Kulihat jam dinding di kamar kontrakan Malik, menunjukan pukul setengah 11 malam. Kurogoh ponsel dalam saku celana yang sengaja aku silent. Aku ingin tahu, berapa kali Farida menghubungi untuk menyuruhku segera pulang.
Aku menekan tombol kunci pada ponselku. Lalu mengaktifkan data selulernya. Hah? Aku membelalak. Apa ponselku rusak? Aku lalu mengibaskan ponselku di udara, mungkin jaringan di kontrakan Malik jelek. Aku mencoba keluar dari kamar kontrakan Malik. Kulihat jaringan juga stabil.Arrghhh … kenapa tidak ada satu pun chat dari Farida? Panggilan tak terjawab juga tidak ada. Aku mengusap wajahku dengan kasar … huh. Tidak mungkin! Tidak mungkin Farida mendiamkanku seperti ini. Mana berani Farida tinggal di rumah sendirian?Aku hafal betul istriku, ia tidak berani tinggal di rumah sendirian jika malam hari. Farida itu perempuan manja dan penakut. Jika aku belum pulang, dia pasti sudah mengirimku pesan berkali-kali. Tapi kenapa sekarang tidak?"Ris, mau kemana?" Malik memanggil dari dalam kamar kontrakannya."Mau pulang?" tanya lagi setelah berada di luar."Pulang aja, Lik," jawabku."Tidur sinilah, Ris, udah malam ini," ajaknya."Ogah, kamar lu berantakan," ejekku."Berantakan dikit doang! Rida nyuruh lu pulang apa?""Iya, biasalah … Rida nyuruh cepetan pulang, cuma tadi ponsel gue sengaja di silent, makanya baru kebuka," ucapku berbohong. Aku lalu menyalakan motorku."Oh … ya, udah. Hati-hati bro!""Siap!" Aku mengacungkan jempol dan pergi dari kontrakan Malik.Sepanjang perjalanan, aku tak berhenti memikirkan Farida. Istriku yang benar-benar telah berubah. Apa dia sudah tidur? Atau … dia tidur di rumah Mila? Aku yakin, dia tak berani tidur sendirian.Setelah 20 menit perjalanan dari rumah Malik, aku sampai di depan rumahku. Warung Farida sudah tutup, keadaan sekitar juga sepi karena saat kulihat ponselku ternyata sudah jam 23.10.Aku lantas menepikan motor, lalu membuka pintu dan ternyata dikunci.Tok tok tok!Tok tok tok!Aku mengetuknya cepat."Dek!" panggilku dari luar."Buka, Dek!" Aku memanggil lagi Farida yang belum juga membuka pintu.Aku mondar-mandir di teras rumahku sendiri. Farida belum membuka pintu."Dek, buka pintunya, Dek. Ini Mas!" ucapku seraya menggedor kaca jendela kamarku. Mungkin bisa membangunkan Farida. Aku lalu menunggu lagi.Ceklek!Terdengar kunci diputar.Benar saja, Farida membuka pintu.Rambutnya berantakan dan tidak ditutupi kerudung yang biasanya dia pakai. Matanya juga sipit sekali, seperti orang baru bangun tidur.Ia membuka pintu lalu masuk kembali ke dalam kamar meninggalkanku yang masih berdiri di luar.Aku terpaku. Apa itu Farida? Apa ia sudah tidur dan terbangun karena aku menggedor jendela kamar? Apa ia berani tidur sendirian tanpaku lagi? Aku benar-benar dibuat heran dengan Farida sekarang.Gegas aku memasukkan motorku ke dalam rumah lalu kembali mengunci pintu. Sudah setengah 12 malam, buru-buru aku ke kamar mandi untuk mencuci kaki.Selesai dari kamar mandi, aku lalu merebahkan tubuhku di kasur. Kulirik Farida sudah kembali tertidur.Aku menghela nafas, kulihat lagi ponsel yang tadi sudah ku simpan di atas nakas. Jaringan di rumahku selalu bagus. Namun, masih sama. Ternyata memang Farida tidak mengirimkan pesan atau apapun untuk menyuruhku segera pulang. Lekas kusimpan kembali ponselku dan kemudian mencoba untuk tidur.