul dari dalam.
“Bu Yulia? Ada apa, Bu?” tanya Tiwi langsung ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
“Saya sedang cari Ayumi, Wi. Sudah jam segini dia belum pulang, ibu khawatir terjadi apa-apa dengannya. Ayumi tidak biasanya seperti ini,” tutur Yulia yang mulai terdengar sedih dan putus asa.
“Belum pulang?” bingung Tiwi dengan mulut menganga.
Sekelebat perasaan tak enak kembali menyapa hatinya yang sebenarnya sejak pagi dia rasakan. Benar, Tiwi sudah merasakan cemas terhadap Ayumi sejak tadi pagi ketika menanyakan masalah lembur. Namun, Tiwi mencoba menepis segala rasa cemasnya dan berharap tidak terjadi hal-hal yang tak diharapkan.
“Iya, Ayumi belum pulang. Ibu khawatir jika terjadi sesuatu dengannya, hiks ..., ” terdengar tangisan yang sudah meluncur dari bibir Yulia. Menaik nafas dalam, Tiwi melangkah mengelus pundak Yulia guna menenangkan, walaupun tak berpengaruh apa-apa bagi Yulia.
“Ya sudah, mending sekarang kita susul saja Ayumi ke pabrik. Bagaimana, Bu?” ucap Tiwi menawarkan solusi paling memungkinkan saat ini.
Dengan cepat, Yulia membalas Tiwi dengan anggukkan yakin. Tak menungu lama, mereka bergegas menuju pabrik, dan ayah Tiwi yang ikut serta karena dibangunkan oleh Dewi. Mereka akhirnya menuju pabrik dengan berjalan kaki membelah jalan yang sudah sepi dan gelap. Sedangkan Ita akhirnya ikut bergabung karena kebetulan yang rumahnya searah dengan jalan menuju pabrik itu.
Di sepanjang jalan, tak henti-hentinya Yulia berdoa hal yang baik untuk Ayumi, berharap agar tak terjadi sesuatu padanya. Cukup lama mereka berjalan, hingga akhirnya berhenti di jalan di mana sepeda milik Ayumi tergeletak mengenaskan. Pak Iwan selaku ayah dari Tiwi langsung memeriksa sepeda yang dikenali sebagai milik Ayumi dan ternyata ban bagian belakangnya mengalami kempes. Bu Yulia yang berdiri tak jauh dari sepeda kempes tersebut semakin menangis dan perasaan cemasnya kian menjadi. Tiwi dan Ita mengelus lembut pundak Yulia yang terisak memikirkan nasib Ayumi kini.
“Ya Allah, Ayumi, di mana kamu, Nak? Hiks ... hiks ...,” tangis Yulia akhirnya pecah membuat semuanya menarik nafas dalam.
Tak dipungkiri, jika hati Tiwi dan Ita mulai dirundung rasa cemas dan tak enak. Firasat Tiwi semakin tak karuan melihat apa yang terjadi kini. Semua terasa nyata. Pak Iwan mendorong perlahan sepeda tua itu dan bersama mereka tetap melanjutkan pencarian Ayumi ke pabrik, hingga sampai di warung klontong yang masih buka dan suara radio sebagai penghibur. Melihat kedatangan mereka, pemilik klontong dan dua orang warga yang asik berbincang segera mematikan radio. Wajah mereka seolah sudah mewakili pertanyaan yang ada di kepala mereka.
“Pak Iwan! Mau ke mana larut malam begini masih di luaran?” tanya Asep yang kini berdiri menghampiri mereka.
“Kami sedang mencari neng Ayu, Sep. Dia belum pulang ke rumah sampai saat ini. Bu Yulia sudah kebingungan karena tak biasanya Ayumi seperti ini,” tutur Pak Iwan cukup jelas untuk dipahami.
“Neng Ayu? Tadi mah saya lihat dia jalan sambil dorong sepeda sekitar jam 9 lebih sedikit ke arah pulang. Kok bisa belum sampai?” jelas Asep yang memang melihat Ayumi dari warung.
“Begitulah, Sep. Ini sepedanya saya temukan ada di ujung jalan sana tergeletak begitu saja seperti sengaja ditinggal,” sambung Iwan lagi.
