Nasya, seorang ibu tunggal dengan empat anak dari tiga mantan suami yang berbeda, merasa hidupnya tak pernah sepi dari kericuhan. Setiap hari adalah tantangan baru yang penuh kekacauan, mulai dari mengurus Dylan si anak sulung yang serius seperti ayahnya, Chaka dan Chiki si kembar yang tak kenal lelah, hingga si bungsu Nino yang meleng sedikit saja bisa membuat seluruh rumah hancur. Di tengah hiruk-pikuk hidupnya, Nasya berusaha keras untuk tetap tegar. Setelah tiga kali gagal dalam pernikahan—dari seorang workaholic gila kerja, influencer obsesif konten, hingga aktor sinetron drama yang sibuk, Nasya mulai meragukan bahwa kebahagiaan sejati akan datang untuknya. Namun, di balik layar, Bima Aryasetya—mantan suami pertamanya dan ayah dari Dylan—tak pernah benar-benar melupakan Nasya. Setelah bertahun-tahun berlalu, Bima akhirnya menyadari bahwa mengabaikan Nasya dan memilih pekerjaannya di atas keluarganya adalah kesalahan fatal. Ia pernah menganggap enteng kebutuhan Nasya akan perhatian, bahkan membiarkan keluarganya merendahkan istrinya tanpa pernah membela. Kini, penyesalan menghantuinya setiap kali ia merindukan momen bersama Dylan—anak yang kini lebih dekat dengan Nasya daripada dirinya. Bima ingin memperbaiki semuanya, tapi setelah semua luka yang ia tinggalkan, apakah Nasya masih mau memberinya kesempatan?
View MoreNasya keluar dari kamar mandi dengan napas lega, akhirnya ada sedikit waktu untuk dirinya sendiri, walau hanya sekejap. Namun, saat baru melangkah ke ruang tengah, ia langsung disambut dengan suara keributan yang membuat kepalanya berdenyut. Anak-anaknya—keempat anak yang berbeda ayah—berhamburan di segala penjuru ruangan. Dengan langkah tergesa, ia malah menginjak sesuatu yang keras. “Aduh!” Nasya melompat kecil, menatap mainan balok lego yang bercecer di lantai. Ia mengelus dadanya. “Ya ampun... sudah berapa kali mama bilang, mainan harus diberesin!” Tapi, siapa yang mau dengar?
Dylan, anak sulungnya yang baru berusia enam tahun, duduk anteng di sofa sambil memainkan tablet. Wajahnya serius, sama seriusnya dengan Bima Aryasetya, mantan suami pertamanya yang gila kerja. Bahkan ekspresi anak itu saat menatap layar membuat darah Nasya sedikit mendidih. Rasanya ingin mencubit pipinya yang tembam, tapi ditahan. Ini anak gue, anak sendiri harus disayang-sayang, gumamnya dalam hati. Apalagi, sejak perceraiannya dengan Bima, Dylan memang kurang mendapat perhatian dari ayahnya yang selalu sibuk.
Namun, suasana damai itu segera buyar ketika suara jeritan dua anak kembarnya, Chaka dan Chiki, meledak. Si kembar fraternal yang baru saja merayakan ulang tahun keempat mereka sedang sibuk berkelahi, saling jambak rambut. “Chaka! Chiki! Stop!” seru Nasya. Tapi keduanya seperti tak peduli, rambut Chiki sudah setengah tertarik oleh Chaka, sementara Chaka sendiri sedang menangis sambil memegang mainan yang direbut. Dua anak yang super aktif ini mewarisi sifat mantan suami kedua Nasya, Rendy Septian—si influencer dengan dua juta follower yang hidupnya tidak pernah lepas dari konten. Semua harus jadi materi untuk konten, bahkan sampai hal-hal paling pribadi di kehidupan mereka dulu. Itu membuat Nasya jengah hingga akhirnya memilih cerai.
"Baru mama tinggal pipis sebentar, kok udah kayak pasar begini?” Nasya memijat keningnya, merasakan denyut sakit kepala mulai muncul. Chaka dan Chiki langsung berebutan mengadu.
“Mama, Chaka jambak rambut aku duluan!”
“Nggak, Chiki yang ambil mainan aku!”
Suara mereka bertabrakan, membuat Nasya semakin pusing. “Aduh, sudah-sudah! Diam dulu, ya!” Ia melirik Dylan, yang masih asik bermain tablet tanpa peduli adik-adiknya berantem seperti petinju cilik. “Dylan, kamu ngapain aja dari tadi? Kenapa nggak melerai adik-adikmu?”
