Langit sore itu mendung. Awan menggantung rendah di atas kompleks perumahan padat di daerah Cibinong. Bau hujan menggantung di udara saat Arven menarik koper hitamnya melewati jalan kecil yang dipenuhi pohon mangga, jemuran, dan suara burung murai yang dikurung di teras rumah warga.
Di ujung jalan, berdiri rumah dua lantai berwarna hijau pucat dengan pagar besi sederhana. Plang kayu kecil tergantung di sisi gerbang: “Kos Eksklusif Putra – Ny. Ravika” Arven berhenti sejenak, mengusap peluh dari keningnya. Ia mengenakan hoodie abu-abu, celana jeans pudar, dan ransel hitam. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya tetap awas. Ia menekan bel yang terdengar nyaring di dalam rumah. Tak lama kemudian, pintu kayu terbuka. Dan di sanalah ia berdiri. Ravika. Perempuan muda berambut sebahu, pirang karamel, dengan kulit bening dan tatapan yang sulit ditebak. Ia mengenakan daster abu-abu tipis dengan motif bunga samar. Daster itu menggantung longgar di tubuhnya, namun tidak sepenuhnya menyembunyikan lekuk-lekuk yang membuat Arven refleks menundukkan pandangan. Ada getaran aneh di dadanya yang belum pernah ia rasakan pada pertemuan pertama dengan siapa pun. “Arven, ya?” tanyanya lembut. “Iya, Bu.” Suaranya agak serak. “Jangan panggil saya ‘Bu’. Saya masih 29 tahun, bukan nenek-nenek,” ujarnya sambil tersenyum tipis. Senyum itu seperti menyambar langsung ke dada Arven, membuatnya kehilangan kata-kata sesaat sebelum akhirnya mengangguk kaku. “Mari, saya antar ke kamar.” Mereka berjalan menyusuri lorong kecil menuju kamar di paling ujung. Rumah itu terasa sepi, hanya terdengar suara jam dinding berdetak dan angin sore yang menyelusup lewat ventilasi. Langkah Ravika yang tenang di depannya entah kenapa membuat Arven memperhatikan setiap gerakannya—daster abu-abu itu bergoyang pelan mengikuti irama langkahnya, seolah tanpa sengaja memancing pikirannya. “Kamar kamu ini agak jauh dari kamar penghuni lain. Di lantai bawah cuma ada dua kamar: satu kosong, satu lagi ini,” kata Ravika sambil membuka pintu. Ruangan itu bersih. Ada tempat tidur single, lemari kayu, meja belajar, dan jendela yang menghadap ke taman kecil di belakang rumah. Sepintas sederhana, tapi nyaman. “Kalau mau air panas, pakai pemanas di kamar mandi luar. Jangan lupa matikan setelah pakai. Dan kalau kamu dengar suara-suara aneh dari dapur malam-malam…” Ravika menatapnya agak lama, bibirnya terangkat sedikit seperti menahan senyum. “Abaikan saja.” Arven sempat menatapnya penuh tanya, tapi tak bertanya lebih lanjut. “Ada penghuni lain?” ia akhirnya bertanya. “Cuma dua lagi. Anak magang dari bengkel dekat sini, dan satunya kuliah malam. Mereka jarang di rumah. Biasanya kamu bakal sering sendirian di lantai ini.” Arven mengangguk pelan. Setelah Ravika meninggalkan kamar, ia mulai menata barangnya. Namun pikirannya belum tenang. Ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahunya—dan itu bukan cuma dari daster tipis ibu kosnya. --- Malamnya, Arven memutuskan keluar membeli makan. Saat kembali, rumah sudah gelap. Hanya lampu di dekat dapur yang menyala samar. Ia berjalan pelan melewati lorong menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti. Suara. Seperti kursi yang ditarik pelan. Dari arah dapur. Ia menoleh. Dapur berada di pojok rumah, hanya diterangi lampu temaram. Tak ada orang. Tapi suara itu jelas tadi. Ia berjalan pelan mendekat. Di atas meja makan, sebuah gelas tampak bergeser sendiri. Tidak jauh. Tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri. “Arven?” suara lembut itu mengejutkannya