Share

Part 2

last update Last Updated: 2023-12-11 15:32:53

“Kamu itu kalau bikin makanan, kasih tau ibu apa-apa aja namanya. Jangan sampai bikin ibu malu.” Ucapnya kesal ketika acara pengajian sudah selesai.

Lagi-lagi aku yang disalahkan. Aku berpikir dia akan memuji masakan atau kue yang kubuat. Tapi itu tak mungkin terjadi. Ia memang selalu mengakui apapun hasil masakanku menjadi masakannya. Padahal tak sekalipun ia ikut bersusah payah di dapur.

Aku dan Mas Didik hanya bisa menghela napas panjang mendengar omelannya yang tak berujung. Seperti biasa pula, selesai acara aku dan suamiku yang harus berberes dengan piring kotor dan membersihkan ambal bekas pengajian.

Aku dan suamiku sudah selayaknya pembantu di rumah ini, Sementara Farah juga anak-anak lainnya tak ada yang mau membantu, setelah kenyang maka mereka masing-masing langsung masuk kamar dan hebatnya, kami baru bisa makan setelah semua pekerjaan selesai dan jangan harap bisa makan banyak, sebab makanan sisa lah yang kami dapatkan.

Banyak tetanggaku yang suka menegurku, perbedaan tubuhku saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah mertua dengan tubuhku saat ini yang kurus, tinggal kulit pembungkus tulang saja, ditambah wajah yang kuyu dan kusam. Daster yang sudah robek dan harus ku jahit berulangkali. Penampilanku persis pembantu.

“Sabar ya, Dek.” Kalimat itulah yang kerap meluncur dari mulut suamiku. Aku hanya mengangguk dan menahan buliran bening yang ingin tumpah di pipiku.

***

Sudah dua hari badan Arthur panas, aku ingin sekali membawanya berobat tapi aku sama sekali tak memegang uang. Mas Didik berjanji akan memberikan uang setelah bibit pohon dibeli orang.

Tapi sampai sekarang belum juga ada tanda-tanda uang akan diberikan suamiku. Aku juga tak ingin memaksanya karena dia sendiri sudah sangat berusaha selama ini. Hanya bisa menunggu saja sampai ia benar-benar membawa uang ke hadapanku.

“Bibit pohonnya rencana mau diambil pagi ini, kita tunggu saja setelah dapat uangnya nanti kita bawa Arthur berobat ya.” Mas Didik memegang dahi anaknya, nampak sekali begitu cemas melihat keadaan Arthur.

“Kamu coba pinjam sama ibu karena kemarin ibu baru ambil uang pensiunan bapak.” Titah bapak mertua saat tahu tidak ada perubahan pada suhu tubuh Arthur. Meski berat, Aku pun memberanikan diri meminjam uang kepada Ibu demi anakku.

“Kok bisa-bisanya kamu pinjam uang sama ibu, memangnya ibu ini siapa?? Pejabat !! Bapakmu aja sudah nganggur pensiunan, terus kalau kamu pinjam mau balikin pake apa, kalau anak itu sakit dikompres biar turun panasnya.” Bentaknya ketika aku mengutarakan maksudku meminjam uang padanya untuk membawa Arthur ke dokter.

Cuma pinjam uang Lima puluh ribu untuk berobat, suara teriakan ibu menggema sampai ke rumah tetangga. Apalagi kalau aku pinjam sampai jutaan. Padahal kata bapak, uang pensiunan yang diterima ibu setiap bulannya nyaris dua juta rupiah.

Aku berusaha berprasangka baik saja, mungkin saja ibu harus menyimpan uang untuk memenuhi kebutuhan sebulan. Tak lama ku lihat Farah pulang dari kerja, Ibu langsung menyambut menantu kesayangannya tersebut.

“Rah, kamu baru pulang, Nak. Kamu sudah makan apa belum ?” Farah menggeleng.

