Share

Bab 5 Pasadena

Penulis: Stefani Wijanto
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-11 14:52:13

"Tunggu." Aku menggapai tangannya. "Tunggu, Pak Agus ...."

Lelaki itu mengibaskan tanganku dengan kasar. Wajahnya semasam cuka.

"Ibu mana?" tanyaku dengan napas yang terengah. "Kapan kalian--"

"Ibumu dan aku memutuskan berpisah, Sinar," ucap Pak Agus memotong ucapanku. "Sudah, jangan ganggu aku lagi. Ibumu masih di Bandung. Cari saja ke sana."

"Pak, tahu nomor ponsel Ibu?"

"Ibumu gonta-ganti nomor ponsel seperti gonta-ganti suami," jawabnya sinis. "Untung aku tidak mau nikah sah, hanya siri."

Aku hanya bisa memperhatikan Pak Agus yang berjalan menjauh. Makin lama makin mengecil, dan hilang ditikungan gang.

Kedua kakiku pun melanjutkan langkah dengan gontai. Pertanyaan hilir mudik di kepala. Mengapa baru satu bulan sudah berpisah? Lalu, di mana keberadaan Ibu? Apakah kami berempat memang sudah dilupakan untuk selamanya?

Sampai di rumah aku menurunkan Dewa. Lantas duduk di bangku panjang di teras. Meluruskan kaki yang lelah. Aku mengamati Randu yang sedang memilah barang rongsokan.

"Aku tadi bertemu Pak Agus, dia bilang sudah berpisah dengan Ibu," ucapku.

"Hemmm ...." Randu hanya bergumam.

"Tapi, Ibu kok nggak pulang, ya ...?"

"Mbak Sinar." Randu menatapku tajam. "Nggak usah mikirin Ibu lagi. Kita pikirkan masa depan kita. Ibu sudah membuat pilihan pergi meninggalkan kita. Buang jauh harapan Ibu akan pulang."

Aku menghela napas pelan. Setiap kali membicarakan Ibu, Randu memilih diam. 

"Aku ingin Ibu pulang, Mas!" Rahma yang duduk di sudut teras ikut bicara.

"Terserah kalian, hidup dalam harapan semu," sahut Randu, cuek.

Aku mendekati Rahma yang terisak. Duduk di sebelahnya, merengkuh bahunya yang bergetar. 

"Aku tahu Ibu tega dengan kita. Tapi, aku merindukan Ibu. Aku kangen masakannya, Mbak. Bolehkan aku terus berharap bahwa suatu hari nanti Ibu pulang?" kata Rahma, air mata luruh di pipinya.

"Iya, boleh banget ...." sahutku lirih.

"Aku akan duduk di sini setiap sore menunggu Ibu pulang," imbuh Rahma, seraya mengusap pipi basahnya dengan punggung tangan.

***

Siang itu. Setelah lima bulan berlalu, Randu mengutarakan niatnya ingin mendaftar sebagai calon anggota TNI AD setelah lulus SMA. Hampir setiap sore dia berolahraga lari dan belajar hingga larut malam supaya nilai mata pelajarannya bagus.

"Doakan aku berhasil, Mbak."

"Pasti." Aku mengembangkan senyum. "Tetapi, jika tidak berhasil kamu jangan sedih ya?"

"Ya, pasti sedih, Mbak. Tapi, jangan khawatir ... aku kuat karena sudah pernah mengalami hal yang paling menyedihkan," kata Randu. 

Tentu saja hal yang paling menyedihkan adalah kepergian Ibu, yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Kehidupan kami pun masih terseok-seok. Karena penghasilanku yang tidak bisa menutupi semua kebutuhan.

"Seandainya aku berhasil, gantian Mbak Sinar yang menggapai cita-cita. Mbak bisa melanjutkan kejar paket C." Binar mata Randu terlihat sangat optimis dengan rencananya.

Obrolan kami berhenti saat ponselku berdering. Nama Bu Rena menari di layar perangkat elektronik tersebut.

"Halo, Bu."