———Aku mengerjap. Berat sekali rasanya untuk membuka mata, aku masih mengantuk. Pelan, ku paksakan mataku untuk terbuka. Kulihat gorden jendela kamarku sudah dibuka. Tapi … kenapa sudah terang?Malas kuambil ponselku. Aku terperanjat begitu melihat sudah jam 8 pagi. Arrghh … aku kesiangan lagi. Kalau begini, aku bisa kena omel atasanku karena tak masuk kerja lagi. Huh, kenapa Farida tidak membangunkan ku?Cepat aku keluar dari kamar untuk mencari Farida. Aku menuju dapur. Benar saja, Farida sepertinya sedang menyiapkan bumbu untuk jualannya."Dek, kenapa gak bangunin Mas?" tanyaku."Mas sudah bukan anak kecil! Sudah sepantasnya Mas bangun sendiri!" jawabnya."Mas jadi kesiangan ini, Dek. Mana bisa kerja sudah jam segini?" keluhku."Sudah tahu susah bangun, terus saja tidur larut malam!" sungutnya."Semalam, Mas dari kontrakan Malik, Dek," ucapku.Farida tak menjawab, ia masih sibuk mengupas-ngupas bumbu yang akan dihaluskan."Tadinya Mas mau tidur di sana, tapi Mas ingat kamu sendirian, Dek. Jadi Mas paksakan pulang meski sudah larut, Dek!""Lagi enak tidur, jendela di gedor-gedor. Padahal Mas tidur di sana saja!"Aku melongo mendengar jawabannya. Bukannya senang aku pulang dan tidur di rumah, Farida malah mengizinkanku tidur di kontrakan Malik."Kamu gak takut tidur sendirian di rumah, Dek?"Ia menggeleng, lalu memblender bumbu yang tadi ia kupas."Biasanya kamu takut Mas tinggal sendirian kalau malam. Kamu biasanya hubungi Mas biar cepetan pulang."Farida mematikan blender dan menuangkan bumbu halus ke dalam toples."Buang-buang kuota saja," ucapnya. Lalu ia melengos keluar membawa toples yang sudah berisi bumbu halus.Aku mengusap wajahku. Tak menyangka Farida bisa seperti sekarang. Aku kemudian menyusulnya dan berdiri di ambang pintu rumah. Kuperhatikan, Farida sedang bebenah warungnya. Dari dulu, Farida memang cekatan dalam urusan beberes rumah. Maka, warungnya pun selalu bersih dan tertata."Dek, Mas jadi gak kerja lagi ini. Nanti Mas di marahin Pak Mulyo, kamu tahu 'kan Pak Mulyo itu galak. Bisa-bisa, Mas dikasih surat peringatan." Aku mengeluh kembali."Terus?" tanyanya."Ya, ini karena kamu gak bangunin Mas." Aku menyalahkannya.Farida keluar dari warung dan masuk rumah. Ia melewatiku yang berdiri di ambang pintu tanpa berkata apapun. Ia kembali masuk ke dapur. Aku lalu mengikutinya. Di dapur, ia sedang membuat bumbu saos spageti."Dek, kamu ini dengerin Mas nggak?" tanyaku kesal."Aku gak tuli, Mas!" jawabnya sambil terus mengaduk tumisan bumbu."Terus gimana ini, Dek?" tanyaku lagi."Gimana apanya?" ucapnya santai."Ya, Mas gak masuk kerja lagi. Mas bisa kena omel Pak Mulyo ini, Dek!" Aku gusar.Farida menghela nafasnya."Terus aku harus apa? Mas bangun kesiangan dan gak bisa masuk kerja. Terus aku yang disalahin karena gak bangunin, Mas. Begitu? Aku yang salah atas semua ini, iya?""Ya, iya. Biasanya kamu bangunin Mas, karena kamu tadi gak bangunin, jadi Mas kesiangan, Dek!""Terus buat apa, hape Mas yang selalu disimpan di atas nakas setiap tidur. Mas 'kan bisa pasang alarm buat bangunkan setiap pagi!""Bunyi alarm mana mempan, Dek. Mas kalo tidur udah kaya kerbau."Tiba-tiba kompor yang Farida gunakan mati, mungkin gasnya habis. Farida mematikan kompornya lalu berjongkok di depan meja kompor, kemudian ia mengeluarkan tabung