Aku tidak melihat Dipta di sisa acara pesta ulang tahun. Mungkin dia sudah pulang terlebih dahulu. Ada sedikit rasa kecewa merambah di sanubari. "Hei, Jomlo. Main ke rumahku aja," ajak Rhea yang berjalan di belakangku. Bian sudah pulang terlebih dahulu bersama pengasuhnya."Males. Capek. Aku mau tidur ...." sahutku seraya melepas ikatan rambut. "Pukul delapan sudah mau tidur?""Hemm, ya. Sampai jumpa." Tanpa melihat ke arah Rhea, aku melambaikan tangan kanan dan terus berjalan ke arah mobil yang terparkir.Pak Wanto lekas membuka pintu mobil. Tubuh ini pun langsung duduk di kursi belakang. "Langsung pulang, Mbak Sinar?" tanya Pak Wanto yang menyalakan mesin kendaraan."Iya, Pak."Sampai di rumah, niat hati ingin langsung rebah. Kakek Atma sudah menungguku di ruang keluarga. Katanya ingin bicara hal yang penting."Duduklah."Aku melepas sepatu, lantas menggenyakkan tubuh di atas sofa. Mungkin wajahku terlihat agak muram, karena sebenarnya sedang tidak ingin bicara tentang apa pun."
Suara desahan terdengar dari kamar sebelah. Seakan menyusup pada dinding, kemudian menggema di kamar yang aku tempati. Ibuku kemarin menikah yang kelima kalinya dengan seorang lelaki bernama Agus. Lelaki tua yang mengaku sebagai juragan batik.Aku menatap ketiga adikku yang masih terlelap. Dewa kecil yang berusia dua tahun nyenyak dalam dekapan Rahma, sedangkan Randu tidur di bawah beralaskan kasur lusuh dan tipis. Kami berempat terpaksa berbagi kamar. Biasanya aku dan Rahma tidur di kamar sebelah, kamar yang menguarkan irama menjijikkan pada pagi hari.Perlahan kaki ini turun dari pembaringan, menyentuh ubin yang dingin. Lalu, melangkah keluar kamar. Aku tidak perlu memasak, karena ada sisa makanan pesta pernikahan. Tinggal dihangatkan.Selesai menyiapkan sarapan yang aku tata di meja, aku bergegas mandi. Usiaku sembilan belas tahun, tetapi masih duduk di bangku kelas tiga sma. Karena sering putus sekolah.Saat keluar dari kamar mandi, Ibu sudah berada di dapur membuat kopi. Perempua
"Randu, Ibu tadi bilang nggak akan pulang," ucapku pada Randu yang baru pulang sekolah.Adikku itu hanya mendengkus kasar. Dia masuk ke dalam kamar tanpa bicara, tetapi raut mukanya terlihat muram. Di rumah yang kami tempati tidak ada barang berharga yang bisa dijual. Ada ponsel milikku, namun nomorku yang tergabung dalam grup WhatsApp sekolah Rahma dan Randu. Selama ini Ibu tidak mau tahu urusan sekolah anak-anaknya. Menjadi delima, haruskah aku menjual perangkat elektronik tersebut?"Rahma, Mbak mau ke rumah Bude Yani dulu, ya. Titip Dewa.""Iya, Mbak."Mau tidak mau, aku memberanikan diri meminjam uang pada saudara Ibu. Aku mempercepat langkah kaki menyusuri gang sempit, sinar jingga kemerahan berarak di batas barat. Aku mengetuk pintu kayu beberapa kali. Tidak lama berselang, Bude Yani muncul dari balik pintu. Matanya tajam menatapku."Mau apa, Sinar? Pinjem uang?"Ah, belum apa-apa aku sudah mendapatkan sambutan yang dingin. Aku membuang rasa malu sejauh mungkin."Iya, Bude. Ib
Aku memilih tidak melaporkan penganiayaan terhadap Randu. Karena tersiar kabar ketua preman-preman itu berteman dengan para pejabat. Aku yang hanya perempuan miskin lebih memilih keselamatan adik-adikku. Malam sudah cukup larut, aku masih menjahit seragam Randu yang sobek pada bagian punggung. Setiap telusuran jarum bagai menyayat hati. Aku berhenti sejenak, mengamati lampu yang sekarat, kadang menyala kadang padam. Aku memutuskan tidak meneruskan menjahit, akan kulakukan esok hari saja. Lalu, merebahkan tubuh di sebelah Rahma yang sudah terlelap. Baru memejamkan mata, mendadak tubuhku menggigil kedinginan. Selimut tipis tidak mampu menhalau rasa dingin. Rasa pusing mulai menyerang. Suhu badanku meningkat. "Aku nggak boleh sakit, nggak boleh sakit ...." lirihku gemetaran seraya meraih botol minyak kayu putih. Membaluri tengkuk, perut, dan telapak kaki, setelah itu meringkuk kembali di balik selimut. Memejamkan kedua mata, mencoba tidur.Aku terbangun ketika langit sudah biru keung