"Sinar, aku tahu kamu libur hari ini. Apakah kamu bisa datang ke rumah? Aku akan membayarmu seratus ribu. Ya, anggap saja uang lembur. Karena di rumah ada beberapa teman yang datang ...." kata Bu Rena panjang lebar.

Tanpa berpikir lama-lama, aku langsung menyanggupi. "Saya akan segera datang."

"Aku tunggu ya, Sinar." Panggilan telepon seluler dimatikan oleh Bu Rena.

"Randu, apa Mbak bisa titip Dewa?"

"Apaan sih, Mbak? Memangnya Dewa itu adikku, bukan barang. Aku pasti mau menjaganya," sahut Randu.

"Terima kasih." Aku mengacak rambut Randu.

Setelah berganti baju dengan pakaian yang lebih bersih dan sopan. Aku segera menuju rumah Bu Rena, yang ditempuh sekitar dua puluh menit dengan berjalan kaki.

Di halaman rumah Bu Rena berjejer tiga mobil. Dari luar terdengar suara tawa dan obrolan yang serenyah keripik kentang. Aku masuk lewat pintu samping. Bu Rena sedang sibuk di dapur.

"Sinar, tolong buatkan empat jus jeruk. Setelah itu bersihkan kamar paling belakang, ganti dengan seprai bersih," perintah Bu Rena, dia membawa nampan berisi kue-kue yang menggugah selera.

Aku mengangguk sembari menggunakan celemek. Tidak butuh waktu lama empat jus jeruk sudah di atas nampan. Lalu, aku membawanya ke ruang tamu.

"Eh, aku dengar, Si Hendi nikah lagi."

"Oh, ya? Cepat kali. Padahal istrinya dua bulan yang lalu meninggal dunia."

"Namanya juga laki-laki, Jeng. Mana tahan kalau nggak gabruk-gabruk."

Mereka tertawa, seolah tidak ada masalah. Dengan hati-hati aku menaruh gelas-gelas jus jeruk.

"Namanya istrinya siapa?"

Perempuan berbaju serba hitam menjawab, "Yunita. Aku sempat bertemu dengannya sekali. Dia sangat glamor. Lumayan cantik karena usianya masih empat puluhan. Nggak kayak kita, udah kepala lima lebih ...."

Deg.

Namanya sama dengan Ibu. Usianya juga sama. Apakah wanita itu adalah Ibu?

"Sinar, kok berdiri di situ," tegur Bu Rena.

Aku bergegas kembali ke dapur menaruh nampan di meja. Namun, karena penasaran aku menguping pembicaraan mereka lagi.

"Besok ada perayaan di rumah Hendi Di rumah barunya. Perumahan Dahlia Hills. No 30 A."

Setelah menyimpan alamat. Aku meneruskan pekerjaan sampai tamu-tamu itu pulang. Hanya satu yang menginap. Menjelang sore aku diperbolehkan pulang. Bu Rena memberikan sisa-sisa kue, dengan senang hati aku menerimanya.

"Hati-hati di jalan, Sinar." Itu yang selalu diucapkan Bu Rena ketika aku berpamitan.

Langkahku terasa ringan menyusuri trotoar, lalu gang-gang. Tinggal di pusat kota Semarang, tetapi bukan di perumahan.

Hatiku ngilu saat melihat Rahma duduk di teras sendirian. Dia sama sekali tidak putus harapan tentang Ibu. Dia percaya Ibu akan pulang.

"Rahma ... masuk, hari udah mulai gelap."

Rahma memandangku sayu. "Kamu tahu Mbak? Aku tadi melihatmu sebagai Ibu, karena wajah kalian mirip ...."

"Masuk, yuk." Aku mengulang perkataanku.

"Kalau aku memanggil Ibu dalam hati, apa Ibu bisa mendengar?"