gas melon dan melepaskan regulatornya. Aku tercengang. Sejak kapan Farida berani melepas regulator tabung gas?"Nah, itu tahu! Apa, Mas kira aku gak capek bangunkan kerbau setiap pagi? Iya kalau kerbaunya bisa kuperas tenaganya untuk meringankan pekerjaan rumah. Lah, ini, capek aku bangunkan kerbau, giliran sudah bangun langsung saja sarapan dan berangkat ke pabrik," sindir Farida.Ia lalu menjinjing tabung gas yang kosong."Dek!" Aku sedikit meninggikan suara."Apa lagi? Mau salahin aku lagi, karena semalam gak nelpon Mas supaya cepet pulang? Mau salahin aku, karena semalam pintu sudah aku kunci? Makanya, gak usah sok sok pulang larut malam! Giliran telat bangun, istri lagi yang disalahin! Untung aku masih ingat dosa, Mas. Kalau gak ingat, sudah melayang ini tabung kosong!" ucapnya, pelan namun menekan.Farida lalu pergi sambil membawa tabung gas yang kosong.Astaga, Farida.🌷🌷🌷(Ending)POV Risfan************"Bu Riana belum sadarkan diri, Pak. Denyut jantungnya semakin melemah. Doakan yang terbaik untuk istrinya, Pak!" Seorang perawat wanita mengabariku tentang kondisi Riana. Lalu ia pergi meninggalkanku sendiri.Sebulan yang lalu, Riana melahirkan lewat operasi. Kini, bayiku tengah tergolek lemah dalam inkubator. Aku tengah melihatnya dari luar lewat kaca besar ini. Aku mengusap ujung mataku yang berair.Aku menatap lekat bayi mungil itu. Bayi lelaki yang lahir prematur dalam usia 7 bulan. Setelah berusaha sekuat yang aku dan Riana mampu, Riana akhirnya dinyatakan hamil di usia pernikahan ke-3 tahun. Kondisinya saat hamil sangat lemah. Ia diharuskan bedrest dan tidak boleh terlalu lelah. Semua pekerjaan rumah, aku yang turun tangan.Setelah operasi selesai, Riana tak sadarkan diri. Ia mengalami perdarahan hebat. Hatiku mencelos melihat kondisinya dan juga kondisi bayiku. Apa yang bisa kulakukan agar aku bisa segera mendekap mereka? Setiap saat aku tak hent
POV RisfanAku mematut diri di depan cermin. Pantulan wajahku terlihat begitu menawan dengan tuxedo hitam yang kupakai saat ini.Aku sudah mengikhlaskan Farida dengan Malik. Keikhlasan itu, Tuhan ganti dengan mengirim seorang gadis jelita yang kini akan menjadi pendamping hidupku.Tuhan memang begitu baik pada setiap hamba-Nya. Tuhan memberiku pelajaran yang amat berharga. Kehilangan Farida, kehilangan uangku, motor, dan pekerjaan. Tuhan benar-benar menegurku yang sudah dzolim pada Farida dulu.Sekarang aku akan melepas masa sendiri ini. Kali ini, aku tidak asal-asalan lagi seperti dulu aku terburu-buru menikahi Safira. Pernikahanku kali ini, direstui kedua kakakku dan mereka sudah hadir dari seminggu yang lalu untuk membantu mengurus persiapan pesta pernikahanku.Aku akan menggelar pesta pernikahan di aula hotel di kota ini. Gadis yang aku nikahi, bukan gadis sembaranganan. Dia anak dari pemilik perusahaan jasa ekspedisi tempatku bekerja.Satu tahun aku bekerja di sana. Kinerjaku ya
