Aku membuka lemari pakaian Ibu. Tercenung sebentar, bergulat dengan keraguan. Haruskah aku membuang barang-barang yang berkaitan dengan Ibu?
"Ini kardusnya, Mbak." Randu menaruh kardus cokelat berukuran besar di dekat kakiku. "Anggap saja, Ibu sudah meninggalnya ...." imbuhnya.
"Randu ...."
"Lagi pula semua pakaian itu sudah jelek-jelek. Yang bagus sudah dibawa liburan ke Bandung," ucap Randu, sinis. Dia kemudian keluar kamar.
Aku menarik napas dalam-dalam. Mengembuskan satu-satu. Aku mulai memilih baju yang memang sudah tidak layak. Ada rasa terenyuh saat mendapati pakaian Ibu banyak yang robek. Namun, seketika perasaan itu lenyap. Berganti dengan perasaan kecewa karena diabaikan dan ditinggalkan.
Saat memindahkan pakaian ke dalam kardus, selembar kertas jatuh di ubin. Aku merundukkan badan dan mengambilnya. Tenyata bukan kertas, melainkan foto lama. Foto keluarga.
Akan tetapi, aku hanya mengenali satu orang dari empat orang yang ada di dalam foto. Itu Ayah sewaktu muda, mirip dengan foto waktu ayah memangku diriku yang masih bayi. Mungkinkah mereka keluarga Ayah?
Karena sedari kecil, aku tidak mengenal keluarga dari pihak Ayah. Tidak satu pun. Aku hanya mengenal keluarga dari Ibu saja.
"Dewa, mbakmu mana?" Itu suara Bude Yani.
Randu yang menjawab, "Ada di kamar, Bude."
Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat.
Bude Yani muncul di kamar. Matanya yang agak sipit memandangi kardus. "Bagus, buang saja semua. Kalau ibumu pulang, nggak usah dibukain pintu," kata Bude Yani. "Sinar kapan ibumu berhutang pada Bu Kumala?"
"Katanya dua minggu sebelum nikah, Bude," jawabku. Itu yang dikatakan Bu Kumala saat aku bertanya.
"Oh, pantesan bisa plesir. Nanti kalau uangnya habis. Kesusahan. Terus pulang. Mungkin ibumu lahir saat dunia gelap, makanya otak dan nuraninya ikut gelap," cerocos Bude Yani.
"Ehm ... Bude, ini benar ayah, kan? Dan, yang lainnya Bude kenal nggak?" Aku mengangsurkan foto pada Bude Yani.
Bude Yani terdiam sejenak. Mengamati foto di tangannya. "Yang kaus putih ini memang ayahmu. Perempuan dan laki-laki tua ... terus perempuan muda ... Bude nggak kenal."
"Mungkinkah itu keluarga Ayah?"
"Bisa jadi. Karena sejak pacaran sampai menikah dengan ibumu, Adiyaksa mengaku nggak punya keluarga. Pasti ibumu yang lebih tahu," papar Bude Yani seraya memberikan foto itu padaku.
Kalau tidak punya keluarga, lalu mereka siapa? Wajah Ayah memang tidak mirip dengan ketiga orang dalam foto.
"Bude ke sini cuma mau bilang, setiap bulan akan membantumu mengangsur. Paling cuma lima puluh ribu atau seratus ribu. Nggak banyak sih, tapi semoga bisa meringankan sedikit ...."
"Makasih, Bude."
"Bude pulang dulu," pamit Bude Yani.
Ya, walaupun kata-katanya sering sepedas cabai. Bude Yani sebenarnya orang yang baik di balik perangai gaharnya.
***
Hampir satu bulan kami berempat hidup tanpa Ibu. Dewa sering sekali bertanya, kapan Ibu pulang.
Siang ini pun dia selalu mengekor waktu di rumah Bu Rena. Biasanya Dewa duduk tenang menggambar atau bermain di halaman belakang.
"Mbak Sinar, kangen Ibu," rengeknya.
Aku mencabut kabel setrika, kemudian meraih tubuh kecilnya dalam pangkuan. Terkadang aku bingung harus menjawab apa.
"Ibu pasti pulang. Kita tunggu saja, ya ... Dewa sekarang pingin apa? Es krim, mobil-mobilan?
"Pingin Ibu," jawabnya singkat.