Dylan hanya melirik sekilas dari layar. “Aku nggak berdaya, Ma. Yang ada nanti aku yang dikeroyok. Mending diem aja.”
Dengan santainya, Dylan kembali scroll-scroll tablet, benar-benar tak terpengaruh. Nasya hampir meledak. “Kamu ini, sama aja kayak papa kamu!”
Nasya menghela napas panjang, pikirannya terasa berkabut karena semua keributan itu. Baru ia ingin duduk sejenak untuk merapikan pikiran, tiba-tiba satu pertanyaan menyeruak. Nino! Mana si bungsu? Kok nggak kelihatan dari tadi?
Panik mulai menjalari tubuhnya. “Dylan, Nino mana?” tanyanya cepat.
Dylan yang seolah baru sadar bahwa satu makhluk mungil tidak ada di sekitarnya, mengangkat bahu. “Aku nggak tau, Ma.”
Nasya menahan napas. “Kamu gimana sih? Mama cuma titip sebentar buat jagain adik-adik, kenapa Nino bisa ilang?!”
Tanpa membuang waktu, Nasya mulai menyusuri setiap sudut rumah, perasaannya campur aduk antara marah dan panik. Mainan yang tersebar makin terasa seperti ranjau di bawah kakinya, sementara ia terus mengomel. “Aduh, kapan hidup mama ini bisa tenang, ya Allah...”
Nasya berjalan mondar-mandir di sekitar rumah, menyusuri setiap sudut ruangan dengan cemas. Di ruang tamu, tak ada tanda-tanda Nino. Di dapur, kosong. Bahkan di bawah meja makan yang biasanya jadi tempat persembunyian favoritnya, juga nihil. “Ya Allah... ke mana lagi ini anak?” keluhnya. Sejak punya empat anak dengan temperamen masing-masing, Nasya merasa dirinya seperti hidup di medan perang yang tak ada habisnya. Jika meleng sedikit saja, rumah ini bisa berubah jadi arena bencana.
Nasya terus mencari, memeriksa belakang sofa, kamar mandi, hingga lemari baju, berharap Nino sedang bermain petak umpet. Tapi hasilnya sama, tak ada tanda-tanda bocah sembilan bulan itu. “Faninoo... di mana sih kamu, Sayang?” Nasya mulai panik.
Baru setelah lima menit yang terasa seperti lima jam, Nasya mendengar suara kecil dari kamarnya. Ia buru-buru masuk dan mendapati pemandangan yang membuat darahnya hampir mendidih. Di sana, di depan cermin besar, Nino—si bungsu yang belum genap setahun—sedang asyik mengerjakan ‘proyek besar’. Tangannya yang mungil penuh dengan foundation mahal Nasya, bedak, lipstik, dan eye shadow berhamburan di sekitarnya. Nino tampak sangat fokus, menyapukan blush-on ke seluruh wajahnya, entah itu wajahnya sendiri atau cermin yang sedang dicorat-coret.
“ASTAGA, Faninooo!!!” Nasya menjerit.
Nino menoleh, senyum lebar menampilkan dua gigi kelinci kecilnya, seakan merasa bangga dengan karya seni yang baru ia ciptakan. “Mam-ma!” serunya ceria.
Nasya buru-buru mengangkat Nino, menggendongnya sambil berusaha menahan emosi. Ia menepuk pantat si kecil dengan lembut tapi penuh arti. “Nino! Aduh, ya Allah... kamu tahu nggak, ini make up mama mahal! Mahal! Huh...” Nasya mengomel sambil membersihkan tangan dan wajah Nino yang penuh coretan-coretan lipstik.
Nino anak bungsu Nasya, memang selalu penuh kejutan. Meleng dikit, rumah bisa hancur lebur. Dan Nino—atau lengkapnya Fanino Aditya—adalah anak dari mantan suami ketiganya, Laksana Adityawarman, aktor sinetron yang super sibuk. Kehidupan bersama Laksana penuh drama, bukan hanya di depan kamera, tapi juga di balik layar. Kalau dulu, Laksana lebih sibuk menghafal naskah ketimbang memperhatikan istrinya, sekarang Nasya yang harus ekstra waspada mengurus anak yang punya bakat menghancurkan seperti Nino.