“Farah mau istirahat dulu ya, Bu. Tadi banyak pelanggan di salon jadi Farah seharian berdiri terus. Capek bukan main. Mbak, bisa buatkan rendaman air hangat dikasih garam sedikit untuk kakiku,” Ia mulai memerintah ku. Aku hanya diam saja mematung.

“Kamu dengar apa kata Farah tadi, cepat bikinkan dia rendaman buat kakinya, kasihan dia seharian bekerja.”

Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Meski dada rasanya sesak tapi aku menurut dan langsung ke dapur merebus air.

Begitu selesai, aku masuk ke ruang tengah dan tak sengaja kulihat ibu membawakan apel dan jeruk satu plastik menuju ke kamar Farah. Aku tahu itu buah-buahan karena warna plastiknya transparan. Ibu nampak terkejut ketika melihatku memergokinya tapi ia cepat-cepat menyembunyikan apel dan jeruk tadi di belakang bajunya.

“Ini air rendamannya, Bu.” Aku menaruhnya di lantai depan kamar Farah. Ibu hanya diam saja.

Aku tahu ini sudah kesekian kalinya, ibu memberikan berbagai macam makanan untuk menantu dan cucu kesayangannya. Pernah juga kupergoki ibu membelikan ayam KFC dan memberikannya secara diam-diam ke kamar Farah.

Ya, Farah dan Purwanto, adik iparku selalu mendapatkan perhatian lebih dari Ibu. Maklum saja Farah bisa memberikan cucu perempuan sesuai keinginan ibu. Sekar namanya, umurnya satu tahun. Farah memang menikah dua tahun lebih dulu daripada kami.

Aku menahan air mataku yang hampir ke luar, Ibu selalu begitu pilih kasih antara aku dan Farah. Pinjam uang lima puluh ribu saja tidak dikasih untuk berobat Arthur tapi dengan santainya ibu bisa membelikan makanan buat orang-orang kesayangannya. Jadi bukan hanya aku yang diperlakukan tak adil oleh ibu tapi Arthur juga. Itu terlihat dari perbedaan ibu memberikan kasih sayangnya.

Aku dan suami selalu dianggap pengangguran yang hanya bisa memberikan beban buat orang tua, di rumah kami berusaha membantu sebisa mungkin meski hanya dengan tenaga, tapi itu tidak pernah cukup bagi ibu. Berbeda dengan mereka yang sudah bekerja, mungkin punya poin plus di mata Ibu.

Baru saja aku akan masuk kamar menyusui Arthur, tiba-tiba ibu berteriak histeris. Disusul tangis Sekar. Aku sontak menoleh dan melihat ibu dengan wajah cemas menggendong Sekar.

‘Ada apalagi ini’ batinku.

Aku bertanya. “Ada apa, Bu.”

“Sekar badannya panas dan dia barusan jatuh dari ranjang, Panggil Didik, suruh bantu ibu bawa Sekar ke rumah sakit,”

Aku terperangah. Luar biasa paniknya dia saat cucu perempuannya sakit, terus apa kabar Arthur yang demam panas selama dua hari sama sekali tak mendapatkan atensinya.

“Mas Didik belum ada pulang dari kebun, Bu. Mungkin sore baru pulang.”

“Waduh bagaimana ini, Sekar betul-betul demam. Dia harus dibawa segera.”

“Farah kan ada, Bu. Dia bisa bantu ibu bawa Sekar ke rumah sakit.”

“Dia lagi tertidur, kasihan ibu mau membangunkan dia.” Sungguh di luar nalar kasih sayangnya pada menantunya itu. Aku benar-benar tak habis pikir.

“Ya sudah biar aku panggilkan ojek online dulu.” Ibu hanya mengangguk saja. Lima menit kemudian ojek datang dan membawa ibu serta Sekar berobat.

Satu jam setelahnya, ibu pulang membawa Sekar yang sudah memegang balon besar ditangannya. Farah yang baru saja terbangun, menyambut ibu.

