Share

Bab.9

Kulihat jam dinding di kamar kontrakan Malik, menunjukan pukul setengah 11 malam. Kurogoh ponsel dalam saku celana yang sengaja aku silent. Aku ingin tahu, berapa kali Farida menghubungi untuk menyuruhku segera pulang.

Aku menekan tombol kunci pada ponselku. Lalu mengaktifkan data selulernya. Hah? Aku membelalak. Apa ponselku rusak? Aku lalu mengibaskan ponselku di udara, mungkin jaringan di kontrakan Malik jelek. Aku mencoba keluar dari kamar kontrakan Malik. Kulihat jaringan juga stabil.

Arrghhh … kenapa tidak ada satu pun chat dari Farida? Panggilan tak terjawab juga tidak ada. Aku mengusap wajahku dengan kasar … huh. Tidak mungkin! Tidak mungkin Farida mendiamkanku seperti ini. Mana berani Farida tinggal di rumah sendirian?

Aku hafal betul istriku, ia tidak berani tinggal di rumah sendirian jika malam hari. Farida itu perempuan manja dan penakut. Jika aku belum pulang, dia pasti sudah mengirimku pesan berkali-kali. Tapi kenapa sekarang tidak?

"Ris, mau kemana?" Malik memanggil dari dalam kamar kontrakannya.

"Mau pulang?" tanya lagi setelah berada di luar.

"Pulang aja, Lik," jawabku.

"Tidur sinilah, Ris, udah malam ini," ajaknya.

"Ogah, kamar lu berantakan," ejekku.

"Berantakan dikit doang! Rida nyuruh lu pulang apa?"

"Iya, biasalah … Rida nyuruh cepetan pulang, cuma tadi ponsel gue sengaja di silent, makanya baru kebuka," ucapku berbohong. Aku lalu menyalakan motorku.

"Oh … ya, udah. Hati-hati bro!"

"Siap!" Aku mengacungkan jempol dan pergi dari kontrakan Malik.

Sepanjang perjalanan, aku tak berhenti memikirkan Farida. Istriku yang benar-benar telah berubah. Apa dia sudah tidur? Atau … dia tidur di rumah Mila? Aku yakin, dia tak berani tidur sendirian.

Setelah 20 menit perjalanan dari rumah Malik, aku sampai di depan rumahku. Warung Farida sudah tutup, keadaan sekitar juga sepi karena saat kulihat ponselku ternyata sudah jam 23.10.

Aku lantas menepikan motor, lalu membuka pintu dan ternyata dikunci.

Tok tok tok!

Tok tok tok!

Aku mengetuknya cepat.

"Dek!" panggilku dari luar.

"Buka, Dek!" Aku memanggil lagi Farida yang belum juga membuka pintu.

Aku mondar-mandir di teras rumahku sendiri. Farida belum membuka pintu.

"Dek, buka pintunya, Dek. Ini Mas!" ucapku seraya menggedor kaca jendela kamarku. Mungkin bisa membangunkan Farida. Aku lalu menunggu lagi.

Ceklek!

Terdengar kunci diputar.

Benar saja, Farida membuka pintu.

Rambutnya berantakan dan tidak ditutupi kerudung yang biasanya dia pakai. Matanya juga sipit sekali, seperti orang baru bangun tidur.

Ia membuka pintu lalu masuk kembali ke dalam kamar meninggalkanku yang masih berdiri di luar.

Aku terpaku. Apa itu Farida? Apa ia sudah tidur dan terbangun karena aku menggedor jendela kamar? Apa ia berani tidur sendirian tanpaku lagi? Aku benar-benar dibuat heran dengan Farida sekarang.

Gegas aku memasukkan motorku ke dalam rumah lalu kembali mengunci pintu. Sudah setengah 12 malam, buru-buru aku ke kamar mandi untuk mencuci kaki.

Selesai dari kamar mandi, aku lalu merebahkan tubuhku di kasur. Kulirik Farida sudah kembali tertidur.

Aku menghela nafas, kulihat lagi ponsel yang tadi sudah ku simpan di atas nakas. Jaringan di rumahku selalu bagus. Namun, masih sama. Ternyata memang Farida tidak mengirimkan pesan atau apapun untuk menyuruhku segera pulang. Lekas kusimpan kembali ponselku dan kemudian mencoba untuk tidur.

———

Aku mengerjap. Berat sekali rasanya untuk membuka mata, aku masih mengantuk. Pelan, ku paksakan mataku untuk terbuka. Kulihat gorden jendela kamarku sudah dibuka. Tapi … kenapa sudah terang?

Malas kuambil ponselku. Aku terperanjat begitu melihat sudah jam 8 pagi. Arrghh … aku kesiangan lagi. Kalau begini, aku bisa kena omel atasanku karena tak masuk kerja lagi. Huh, kenapa Farida tidak membangunkan ku?

Cepat aku keluar dari kamar untuk mencari Farida. Aku menuju dapur. Benar saja, Farida sepertinya sedang menyiapkan bumbu untuk jualannya.