dari belakang. Ia menoleh cepat. Ravika berdiri tak jauh dari sana. Masih mengenakan daster abu-abu, rambutnya kini terurai lebih longgar, matanya redup. “Kamu ngapain?” tanyanya pelan. “Tadi… saya dengar suara.” Ravika tersenyum samar. “Oh. Kamu memang bisa dengar, ya…” Arven mematung. “Maksudnya?” Ravika tidak menjawab. Ia hanya berjalan pelan ke arah dapur, mengambil gelas, dan mencucinya di wastafel seolah tak terjadi apa-apa. “Kamar kamu cukup hangat?” tanyanya sambil membelakangi Arven. “Iya,” jawab Arven, meski kini tengkuknya terasa dingin. “Bagus. Tidurlah. Besok kamu pasti lelah.” Ia menoleh sebentar. Senyumnya tetap ada, tapi tatapannya mengarah ke luar jendela dapur. Kosong. Diam. Arven berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah hati-hati. Setiba di kasur, ia merebahkan diri, tapi matanya tetap terbuka menatap langit-langit. Ibu kos ini… bukan perempuan biasa. Bukan hanya karena misterinya, tapi juga karena setiap senyumnya seolah menyimpan rahasia yang membuat Arven ingin memecahkannya—meski itu berarti ia harus semakin dekat dengannya. ---Malam kembali menutup langit dengan tirai gelap. Sejak insiden pria asing yang datang membawa pesan dari Bayu, Ravika nyaris tak bisa tidur. Di kamarnya, ia duduk bersandar di kursi dengan pistol kecil tergeletak di meja. Setiap suara dari luar, bahkan sekecil ranting jatuh, membuatnya tersentak.Tiga hari. Itulah tenggat yang ditulis Bayu di balik foto tua itu. Dan malam ini, satu hari sudah berlalu. Dua hari tersisa sebelum pria itu datang sendiri.Ravika memijat pelipisnya. Sejak ia melarikan diri tujuh tahun lalu, Bayu tak pernah berhenti menghantui pikirannya. Ia tahu, jika Bayu benar-benar muncul, itu bukan sekadar pertemuan lama. Itu adalah hukuman.---Arven mengetuk pintu kamar, kali ini lebih pelan dibanding sebelumnya. “Bu Ravika? Boleh saya masuk sebentar?”Ravika menoleh, menimbang apakah sebaiknya ia menolak. Tapi akhirnya ia mengangguk, membuka pintu. Arven masuk dengan wajah masih pucat, meski luka di pelipisnya sudah ia tutup dengan plester.“Bagaimana kabarmu?” tanya
Langkah-langkah kecil bergema di trotoar basah pagi itu. Udara dingin sisa hujan semalam masih menusuk kulit. Ravika berjalan cepat dengan hood jaket menutupi kepalanya, sementara Arven setengah berlari di belakang, membawa ransel kecil yang tampak terlalu ringan untuk perjalanan yang bisa jadi berbahaya.“Bu, kita yakin ini jalannya?” tanya Arven sambil menyesuaikan langkah.“Tidak ada jalan lain,” jawab Ravika singkat, matanya lurus ke depan. “Kalau kita cuma menunggu, Bayu akan menemukan kita. Kita harus mendahului.”Mereka menuju terminal kecil di pinggir kota. Tujuannya bukan lari jauh, tapi mencari seseorang—Rendra Prakoso. Nama itu muncul di kepingan ingatan Ravika semalam. Rendra dulu adalah tangan kanan Bayu, tapi konon ia sempat berselisih dan menghilang setelah penggerebekan gudang bertahun lalu.Jika ada orang yang tahu kelemahan Bayu, Rendra adalah kunci itu.---Bus ekonomi tua akhirnya membawa mereka ke kota sebelah. Jalanan lengang, hanya sesekali klakson mobil terdeng