“Ibu tadi bawa Sekar berobat, panasnya sudah turun dan ini obatnya, ibu juga tadi membelikan Sekar bakso supaya cucu ibu yang cantik ini cepat sembuh.”

Ibu menyerahkan dua bungkus plastik kepada Farah. Satu bungkus berisi bakso dan satu bungkus lagi berisi obat untuk Sekar.

Pemandangan seperti ini sudah biasa ku saksikan, terasa nyeri melihat kebahagiaan mereka sementara aku masih harus berjuang menurunkan demam anakku.

Malamnya, Arthur kembali demam dan aku hanya bisa mengompresnya berulangkali. Setelah kompresnya mengering, aku ke luar kamar ingin mengambil air kompres.

Kulihat ibu diam-diam masuk ke kamar Farah membawa nampan dan aku tidak melihat jelas apa yang dibawanya. Aku memilih kembali ke kamar mengurus bayi ku. Setelah setengah jam bolak balik mengompresnya, akhirnya demam anakku turun dan dia tertidur pulas. Lega sekali rasanya. Sayup-sayup kudengar suara dari luar kamar.

“Sate yang ibu bawa tadi enak loh. Ibu beli di mana.”

“Syutttt, jangan ribut kamu. Nanti Mayang dengar.”

“Kalau dia dengar memangnya kenapa?”

“Tadi siang dia mau pinjam duit ibu, tapi ibu bilang nggak ada uang, makanya ibu beli segala macam makanan ini diam-diam jangan sampai dia tau.” Ucapan pelan ibu masih tetap terdengar olehku.

“Kenapa nggak dikasih aja sih Bu?, kan kasian, dia pinjam juga buat anaknya sakit.”

“Enak aja, memangnya dia bisa kasih kembali uang yang dia pinjam, lihat tuh Si Didik aja nggak kerja, apalagi si Mayang juga bisanya cuma menyusui anak aja, bisa habis uangku buat mereka.”

Tak terasa air mataku mengalir. Kalau aku yang diperlakukan tidak adil oleh ibu seperti ini, aku masih bisa bertahan tapi bagaimana dengan anakku. Bukankah dia juga cucu ibu yang seharusnya mendapatkan perhatian yang sama dengan Sekar.

“Ya sudah terserah ibu aja, tapi malam ini Sekar tidur sama ibu ya, aku nggak mau dengar suara rewelnya. Aku betul-betul mau istirahat malam ini.” Tak ada kudengar jawaban. Ku hanya mendengar ibu membawa Sekar ke kamarnya.

“Sekar cucu ibu, cepat sembuh ya anak wedo cantik, malam ini tidur sama mbah ya.” Suaranya terdengar saat melewati kamar kami.

Farah memang benar-benar diperlakukan seperti ratu di rumah ini, Aku pernah bertanya sama Mas Didik mengapa ibu begitu menyayangi Farah dan membenci kami.

Mas Didik hanya bilang ibu sudah lama kepengen anak perempuan tapi semua anaknya laki-laki. Tak heran, dia suka sekali saat mendapatkan cucu perempuan. Jawaban Mas Didik tetap saja di luar nalarku.

Malam ini aku masih menunggu kepulangan Mas Didik, berharap dia mendapatkan uang untuk berobat Arthur. Kasihan anakku, selama sakit sangat rewel dan aku harus bolak balik mengganti celananya yang basah akibat pipisnya.

Aku tak seperti kebanyakan ibu rumah tangga yang lain, yang bisa membeli popok buat anaknya. Jadi aku hanya bisa mengganti celananya berulang kali, dan akan mencuci setelahnya supaya celana gantinya tidak kehabisan.

Tak lama suamiku pulang, wajahnya tersenyum senang. ‘Semoga saja sudah ada uang dibawanya’ Aku sangat berharap.

