Share

Bab 4 Foto

Aku membuka lemari pakaian Ibu. Tercenung sebentar, bergulat dengan keraguan. Haruskah aku membuang barang-barang yang berkaitan dengan Ibu? 

"Ini kardusnya, Mbak." Randu menaruh kardus cokelat berukuran besar di dekat kakiku. "Anggap saja, Ibu sudah meninggalnya ...." imbuhnya.

"Randu ...."

"Lagi pula semua pakaian itu sudah jelek-jelek. Yang bagus sudah dibawa liburan ke Bandung," ucap Randu, sinis. Dia kemudian keluar kamar.

Aku menarik napas dalam-dalam. Mengembuskan satu-satu. Aku mulai memilih baju yang memang sudah tidak layak. Ada rasa terenyuh saat mendapati pakaian Ibu banyak yang robek. Namun, seketika perasaan itu lenyap. Berganti dengan perasaan kecewa karena diabaikan dan ditinggalkan.

Saat memindahkan pakaian ke dalam kardus, selembar kertas jatuh di ubin. Aku merundukkan badan dan mengambilnya. Tenyata bukan kertas, melainkan foto lama. Foto keluarga.

Akan tetapi, aku hanya mengenali satu orang dari empat orang yang ada di dalam foto. Itu Ayah sewaktu muda, mirip dengan foto waktu ayah memangku diriku yang masih bayi. Mungkinkah mereka keluarga Ayah?

Karena sedari kecil, aku tidak mengenal keluarga dari pihak Ayah. Tidak satu pun. Aku hanya mengenal keluarga dari Ibu saja.

"Dewa, mbakmu mana?" Itu suara Bude Yani.

Randu yang menjawab, "Ada di kamar, Bude."

Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat.

Bude Yani muncul di kamar. Matanya yang agak sipit memandangi kardus. "Bagus, buang saja semua. Kalau ibumu pulang, nggak usah dibukain pintu," kata Bude Yani. "Sinar kapan ibumu berhutang pada Bu Kumala?"

"Katanya dua minggu sebelum nikah, Bude," jawabku. Itu yang dikatakan Bu Kumala saat aku bertanya.

"Oh, pantesan bisa plesir. Nanti kalau uangnya habis. Kesusahan. Terus pulang. Mungkin ibumu lahir saat dunia gelap, makanya otak dan nuraninya ikut gelap," cerocos Bude Yani.

"Ehm ... Bude, ini benar ayah, kan? Dan, yang lainnya Bude kenal nggak?" Aku mengangsurkan foto pada Bude Yani.

Bude Yani terdiam sejenak. Mengamati foto di tangannya. "Yang kaus putih ini memang ayahmu. Perempuan dan laki-laki tua ... terus perempuan muda ... Bude nggak kenal."

"Mungkinkah itu keluarga Ayah?"

"Bisa jadi. Karena sejak pacaran sampai menikah dengan ibumu, Adiyaksa mengaku nggak punya keluarga. Pasti ibumu yang lebih tahu," papar Bude Yani seraya memberikan foto itu padaku.

Kalau tidak punya keluarga, lalu mereka siapa? Wajah Ayah memang tidak mirip dengan ketiga orang dalam foto.

"Bude ke sini cuma mau bilang, setiap bulan akan membantumu mengangsur. Paling cuma lima puluh ribu atau seratus ribu. Nggak banyak sih, tapi semoga bisa meringankan sedikit ...."

"Makasih, Bude."

"Bude pulang dulu," pamit Bude Yani.

Ya, walaupun kata-katanya sering sepedas cabai. Bude Yani sebenarnya orang yang baik di balik perangai gaharnya.

***

Hampir satu bulan kami berempat hidup tanpa Ibu. Dewa sering sekali bertanya, kapan Ibu pulang.

Siang ini pun dia selalu mengekor waktu di rumah Bu Rena. Biasanya Dewa duduk tenang menggambar atau bermain di halaman belakang.

"Mbak Sinar, kangen Ibu," rengeknya.

Aku mencabut kabel setrika, kemudian meraih tubuh kecilnya dalam pangkuan. Terkadang aku bingung harus menjawab apa.

"Ibu pasti pulang. Kita tunggu saja, ya ... Dewa sekarang pingin apa? Es krim, mobil-mobilan?

"Pingin Ibu," jawabnya singkat.

Aku merengkuh tubuh Dewa dalam pelukan. Mencium rambutnya yang beraroma keringat dan wangi sampo. Kami diam lumayan lama, dan Dewa jatuh tertidur.

tubuh Dewa aku rebahkan di tempat tidur kecil di sudut ruangan. Aku memandangi wajahnya. Sebenarnya Rahma juga merindukan Ibu, dia sering melamun akhir-akhir. Randu, dia mungkin juga merasakan hal yang sama, tetapi kebenciannya terhadap Ibu sangat dalam. Setiap pulang sekolah, Randu akan mencari botol-botol bekas. Dia berjanji tidak akan mengganggu sekolahnya.

"Kamu gadis yang kuat, Sinar," ucap Bu Rena yang berada di belakangku.

"Terpaksa kuat, Bu. Karena keadaan." Aku menukas.

"Tetap saja kamu gadis yang hebat. Tolong, kemeja warna biru muda bawa ke kamar, ya," pinta Bu Rena.

"Baik, Bu."

Seusai menaruh pakaian yang sudah di setrika, aku tidak langsung pulang. Menuggu Dewa sampai bangun.

Dan, Dewa bangun dua jam kemudian. Aku menggendongnya dengan kain gendongan. 

"Bu Rena, saya pamit pulang dulu."

"Besok nggak usah datang ya, Sinar. Datang lusa saja. Aku mau pergi."

Aku mengangguk sebagai tanda mengerti. Lalu, melangkah keluar rumah. Di jalan, aku melihat rombongan siswa siswi dengan seragam sma dari arah berlawanan. Mereka tampak ceria. Ingin rasanya aku bersembunyi, namun lebih baik menghadapi teman-temanku itu. Hidup harus dijalani. Aku bisa mengejar cita-cita pada hari dan kesempatan lain.

"Aku dengar sekarang kamu jadi prmbokat, ya?" tanya Shireen, setengah mengejek.

Aku mengangkat dagu dan tersenyum. "Iya."

Di antara mereka ada Pradipta. Cowok yang jago voli, ketua osis, dan tentu saja ganteng. Seperti halnya dengan cewek-cewek di sekolah yang menyukainya. Aku pun menyimpan rasa suka. Tetapi, siapa yang mau melihat cewek dekil dan miskin yang bernama Sinar?

Aku menyeruak maju, melanjutkan langkah dengan cepat. Menghirup udara dengan rakus.

Kaki yang berderap cepat, langsung berhenti saat melihat sosok yang tidak asing. Dia baru saja turun dari bus. Aku mengeratkan kain gendongan, lalu berlari menyusulnya yang berjalan masuk ke gang sempit.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Kasihan sinar dan adik adiknya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status