Mata Asep menatap sepeda yang memang dia kenali sebagai milik Ayumi yang tadi didorongnya. Beberapa kali mengerjap, Asep menggaruk kepalanya yang ikut bingung mendengar kenyataan jika Ayumi tak sampai ke rumah, hingga sebuah suara mengalihkan semua yang berada di situ.
“Lihat!”
Bersama para pekerja dan tim, saat ini Abe sedang memantau lokasi pendirian hotel. Sejak siang hari, Abe sudah berada di sana bersama Ayman. Namun, karena ada sedikit urusan mendesak, Ayman terpaksa undur diri dan meninggalkan Abe yang berencana akan menginap di bangunan hotel yang sudah jadi, dan memang sengaja dibuat untuk peristirahatan Abe jika berkunjung ke sana.Sejauh ini, pembangunan hotel tidak memiliki kendala yang berat dan berjalan sesuai rencana. Kalaupun ada, hal itu masih bisa diatasi dengan baik. Selain itu, bangunan hotel yang sudah rampung sekitar 50% dan benar-benar sudah terlihat indah di bagian belakangnya, di mana sebuah taman luas sudah ditumbuhi pepohonan dan bunga serta terasa sejuk nan memanjakan mata.Waktu sudah menunjukan jam 11 malam. Abe terlihat baru selesai berendam air hangat dan berganti pakaian untuk bersiap tidur. Sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil, Abe meraih handphone yang dia letakkan di atas nakas untuk membaca
Berdiri sebentar, Abe mengayunkan langkahnya ke dalam rumah. Dia yakin benar jika ada orang yang datang dan masih berbincang di dalam. Selangkah memasuki pintu, tiba-tiba Abe dikagetkan oleh Ayman beserta lainnya yang muncul dengan tiba-tiba.“Eh, Be!” ucap Ayman menyapa lebih dulu sebagai pengalihan rasa cemasnya yang ketahuan Abe karena telah mendatangkan tamu tanpa seizinnya.Berkerut kening, Abe tak menjawab dan menatap kedua teman Ayman yang baru datang mengekori Ayman penuh selidik. Keduanya tampak sep
Waktu sudah menunjukkan jam 3 dini hari. Ayman dan lainnya sedang menuju arah pulang karena membatalkan rencana ke kota karena teringat dengan gadis tak dikenal yang diculik Adit dan Kiki, serta mereka tinggalkan di kamar. Melaju dengan kecepatan penuh, Ayman mengendarai mobil jeep seperti seorang sopir ingin buang hajat membuat yang lainnya berteriak karena ketakutan.“Anjirr, Man, pelan-pelan kamvrettt!” omel Adit yang duduk di sebelah Ayman yang mengemudi ugal-ugalan.“Diam lo, jangan banyak bacot.
Dengan tubuh kaku, Ayman berdiri menatap ke arah ranjang besar di depannya. Matanya menelisik tajam melihat pakaian berserakan di lantai dan bergulir pelan ke atas ranjang besar di mana nampak seorang pria dan wanita terbaring di sana. Seorang pria yang tak lain adalah Abe terlihat begitu pulas tertidur layaknya orang kelelahan, dan berbanding terbalik dengan seorang wanita yang meringkuk di tepi ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya.Tak berapa lama, duo kadal buntung sampai dan berdiri tepat di samping Ayman yang hanya bungkam. Keduanya melihat Ayman seperti sedang melihat hantu dan menggeser pandangan ke arah apa yang Ayaman lihat. Perlahan mata mereka yang awalnya biasa kini berubah melotot sempurna mendapati pemandangan yang sejak tadi tak diharapkannya. Namun, harapan tinggallah harapan. Apa yang mereka khawatirkan telah terjadi.“Gue kata juga apa, Man. Pasti Abe yang minum!” gumam Adit menarik lengan baju Ayman yang masih terpaku.“S