“Dek, aku dapat pinjaman uang dari temanku yang bekerja di perusahaan kayu, Ini bisa dipakai buat berobat Arthur. Cepat ganti bajunya. Kita bawa dia sekarang.” Aku mengucap syukur berulangkali.

“Alhamdulillah.” Aku segera mengganti pakaian Arthur dan kami bergegas membawanya berobat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Mertuaku Penuh Drama    Part 95

    Part 95 Pov Mayang“Kasihan Farah, Mbak Mayang. Setelah Mamanya meninggal malah Ia ikut menyusul meninggal bunuh diri dengan memotong nadi tangannya karena tak tahan menerima hinaan dari anak-anak sekitar rumahnya kalau wajahnya rusak akibat terkena luka bakar waktu masih di rumah Ibu Sutinah, setelah itu dia diceraikan sama suaminya. Katanya Farah ketahuan menggadaikan rumah Ibu Sutinah dan sekarang Ibu Sutinah bersama Didik dan Pur katanya mengontrak rumah kecil di pinggiran kota, lengkap sudah penderitaan keluarga Ibu Sutinah akibat menantunya itu. Syukur saja Iwan sama Shinta tidak bernasib sama.” Bu Trisno menyampaikan kabar duka itu saat ia bertandang ke rumah untuk membicarakan persiapan pernikahan Syawal dan Emi yang akan digelar dua hari lagi.Mungkin ini terdengar gila tapi Allah SWT sudah mengatur semuanya, aku yang dulunya dizolimi oleh orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku, satu persatu seakan mendapatkan karma atas apa yang sudah mereka lakukan. Farah yang begit

  • Ibu Mertuaku Penuh Drama    Part 94

    Part 94 “Kalau tidak, berarti kalian harus mengosongkan rumah ini, karena Ibu Farah sudah menggadaikan rumah ini dengan memberikan sertifikat rumah pada bos kami. Dia juga sudah menerima uang dua ratus juta tiga bulan yang lalu.” Mataku melotot mendengarnya, masalah apalagi yang dilakukan oleh Farah kali ini. “Ya Allah, bagaimana sudah ini, Dik, Pur. Farah memang betul-betul keterlaluan menjadi menantu bisanya hanya menyusahkan saja. Huhuhuuu.” Ibu menangis sesenggukan begitu tahu rumah yang kami tempati sekarang sudah sepenuhnya dikuasai oleh rentenir.“Apa kalian punya bukti kalau Farah memang yang menggadaikan rumah ini pada bos kalian?” Dua orang penagih utang tersebut malah tertawa. Setelahnya salah satu memperlihatkan foto copy sertifikat dan tanda bukti tanda tangan Farah di sana menyetujui syarat-syarat pinjaman uang dengan jaminan sertifikat rumah.Aku, Pur juga Ibu sudah tidak bisa berbuat banyak. Kami benar-benar dipecundangi oleh Farah. Apalagi Purwanto, ia merasa ikut

  • Ibu Mertuaku Penuh Drama    Part 93

    Part 93“Terus, bagaimana dengan Mas Didik? Apa Mbak memaafkannya juga?” Deggg. Nama itu lagi, rasanya seharian ini sudah beberapa kali teringat akan dirinya. Orang yang sudah mengisi hidupku dalam beberapa tahun ini, kalau ditanya apakah aku mencintainya? Ya aku sangat mencintainya, hanya begitu banyak luka yang ia torehkan ke padaku sehingga aku memilih sebisa mungkin pergi jauh dari kehidupannya, meski saat mediasi pada proses perceraian kami, ia kekeh tidak mau berpisah. Aku memutuskan menjauh agar dapat menjaga kewarasan hatiku. “Lho, Mbak malah melamun.” Aku tersenyum malu ketika Iwan memergoki aku sedang melamun karena pertanyaannya.“Aku juga sudah memaafkan Mas mu, bahkan Ibumu. Bagiku yang lalu biarlah menjadi pengalaman berharga saja. Oya kalian tadi ke sini aku pikir mau pesan sesuatu. Mau bolu atau malah rendang daging saja.” Ujarku cepat mengalihkan topik pembicaraan.Malas membahas hal yang lampau.“Oya hampir lupa, Shinta maunya Mbak Mayang buatkan nasi dengan daging