"Rahma ...." Aku tidak mampu melanjutkan ucapanku yang tercekal di tenggorokan. Apa aku harus membunuh harapan Rahma?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ibu, Jangan Tinggalkan Kami   Bab 26 Hello, Wife

    Aku tidak melihat Dipta di sisa acara pesta ulang tahun. Mungkin dia sudah pulang terlebih dahulu. Ada sedikit rasa kecewa merambah di sanubari. "Hei, Jomlo. Main ke rumahku aja," ajak Rhea yang berjalan di belakangku. Bian sudah pulang terlebih dahulu bersama pengasuhnya."Males. Capek. Aku mau tidur ...." sahutku seraya melepas ikatan rambut. "Pukul delapan sudah mau tidur?""Hemm, ya. Sampai jumpa." Tanpa melihat ke arah Rhea, aku melambaikan tangan kanan dan terus berjalan ke arah mobil yang terparkir.Pak Wanto lekas membuka pintu mobil. Tubuh ini pun langsung duduk di kursi belakang. "Langsung pulang, Mbak Sinar?" tanya Pak Wanto yang menyalakan mesin kendaraan."Iya, Pak."Sampai di rumah, niat hati ingin langsung rebah. Kakek Atma sudah menungguku di ruang keluarga. Katanya ingin bicara hal yang penting."Duduklah."Aku melepas sepatu, lantas menggenyakkan tubuh di atas sofa. Mungkin wajahku terlihat agak muram, karena sebenarnya sedang tidak ingin bicara tentang apa pun."

  • Ibu, Jangan Tinggalkan Kami   Bab 25 Bertemu Kembali

    Tepukan hangat mendarat di punggungku. Air hujan tidak membasahi tubuh ini, karena ada payung yang mengembang. Aku mengusap air mata dengan cepat, lalu berdiri. Ibu meraih kantong plastik yang tergeletak di bawah. Tanpa bicara kami berdua masuk ke dalam rumah.Aku langsung masuk ke kamar, baru tersadar, jaket milik Dipta masih melekat di tubuh. Perlahan aku melepas jaket tersebut, lalu menyampirkan di kursi. Kemudian rebah di atas tempat tidur, menatap langit-langit berwarna putih.Ibu masuk membawa secangkir teh. Menaruhnya di meja lampu."Apa yang terjadi?" Ibu duduk di sisi ranjang."Dipta pergi. Entah pergi ke mana ...." sahutku lirih, mengembuskan napas panjang."Mungkin memang lebih baik kalian berpisah," komentar Ibu. "Seperti katamu, bukan hanya kamu yang merasakan ganjalan. Dipta mungkin juga merasakan hal yang sama."Aku memiringkan tubuhku, rasanya aku ingin tidur. Karena dengan begitu, akan lebih mudah melupakan perasaan sedih."Semoga kalian berdua bahagia walaupun menem

  • Ibu, Jangan Tinggalkan Kami   Bab 24 Deja Vu

    [Dipta, aku terlambat datang.] Aku mengirim pesan, kemudian membimbing Ibu masuk ke taksi.Aku meminta sopir taksi supaya kembali ke rumah terlebih dahulu. Si sopir sempat protes, tetapi dia kemudian setuju setelah aku menawarkan tip lebih banyak.Setelah menempuh perjalanan lima belas menit, kami berdua sampai di rumah. Tanganku mengetuk pintu kayu beberapa kali."Lho, Mbak Sinar kok pulang lagi?" tanya Rahma begitu membuka pintu.Aku menggeser tubuhku ke kiri. Supaya Rahma bisa melihat Ibu yang berdiri di belakangku."Ibuk?" Kedua bola mata Rahma berbinar."Mulai hari ini Ibu tinggal bersama kita lagi," jelasku. "Ayo, masuk, Bu."Di dalam rumah ternyata ada Bude Yani, perempuan itu langsung memapas langkah Ibu serta mencengkeram kuat kedua bahu Ibu. "Kamu beneran sadar atau cuma pura-pura? Setelah susah akhirnya kembali ke anak-anakmu, kan?!""Mbak, aku benar-benar menyesal. Aku nggak akan mengulangi kesalahan lagi," sahut Ibu."Aku pegang kata-katamu, Yuni. Penderitaan yang telah k