Aku merengkuh tubuh Dewa dalam pelukan. Mencium rambutnya yang beraroma keringat dan wangi sampo. Kami diam lumayan lama, dan Dewa jatuh tertidur.
tubuh Dewa aku rebahkan di tempat tidur kecil di sudut ruangan. Aku memandangi wajahnya. Sebenarnya Rahma juga merindukan Ibu, dia sering melamun akhir-akhir. Randu, dia mungkin juga merasakan hal yang sama, tetapi kebenciannya terhadap Ibu sangat dalam. Setiap pulang sekolah, Randu akan mencari botol-botol bekas. Dia berjanji tidak akan mengganggu sekolahnya.
"Kamu gadis yang kuat, Sinar," ucap Bu Rena yang berada di belakangku.
"Terpaksa kuat, Bu. Karena keadaan." Aku menukas.
"Tetap saja kamu gadis yang hebat. Tolong, kemeja warna biru muda bawa ke kamar, ya," pinta Bu Rena.
"Baik, Bu."
Seusai menaruh pakaian yang sudah di setrika, aku tidak langsung pulang. Menuggu Dewa sampai bangun.
Dan, Dewa bangun dua jam kemudian. Aku menggendongnya dengan kain gendongan.
"Bu Rena, saya pamit pulang dulu."
"Besok nggak usah datang ya, Sinar. Datang lusa saja. Aku mau pergi."
Aku mengangguk sebagai tanda mengerti. Lalu, melangkah keluar rumah. Di jalan, aku melihat rombongan siswa siswi dengan seragam sma dari arah berlawanan. Mereka tampak ceria. Ingin rasanya aku bersembunyi, namun lebih baik menghadapi teman-temanku itu. Hidup harus dijalani. Aku bisa mengejar cita-cita pada hari dan kesempatan lain.
"Aku dengar sekarang kamu jadi prmbokat, ya?" tanya Shireen, setengah mengejek.
Aku mengangkat dagu dan tersenyum. "Iya."
Di antara mereka ada Pradipta. Cowok yang jago voli, ketua osis, dan tentu saja ganteng. Seperti halnya dengan cewek-cewek di sekolah yang menyukainya. Aku pun menyimpan rasa suka. Tetapi, siapa yang mau melihat cewek dekil dan miskin yang bernama Sinar?
Aku menyeruak maju, melanjutkan langkah dengan cepat. Menghirup udara dengan rakus.
Kaki yang berderap cepat, langsung berhenti saat melihat sosok yang tidak asing. Dia baru saja turun dari bus. Aku mengeratkan kain gendongan, lalu berlari menyusulnya yang berjalan masuk ke gang sempit.
"Tunggu." Aku menggapai tangannya. "Tunggu, Pak Agus ...."Lelaki itu mengibaskan tanganku dengan kasar. Wajahnya semasam cuka."Ibu mana?" tanyaku dengan napas yang terengah. "Kapan kalian--""Ibumu dan aku memutuskan berpisah, Sinar," ucap Pak Agus memotong ucapanku. "Sudah, jangan ganggu aku lagi. Ibumu masih di Bandung. Cari saja ke sana.""Pak, tahu nomor ponsel Ibu?""Ibumu gonta-ganti nomor ponsel seperti gonta-ganti suami," jawabnya sinis. "Untung aku tidak mau nikah sah, hanya siri."Aku hanya bisa memperhatikan Pak Agus yang berjalan menjauh. Makin lama makin mengecil, dan hilang ditikungan gang.Kedua kakiku pun melanjutkan langkah dengan gontai. Pertanyaan hilir mudik di kepala. Mengapa baru satu bulan sudah berpisah? Lalu, di mana keberadaan Ibu? Apakah kami berempat memang sudah dilupakan untuk selamanya?Sampai di rumah aku menurunkan Dewa. Lantas duduk di bangku panjang di teras. Meluruskan kaki yang lelah. Aku mengamati Randu yang sedang memilah barang rongsokan."Aku
