"Sinar." Rahang Ibu tampak mengeras. Matanya nyalang menatapku. Ibu, bukan Ibu yang dulu, walaupun dulu sering abai, tapi dia tidak pernah terlihat sangat marah seperti sekarang. Ibu berubah karena harta."Permisi, Nyonya." Aku berlalu dari hadapan Ibu. Berjalan sangat pelan kembali ke dapur.Aku termangu di bibir pintu dapur. Melihat Dewa yang menoleh ke arahku. Dia tersenyum. Aku berharap, hari segera berlalu. Demi kebaikan Dewa, semoga Ibu mengurung diri di kamar terus sampai kami pulang. Aku tidak ingin Dewa mengalami penolakan."Sudah kamu antar?" tanya Bu Asri yang baru keluar dari kamar mandi."Sudah.""Kalau kamu sudah selesai dengan tugas dari Pak Atma, bersihkan kamar yang berhadapan dengan kamar Bu Nyonya. Ganti seprai dan sarung bantal," perintah Bu Asri."Bu Nyonya?""Kamu, kan, manggil Nyonya. Aku manggilnya Bu. Jadi, aku gabungkan saja." Bu Asri tersenyum lebar, sehingga kerut-kerut di wajahnya berlipat lebih banyak. "Akan segera aku laksanakan ....""Eh, Sinar. Aku k
"Mbak Sinar, Mas Randu baru saja keluar. Katanya mau beli pensil," ucap Rahma, begitu aku masuk ke rumah."Nggak apa-apa, Rahma," sahutku. "Mau cokelat?"Rahma mengambil cokelat dari tanganku, dia langsung melahapnya. "Eh, tapi, Mas Randu pinjam motor temannya, biasanya juga jalan kaki," ungkap Rahma."Motornya siapa?""Itu milik Bang Reza."Randu keluar rumah bukan untuk beli pensil, dia pasti ke rumah Pak Atma. Karena tadi aku sempat memberitahu alamat rumahnya. Semoga saja dugaanku salah. Aku khawatir jika Randu bertemu dengan Ibu."Rahma, kunci pintunya. Aku mau nyusul Randu." Aku ke kamar terlebih dahulu, mengambil jaket di lemari pakaian. Dewa tampak sudah lelap di atas pembaringan."Jangan lama-lama ya, Mbak. Aku takut sendirian." Rahma sedikit mengerucutkan bibirnya."Maaf, ya ... nggak akan lama, kok."Kedua kakiku melangkah keluar rumah sembari mengenakan jaket. Dengan menggunakan jasa ojek online aku menuju rumah Pak Atma.Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas men
[Aku ikut ekstra kurikuler basket, terus mampir ke rumah Bila. Pulang agak malam.] Aku menghela napas panjang saat membaca pesan dari Rahma. Seminggu yang lalu dia juga ke rumah Bila, teman satu kelas yang notabene anak dari keluarga berada."Beli bakso banyak banget," komentar Bude Yani, melihat Reza menaruh kantong plastik berisi lima bungkus bakso di meja."Untuk Bude juga," sahutku berjalan ke dapur untuk mengambil empat mangkuk. Kami berempat menikmati makan bakso bersama. Beberapa kali Bude Yani melirik Reza. Entah apa yang dipikirkan Bude Yani."Bude, saya ingin melamar Sinar," ucap Reza.Bude Yani tersedak, sedangkan aku berhenti mengunyah bakso dan menatap Reza. 'Dia ingin menikah denganku?'"Saya ingin menikahi Sinar," lanjut Reza dibarengi senyum."Apa ibumu setuju? Karena ibumu selalu berkeluh kesah kalau Sinar nggak cocok denganmu," tanya Bude Yani. "Masalah ibu, itu urusan saya. Yang menikah kami berdua, bukan Ibu," ujar Reza."Tapi, Reza ... kalau menikah tanpa restu
Aku menarik perlahan tubuh Rahma, supaya masuk ke dalam mobil taksi. Dia menurut saja, duduk di kursi belakang mobil dengan wajah memberengut. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam.Sampai di rumah, Rahma langsung masuk ke kamar. Aku hanya ingin melindunginya, tetapi mungkin sikapku selama ini tidak tepat."Terima kasih, Bu Minah," ucapku pada perempuan kurus dan berambut abu-abu. Tidak lupa aku menyelipkan selembar uang lima puluh ribu di tangannya."Sama-sama. Ini tidak perlu, Cah Ayu. Ditabung saja." Bu Minah meletakkan uang itu di telapak tanganku, kemudian Bu Minah keluar rumah.Aku menutup pintu. Menggenapi paru-paru dengan udara. Ponselku kembali berdering, telepon dari nomor yang sama."Halo." Akhirnya aku memberanikan diri menerima panggilan telepon."Ibu tahu kamu pasti terkejut. Apa kabar kalian?"Aku rasanya antara ingin tertawa dan mengumpat. "Untuk apa Anda menelepon saya?" Alih-alih menjawab pertanyaan, aku membalas dengan pertanyaan lain."Ibu hanya ingin tahu keadaa
