"Tunggu." Aku menggapai tangannya. "Tunggu, Pak Agus ...."
Lelaki itu mengibaskan tanganku dengan kasar. Wajahnya semasam cuka.
"Ibu mana?" tanyaku dengan napas yang terengah. "Kapan kalian--"
"Ibumu dan aku memutuskan berpisah, Sinar," ucap Pak Agus memotong ucapanku. "Sudah, jangan ganggu aku lagi. Ibumu masih di Bandung. Cari saja ke sana."
"Pak, tahu nomor ponsel Ibu?"
"Ibumu gonta-ganti nomor ponsel seperti gonta-ganti suami," jawabnya sinis. "Untung aku tidak mau nikah sah, hanya siri."
Aku hanya bisa memperhatikan Pak Agus yang berjalan menjauh. Makin lama makin mengecil, dan hilang ditikungan gang.
Kedua kakiku pun melanjutkan langkah dengan gontai. Pertanyaan hilir mudik di kepala. Mengapa baru satu bulan sudah berpisah? Lalu, di mana keberadaan Ibu? Apakah kami berempat memang sudah dilupakan untuk selamanya?
Sampai di rumah aku menurunkan Dewa. Lantas duduk di bangku panjang di teras. Meluruskan kaki yang lelah. Aku mengamati Randu yang sedang memilah barang rongsokan.
"Aku tadi bertemu Pak Agus, dia bilang sudah berpisah dengan Ibu," ucapku.
"Hemmm ...." Randu hanya bergumam.
"Tapi, Ibu kok nggak pulang, ya ...?"
"Mbak Sinar." Randu menatapku tajam. "Nggak usah mikirin Ibu lagi. Kita pikirkan masa depan kita. Ibu sudah membuat pilihan pergi meninggalkan kita. Buang jauh harapan Ibu akan pulang."
Aku menghela napas pelan. Setiap kali membicarakan Ibu, Randu memilih diam.
"Aku ingin Ibu pulang, Mas!" Rahma yang duduk di sudut teras ikut bicara.
"Terserah kalian, hidup dalam harapan semu," sahut Randu, cuek.
Aku mendekati Rahma yang terisak. Duduk di sebelahnya, merengkuh bahunya yang bergetar.
"Aku tahu Ibu tega dengan kita. Tapi, aku merindukan Ibu. Aku kangen masakannya, Mbak. Bolehkan aku terus berharap bahwa suatu hari nanti Ibu pulang?" kata Rahma, air mata luruh di pipinya.
"Iya, boleh banget ...." sahutku lirih.
"Aku akan duduk di sini setiap sore menunggu Ibu pulang," imbuh Rahma, seraya mengusap pipi basahnya dengan punggung tangan.
***
Siang itu. Setelah lima bulan berlalu, Randu mengutarakan niatnya ingin mendaftar sebagai calon anggota TNI AD setelah lulus SMA. Hampir setiap sore dia berolahraga lari dan belajar hingga larut malam supaya nilai mata pelajarannya bagus.
"Doakan aku berhasil, Mbak."
"Pasti." Aku mengembangkan senyum. "Tetapi, jika tidak berhasil kamu jangan sedih ya?"
"Ya, pasti sedih, Mbak. Tapi, jangan khawatir ... aku kuat karena sudah pernah mengalami hal yang paling menyedihkan," kata Randu.
Tentu saja hal yang paling menyedihkan adalah kepergian Ibu, yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Kehidupan kami pun masih terseok-seok. Karena penghasilanku yang tidak bisa menutupi semua kebutuhan.
"Seandainya aku berhasil, gantian Mbak Sinar yang menggapai cita-cita. Mbak bisa melanjutkan kejar paket C." Binar mata Randu terlihat sangat optimis dengan rencananya.
Obrolan kami berhenti saat ponselku berdering. Nama Bu Rena menari di layar perangkat elektronik tersebut.
"Halo, Bu."
"Sinar, aku tahu kamu libur hari ini. Apakah kamu bisa datang ke rumah? Aku akan membayarmu seratus ribu. Ya, anggap saja uang lembur. Karena di rumah ada beberapa teman yang datang ...." kata Bu Rena panjang lebar.
Tanpa berpikir lama-lama, aku langsung menyanggupi. "Saya akan segera datang."
"Aku tunggu ya, Sinar." Panggilan telepon seluler dimatikan oleh Bu Rena.
"Randu, apa Mbak bisa titip Dewa?"
"Apaan sih, Mbak? Memangnya Dewa itu adikku, bukan barang. Aku pasti mau menjaganya," sahut Randu.