Saat ia sedang membersihkan wajah Nino yang belepotan, tiba-tiba ponselnya berdering. Nasya mendengus, sudah firasatnya pasti ada yang ingin menambah keruwetan harinya. Di layar tertera nama yang sebenarnya ingin ia lupakan: Bima Aryasetya.
Ia terdiam sejenak. Sudah enam tahun sejak perceraiannya dengan Bima, namun mantan suami pertamanya itu masih kerap menghubunginya. Entah karena alasan kerja, anak, atau bahkan sekadar basa-basi yang selalu membuat Nasya ingin membanting ponselnya. Selama itu pula, Nasya berusaha keras untuk tak terlibat percakapan panjang dengan Bima. Terlalu banyak luka yang belum sembuh, terlalu banyak amarah yang tertahan.
Namun, demi Dylan, anak mereka, Nasya berusaha menahan egonya kali ini. Ia mengangkat telepon itu dengan sikap sinis. “Halo? Mau ngapain sih lo?”
Di ujung sana, terdengar suara Bima yang menarik napas panjang. “Nasya, kenapa sih kamu masih jutek terus sama aku?”
Nasya menyipitkan mata, seolah Bima bisa melihat ekspresi kesalnya. “Masih nanya lagi? Harusnya kamu yang paling tau, kenapa aku kayak gini!” suaranya meninggi, penuh dengan kemarahan yang selama ini terpendam. “Aku masih belum bisa maafin kamu. Gak akan bisa. Selama-lama-lama-lamanya!”
Nasya menarik napas panjang. “Oh, saya masak lumayan banyak, kok, Ma. Di wajan masih ada. Kalau Mama mau, saya bisa siapkan,” jawabnya, berusaha tetap ramah.Namun, Melati mengibaskan tangannya seolah menolak sesuatu yang menjijikkan. “Ah, nggak usah. Nasi goreng sisa? Mama nggak pernah sudi makan yang begitu.”Nasya mencoba menelan kesal yang mulai mengumpul di tenggorokannya. Ia mengingatkan diri sendiri, jangan marah-marah, demi bayinya. Ia melatih senyum sabar, meski dalam hati ingin balas sindir. Namun, belum sempat berkata apa-apa, suara bel pintu terdengar.“Bukain pintu sana. Masa hamil muda aja nggak bisa buka pintu buat tamu? Nggak bikin kecapekan dan ‘mengganggu’ kehamilan kamu kan?” sindir Melati dengan nada sinis.Nasya menahan diri agar tidak melontarkan sindiran balasan. “Iya, Ma. Saya bukain.”Nasya segera berjalan ke arah pintu. Setiap langkah di pagi itu seolah jadi ajang uji kesabaran. Bagi Nasya, Melati sudah seperti ahli sindiran yang sangat mumpuni.Ketika Nasya
Bab 33. Ratapan Ibu HamilNasya menghela napas panjang, meratapi kehamilan pertamanya yang dijalani lebih banyak dalam kesendirian. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang entah kenapa makin terasa hambar. Bima selalu pulang larut, nyaris hanya meninggalkan jejak sepatu dan jas kerjanya. Di saat ia merasa makin butuh perhatian, yang ada justru hanya sofa, beberapa bantal yang sudah pasrah kusut, dan kamar yang terasa dingin. Sesekali ia merasa seperti ‘jablay’—jarang dibelai—seolah-olah kehamilan ini hanya urusannya seorang diri.Suatu sore, setelah seharian dihantam rasa mual yang tak kunjung reda, Nasya bangkit tertatih-tatih menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, begitu sampai di sana, perutnya kembali bergejolak, dan ia pun buru-buru ke kamar mandi. Di depan wastafel, tubuhnya berguncang-guncang saat ia muntah, dan yang ia temukan hanya bayangan wajahnya sendiri di cermin—lelah, berantakan, tapi tetap berusaha tegar. Duh, kasihan amat aku ini, ya… pikirnya, mengusap waja
Mereka pun mengobrol panjang lebar, sampai waktu terus bergulir tanpa terasa. Harun dan Ranti tampak antusias berbagi rencana masa depan untuk cucu pertama mereka, seakan anak Nasya dan Bima ini bakal jadi penerus kerajaan. Mereka menyarankan hal-hal aneh dengan penuh keyakinan, dari saran nama bayi yang panjang dan penuh makna hingga nasehat perawatan bayi tradisional yang terdengar kuno.Di sela obrolan, Harun menepuk bahu Bima, seakan enggan melepaskan menantunya itu. “Bima, ini udah malam. Tapi kalau mau nginap dulu di sini, nggak apa-apa, lho. Malah Papa senang banget kalau kalian di sini lebih lama.”Ranti menambahkan dengan nada manis, “Iya, lagian, nanti kalau sudah ada cucu, bakal makin seru! Rasanya pengen bisa bantu jagain cucu.”Nasya mengerling, lalu berkata sambil menahan tawa, “Mama sama Papa, beneran nih, sok berat pisahnya? Bukannya dulu Mama Papa malah sengaja paksa aku nikah biar aku cepet angkat kaki dari rumah?”Ranti tertawa kikuk, sedikit tersipu. “Ah, kamu ini.