Pagi di kos Ravika terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang sudah naik, tapi hawa dingin dari hujan semalam masih tertinggal. Ravika duduk di ruang tamu, menatap kosong ke cangkir teh yang sudah dingin. Di meja, amplop berisi foto masa lalunya tergeletak, seakan menjadi pengingat bahwa waktu mereka sedang dihitung mundur.Arven datang dari arah kamar, wajahnya pucat dengan perban kecil di pelipis. Luka akibat benturan semalam masih terlihat jelas, tapi sorot matanya penuh tekad.“Bu, kita nggak bisa nunggu. Tiga hari itu bukan waktu lama,” katanya sambil menarik kursi dan duduk berhadapan.Ravika menghela napas panjang. “Arven, kau bahkan belum pulih. Luka kecil bisa menjerumuskanmu pada masalah besar kalau kita gegabah. Bayu bukan musuh biasa. Orang-orang yang dia kirimkan semalam saja sudah cukup menunjukkan siapa yang kita hadapi.”Arven mengepalkan tangan di atas meja. “Justru karena itu kita harus bergerak. Kalau kita diem aja, mereka yang bakal datang nyerang duluan. Sa
Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah yang masih menggantung di udara. Lorong kos sepi, hanya suara tetesan air dari atap seng yang pecah. Namun Ravika masih duduk di kegelapan kamarnya, jari-jarinya menggenggam pistol kecil itu erat-erat, seolah benda itu satu-satunya yang bisa melindunginya dari bayangan masa lalu. Lalu, suara langkah kaki terdengar. Pelan, mantap, tidak terburu-buru—seolah pemiliknya tahu persis kemana ia akan menuju. Setiap langkah membuat jantung Ravika berdegup lebih kencang. Ketukan pertama terdengar. Tok… tok… tok… Suara itu menembus kesunyian malam, membuat dada Ravika terasa sesak. “Bu Ravika?” suara berat dan dalam terdengar dari balik pintu. Bukan Bayu. Bukan juga Arven. Orang asing. Ravika terdiam, menahan napas. Ia tahu betul trik semacam ini—menggunakan suara orang lain untuk memancingnya membuka pintu. “Bu… saya diminta menitipkan paket. Katanya penting,” suara itu melanjutkan, terdengar tenang tapi terlalu dingin untuk seorang kurir
Malam di kos itu begitu sunyi. Hanya suara tetesan air dari talang yang pecah terdengar, jatuh berulang kali ke tanah becek, memecah kesenyapan. Lampu jalan redup di luar memantulkan bayangan samar di dinding kamar. Ravika duduk bersandar pada tembok dingin, lutut tertekuk, tubuhnya terbalut selimut tipis. Matanya kosong, menatap jauh, tapi pikirannya terus berputar.Wajah pria bertopeng itu muncul lagi di benaknya. Tatapan dingin itu—tajam, menghujam hingga ke dasar hatinya. Ia tahu persis siapa yang bersembunyi di balik topeng itu. Dan kesadaran itu membuat bulu kuduknya berdiri. Jika Bayu benar-benar sudah menemukannya, berarti waktunya hampir habis.Dengan tangan gemetar, Ravika meraih laci meja dan mengeluarkan sebuah foto lama. Pinggirannya sudah lusuh, warnanya mulai pudar. Di foto itu, ia masih remaja, belasan tahun, tersenyum kaku di samping seorang pria tinggi berwajah keras. Di belakang mereka berdiri sebuah gudang tua, berdinding besi berkarat. Pria itu adalah Bayu Adikara
Hujan sudah mereda, tapi langit masih bergelayut kelabu. Dari jendela kamarnya yang sempit, Arven memandangi jalan gang yang becek dan sepi. Genangan air memantulkan cahaya kuning lampu jalan, berkilau seperti serpihan kaca yang pecah. Udara malam begitu lembap, menusuk hingga ke tulang, membuatnya sulit bernapas lega.Seharusnya ia bisa tidur malam ini. Tubuhnya letih, tapi pikirannya berputar liar. Kata-kata Ravika terus terngiang, berulang-ulang, seperti gema yang menolak pergi:“Semakin kau tahu, semakin berbahaya semuanya.”Arven menghela napas berat. Ia tahu Ravika tak sembarangan mengucapkannya. Wanita itu pasti menyimpan sesuatu yang lebih gelap daripada sekadar bayangan masa lalu.Ia duduk di depan meja kecil, laptop terbuka. Cahaya layar biru pucat menjadi satu-satunya penerang di kamar itu, membuat bayangannya sendiri terlihat samar di dinding yang lembap. Dengan jari gemetar, ia mulai mengetik: Pemerasan, daerah asal Ravika, tujuh tahun lalu.Hasil pencarian bermunculan. P