Share

Bab 5 Pasadena

"Tunggu." Aku menggapai tangannya. "Tunggu, Pak Agus ...."

Lelaki itu mengibaskan tanganku dengan kasar. Wajahnya semasam cuka.

"Ibu mana?" tanyaku dengan napas yang terengah. "Kapan kalian--"

"Ibumu dan aku memutuskan berpisah, Sinar," ucap Pak Agus memotong ucapanku. "Sudah, jangan ganggu aku lagi. Ibumu masih di Bandung. Cari saja ke sana."

"Pak, tahu nomor ponsel Ibu?"

"Ibumu gonta-ganti nomor ponsel seperti gonta-ganti suami," jawabnya sinis. "Untung aku tidak mau nikah sah, hanya siri."

Aku hanya bisa memperhatikan Pak Agus yang berjalan menjauh. Makin lama makin mengecil, dan hilang ditikungan gang.

Kedua kakiku pun melanjutkan langkah dengan gontai. Pertanyaan hilir mudik di kepala. Mengapa baru satu bulan sudah berpisah? Lalu, di mana keberadaan Ibu? Apakah kami berempat memang sudah dilupakan untuk selamanya?

Sampai di rumah aku menurunkan Dewa. Lantas duduk di bangku panjang di teras. Meluruskan kaki yang lelah. Aku mengamati Randu yang sedang memilah barang rongsokan.

"Aku tadi bertemu Pak Agus, dia bilang sudah berpisah dengan Ibu," ucapku.

"Hemmm ...." Randu hanya bergumam.

"Tapi, Ibu kok nggak pulang, ya ...?"

"Mbak Sinar." Randu menatapku tajam. "Nggak usah mikirin Ibu lagi. Kita pikirkan masa depan kita. Ibu sudah membuat pilihan pergi meninggalkan kita. Buang jauh harapan Ibu akan pulang."

Aku menghela napas pelan. Setiap kali membicarakan Ibu, Randu memilih diam. 

"Aku ingin Ibu pulang, Mas!" Rahma yang duduk di sudut teras ikut bicara.

"Terserah kalian, hidup dalam harapan semu," sahut Randu, cuek.

Aku mendekati Rahma yang terisak. Duduk di sebelahnya, merengkuh bahunya yang bergetar. 

"Aku tahu Ibu tega dengan kita. Tapi, aku merindukan Ibu. Aku kangen masakannya, Mbak. Bolehkan aku terus berharap bahwa suatu hari nanti Ibu pulang?" kata Rahma, air mata luruh di pipinya.

"Iya, boleh banget ...." sahutku lirih.

"Aku akan duduk di sini setiap sore menunggu Ibu pulang," imbuh Rahma, seraya mengusap pipi basahnya dengan punggung tangan.

***

Siang itu. Setelah lima bulan berlalu, Randu mengutarakan niatnya ingin mendaftar sebagai calon anggota TNI AD setelah lulus SMA. Hampir setiap sore dia berolahraga lari dan belajar hingga larut malam supaya nilai mata pelajarannya bagus.

"Doakan aku berhasil, Mbak."

"Pasti." Aku mengembangkan senyum. "Tetapi, jika tidak berhasil kamu jangan sedih ya?"

"Ya, pasti sedih, Mbak. Tapi, jangan khawatir ... aku kuat karena sudah pernah mengalami hal yang paling menyedihkan," kata Randu. 

Tentu saja hal yang paling menyedihkan adalah kepergian Ibu, yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Kehidupan kami pun masih terseok-seok. Karena penghasilanku yang tidak bisa menutupi semua kebutuhan.

"Seandainya aku berhasil, gantian Mbak Sinar yang menggapai cita-cita. Mbak bisa melanjutkan kejar paket C." Binar mata Randu terlihat sangat optimis dengan rencananya.

Obrolan kami berhenti saat ponselku berdering. Nama Bu Rena menari di layar perangkat elektronik tersebut.

"Halo, Bu."