Aku membuka lemari pakaian Ibu. Tercenung sebentar, bergulat dengan keraguan. Haruskah aku membuang barang-barang yang berkaitan dengan Ibu? "Ini kardusnya, Mbak." Randu menaruh kardus cokelat berukuran besar di dekat kakiku. "Anggap saja, Ibu sudah meninggalnya ...." imbuhnya."Randu ....""Lagi pula semua pakaian itu sudah jelek-jelek. Yang bagus sudah dibawa liburan ke Bandung," ucap Randu, sinis. Dia kemudian keluar kamar.Aku menarik napas dalam-dalam. Mengembuskan satu-satu. Aku mulai memilih baju yang memang sudah tidak layak. Ada rasa terenyuh saat mendapati pakaian Ibu banyak yang robek. Namun, seketika perasaan itu lenyap. Berganti dengan perasaan kecewa karena diabaikan dan ditinggalkan.Saat memindahkan pakaian ke dalam kardus, selembar kertas jatuh di ubin. Aku merundukkan badan dan mengambilnya. Tenyata bukan kertas, melainkan foto lama. Foto keluarga.Akan tetapi, aku hanya mengenali satu orang dari empat orang yang ada di dalam foto. Itu Ayah sewaktu muda, mirip denga
"Tunggu." Aku menggapai tangannya. "Tunggu, Pak Agus ...."Lelaki itu mengibaskan tanganku dengan kasar. Wajahnya semasam cuka."Ibu mana?" tanyaku dengan napas yang terengah. "Kapan kalian--""Ibumu dan aku memutuskan berpisah, Sinar," ucap Pak Agus memotong ucapanku. "Sudah, jangan ganggu aku lagi. Ibumu masih di Bandung. Cari saja ke sana.""Pak, tahu nomor ponsel Ibu?""Ibumu gonta-ganti nomor ponsel seperti gonta-ganti suami," jawabnya sinis. "Untung aku tidak mau nikah sah, hanya siri."Aku hanya bisa memperhatikan Pak Agus yang berjalan menjauh. Makin lama makin mengecil, dan hilang ditikungan gang.Kedua kakiku pun melanjutkan langkah dengan gontai. Pertanyaan hilir mudik di kepala. Mengapa baru satu bulan sudah berpisah? Lalu, di mana keberadaan Ibu? Apakah kami berempat memang sudah dilupakan untuk selamanya?Sampai di rumah aku menurunkan Dewa. Lantas duduk di bangku panjang di teras. Meluruskan kaki yang lelah. Aku mengamati Randu yang sedang memilah barang rongsokan."Aku
"Ibu nggak pergi ke pesta?" tanyaku pada Bu Rena yang sedang membaca novel. Sebenarnya aku sedang mencari tahu jam berapa pestanya dimulai.Perempuan itu menoleh, memandangku dari balik kacamatanya. "Pesta apa, Sinar?""Oh, itu kemarin, saya dengar ada teman Ibu yang menikah," jawabku, lalu menyunggingkan senyum kaku. Pandangan Bu Rena kembali pada buku. "Malas," ujarnya singkat."Oh, karena malam ya, Bu?" Aku mengelap kaca dengan cepat. Berharap ada informasi."Pestanya siang ini. Aku lebih baik tidur, daripada datang ke pesta .... Aku tidak suka Hendi, dia agak arogan," ungkap Bu Rena. "Lagi pula kami tidak berteman."Aku tidak bertanya lagi. Menatap kaca jendela di hadapanku. Aku penasaran dengan sosok istri Hendi dan aku harus mendatangi pesta. "Sinar, ada beras lima kilo dan gula pasir di kantong plastik ungu. Ada di dapur, bawa saja kalau pulang," ucap Bu Rena."Saya bawa besok saja, Bu. Soalnya hari ini saya disuruh Bude saya mampir ke pasar, beli terigu." Aku berbohong, tida
"Aku ingin bicara dengan kalian." Ibu mendorong tubuh Rahma dengan pelan, kemudian duduk di kursi. Ibu sama sekali tidak menanyakan kabar kami. Aku melihat Ibu seperti nyonya kelas atas yang angkuh. Aku tetap berdiri, begitu pun dengan Randu, yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu kamar. Hanya Rahma yang ikut duduk."Ini untuk kalian," ucap Ibu, meletakkan amplop cokelat di atas meja. "Uang dua puluh juta. Cukup, kan?""Cukup untuk melunasi hutang Ibu," sahutku."Baguslah kalau begitu." Ibu menatapku tajam. "Sinar, jangan pernah datang ke rumah dan mengaku sebagai anakku. Aku bukan Yunita yang dulu.""Ibu datang hanya untuk mengatakan itu?" Aku mengusap air mata yang jatuh di pipi."Ya. Karena aku sudah punya kehidupan baru." Ibu beranjak dari kursi. "Aku pergi dulu.""Pergi dan jangan pernah kembali, Bu!" Aku beteriak keras, menggema di ruangan sempit.Ibu keluar rumah seolah tanpa beban dan rasa bersalah. Rahma berlari menyusul Ibu. "Rahma!" panggilku, tetapi Rahma tidak