  • Ibu, Jangan Tinggalkan Kami   Bab 23 Pulang

    "Halo, Dipta?""Aku akan menjemputmu. Kita ada janji dengan WO. Kamu nggak--""Aku sedang nggak enak badan. Lain hari saja.""Kamu sakit?""Iya. Aku tutup dulu, ya."Tanpa menunggu jawaban dari Dipta, aku mematikan panggilan ponsel. Menghirup udara banyak-banyak. Nyatanya tetap sesak.Saat berjalan melewati halaman belakang, aku melihat Pak Bagas yang baru datang. Alat perekam aku jejalkan di saku celana. Aku kembali ke kamar Kakek Atma. Lelaki sepuh itu sudah bangun dan duduk di kursi rodanya. Sementara Bu Wina sedang mengupas buah jeruk."Bagaimana kondisi Papa hari ini?" tanya Pak Bagas begitu memasuki kamar."Baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Kakek Atma tersenyum.Kedua mataku mengamati Pak Bagas yang duduk di samping Bu Wina. Kedua tanganku terkepal erat, ingin sekali menyerang Pak Bagas. Karena ulahnya aku kehilangan sosok Ayah."Sinar, kenapa berdiri saja di situ?" tegur Bu Wina."Aku sedang mengintai serigala kelaparan," sahutku.Pak Bagas tampak sedikit terkejut, te

  • Ibu, Jangan Tinggalkan Kami   Bab 22 Putri Mahkota

    Kakek Atma sudah siuman, menurut dokter keluarga yang memeriksa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena mengkhawatirkan Kakek, aku sampai tidak sadar bahwa Ibu sudah pergi dari rumah."Pergi kalian ...." usir Kakek Atma. "Aku tidak ingin melihat kalian berdua."Pak Bagas bersimpuh di sisi tempat tidur, memegang kaki Kakek Atma. "Yang dikatakan Yuni tidak benar, Pa. Aku bahkan tidak tahu tentang Sinar," ucap Bagas membela diri."Yuni tidak punya bukti, Pa." Bu Wina ikut bicara. "Aku yakin, Yuni disuruh Hendi menuduh suamiku. Papa harus bersikap objektif.""Pergilah, aku tidak ingin diganggu." Kakek Atma memalingkan wajahnya. "Aku menyayangimu, Pa. Papa yang membesarkanku dengan penuh kasih." Pak Bagas mencium punggung tangan Kakek Atma."Sinar, kalau ada apa-apa hubungi kami, ya," pinta Bu Wina."Iya." Aku menganggukkan kepala pelan.Aku kemudian duduk di kursi, dekat dengan tempat tidur. "Sinar, aku ingin bertemu dengan Randu. Aku takut waktuku tidak lama lagi," ucap Kakek Atma.

  • Ibu, Jangan Tinggalkan Kami   Bab 21 Skenario

    Aku kembali memastikan, di belakangku hanya ada Pak Wanto. Dan, Pak Atma masih saja menatapku dengan senyum yang merekah dan kedua matanya berkaca-kaca."Sinar, akulah keluarga ayahmu," kata Pak Atma.Rasanya sulit dipercaya. Aku benar-benar tidak dapat berkata apa pun. Semua sorot mata tertuju padaku. Hingga teriakan Pak Hendi membuatku terkaget."Papa, kamu ditipu gadis itu! Gadis miskin yang hanya suka harta!" Tangan Pak Hendi menudingku. "Dia telah mengelabui Papa.""Kamu yang mengelabuiku, Hendi! Kamu dari awal sudah mengetahui siapa Sinar. Iya, kan?!" Pak Atma juga beteriak. "Kamu tahu Yuni adalah ibu kandungnya Sinar. Kalian berdua telah bersekongkol!""Tidak! Bukan seperti itu, Pa--""Tutup mulutmu, Yuni!" Pak Atma memotong ucapan Ibu. "Kamu Ibu yang kejam, menelantarkan anak-anakmu demi harta dan laki-laki!""Dengarkan penjelasanku, Papa." Ibu memohon.Di saat drama sedang berlangsung, Pak Bagas meminta tamu supaya pulang. "Mohon maaf, pestanya sudah berakhir. Silakan pulang.