POV Risfan*****Aku sudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan jasa ekspedisi, namun ditempatkan di cabang yang baru. Tempatnya hanya berupa ruko 3 tingkat. Lantai bawah sebagia tempat pelayanan. Lantai dua berfungsi sebagai kantor dan paling atas hanya roof top.Entah kebetulan atau apa, cabang baru yang menjadi tempatku bekerja ternyata bersebrangan langsung dengan ruko Farida. Saat pertama kali bekerja aku langsung menyadarinya. Namun, ruko Farida tutup satu minggu lamanya dan aku baru ingat. Kalau kemarinnya Farida menikah dengan Malik.Tentu saja caffe-nya tutup selama satu minggu. Pastinya mereka sedang berbulan madu. Memasuki minggu kedua aku bekerja, barulah caffe Farida dibuka.Setelah rukonya ditempati kembali, aku yang bekerja di lantai dua, sesekali tak sengaja, mendapati Malik dengan mesranya memeluk Farida di teras lantai dua.Bukan hanya hati yang panas tapi mata pun turut panas. Rasanya lahar air mata ingin menyembur keluar andai tak dikendalikan. Mereka tidak mengetah
Istriku Yang Mulai MandiriBab.43POV MalikAku bersama istriku sudah kembali ke kota. Aku dan Farida kini tinggal di ruko dua lantai yang pembayarannya diangsur selama 3 tahun.Aku pun sudah mulai bekerja kembali di pabrik setelah masa cuti selesai. Farida sudah mulai membuka caffe-nya kembali dan berjualan seperti biasa.Aku bekerja di bagian gudang. Gajiku hanya sebesar 3,8 juta per bulannya. Kalaupun dapat bonus, maka menjadi 4,2 juta saja. Cukup jauh dibanding gaji Risfan dulu yang seorang staff apalagi Santo yang sebagai Kepala Produksi. Namun, berapapun itu, aku selalu mensyukurinya.Seperti biasa, aku bangun pukul 3 dini hari. Setelah ibadah sunnah kadang aku tidur lagi kadang pula kuat hingga subuh tiba. Seperti sekarang, selesai salat tahajjud 2 raka'at, aku lantas merendam pakaian dalam ember. Tentunya pakaianku juga Farida. Sesudah 10 menit direndam, aku mulai mencucinya secara manual.Katanya sih, Farida saat masih dengan Risfan mengambil kredit satu mesin cuci. Namun, ba
Istriku Yang Mulai MandiriBab.42POV MalikAku membuka mata pelan. Kudapati sosok istriku masih terlelap di sampingku dengan selimut menutupi tubuhnya. Bukan, bukan hanya tubuhnya, tapi tubuhku juga.Kuraba ponsel di atas nakas, pukul 3 dini hari dan kuletakan kembali. Setelah kesadaranku penuh, ku pungut baju yang terserak di bawah tempat tidur lalu memakainya.Cepat aku ke kamar mandi dan mensucikan diri. Aku sudah tidak perjaka lagi. Namun, sungguh aku bahagia. Keperjakaan ini, aku lepas bersama bidadariku.Selesai membersihkan diri dan berpakaian yang bersih. Aku lalu menggelar sajadah dan menunaikan shalat sunnah tahajjud.Setelah salam, aku menengadahkan kedua tangan."Ya Allah … kutitipkan segenap rasa yang tumbuh dan selalu bermekaran untuk istriku ini kepada-Mu.""Teguhkan rasa cinta ini di atas agama-Mu … anugerah kan dalam keluarga kami, keturunan yang saleh dan salehah.""Di ridhoi-lah rumah tangga yang mulai kami bina ini. Jadikanlah aku, imam yang mampu menuntun makmumn
Istriku Yang Mulai MandiriBab.41POV Malik*******Selesai shalat shubuh, aku kembali ke rumah Emak mertua. Pabrik memberikan cuti satu minggu dan aku berencana kembali ke kota hari Sabtu nanti.Jadi, aku akan menikmati masa pengantin dengan istri cantikku di kampung. Karena cuaca di kampung sangat dingin. Pas untuk pasangan pengantin baru sepertiku.Seperti sekarang, aku tengah duduk menghadap tungku api. Hangat bukan?Malam pertama semalam, ku lewati dengan tidur saling memeluk sampai subuh tadi. Belum beranjak ke adegan lebih dewasa. Keperjakaan ku masih tersegel.Rumah Emak mertuaku ini sama seperti rumah Emak. Bagian depan rumah ini sudah berdinding tembok dengan lantai keramik.Namun untuk bagian dapur, dinding dan alasnya masih dari belahan bambu atau biasa disebut 'palupuh'. Memasak juga masih menggunakan tungku kayu bakar. Kompor gas hanya yang satu tungku, dan kadang-kadang digunakan. Kamar mandi juga masih berada di luar.Farida tiba-tiba masuk ke dapur, ia lalu menuangka