"Dek, kenapa gak bangunin Mas?" tanyaku.

"Mas sudah bukan anak kecil! Sudah sepantasnya Mas bangun sendiri!" jawabnya.

"Mas jadi kesiangan ini, Dek. Mana bisa kerja sudah jam segini?" keluhku.

"Sudah tahu susah bangun, terus saja tidur larut malam!" sungutnya.

"Semalam, Mas dari kontrakan Malik, Dek," ucapku.

Farida tak menjawab, ia masih sibuk mengupas-ngupas bumbu yang akan dihaluskan.

"Tadinya Mas mau tidur di sana, tapi Mas ingat kamu sendirian, Dek. Jadi Mas paksakan pulang meski sudah larut, Dek!"

"Lagi enak tidur, jendela di gedor-gedor. Padahal Mas tidur di sana saja!"

Aku melongo mendengar jawabannya. Bukannya senang aku pulang dan tidur di rumah, Farida malah mengizinkanku tidur di kontrakan Malik.

"Kamu gak takut tidur sendirian di rumah, Dek?"

Ia menggeleng, lalu memblender bumbu yang tadi ia kupas.

"Biasanya kamu takut Mas tinggal sendirian kalau malam. Kamu biasanya hubungi Mas biar cepetan pulang."

Farida mematikan blender dan menuangkan bumbu halus ke dalam toples.

"Buang-buang kuota saja," ucapnya. Lalu ia melengos keluar membawa toples yang sudah berisi bumbu halus.

Aku mengusap wajahku. Tak menyangka Farida bisa seperti sekarang. Aku kemudian menyusulnya dan berdiri di ambang pintu rumah. Kuperhatikan, Farida sedang bebenah warungnya. Dari dulu, Farida memang cekatan dalam urusan beberes rumah. Maka, warungnya pun selalu bersih dan tertata.

"Dek, Mas jadi gak kerja lagi ini. Nanti Mas di marahin Pak Mulyo, kamu tahu 'kan Pak Mulyo itu galak. Bisa-bisa, Mas dikasih surat peringatan." Aku mengeluh kembali.

"Terus?" tanyanya.

"Ya, ini karena kamu gak bangunin Mas." Aku menyalahkannya.

Farida keluar dari warung dan masuk rumah. Ia melewatiku yang berdiri di ambang pintu tanpa berkata apapun. Ia kembali masuk ke dapur. Aku lalu mengikutinya. Di dapur, ia sedang membuat bumbu saos spageti.

"Dek, kamu ini dengerin Mas nggak?" tanyaku kesal.

"Aku gak tuli, Mas!" jawabnya sambil terus mengaduk tumisan bumbu.

"Terus gimana ini, Dek?" tanyaku lagi.

"Gimana apanya?" ucapnya santai.

"Ya, Mas gak masuk kerja lagi. Mas bisa kena omel Pak Mulyo ini, Dek!" Aku gusar.

Farida menghela nafasnya.

"Terus aku harus apa? Mas bangun kesiangan dan gak bisa masuk kerja. Terus aku yang disalahin karena gak bangunin, Mas. Begitu? Aku yang salah atas semua ini, iya?"

"Ya, iya. Biasanya kamu bangunin Mas, karena kamu tadi gak bangunin, jadi Mas kesiangan, Dek!"

"Terus buat apa, hape Mas yang selalu disimpan di atas nakas setiap tidur. Mas 'kan bisa pasang alarm buat bangunkan setiap pagi!"

"Bunyi alarm mana mempan, Dek. Mas kalo tidur udah kaya kerbau."

Tiba-tiba kompor yang Farida gunakan mati, mungkin gasnya habis. Farida mematikan kompornya lalu berjongkok di depan meja kompor, kemudian ia mengeluarkan tabung gas melon dan melepaskan regulatornya. Aku tercengang. Sejak kapan Farida berani melepas regulator tabung gas?

"Nah, itu tahu! Apa, Mas kira aku gak capek bangunkan kerbau setiap pagi? Iya kalau kerbaunya bisa kuperas tenaganya untuk meringankan pekerjaan rumah. Lah, ini, capek aku bangunkan kerbau, giliran sudah bangun langsung saja sarapan dan berangkat ke pabrik," sindir Farida.

Ia lalu menjinjing tabung gas yang kosong.

"Dek!" Aku sedikit meninggikan suara.

"Apa lagi? Mau salahin aku lagi, karena semalam gak nelpon Mas supaya cepet pulang? Mau salahin aku, karena semalam pintu sudah aku kunci? Makanya, gak usah sok sok pulang larut malam! Giliran telat bangun, istri lagi yang disalahin! Untung aku masih ingat dosa, Mas. Kalau gak ingat, sudah melayang ini tabung kosong!" ucapnya, pelan namun menekan.

Farida lalu pergi sambil membawa tabung gas yang kosong.

Astaga, Farida.

🌷🌷🌷

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status