"Ibu nggak pergi ke pesta?" tanyaku pada Bu Rena yang sedang membaca novel. Sebenarnya aku sedang mencari tahu jam berapa pestanya dimulai.Perempuan itu menoleh, memandangku dari balik kacamatanya. "Pesta apa, Sinar?""Oh, itu kemarin, saya dengar ada teman Ibu yang menikah," jawabku, lalu menyunggingkan senyum kaku. Pandangan Bu Rena kembali pada buku. "Malas," ujarnya singkat."Oh, karena malam ya, Bu?" Aku mengelap kaca dengan cepat. Berharap ada informasi."Pestanya siang ini. Aku lebih baik tidur, daripada datang ke pesta .... Aku tidak suka Hendi, dia agak arogan," ungkap Bu Rena. "Lagi pula kami tidak berteman."Aku tidak bertanya lagi. Menatap kaca jendela di hadapanku. Aku penasaran dengan sosok istri Hendi dan aku harus mendatangi pesta. "Sinar, ada beras lima kilo dan gula pasir di kantong plastik ungu. Ada di dapur, bawa saja kalau pulang," ucap Bu Rena."Saya bawa besok saja, Bu. Soalnya hari ini saya disuruh Bude saya mampir ke pasar, beli terigu." Aku berbohong, tida
"Aku ingin bicara dengan kalian." Ibu mendorong tubuh Rahma dengan pelan, kemudian duduk di kursi. Ibu sama sekali tidak menanyakan kabar kami. Aku melihat Ibu seperti nyonya kelas atas yang angkuh. Aku tetap berdiri, begitu pun dengan Randu, yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu kamar. Hanya Rahma yang ikut duduk."Ini untuk kalian," ucap Ibu, meletakkan amplop cokelat di atas meja. "Uang dua puluh juta. Cukup, kan?""Cukup untuk melunasi hutang Ibu," sahutku."Baguslah kalau begitu." Ibu menatapku tajam. "Sinar, jangan pernah datang ke rumah dan mengaku sebagai anakku. Aku bukan Yunita yang dulu.""Ibu datang hanya untuk mengatakan itu?" Aku mengusap air mata yang jatuh di pipi."Ya. Karena aku sudah punya kehidupan baru." Ibu beranjak dari kursi. "Aku pergi dulu.""Pergi dan jangan pernah kembali, Bu!" Aku beteriak keras, menggema di ruangan sempit.Ibu keluar rumah seolah tanpa beban dan rasa bersalah. Rahma berlari menyusul Ibu. "Rahma!" panggilku, tetapi Rahma tidak
Aku menaruh uang sejumlah lima belas juta di atas meja. Bu Kumala mengambilnya dan mulai menghitung uang. Selesai menghitung uang, Bu Kumala mengembalikan sertifikat rumah. "Aku dengar, ibumu sudah menikah dengan orang kaya," ucapnya."Saya nggak tahu tentang itu," sahutku, mendekap sertifikat rumah."Mungkin, keinginan ibumu sudah terwujud, Sinar. Yakni menikah dengan pria kaya raya," imbuh Bu Kumala. "Ibumu akan berhenti berburu kali ini."Kata-kata Bu Kumala cukup menyakitkan, seolah ibu sedang mencari mangsa. Tetapi, kenyataannya memang seperti itu."Sungguh disayangkan, Yuni mengabaikan kalian. Semoga kalian berempat menjadi anak-anak yang sukses.""Aamiin. Saya permisi dulu, Bu."Aku bergegas melangkah keluar dari rumah besar Bu Kumala. Menyeberangi jalan besar, kemudian menyusuri gang.Seperti biasa, Randu berada di teras rumah. Berkutat dengan barang-barang bekas. Dewa kecil ikut membantu kakaknya, walaupun sering salah."Randu ...."Randu menoleh, dia memandang sertifikat ru
Aku meregangkan tubuh yang terasa lelah sekali seusai mengangkat perabot katering ke dalam mobil box. Dan, yang paling aku tunggu adalah upah yang diberikan pada waktu terakhir. Waktu sudah bergeser cukup larut saat semua pekerjaan selesai. Aku menyempatkan duduk di kursi taman untuk istirahat sejenak. Mengganti sepatu kebesaran dengan sandal jepit. "Kenapa kamu masih di sini? Tuh, yang lain sudah pada pulang." Aku menoleh. "Eh, Nyonya lagi ... ini juga mau pulang," sahutku seraya memasukkan sepatu ke kantong plastik. "Aku akan memberikan uang, tetapi jangan muncul dihadapanku," pinta Ibu dengan arogan. "Uang?" Aku beranjak dari duduk, berdiri berhadapan dengan Ibu. "Saya nggak butuh uang dari Anda, Nyonya. Terima kasih banyak. Satu lagi, jangan mengatur saya." "Dengan uang kita bisa mendapatkan apa pun, Sinar." "Dan, uang juga bisa membuat nurani seorang Ibu terbakar. Menyisakan ketamakan." "Keras kepala." Geram Ibu. "Aku bisa mencukupi kehidupan kalian, Sinar. Kamu nggak usa