Istriku Yang Mulai MandiriBab.40POV Malik*********"Saya terima nikah dan kawinnya Farida Nursyifa Binti Nasir dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas 10 gram dibayar tunai.""Bagaimana saksi?""SAH!""Alhamdulillah ….""Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jama'a bainakuma fii khair …."Aku mengusapkan kedua telapak tangan pada wajah. Resmi sudah aku mengikat Farida dalam ikatan suci dan halal, pernikahan.Selesai berdoa, Farida mencium punggung tanganku. Lantas aku pun mengecup keningnya. Ku kecup dalam sembari membacakan doa.Ini pertama kalinya, aku benar-benar bersentuhan. Membuat jantung rasanya ingin melompat saja, karena berdebar kuat.Ya, hari ini aku dan Farida resmi menikah. Kami menikah di kampung, di rumah Farida. Hanya menggelar syukuran. Tidak ada pesta.Namun, acara tetap terasa begitu khidmat. Teman-teman kerjaku di bagian gudang menyempatkan untuk datang. Juga dengan teman-teman Farida.Selesai ijab qobul dan sungkeman, para tamu lantas dipersilahkan
POV Risfan🌹🌹🌹Pagi ini aku sedang mengepel di pantry area. Sudah 4 bulan aku menjalani pekerjaan ini. Rasanya sudah seperti setahun. Mungkin Tuhan sedang menguji kesabaranku lewat pekerjaan ini.Beberapa orang karyawan yang tengah dalam masa pelatihan, sedang berkumpul dan menikmati sarapan pagi mereka di teras pantry. Karena bagian dalamnya masih aku pel.Melihat mereka dengan seragam pelatihan, membuatku terpaksa mengingat Rindu. Setelah saat itu aku memblok akunnya, aku tidak lagi berinteraksi dengannya.Saat aku mencarinya untuk membuat perhitungan karena dia penyebab keributan rumah tanggaku dulu. Namun, ia sudah tidak lagi nampak di pabrik ini.Kutanyakan pada beberapa karyawan lain, ternyata Rindu keluar tanpa kabar dan tanpa surat pengunduran diri. Mereka tidak tahu alasan Rindu keluar dari pabrik.Lantas aku mencarinya ke rumah yang katanya ditempati oleh Rindu. Nihil, rumah itu juga kosong. Para tetangga bilang, Rindu ditarik paksa oleh seorang lelaki yang mengaku sebaga
Istriku Yang Mulai MandiriBab.38******Hatiku terbakar hebat. Di depan sana, Malik berlutut di hadapan Farida dengan kotak kecil di tangannya. Setelah sebelumnya, ia bernyanyi dengan petikan gitarnya.Farida belum bereaksi. Ia masih diam di tempatnya. Aku berharap, dia tidak menerima Malik. Karena aku di sini kembali untuknya.Para tamu undangan bersorak, agar Farida menerima Malik. Hanya aku dan Santo yang masih terkejut dengan semua ini.Terlihat Mila berbisik pada Farida. Namun, untuk beberapa saat, Farida masih terdiam.Aku hendak beranjak. Namun, belum sempat tubuhku tegak, Santo menahan pergerakanku."Lu mau ke mana?" tanyanya pelan."Ke sana, To.""Mau apa? Duduk! Lu jangan coba-coba bikin kacau!" sergahnya.Aku kembali menghempaskan bobotku di kursi. Aku mendengkus. "Ini gak bisa dibiarin, To.""Kenapa gak bisa?""Farida itu mantan istri gue, To. Si Malik itu, temen kita. Temen gue. Walaupun sekarang, sih, emang udah kayak orang asing. Tapi, kita dulu temenan, To. Temen ba i