"Terima kasih." Aku mengacak rambut Randu.
Setelah berganti baju dengan pakaian yang lebih bersih dan sopan. Aku segera menuju rumah Bu Rena, yang ditempuh sekitar dua puluh menit dengan berjalan kaki.
Di halaman rumah Bu Rena berjejer tiga mobil. Dari luar terdengar suara tawa dan obrolan yang serenyah keripik kentang. Aku masuk lewat pintu samping. Bu Rena sedang sibuk di dapur.
"Sinar, tolong buatkan empat jus jeruk. Setelah itu bersihkan kamar paling belakang, ganti dengan seprai bersih," perintah Bu Rena, dia membawa nampan berisi kue-kue yang menggugah selera.
Aku mengangguk sembari menggunakan celemek. Tidak butuh waktu lama empat jus jeruk sudah di atas nampan. Lalu, aku membawanya ke ruang tamu.
"Eh, aku dengar, Si Hendi nikah lagi."
"Oh, ya? Cepat kali. Padahal istrinya dua bulan yang lalu meninggal dunia."
"Namanya juga laki-laki, Jeng. Mana tahan kalau nggak gabruk-gabruk."
Mereka tertawa, seolah tidak ada masalah. Dengan hati-hati aku menaruh gelas-gelas jus jeruk.
"Namanya istrinya siapa?"
Perempuan berbaju serba hitam menjawab, "Yunita. Aku sempat bertemu dengannya sekali. Dia sangat glamor. Lumayan cantik karena usianya masih empat puluhan. Nggak kayak kita, udah kepala lima lebih ...."
Deg.
Namanya sama dengan Ibu. Usianya juga sama. Apakah wanita itu adalah Ibu?
"Sinar, kok berdiri di situ," tegur Bu Rena.
Aku bergegas kembali ke dapur menaruh nampan di meja. Namun, karena penasaran aku menguping pembicaraan mereka lagi.
"Besok ada perayaan di rumah Hendi Di rumah barunya. Perumahan Dahlia Hills. No 30 A."
Setelah menyimpan alamat. Aku meneruskan pekerjaan sampai tamu-tamu itu pulang. Hanya satu yang menginap. Menjelang sore aku diperbolehkan pulang. Bu Rena memberikan sisa-sisa kue, dengan senang hati aku menerimanya.
"Hati-hati di jalan, Sinar." Itu yang selalu diucapkan Bu Rena ketika aku berpamitan.
Langkahku terasa ringan menyusuri trotoar, lalu gang-gang. Tinggal di pusat kota Semarang, tetapi bukan di perumahan.
Hatiku ngilu saat melihat Rahma duduk di teras sendirian. Dia sama sekali tidak putus harapan tentang Ibu. Dia percaya Ibu akan pulang.
"Rahma ... masuk, hari udah mulai gelap."
Rahma memandangku sayu. "Kamu tahu Mbak? Aku tadi melihatmu sebagai Ibu, karena wajah kalian mirip ...."
"Masuk, yuk." Aku mengulang perkataanku.
"Kalau aku memanggil Ibu dalam hati, apa Ibu bisa mendengar?"
"Rahma ...." Aku tidak mampu melanjutkan ucapanku yang tercekal di tenggorokan. Apa aku harus membunuh harapan Rahma?