  • Ibu Mertuaku Penuh Drama    Part 92

    Part 92 Pov Mayang Pagi sekali aku dan kedua adikku sudah mulai bersiap membuka toko, kegiatan kami setiap harinya seperti ini. Tiba-tiba saja mobil Syawal berhenti di halaman dan Emi yang semula ada di depan menggendong Arthur melihat pemandangan segera masuk. Aku tahu jika Emi masih menghindar berbicara dengan calon suaminya tersebut. Persoalan perempuan yang mengaku sebagai kekasih Syawal membuat hubungan adikku dengan Syawal seketika renggang. Emi sudah membatalkan pernikahan, hanya saja aku senang dengan kegigihan Syawal ingin meraih hati adikku kembali, kadang aku membayangkan jika saja Mas Didik berlaku begitu padaku, mungkin saja kami masih bersama sampai saat ini. Tapi, ya sudahlah semua hanya tinggal kenangan sekarang. Bahkan aku tinggal menunggu ketuk palu saja.“Kak, aku cuma mau bilang kalau perempuan yang mengaku kekasihku itu ditangkap semalam bersama orang yang menyuruhnya, sebetulnya semalam dia ditangkap karena petugas kepolisian sedang menggerebek tempat perjudia

  • Ibu Mertuaku Penuh Drama    Part 91

    Part 91Kulihat handphone di tangan Purwanto, segera kuambil dengan cepat dan membuka layar lalu mencari kamera dan menghadapkan posisi kamera ke arah depan, persis ke wajahku. Begitu aku melihat penampakan wajahku, handphone Purwanto sampai terjatuh dari tanganku. Apa aku tak salah lihat?Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku. Wajahku sudah seperti monster yang menyeramkan. Bagaimana bisa Purwanto tak terkejut melihatku? Apa dia menahan tawa agar tak membuatku malu, bentuk mata yang kurasakan perih kelopaknya berkeriput sehingga bola mataku terlihat mau ke luar dari tempatnya. Selain itu wajahku menghitam dan mengerut di beberapa tempat, selain itu bentuk mulutku terasa miring dan tidak berada di tempat seharusnya. Aku berusaha mengingat dan mencerna apa yang sudah terjadi padaku, kenapa gara-gara api yang membakar rambut juga membuat kobaran api di wajahku membuat wajahku sulit dikenali lagi. Tamat riwayatku.Habis semua sudah kecantikan yang dulunya aku banggakan, aku melihat kembali

  • Ibu Mertuaku Penuh Drama    Part 90

    Part 90 “Pernikahan siapa yang kamu maksud gagal?” aku sontak menoleh kaget. Purwanto persis di belakangku. Aku harus mencari jawaban segera atas pertanyaannya.“Tadi … itu si Mayang ke sini dan marah-marahin Ibu, katanya dia tak terima kalau sampai pernikahan Emi dengan Syawal sampai gagal, dia menuduh Ibu yang menggagalkan pernikahan adiknya itu. Kalau mau tahu pastinya tanya Ibu deh sana.” Purwanto masih diam di tempatnya terus menatapku penuh kecurigaan, bahkan ia kini memicingkan matanya.Purwanto langsung mengambil handphone dari tanganku dengan cepat, kemudian membaca layar di gawaiku. Di sana kutulis nama Syahrini, aku sengaja menulisnya dengan nama perempuan supaya suamiku bahkan orang di rumah ini tidak ada satupun yang curiga. Benar saja, setelahnya Purwanto mengembalikan handphone ke tanganku.“Ya sudah… aku pikir tadi apa, lagian berita tentang si Mayang itu nggak penting sama sekali.” Sebutnya, aku bisa bernapas lega begitu melihatnya menanggapi dengan santai apa yang k