"Sinar, aku tahu kamu libur hari ini. Apakah kamu bisa datang ke rumah? Aku akan membayarmu seratus ribu. Ya, anggap saja uang lembur. Karena di rumah ada beberapa teman yang datang ...." kata Bu Rena panjang lebar.

Tanpa berpikir lama-lama, aku langsung menyanggupi. "Saya akan segera datang."

"Aku tunggu ya, Sinar." Panggilan telepon seluler dimatikan oleh Bu Rena.

"Randu, apa Mbak bisa titip Dewa?"

"Apaan sih, Mbak? Memangnya Dewa itu adikku, bukan barang. Aku pasti mau menjaganya," sahut Randu.

"Terima kasih." Aku mengacak rambut Randu.

Setelah berganti baju dengan pakaian yang lebih bersih dan sopan. Aku segera menuju rumah Bu Rena, yang ditempuh sekitar dua puluh menit dengan berjalan kaki.

Di halaman rumah Bu Rena berjejer tiga mobil. Dari luar terdengar suara tawa dan obrolan yang serenyah keripik kentang. Aku masuk lewat pintu samping. Bu Rena sedang sibuk di dapur.

"Sinar, tolong buatkan empat jus jeruk. Setelah itu bersihkan kamar paling belakang, ganti dengan seprai bersih," perintah Bu Rena, dia membawa nampan berisi kue-kue yang menggugah selera.

Aku mengangguk sembari menggunakan celemek. Tidak butuh waktu lama empat jus jeruk sudah di atas nampan. Lalu, aku membawanya ke ruang tamu.

"Eh, aku dengar, Si Hendi nikah lagi."

"Oh, ya? Cepat kali. Padahal istrinya dua bulan yang lalu meninggal dunia."

"Namanya juga laki-laki, Jeng. Mana tahan kalau nggak gabruk-gabruk."

Mereka tertawa, seolah tidak ada masalah. Dengan hati-hati aku menaruh gelas-gelas jus jeruk.

"Namanya istrinya siapa?"

Perempuan berbaju serba hitam menjawab, "Yunita. Aku sempat bertemu dengannya sekali. Dia sangat glamor. Lumayan cantik karena usianya masih empat puluhan. Nggak kayak kita, udah kepala lima lebih ...."

Deg.

Namanya sama dengan Ibu. Usianya juga sama. Apakah wanita itu adalah Ibu?

"Sinar, kok berdiri di situ," tegur Bu Rena.

Aku bergegas kembali ke dapur menaruh nampan di meja. Namun, karena penasaran aku menguping pembicaraan mereka lagi.

"Besok ada perayaan di rumah Hendi Di rumah barunya. Perumahan Dahlia Hills. No 30 A."

Setelah menyimpan alamat. Aku meneruskan pekerjaan sampai tamu-tamu itu pulang. Hanya satu yang menginap. Menjelang sore aku diperbolehkan pulang. Bu Rena memberikan sisa-sisa kue, dengan senang hati aku menerimanya.

"Hati-hati di jalan, Sinar." Itu yang selalu diucapkan Bu Rena ketika aku berpamitan.

Langkahku terasa ringan menyusuri trotoar, lalu gang-gang. Tinggal di pusat kota Semarang, tetapi bukan di perumahan.

Hatiku ngilu saat melihat Rahma duduk di teras sendirian. Dia sama sekali tidak putus harapan tentang Ibu. Dia percaya Ibu akan pulang.

"Rahma ... masuk, hari udah mulai gelap."

Rahma memandangku sayu. "Kamu tahu Mbak? Aku tadi melihatmu sebagai Ibu, karena wajah kalian mirip ...."

"Masuk, yuk." Aku mengulang perkataanku.

"Kalau aku memanggil Ibu dalam hati, apa Ibu bisa mendengar?"

"Rahma ...." Aku tidak mampu melanjutkan ucapanku yang tercekal di tenggorokan. Apa aku harus membunuh harapan Rahma?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status