"Ibu nggak pergi ke pesta?" tanyaku pada Bu Rena yang sedang membaca novel. Sebenarnya aku sedang mencari tahu jam berapa pestanya dimulai.Perempuan itu menoleh, memandangku dari balik kacamatanya. "Pesta apa, Sinar?""Oh, itu kemarin, saya dengar ada teman Ibu yang menikah," jawabku, lalu menyunggingkan senyum kaku. Pandangan Bu Rena kembali pada buku. "Malas," ujarnya singkat."Oh, karena malam ya, Bu?" Aku mengelap kaca dengan cepat. Berharap ada informasi."Pestanya siang ini. Aku lebih baik tidur, daripada datang ke pesta .... Aku tidak suka Hendi, dia agak arogan," ungkap Bu Rena. "Lagi pula kami tidak berteman."Aku tidak bertanya lagi. Menatap kaca jendela di hadapanku. Aku penasaran dengan sosok istri Hendi dan aku harus mendatangi pesta. "Sinar, ada beras lima kilo dan gula pasir di kantong plastik ungu. Ada di dapur, bawa saja kalau pulang," ucap Bu Rena."Saya bawa besok saja, Bu. Soalnya hari ini saya disuruh Bude saya mampir ke pasar, beli terigu." Aku berbohong, tida
"Aku ingin bicara dengan kalian." Ibu mendorong tubuh Rahma dengan pelan, kemudian duduk di kursi. Ibu sama sekali tidak menanyakan kabar kami. Aku melihat Ibu seperti nyonya kelas atas yang angkuh. Aku tetap berdiri, begitu pun dengan Randu, yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu kamar. Hanya Rahma yang ikut duduk."Ini untuk kalian," ucap Ibu, meletakkan amplop cokelat di atas meja. "Uang dua puluh juta. Cukup, kan?""Cukup untuk melunasi hutang Ibu," sahutku."Baguslah kalau begitu." Ibu menatapku tajam. "Sinar, jangan pernah datang ke rumah dan mengaku sebagai anakku. Aku bukan Yunita yang dulu.""Ibu datang hanya untuk mengatakan itu?" Aku mengusap air mata yang jatuh di pipi."Ya. Karena aku sudah punya kehidupan baru." Ibu beranjak dari kursi. "Aku pergi dulu.""Pergi dan jangan pernah kembali, Bu!" Aku beteriak keras, menggema di ruangan sempit.Ibu keluar rumah seolah tanpa beban dan rasa bersalah. Rahma berlari menyusul Ibu. "Rahma!" panggilku, tetapi Rahma tidak
Aku menaruh uang sejumlah lima belas juta di atas meja. Bu Kumala mengambilnya dan mulai menghitung uang. Selesai menghitung uang, Bu Kumala mengembalikan sertifikat rumah. "Aku dengar, ibumu sudah menikah dengan orang kaya," ucapnya."Saya nggak tahu tentang itu," sahutku, mendekap sertifikat rumah."Mungkin, keinginan ibumu sudah terwujud, Sinar. Yakni menikah dengan pria kaya raya," imbuh Bu Kumala. "Ibumu akan berhenti berburu kali ini."Kata-kata Bu Kumala cukup menyakitkan, seolah ibu sedang mencari mangsa. Tetapi, kenyataannya memang seperti itu."Sungguh disayangkan, Yuni mengabaikan kalian. Semoga kalian berempat menjadi anak-anak yang sukses.""Aamiin. Saya permisi dulu, Bu."Aku bergegas melangkah keluar dari rumah besar Bu Kumala. Menyeberangi jalan besar, kemudian menyusuri gang.Seperti biasa, Randu berada di teras rumah. Berkutat dengan barang-barang bekas. Dewa kecil ikut membantu kakaknya, walaupun sering salah."Randu ...."Randu menoleh, dia memandang sertifikat ru
Aku meregangkan tubuh yang terasa lelah sekali seusai mengangkat perabot katering ke dalam mobil box. Dan, yang paling aku tunggu adalah upah yang diberikan pada waktu terakhir. Waktu sudah bergeser cukup larut saat semua pekerjaan selesai. Aku menyempatkan duduk di kursi taman untuk istirahat sejenak. Mengganti sepatu kebesaran dengan sandal jepit. "Kenapa kamu masih di sini? Tuh, yang lain sudah pada pulang." Aku menoleh. "Eh, Nyonya lagi ... ini juga mau pulang," sahutku seraya memasukkan sepatu ke kantong plastik. "Aku akan memberikan uang, tetapi jangan muncul dihadapanku," pinta Ibu dengan arogan. "Uang?" Aku beranjak dari duduk, berdiri berhadapan dengan Ibu. "Saya nggak butuh uang dari Anda, Nyonya. Terima kasih banyak. Satu lagi, jangan mengatur saya." "Dengan uang kita bisa mendapatkan apa pun, Sinar." "Dan, uang juga bisa membuat nurani seorang Ibu terbakar. Menyisakan ketamakan." "Keras kepala." Geram Ibu. "Aku bisa mencukupi kehidupan kalian, Sinar. Kamu nggak usa