Sampai di dapur, Bu Asri menyuruhku mencuci peralatan masak dan makan. Aku sempat mengagumi dapur yang cukup luas dengan jendela-jendela besar. "Bu Asri, yang tinggal di rumah ini berapa anggota keluarga? Itu tadi siapa saja?" tanyaku seraya membasuh piring dengan air yang mengalir."Pak Atma dengan kedua putra tirinya. Pak Hendi dan Pak Bagas. Yang perempuan menantunya Bu Yunita. Pak Bagas tidak tinggal di sini," jelas Bu Asri."Nggak punya putra kandung, ya?" Aku masih penasaran."Sudah meninggal dan yang satu menghilang. Sudah kerjakan pekerjaanmu jangan banyak tanya. Itu urusan keluarga mereka." Bu Asri berkata dengan nada agak ketus.Aku pun melanjutkan pekerjaan, sesekali melihat ke luar jendela. Memandang langit yang membiru."Jadi ... dahulu kala. Dari pernikahan pertama, Pak Atma punya dua anak. Beberapa tahun kemudian setelah istrinya meninggal dunia, Pak Atma menikah yang kedua kalinya dengan janda yang juga mempunyai dua orang anak ...."Kepalaku menoleh ke belakang, mema
Jus mangga itu berbecak kuning pada buku dan meja. Ibu seperti anak kecil, tertunduk dalam saat mertuanya marah."Kenapa Papa berteriak pada istriku?" tegur Pak Hendi yang berjalan menuruni undakan anak tangga."Lihat, bukuku kena muncratan jus," kata Pak Atma."Bisa beli yang baru, Pa. Gitu saja dipermasalahkan." Pak Hendi berdiri di samping Ibu."Itu buku cetakan pertama, Hen!" Urat-urat di rahang keriput Pak Atma nampak tercetak jelas. Kemarahan menguasai lelaki lanjut usia itu."Tetapi, tidak perlu teriak, Pa .... Itu hanya buku," sahut Pak Hendi dengan entengnya."Seharusnya kamu tidak menikahi perempuan itu. Kampungan," ujara Pak Atma.Aku menatap Ibu, ekspresinya berubah jadi marah. Tetapi, sepertinya Ibu tidak mampu mengeluarkan amarahnya."Papa, cukup. Aku dulu menuruti Papa saat dijodohkan. Walaupun Papa bukan ayah kandungku, aku sangat menghormati Papa," pungkas Pak Hendi, menarik Ibu pergi dari ruang keluarga.Tangan kananku meraih tisu, mengelap dengan perlahan noda pada
"Sinar." Rahang Ibu tampak mengeras. Matanya nyalang menatapku. Ibu, bukan Ibu yang dulu, walaupun dulu sering abai, tapi dia tidak pernah terlihat sangat marah seperti sekarang. Ibu berubah karena harta."Permisi, Nyonya." Aku berlalu dari hadapan Ibu. Berjalan sangat pelan kembali ke dapur.Aku termangu di bibir pintu dapur. Melihat Dewa yang menoleh ke arahku. Dia tersenyum. Aku berharap, hari segera berlalu. Demi kebaikan Dewa, semoga Ibu mengurung diri di kamar terus sampai kami pulang. Aku tidak ingin Dewa mengalami penolakan."Sudah kamu antar?" tanya Bu Asri yang baru keluar dari kamar mandi."Sudah.""Kalau kamu sudah selesai dengan tugas dari Pak Atma, bersihkan kamar yang berhadapan dengan kamar Bu Nyonya. Ganti seprai dan sarung bantal," perintah Bu Asri."Bu Nyonya?""Kamu, kan, manggil Nyonya. Aku manggilnya Bu. Jadi, aku gabungkan saja." Bu Asri tersenyum lebar, sehingga kerut-kerut di wajahnya berlipat lebih banyak. "Akan segera aku laksanakan ....""Eh, Sinar. Aku k