Aku menatap Randu lekat-lekat, dua bulan tidak bertemu kulitnya lebih cokelat. Badannya tambah kekar. Adikku sangat menawan.Dewa pun langsung melompat ke dalam gendongan Randu. Tangannya mengusap rahang Randu yang ditumbuhi bulu-bulu halus."Belum cukur atau niat mau sedikit brewokan?" Aku menuang es teh ke gelas, walaupun sudah sore cuaca cukup panas. "Pingin brewian dikit, Mbak. Rahma mana?" Aku meletakkan gelas berisi es teh di meja. Menceritakan pada Randu bahwa Rahma mengambil pekerjaan paruh waktu setelah pulang sekolah."Aku terpaksa mengizinkan Rahma bekerja, karena dia bersikukuh," ucapku, duduk bersandar di kursi."Apa Mbak Sinar kesulitan menghadapi Rahma?" Randu juga duduk, sedangkan Dewa bermain mainan robot-robotan yang dibelikan Randu."Sedikit," sahutku. "Rahma ingin bertemu dengan Ibu. Dia sangat merindukannya. Kau tahu, beberapa waktu lalu Ibu meneleponku ....""Apa Ibu minta maaf?" Wajah Randu terlihat ada sedikit perubahan. Agak keruh."Nggak. Ibu cuma menanyaka
"Sudah, Mbak. Jangan sedih ...." Randu merapikan pakaian yang tercecer."Karena ada foto diriku dengan Ayah. Kan, nggak mungkin bisa berfoto bersama lagi." Aku sedikit merengut. Walaupun tidak ada ingatan yang tersisa tentang Ayah, setidaknya ada foto kami berdua."Nanti berfoto denganku, Mbak Sinar aku gendong," kelakar Randu, dia mulai menyusun pakaian ke dalam lemari kayu."Nggak lucu," sahutku, sembari menyimpan kembali foto usang di antara lembaran buku kecil. Lantas beranjak dari lantai. "Foto Dewa waktu bayi juga ikut ilang ....""Sayang sekali waktu Dewa bayi kita nggak punya ponsel." Randu mengesah."Ah, sudahlah. Nggak perlu ngomongin masa lalu." Aku menarik napas dalam-dalam. "Lupakan tentang foto-foto itu. Aku tadi mungkin terlalu lebay ...."Aku berjalan keluar kamar. Memberitahu Dewa, bahwa fotonya tidak ada."Apa Rahma belum pulang, Mbak?""Dia bertemu dengan Ibu. Katanya diundang ke apartemen milik Ibu. Apa Rahma nggak cerita padamu?""Nggak. Rahma sepertinya jaga jara
Seperti yang aku janjikan semalam, aku mengirim pesan pada Dipta. [Jam berapa pestanya? Dress code?]Aku menaruh ponsel di meja, kemudian membantu Dewa memasukkan lima kaus, tiga celana pendek, dua celana panjang, dan satu kemeja ke dalam tas ransel. Dewa akan ikut Bude Yani ke Solo selama seminggu. Menjenguk anak pertamanya yang melahirkan.Ini pertama kalinya aku sendirian tanpa adik-adikku. Randu yang bertugas di Surabaya, Rahma yang memilih ikut tinggal bersama Ibu, dan Dewa--walaupun hanya seminggu--rasanya akan terasa lama. Kalau kata tetangga, Dewa itu sudah seperti anak bungsunya Bude Yani. "Sudah siap?" Bude Yani yang sudah berpakaian rapi masuk ke rumah."Sudah, Bude Ibu," sahut Dewa."Kamu nggak bakalan merindukan kami, kan?" goda Bude Yani."Nggak. Jangan lupa oleh-olehnya." Aku menutup ritsleting tas ransel. "Tumben kamu nggak protes Dewa aku ajak pergi?" Bude Yani meraih tas ransel yang aku ulurkan."Percuma protes. Bakalan kalah," ucapku, bersungut-sungut. "Dewa ingat
Aku sudah bergelung di dalam selimut, saat mendengar ketukan pada pintu. Dengan malas aku beringsut turun dari kasur. Berjalan keluar kamar, menekan sakelar lampu di dinding.Ceklek."Rahma?" Satu alisku terangkat. "Mau ambil barang atau baju?""Nggak." Rahma mendorong tubuhku pelan, dia masuk ke dalam rumah. "Ibu menyuruhku pulang. Katanya harus bantu jaga Dewa. Aku juga disuruh nurut sama Mbak Sinarnya," lanjut Rahma."Kamu sebenarnya nggak mau, kan?" tuduhku, mana mungkin Rahma mau meninggalkan Ibu begitu saja."Mau bagaimana lagi, Ibu memohon terus menerus," sahut Rahma membuatku tercengang.Rasanya sulit dipercaya Ibu sampai memohon pada Rahma. Sikap Ibu memang agak berubah. Aku memperhatikan Rahma yang sedang melepaskan sweternya, sweter yang sama persis yang diberikan Ibu untukku."Ternyata Mbak Sinar kenal dengan putranya Pak Bagas. Kalian pacaran?""Kami berteman. Dipta teman waktu sma," jawabku seraya menutup pintu."Katanya sih, Mas Dipta akan dijodohkan dengan putri seoran