Setelah semuanya beres dan tak meninggalkan jejak apa pun, ketiga trio gundal gandul itu bergegas meninggalkan rumah Abe. Semua lampu di dalam rumah sudah dimatikan seolah Abe sudah mengecek kondisi rumah dengan baik sebelum dia beranjak tidur. Mobil membawa tubuh Ayumi tak sadarkan diri langsung bergerak meninggalkan pekarangan yang kembali sepi. Kiki melajukan mobil dengan kecepatan penuh, di sebelahnya tampak Adit sesekali melirik pada Kiki yang tentu merasa jika Kiki mengendarai mobil tergesa-gesa."Ki, hati-hati bawa mobilnya, anjir. Gak lucu kalau kita mati nyemplung ke jurang dalam keadaan belum kawin!" gerutu Adit yang berpegangan kuat pada pintu mobil."Lo diam saja, kupret. Kalau pelan-pelan gak keburu, bentar lagi warga mulai pada bangun!" beo Kiki menjawab kepanikan Adit."Baru jam 3, anjirr!" sambar Adit lagi."Heh, blegug. Ini tuh pedesaan alias pegunungan. Warganya rajin bangun pagi, kagak kayak kita dari kota yang tidur tengah malam
Ayman melajukan mobilnya kembali menuju tempat di mana dia telah meninggalkan Ayumi terbaring di sebuah gubuk bambu. Sesampainya di sana, waktu sudah menunjukkan jam 05.30 waktu setempat. Suasana perkebunan yang semula gelap gulita sudah mulai terang dan nampak para warga memulai aktifitasnya masing-masing. Dari kejauhan, Ayman bisa melihat gubuk bambu di mana Ayumi berada tengah dikerumuni beberapa warga, hingga beberapa saat sebuah mobil tiba dan membawa tubuh Ayumi. Memberanikan diri, Ayman turun dari mobilnya dan menghampiri warga untuk sekedar bertanya."Permisi, Pak. Ada apa ya, kok ramai-ramai?" kata Ayman menyapa seorang pria paruh baya bersama seorang wanita yang diduga istrinya."Ada gadis dibuang dan sepertinya korban pemerkosaan karena hanya mengenakan selimut yang dibungkus seperti kepompong!" jawab bapak paruh baya itu."Gadisnya cantik banget lagi, tapi untungnya pelaku masih berbelas kasih menutupi tubuhnya dengan selimut tebal, ya, Pak!" sambar sang w
Waktu sudah menunjukkan jam 8 pagi, Ayman yang baru tiba di kediaman Abe secepat kilat masuk ke dalam rumah dan membaringkan tubuh ke ranjang yang belum dia sentuh sejak semalam. Tubuhnya benar-benar lelah dan belum tidur sama sekali, tapi rasa cemas, dan bersalahnya terus menggelayut di hati dan pikirannya, sehingga tak ada rasa kantuk yang dirasakan. Tubuh besar dan kekarnya terlentang di ranjang tanpa melepas kaos kaki putih yang membalus kakinya. Matanya menatap langit kamar yang terang akan sinar matahari pagi yang masuk dari jendela. Ayman membuka jendela kamar dan membiarkan udara dari halaman belakang masuk untuk menyapa paru-parunya yang mendadak sesak karena beban bersalah terus menggelayut di hati."Gadis yang cantik, tapi sudah dimiliki Abe!" ucap lirih keluar dari bibir Ayman yang entah disadarinya atau tidak."Jika Abe tak pulang, pasti gadis itu sudah jadi milikku," gumam Ayman terdengar lagi.Perlahan-lahan, mata Ayman mulai berkedip pelan, hingga akhirnya t
Di rumah Kepala Desa, sekitar jam 11 siang akhirnya Ayumi tersadar dari pingsannya. Ayumi langsung terisak sambil memeluk tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang. Kepala Desa bernama, Dirman serta istrinya, Ellis, tampak iba melihat Ayumi yang terisak. Ellis duduk di tepi ranjang dan memeluk tubuh Ayumi guna menengkannya."Tidak apa-apa, Nak. Kamu sedang di rumah kami. Jangan cemas!" ujar Ellis mengelus punggung Ayumi. Ayumi melepas pelukannya dan menatap Ellis dengan mata berkaca."Ibu siapa dan saya ada di mana?" tanya Ayumi pelan."Saya Ellis, ini suami saya, Dirman, dan dia Kepala Desa di sini. Kamu berada di desa Sukatenang," sahut Ellis menjelaskan pada Ayumi yang menghapus air mata di pipinya."Terima kasih sudah menolong saya. Semoga Allah membalas kebaikan kalian!" ucap Ayumi tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Sepasang suami istri itu membalas ucapan Ayumi dengan senyuman. Kuat sekali pikir mereka karena Ayumi masih bisa tersenyum, walaupun san