  • Ibu, Jangan Tinggalkan Kami   Bab 20 Sinar Larasati

    "Pelet? Untuk apa, Sinar?""Seperti ilmu hitam untuk mencelakakan orang, Pak," sahutku, karena aku tidak tahu kenapa Pak Atma tiba-tiba meminta rambutku. Pak Atma tersenyum, kemudian dia menjelaskan, "Sepertinya aku tahu keluarga ayahmu.""Oh, ya?" Mataku pasti terlihat sangat berbinar-binar. Mungkin saja, aku masih punya kakek dan nenek. Aku pun meraih gunting, menyerahkan beberapa helai rambut pada Pak Atma."Makanya aku ingin meminta rambutmu untuk tes DNA.""Tapi, ayahku sudah meninggal, Pak.""Dari kerabat ayahmu juga bisa, Sinar. Seperti kakek, nenek, yang masih punya hubungan kekerabatan dengan ayahmu .... Kalau bisa sekalian dengan Randu," kata Pak Atma."Randu berada di Surabaya, Pak." Aku menyahut."Kalau begitu kamu terlebih dahulu. Randu menyusul saja. Sudah sana masuk," ucap Pak Atma.Aku akhirnya menegakkan badan kembali, lalu menutup pintu mobil. Semoga saja Pak Atma tidak membohongi aku. Kendaraan roda empat itu menghilang di ujung jalan yang sempit.Lalu, jip yang ak

  • Ibu, Jangan Tinggalkan Kami   Bab 19 Halte Bus

    Aku sudah bergelung di dalam selimut, saat mendengar ketukan pada pintu. Dengan malas aku beringsut turun dari kasur. Berjalan keluar kamar, menekan sakelar lampu di dinding.Ceklek."Rahma?" Satu alisku terangkat. "Mau ambil barang atau baju?""Nggak." Rahma mendorong tubuhku pelan, dia masuk ke dalam rumah. "Ibu menyuruhku pulang. Katanya harus bantu jaga Dewa. Aku juga disuruh nurut sama Mbak Sinarnya," lanjut Rahma."Kamu sebenarnya nggak mau, kan?" tuduhku, mana mungkin Rahma mau meninggalkan Ibu begitu saja."Mau bagaimana lagi, Ibu memohon terus menerus," sahut Rahma membuatku tercengang.Rasanya sulit dipercaya Ibu sampai memohon pada Rahma. Sikap Ibu memang agak berubah. Aku memperhatikan Rahma yang sedang melepaskan sweternya, sweter yang sama persis yang diberikan Ibu untukku."Ternyata Mbak Sinar kenal dengan putranya Pak Bagas. Kalian pacaran?""Kami berteman. Dipta teman waktu sma," jawabku seraya menutup pintu."Katanya sih, Mas Dipta akan dijodohkan dengan putri seoran

  • Ibu, Jangan Tinggalkan Kami   Bab 18 Keselamatan

    Seperti yang aku janjikan semalam, aku mengirim pesan pada Dipta. [Jam berapa pestanya? Dress code?]Aku menaruh ponsel di meja, kemudian membantu Dewa memasukkan lima kaus, tiga celana pendek, dua celana panjang, dan satu kemeja ke dalam tas ransel. Dewa akan ikut Bude Yani ke Solo selama seminggu. Menjenguk anak pertamanya yang melahirkan.Ini pertama kalinya aku sendirian tanpa adik-adikku. Randu yang bertugas di Surabaya, Rahma yang memilih ikut tinggal bersama Ibu, dan Dewa--walaupun hanya seminggu--rasanya akan terasa lama. Kalau kata tetangga, Dewa itu sudah seperti anak bungsunya Bude Yani. "Sudah siap?" Bude Yani yang sudah berpakaian rapi masuk ke rumah."Sudah, Bude Ibu," sahut Dewa."Kamu nggak bakalan merindukan kami, kan?" goda Bude Yani."Nggak. Jangan lupa oleh-olehnya." Aku menutup ritsleting tas ransel. "Tumben kamu nggak protes Dewa aku ajak pergi?" Bude Yani meraih tas ransel yang aku ulurkan."Percuma protes. Bakalan kalah," ucapku, bersungut-sungut. "Dewa ingat

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status