Sampai di dapur, Bu Asri menyuruhku mencuci peralatan masak dan makan. Aku sempat mengagumi dapur yang cukup luas dengan jendela-jendela besar. "Bu Asri, yang tinggal di rumah ini berapa anggota keluarga? Itu tadi siapa saja?" tanyaku seraya membasuh piring dengan air yang mengalir."Pak Atma dengan kedua putra tirinya. Pak Hendi dan Pak Bagas. Yang perempuan menantunya Bu Yunita. Pak Bagas tidak tinggal di sini," jelas Bu Asri."Nggak punya putra kandung, ya?" Aku masih penasaran."Sudah meninggal dan yang satu menghilang. Sudah kerjakan pekerjaanmu jangan banyak tanya. Itu urusan keluarga mereka." Bu Asri berkata dengan nada agak ketus.Aku pun melanjutkan pekerjaan, sesekali melihat ke luar jendela. Memandang langit yang membiru."Jadi ... dahulu kala. Dari pernikahan pertama, Pak Atma punya dua anak. Beberapa tahun kemudian setelah istrinya meninggal dunia, Pak Atma menikah yang kedua kalinya dengan janda yang juga mempunyai dua orang anak ...."Kepalaku menoleh ke belakang, mema
Jus mangga itu berbecak kuning pada buku dan meja. Ibu seperti anak kecil, tertunduk dalam saat mertuanya marah."Kenapa Papa berteriak pada istriku?" tegur Pak Hendi yang berjalan menuruni undakan anak tangga."Lihat, bukuku kena muncratan jus," kata Pak Atma."Bisa beli yang baru, Pa. Gitu saja dipermasalahkan." Pak Hendi berdiri di samping Ibu."Itu buku cetakan pertama, Hen!" Urat-urat di rahang keriput Pak Atma nampak tercetak jelas. Kemarahan menguasai lelaki lanjut usia itu."Tetapi, tidak perlu teriak, Pa .... Itu hanya buku," sahut Pak Hendi dengan entengnya."Seharusnya kamu tidak menikahi perempuan itu. Kampungan," ujara Pak Atma.Aku menatap Ibu, ekspresinya berubah jadi marah. Tetapi, sepertinya Ibu tidak mampu mengeluarkan amarahnya."Papa, cukup. Aku dulu menuruti Papa saat dijodohkan. Walaupun Papa bukan ayah kandungku, aku sangat menghormati Papa," pungkas Pak Hendi, menarik Ibu pergi dari ruang keluarga.Tangan kananku meraih tisu, mengelap dengan perlahan noda pada
"Sinar." Rahang Ibu tampak mengeras. Matanya nyalang menatapku. Ibu, bukan Ibu yang dulu, walaupun dulu sering abai, tapi dia tidak pernah terlihat sangat marah seperti sekarang. Ibu berubah karena harta."Permisi, Nyonya." Aku berlalu dari hadapan Ibu. Berjalan sangat pelan kembali ke dapur.Aku termangu di bibir pintu dapur. Melihat Dewa yang menoleh ke arahku. Dia tersenyum. Aku berharap, hari segera berlalu. Demi kebaikan Dewa, semoga Ibu mengurung diri di kamar terus sampai kami pulang. Aku tidak ingin Dewa mengalami penolakan."Sudah kamu antar?" tanya Bu Asri yang baru keluar dari kamar mandi."Sudah.""Kalau kamu sudah selesai dengan tugas dari Pak Atma, bersihkan kamar yang berhadapan dengan kamar Bu Nyonya. Ganti seprai dan sarung bantal," perintah Bu Asri."Bu Nyonya?""Kamu, kan, manggil Nyonya. Aku manggilnya Bu. Jadi, aku gabungkan saja." Bu Asri tersenyum lebar, sehingga kerut-kerut di wajahnya berlipat lebih banyak. "Akan segera aku laksanakan ....""Eh, Sinar. Aku k
"Mbak Sinar, Mas Randu baru saja keluar. Katanya mau beli pensil," ucap Rahma, begitu aku masuk ke rumah."Nggak apa-apa, Rahma," sahutku. "Mau cokelat?"Rahma mengambil cokelat dari tanganku, dia langsung melahapnya. "Eh, tapi, Mas Randu pinjam motor temannya, biasanya juga jalan kaki," ungkap Rahma."Motornya siapa?""Itu milik Bang Reza."Randu keluar rumah bukan untuk beli pensil, dia pasti ke rumah Pak Atma. Karena tadi aku sempat memberitahu alamat rumahnya. Semoga saja dugaanku salah. Aku khawatir jika Randu bertemu dengan Ibu."Rahma, kunci pintunya. Aku mau nyusul Randu." Aku ke kamar terlebih dahulu, mengambil jaket di lemari pakaian. Dewa tampak sudah lelap di atas pembaringan."Jangan lama-lama ya, Mbak. Aku takut sendirian." Rahma sedikit mengerucutkan bibirnya."Maaf, ya ... nggak akan lama, kok."Kedua kakiku melangkah keluar rumah sembari mengenakan jaket. Dengan menggunakan jasa ojek online aku menuju rumah Pak Atma.Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas men