Pembantu di rumah Arjuna mengetuk pintu kamar Melody dengan suara lembut namun tegas, "Nyonya Sasha dan Tuan Arjuna sudah menunggu, Nona."
Melody yang terburu-buru segera bergegas membangunkan Alea dan menitipkannya pada pembantu. Ia mencium kening anaknya dengan lembut, "Alea, Ibu akan segera kembali." "Seharusnya kamu bersiap lebih awal," kata Sasha, suaranya dingin dan penuh tekanan. "Apa kamu tidak mengerti arti disiplin?" Melody menundukkan kepala, wajahnya dipenuhi ketegangan. Kata-kata itu menghujamnya, tetapi ia tidak mampu membalas tatapan tajam Sasha. Perasaan cemas semakin menghimpit hatinya. “Ma–maaf, Nyonya,” kata Melody lirih. Sasha hanya berdecak, lalu melangkah lebih dulu. Jelas ia ingin semua ini cepat dilakukan dan cepat mendapat hasil. **** Setibanya di rumah sakit, perasaan campur aduk menyelimuti mereka bertiga. Melody, yang akan menjalani pemeriksaan kesehatan rahim, tampak cemas namun berusaha tegar. Ini adalah langkah besar dalam perjalanan mereka—Melody bersedia menjadi ibu pengganti untuk anak Arjuna dan Sasha, dan ia merasakan beban yang berat. Sasha dan Arjuna menjalani prosedur pengambilan sel telur dan sperma untuk IVF. Sasha melalui aspirasi folikel, sementara Arjuna mengumpulkan sampel sperma yang akan diperiksa kualitasnya. Meski cemas, keduanya bertekad untuk memiliki anak dengan cara ini, berharap proses ini berjalan lancar. "Kondisi rahim Nyonya Melody sangat baik. Tidak ada tanda-tanda infeksi, fibroid, atau kelainan lainnya. Anda bisa tenang," ujar dokter, mencoba menenangkan. Melody menatap dokter, tapi suara Sasha memecah ketenangan. "Apa dokter yakin? Aku hanya tidak ingin rahimnya menyimpan banyak bakteri atau virus," katanya dengan nada yang tajam, seraya melirik Melody dengan pandangan penuh kecemasan. Hati Melody terasa perih mendengar ucapan yang pedas itu. Ia menahan napas, mencoba untuk tidak membiarkan kata-kata Sasha menghancurkan keinginannya untuk tetap kuat. "Anda tidak perlu khawatir, kondisi rahim Melody bersih dan sangat siap untuk segera mengandung," jawab dokter dengan meyakinkan. "Baiklah, bagaimana dengan program bayi tabung yang akan kami jalani, Dok?" tanya Sasha, berusaha tetap fokus. "Ini adalah bagian dari program fertilisasi in-vitro, atau IVF. Sel telur yang berhasil diambil dari Sasha dan sperma dari Arjuna akan diuji dan dibuahi di luar tubuh, di laboratorium," jelas dokter dengan tenang. "Proses ini memberikan kesempatan besar bagi pasangan yang kesulitan hamil secara alami." Dokter melanjutkan, "Kualitas sel telur dan sperma sangat penting. Kami akan terus memantau keduanya untuk memastikan hasil yang terbaik. Jika keduanya sehat dan berkualitas, kemungkinan keberhasilan akan lebih tinggi." Melody mendengarkan, meskipun sebagian besar penjelasan itu masih terasa asing baginya. Perasaan cemas kembali merasuki dirinya. Beban yang ia rasakan semakin berat, seolah seluruh tanggung jawab untuk keberhasilan proses ini ada di pundaknya. Ia menatap kosong, mencoba menenangkan dirinya, namun rasa takutnya semakin menguasai. Melody masih tidak menyangka jika suaminya akan tega melakukan ini padanya. Hal seperti ini tentu saja bukan sesuatu yang remeh dan tidak memiliki resiko besar di masa depan. “Dokter yakin kan kalau pertumbuhan janin masih akan baik meskipun dilakukan di rahim yang berbeda?” tanya Arjuna dengan wajah serius. “Tentu. Selama rahim itu sehat dan pemilik tubuhnya bisa menjaga pola hidupnya dengan baik, tidak akan menjadi masalah. Kami juga tentunya akan selalu mengawasi perkembangan janin ketika sudah dimasukkan ke dalam rahim. Bapak, tidak perlu khawatir,” jelas Dokter dengan senyum di wajahnya. Mendengar itu, Melody kembali bertanya-tanya, mungkinkah Arjuna sebenarnya juga tidak ingin melakukan langkah ini? Namun, Melody tidak punya hak apapun selain patuh dan mengikuti mereka. "Baik, Dok, terima kasih untuk penjelasannya," ujar Sasha yang langsung berdiri dari tempat duduk. "Sama-sama, kami akan mengabari, jika hasilnya sudah keluar," ujar sang Dokter. Saat mereka keluar dari ruang pemeriksaan, Sasha terus mengamati Melody, tatapannya begitu tajam hingga tak lama kemudian Sasha membuka pembicaraan. "Melody, kami sangat berharap padamu. Jika program bayi tabung itu berhasil, tolong jaga dengan sepenuh hati benih cinta kami nantinya, jika benih itu berhasil tertanam dalam rahimmu," ujar Sasha, matanya penuh harapan, menatap Melody dengan penuh emosi. Melody hanya bisa terdiam dan mengangguk, pikirannya berputar. Kenapa Sasha menolak untuk hamil dan melahirkan? Sebuah pertanyaan yang semakin mengguncang hatinya. Sementara Arjuna, meskipun di luar ia terlihat begitu tenang, di dalam dirinya juga ada keraguan dan kecemasan lain. Namun, ia tidak bisa mengungkapkannya. **** Keesokan paginya, sarapan khas Skotlandia terhidang di meja—jeroan domba dengan bawang dan rempah. Melody merasa mual dengan aroma kuat yang asing, berusaha tetap tenang meski perutnya terasa bergejolak. Sasha yang duduk di ujung meja menatapnya tajam dan berkata dengan nada datar, "Kamu harus terbiasa dengan hidangan seperti ini, Melody. Ini adalah bagian dari tradisi keluarga kami." Melody hanya mengangguk, meski perutnya berontak menolak makanan itu. Sementara itu, Alea yang duduk di sebelahnya menatap piringnya dengan ragu. Ia memandang jeroan domba itu dengan penuh kebingungan, lalu menggelengkan kepala. "Aku nggak mau makan ini, Ibu," kata Alea pelan, matanya berkaca-kaca. Melody mengusap punggung tangan putrinya, berusaha menenangkan, "Gak apa-apa, Alea. Coba sedikit saja." Namun, Alea hanya mengambil sepotong roti, menolaknya dengan lembut dan tegas. Sasha yang melihat itu tampak tidak sedikit kesal. “Jangan pilih-pilih makanan.” Sementara Arjuna tidak begitu banyak bicara, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi. Namun, tak lama kemudian terdengar suara dering ponsel milik Arjuna, lalu ia meninggalkan meja makan untuk mengangkat telepon. "Selamat pagi, Pak Arjuna," suara dokter terdengar di seberang sana. "Kami ingin menginformasikan bahwa kami telah melakukan evaluasi terhadap sampel sperma Anda. Sayangnya, kualitas sperma yang kami ambil tidak memenuhi standar yang dibutuhkan untuk proses pembuahan." Hati Arjuna langsung berdebar. Ia terdiam sesaat, mencoba mencerna kabar yang baru saja diterimanya.Dok, kaki saya terkilir,” ujar Melody sambil menahan nyeri.Dokter kandungan mengangguk dan segera menyarankan agar Melody diperiksa oleh dokter saraf tulang. Kebetulan, dokter spesialis itu sedang berada di rumah sakit untuk menangani pasien patah tulang.Melody pun langsung dibawa ke ruang perawatan ortopedi. Setelah diperiksa, dokter menyimpulkan bahwa cedera di kaki Melody tidak serius. Hanya terkilir ringan dan akan pulih dalam beberapa hari dengan istirahat dan kompres rutin.“Lain kali, hati-hati ya. Tapi... kenapa kamu bisa jatuh? Nggak ada yang jaga kamu?” tanya Arjuna, nada suaranya mulai berubah. Tatapannya langsung mengarah tajam ke Ibunda Sasha, penuh kecurigaan.“Aku jatuh sewaktu ambil stok gula di rak lemari,” ujar Melody pelan, suaranya nyaris tak terdengar.Arjuna mengernyit. “Siapa yang nyuruh kamu, sayang? Kan kamu harusnya istirahat.”Melody menoleh perlahan ke arah Ibunda Sasha. Mulutnya nyaris terbuka, ingin jujur, ingin mengatakan bahwa wanita itu yang memintan
Melody semakin merasakan sakit yang menusuk, sementara harapannya akan kedatangan ibunda Sasha untuk menolongnya terus memudar. Sudah lebih dari dua puluh menit, namun sosok yang ditunggu tak juga muncul."Bu... kok lama sekali? Perutku sakit... tolong..." rintih Melody sambil mencoba bertahan dari rasa nyeri yang kian menjadi.Tak ada jawaban. Sunyi. Hanya deru napasnya sendiri yang terdengar di antara rasa sakit dan kecemasan. Ia tak bisa lagi menggantungkan harapannya pada ibunda Sasha. Dengan sisa tenaga, Melody berusaha meraih kaki kursi terdekat untuk menopang tubuhnya, namun sia-sia, perutnya yang terasa nyeri ditambah kakinya yang terkilir membuat semua usaha terasa mustahil.Dengan tangan gemetar, ia merogoh saku daster. Untungnya ponsel masih terselip di sana. Tanpa pikir panjang, ia menekan nama Arjuna.Cepat pulang, aku jatuh terpeleset... rumah mendadak sepi,” ujar Melody lirih saat sambungan telepon akhirnya tersambung.“Ha? Kemana Sasha sama ibunya? Aku akan pulang seka
"Kok Ibu nampar aku?"Sasha memegangi pipinya yang masih terasa panas karena tamparan keras sang ibunda. Matanya membulat, tak percaya ibunya bisa setega itu. Hatinya tercekat, tak menyangka ada kemarahan sedalam itu dari wanita yang melahirkannya.Di hadapannya, sang ibu berdiri dengan wajah yang diliputi kekecewaan mendalam. Tatapan matanya tajam, menyala oleh amarah yang ditahan."Bisa-bisanya kamu tidur dengan pria lain," ucap sang ibu, suaranya bergetar karena emosi."Aku bisa jelaskan, Bu. Semua aku lakukan demi merebut kembali Arjuna dari tangan Melody," jawab Sasha. Suaranya pelan namun tegas, wajahnya menyiratkan dendam yang mengendap lama.Sasha berdiri. Ia membalikkan badan, membelakangi ibunya. Bahunya tegang, matanya menatap lurus ke depan, dipenuhi kebencian yang membara."Aku tidur dengan mantan suami Melody, karena cuma dia yang bisa membantuku. Dan sekarang, aku berhasil berada di rumah ini... semua berkat bantuannya," katanya sembari menatap ke luar jendela. Nada sua
"Kamu meragukan calon bayi itu bukan anakmu?"Tatapan tajam ibunda Sasha menghujam langsung ke arah Arjuna. Wajahnya memerah, bukan karena marah biasa, tapi karena merasa terhina. Ucapan Arjuna soal tes DNA, seakan meragukan kehormatan putrinya. Ucapan itu telah menusuk harga dirinya.Di sisi lain, Melody terlihat gelisah. Meski dalam hati ia menyetujui langkah Arjuna, bibirnya tetap terkunci. Ia memilih diam, menahan kata-kata yang menggantung di tenggorokan."Bagaimana, Dok? Apa bisa?" tanya Arjuna, mengabaikan perasaan ibunda Sasha.Dokter menghentikan gerakan alat USG. Ia menarik napas berat, matanya menatap layar, namun pikirannya jelas tengah bergulat."Bisa saja, tapi..." suaranya menggantung, ragu."Tapi apa, Dok?" tanya Arjuna, nadanya tak sabar.Dokter menoleh. Kali ini, wajahnya benar-benar serius."Ada risiko yang harus ditanggung. Melakukan tes DNA pada janin dalam kandungan bisa mengakibatkan keguguran. Meskipun risikonya kecil, hanya sepuluh persen, itu tetap risiko keh
"Kamu tidak bisa berbuat seenaknya pada putriku, apalagi dia sedang mengandung benihmu."Ucapan ibunda Sasha tak menggoyahkan hati Arjuna sedikit pun. Wajahnya tetap dingin, matanya tajam. Sementara itu, Melody terdiam. Ia bingung harus bersikap seperti apa. Dalam hatinya berkecamuk, apakah kehadirannya justru menjadi kesalahan besar? Apakah dirinya penyebab perceraian Arjuna dan Sasha?"Kalau begitu kita ke rumah sakit. Kita cek, apakah Sasha benar-benar hamil," ujar Arjuna, tegas dan mantap.Sasha tersentak. Tapi ekspresinya tenang, tanpa keraguan sedikit pun di wajahnya."Baiklah, jika itu maumu. Tapi kalau terbukti aku hamil, kamu harus izinkan aku dan Ibu tinggal di rumah ini," balas Sasha.Melody spontan menggenggam lengan Arjuna lebih erat. Entah mengapa, rasa cemas menyergapnya. Ia takut. Ia khawatir. Kehadiran ibu Sasha di rumah itu hanya akan membawa masalah. Tatapan perempuan itu jelas menunjukkan kebencian yang dalam.Arjuna mengusap punggung Melody perlahan. Ia tahu. Ia b
"Sasha, kenapa semalam kamu tidur di kamar Alea?"Pertanyaan itu membuat Sasha sedikit tersentak. Tatapannya langsung mengarah pada Alea dan Melody. Alea, yang ketakutan, segera menyembunyikan diri dalam pelukan Melody, enggan menatap mata tajam penuh kebencian itu."Rupanya anak kecil itu mengadu?" ucap Sasha sambil terus mengunyah makanannya dengan santai, seolah tak terjadi apa-apa."Kalau kamu banyak tingkah di rumah ini, lebih baik kamu angkat kaki lagi," ancam Arjuna dingin.Sasha berdiri, ekspresinya naik satu tingkat menjadi marah."Kamu nggak bisa perlakukan aku kaya gitu! Aku juga sedang mengandung anakmu! Kamar tamu itu pengap, sempit—nggak layak!" protesnya lantang."Kamu pasti masih hafal di mana letak pintu keluar rumah ini," balas Arjuna ketus, tajam, tak menunjukkan sedikit pun rasa iba.Sasha menghentakkan kakinya, lalu menjatuhkan diri kembali ke kursi dengan wajah cemberut."Baiklah! Aku nggak akan tidur di kamar Alea lagi. Puas?!" katanya sambil melontarkan tatapan