  • Ibu Mertuaku Penuh Drama    Part 89

    Part 89Aku menghampiri Emi, adik bungsuku yang terlihat menelungkupkan wajahnya di lengannya, tubuhnya nampak terguncang. Kelihatannya ia sedang menangis. Kubelai rambutnya yang terurai panjang itu, ia belum mau mendongakkan kepalanya.“Mi, Syawal tadi sudah menceritakan semuanya. Apa kamu nggak mau memikirkan ulang apa yang terjadi?” kataku dengan hati-hati. Emi memperbaiki posisinya, tebakanku benar. Ia tengah menangis. “Apalagi yang harus dipikirkan, Kak. Jelas-jelas perempuan itu punya bukti kalau dia memang ada hubungannya dengan Kak Syawal, terus apalagi yang mau dipikirkan dan dia kok masih saja mau mengelak, dasar memang laki-laki selalu begitu. Gayanya aja mau menikah, tapi ujung-ujungnya sudah punya anak dari perempuan lain. Beruntung saja semua ini aku dapati sebelum menikah jadi bisa kuputuskan kalau rencana kami sebaiknya dibatalkan saja.” Terdengar tegas hanya aku tahu Emi masih berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi saja.“Tetap harus kamu pikirkan dengan tenang, de

  • Ibu Mertuaku Penuh Drama    Part 88

    Part 88 Pov Mayang Dua minggu kemudian Aku bersyukur harapanku dengan kedua adikku akhirnya terwujud. Toko kue sekaligus tempat tinggal kami dengan mudahnya diberikan oleh bank melalui pinjaman yang kami ajukan. Ruko yang kami beli berada di pusat kota, meski harganya fantastis, minimal dengan usaha yang lancar maka kami yakin akan bisa membayarnya. Tentu dengan kerja keras. Hari ini merupakan hari kedua kami membuka toko, awal pembukaan toko kemarin sudah ramai dengan pengunjung, sebab dengan kepandaian dan gerak gesit Farida di media sosial membuat pelanggan berdatangan. “Ya Allah, luar biasa sekali ya, Kak. Aku yakin kalau begini terus ramenya pasti kita akan bisa dengan mudah mencicil membayar pada bank, apalagi toko ini sekalian tempat tinggal kita sehingga memudahkan kita tetap stand by di toko.” Farida menyapaku pagi ini. Aku mengangguk setuju. Sejak dibukanya toko kue, kami menambah satu orang lagi bernama Marlena untuk menjaga toko bersama Farida, sedangkan Kiki dan aku

  • Ibu Mertuaku Penuh Drama    Part 87

    Part 87Pov Farah Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam yang dijual tak jauh dari rumah, di rumah hanya ada Purwanto dan Sekar, sedangkan Ibu entah ke mana. Mas Didik seperti biasa pergi bekerja.“Pur, kita makan mie ayam yuk.” Ajakku ke padanya. Purwanto yang tengah asik bermain game online sama sekali tak menoleh dan mempedulikanku. Itulah yang membuatku semakin hari semakin bosan padanya. Tak pernah ada niatan di hatinya untuk bergerak mencari pekerjaan dan lebih banyak menggantungkan hidup padaku atau pada Mas Didik.Selama Purwanto tidak bekerja, setiap bulan aku selalu minta jatah pada Mamaku, beruntung Mama tidak keberatan memberikan uang memenuhi kebutuhanku dan Sekar, Punya suami percuma saja, tidak berguna sama sekali.“Ya sudah kamu jaga Sekar, aku mau makan mie ayam di depan sana.” Tetap saja ia tak menoleh dan tak menyahut. Dasar, benar-benar laki-laki tidak ada gunanya. Mataku memperhatikannya selama semenit, tapi aku seperti berbicara dengan patung. Lalu kuputusk

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status