Nasya benar-benar menikmati masa-masa ini, memanfaatkan kehamilannya sebagai ‘alasan resmi’ untuk santai seharian. Ia duduk di sofa, menikmati acara TV favorit sambil mengunyah camilan, sesekali tertawa sendiri saat melihat adegan lucu. Di sisi lain, Melati yang merasa kesal tak henti-hentinya mencoba mencari cara untuk ‘mengganggu.’“Nasya,” panggil Melati dengan nada yang sengaja dibuat sedikit keras, “Kayaknya karpet di ruang tamu udah kotor, perlu diganti. Atau kamu bisa coba nyapu-nyapu ringan aja?”Nasya menatap karpet sebentar, lalu mengelus perutnya sambil berakting lelah. “Aduh, ma… Saya lemes banget, rasanya gak kuat nyapu-nyapu dulu nih. Kata dokter, ibu hamil harus banyak istirahat, jangan capek-capek.”Melati mendesah panjang, tetapi Nasya tetap tak bergeming, malah asyik kembali menonton TV. Tak lama, Melati mencoba taktik baru dengan menyalakan vacuum cleaner di dekatnya, membuat suara berisik untuk mengusik ketenangan Nasya.“Waduh, maaf ya kalau agak berisik, Nasya. S
Setelah perbincangan di ruang tengah yang lebih mirip sidang pengadilan, Nasya dan Bima melangkah masuk ke kamar dengan langkah berat. Nasya merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, menarik napas panjang. Wajahnya tampak sayu, sementara Bima hanya berdiri di ambang pintu, menatap Nasya dengan ekspresi penuh rasa bersalah.“Nasya,” ucap Bima pelan, mencoba mencairkan suasana.Nasya menghela napas panjang. “Bima, aku nggak tahu sampai kapan bisa kayak gini. Jujur… tinggal di rumah ini, sama Mama, rasanya seperti… nggak punya ruang bernapas sendiri. Kamu ngerti nggak sih?” Suaranya gemetar, dipenuhi perasaan kecewa yang lama tertahan.Bima mendekat, duduk di sisi ranjang. “Sayang, aku paham. Tapi coba lihat dari sisi Mama. Dia itu cuma ingin kita di dekatnya. Lagipula, dia memang keras, tapi hatinya baik, Nasya.”Nasya langsung memutar matanya, seakan sudah lelah dengan pembelaan Bima yang terlalu sering didengarnya. “Ibu Ratu… selalu baik di matamu, ya, Bima. Padahal kamu nggak tahu rasanya
Setelah mereka tiba di rumah sakit, Bima dan Nasya berjalan beriringan menuju lobi. Bima tampak bersemangat, wajahnya berseri-seri, sementara Nasya mencoba menyamakan langkah sambil menahan senyum malu-malu melihat suaminya yang sudah terbawa suasana.“Sayang, aku yakin banget kamu hamil, deh,” ujar Bima, katanya setengah berbisik, tapi entah kenapa suaranya tetap kedengaran se-lobi rumah sakit. “Soalnya, kita kan nggak pernah bolos, ya, dari hari pertama nikah. Bahkan, yang pas aku baru pulang kerja capek banget itu, kita tetap ‘latihan’ juga, kan?”Nasya langsung menyikut Bima, mencoba menghentikan obrolan heboh suaminya. “Kenapa malah bahas itu sih?”Tapi Bima malah tambah semangat. “Lho, iya kan? Masa kamu lupa sama ‘latihan intensif’ kita yang sampai tiga sesi sehari? Ini sih pasti hasilnya manjur banget, Sayang. Aku aja udah ngerasa vibes calon ayah nih, serius!”Nasya langsung menyikut Bima, “Bima, pelan-pelan ngomongnya. Ini rumah sakit, banyak orang denger.” Matanya melirik s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments