Share

IYM 4

Tak ada jawaban dan hanya helaan nafas pelan terdengar lirih beradu dengan suara hujan yang turun semakin lebat diiringi kilatan petir. Menunggu dengan setia Ayman mengunyak pisang goreng sambil menatap wajah Abe yang nampak tenang.

“Susah cari wanita pengertian, Man. Selama ini, wanita mencoba mendekat dan hanya menginginkan status sosial serta uang semata yang aku punya, sedangkan aku bukan mencari yang seperti itu. Aku juga ingin menikah, tapi sulit. Wanita sekarang rela membuka kedua kakinya demi uang. Kalau pun tidak, mereka rela melakukannya dengan kata yang disebut “Cinta.” Aku cari wanita yang bisa menjaga dirinya dengan baik hanya untuk suaminya,” papar Abe panjang lebar membuat Ayman menguap mendengar curhatannya.

“Panjang banget sih permintaanmu, Be. Mana ada wanita seperti itu jaman sekarang. Wanita yang pernah aku pacari saja sudah tidak perawan lagi. Kalau pun ada, mungkin berasal dari pedesaan seperti di sini,” sahut Ayman sesuai fakta yang dia temui selama ini karena teman ranjangnya sudah biasa dengan sex.

“Pasti ada, Man. Cuma ya harus selektif, tak seperti kamu yang wanita jenis apa pun dilahap,” ucap Abe dengan mata melirik sinis.

“Hahahaha ... Sa ae kamu! Aku tuh suka wanita berpengalaman, bisa siap pakai di mana pun. Cukup kedipkan mata, mereka langsung paham deh! Sesudahannya kasih duit, beres! Makanya, kamu tuh harus cobain, Be. Enak loh goyang dombret. Minimal sekali deh biar tahu rasanya surga dunia, enyoy deh!” hasut Ayman yang otaknya mulai dipenuhi pikiran kotor.

Mendengar rayuan setan bokep dari Ayman, Abe hanya menghela nafas panjang. Tentu Abe sangat paham dengan kebiasaan Ayman sebagai penikmat ONS selama ini. Lebih tepatnya sejak merasakan sex pertama kali saat kuliah bersama temannya.

“Tapi aku mau coba cari cewek di desa ini, Be. Siapa tahu ada yang bikin hatiku kepincut. Pasti mereka semua masih polos dan rapat. Kebetulan aku belum pernah merasakan yang masih perawan gitu!” gumam Ayman mulai berpikir yang aneh-aneh.

“Jangan macam-macam, Man. Jangan cari masalah di sini. Kalau ingin senang-senang, lebih baik kamu angkat kaki, dan pulang ke Jakarta, lalu lampiaskan semua hasrat bejatmu ke wanita di sana, tapi jangan di sini!” ancam Abe dengan rahang mengeras serta mata tajam yang menusuk.

“Kidding, Be, kidding!” sahut Ayman menghindari aura jahat yang mulai mucul di wajah Abe yang berubah garang.

Abe pun tak berkata lagi dan menikmati pisang goreng yang tak terasa telah habis. Kopi yang disajikan oleh Mbok Inem pun telah ludes, dan kini terlihat Ayman yang mulai menguap karena kekenyangan. Sedangkan Abe, dia terlihat belum mengantuk sama sekali, dan justru matanya terbuka sempurna menatap layar komputer kembali untuk meneruskan pekerjaannya yang beberapa saat tertunda oleh pisang.

“Be, aku tidur dulu ya. Sudah tak tahan, kantuk!” ucap Ayman dan hanya dibalas anggukkan.

Ayman dengan gontai meninggalkan Abe sendirian yang tengah bergelut dengan laporan. Hujan di luar terdengar begitu deras, namun belum ada tanda-tanda Abe ingin menyudahi kegiatannya tersebut, hingga waktu menunjukkan jam 1 dini hari, dan akhirnya Abe mematikan komputernya untuk siap menyusul Ayman yang telah tidur nyenyak bersama mimpi-mimpi basahnya.

Keesokkan harinya, Abe yang tidur terlambat justru sudah bangun pagi-pagi dan terlihat sedang berlari kecil di halaman depan. Setelah berputar sekitar 20 putaran, Abe terlihat duduk santai di teras sambil meminum air lemon yang dibuatkan oleh Mbok Inem. Dari kejauhan, Abe bisa melihat jika warga sekitar mulai sibuk berlalau lalang memulai kegiatannya masing-masih yang melewati kediamannya. Abe tahu, jika 1 km ke utara dari rumahnya terdapat sebuah pabrik tekstil yang lumayan besar, dan dijadikan mata pencarian warga sekitar. Tepatnya, pabrik itu adalah milik salah satu warga sekitar keturunan Indo-China, dan hasil produksinya biasa dijual di Tanah Abang bahkan di ekspor.

Di sudut lain, Ayumi mengayuh sepedanya perlahan menuju tempatnya bekerja. Kebetulan, hari ini sepeda tak digunakan oleh ibunya sehingga bisa dia gunakan kali ini. Beriringan, Ayumi mengayuh sepeda dengan buruh lainnya dan melewati kediaman Abe yang begitu besar nan mewah di daerah tersebut. Warga sekitar tentu tahu siapa pemilik rumah itu sejak pembangunannya tersebut, siapa lagi kalau bukan ibu dari Abe, Mariana.

Mariana dikenal oleh warga sekitar dengan baik. Walaupun berasal dari kota, tapi dia tidak sombong dan justru sangat ramah kepada warga sekitar, bahkan tak malu berbelanja ke pasar bersama Mbok Inem serta menyapa warga.

“AYYYY!!!”

Terdengar teriakan dari arah belakang Ayumi yang sedang sibuk mengayuh pelan sepedanya. Perlahan orang yang memanggilnya berhasil menyamakan laju Ayumi hingga berdampingan.

“Ay, hari ini kamu ambil jam lembur tidak?” tanya Tiwi yang duduk membonceng bersama Ita.

“Ambil, aku lagi butuh uang tambahan buat ibu,” jawab Ayumi menoleh sebentar.

“Kamu, Ta?” tanya Tiwi lagi.

“Aku gak bisa, ibu minta antar kondangan nanti malam ke kampung sebelah,” sahut Ita yakin.

“Ayu sendiri dong ambil lembur?” gumam Tiwi menantap lesu ke Ayumi.

“Tak apa, aku sudah biasa lembur tanpa kalian,” jawab Ayumi tersenyum.

“Iya juga sih! Kenapa tiba-tiba aku jadi mikirin kamu ya, Ay?” seru Tiwi heran dengan perasaannya yang tiba-tiba memikirkan Ayumi.

Ayumi hanya membalas dengan senyum manis yang terus terukir, menatap kedua temannya yang sudah dikenalnya sejak kecil. Sepanjang jalan, Tiwi tak henti-hentinya memperhatikan Ayumi dan terlihat fokus mengayuh sepedanya yang terlihat tua. Tak biasanya Tiwi merasa khawatir kepada Ayumi serta firasat buruk yang begitu terasa di hati Tiwi saat itu. Tidak! Tiwi berusaha menepis semua kekhawatirannya atas Ayumi. Pikiran positif terus ditanamkan kuat di hatinya hingga 10 menit kemudian, mereka sampai di lokasi pabrik berada dan bergegas masuk karena jam kerja sudah dimulai.

Waktu terus berlalu dan jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam waktu setempat. Tandanya jam lembur di pabrik yang diikuti Ayumi sudah berakhir. Bersama beberapa buruh lain, Ayumi meninggalkan area produksi menunju tempat di mana dia meletakkan sepeda tuanya. Beberapa orang terlihat meninggalkan Ayumi yang kini memandang lemah sepedanya.

“Ay, kenapa? Kok lesu?” tanya seorang pria seusianya yang sudah siap akan mengayuh sepeda.

“Ban belakangnya kempes!” sahut Ayumi memelas.

“Kempes? Ya sudah bonceng denganku saja. Sepedamu biarkan saja, besok baru diambil,” sahut pria itu menawarkan bantuan.

“Tidak usah, aku pulang jalan kaki saja sambil dorong sepeda. Sekalian mampir di bengkel Mang Sanim. Semoga masih buka,” tolak Ayumi yakin.

“Ya sudah kalau begitu. Aku duluan ya!” ucapnya yang kemudian berlalu pergi.

Setelah keperdian orang itu, Ayumi mulai mendorong sepedanya perlahan meninggalkan area pabrik yang telah sepi. Di sepanjang jalan, hanya beberapa kendaraan yang masih berlalu lalang, tapi tak ada rasa takut sedikit pun yang menggelayut di hati Ayumi, hingga sekitar 500 meter setelah meninggalkan area pabrik, langkah Ayumi terhenti oleh sebuah mobil yang berhenti di sampingnya.

“Hai cewek cantik!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status