“Aku … Aku mengandung anak Anwar, Sa.”
Satu kalimat yang berhasil meruntuhkan dunia Saira dan memburamkan penglihatannya, terlebih setelah melihat testpack yang Dea tunjukkan.
Dea sendiri merupakan sahabat Saira semasa kuliah. Lama tidak berjumpa dan tidak bertukar kabar, tahu-tahu sahabat Saira itu datang membawa kejutan yang berdampak besar pada rencana pernikahannya dengan Anwar, tunangannya.
Saira tidak ingin memercayainya, tetapi Dea tidak mungkin membohonginya. Terlebih … kebingungan jelas terlihat dari wajah sahabatnya itu.
“Maafin aku Sa … Maafin aku.” Dea yang sebelumnya duduk diseberangnya, kini sudah berjongkok sambil menggenggam tangan Saira. “Aku tidak memiliki pilihan, selain mengungkapkannya padamu.”
“Anwar sudah tahu?” Hanya pertanyaan itu yang terbsit dalam benak Saira.
“Sudah.” Dea menjawab sambil menyusut kasar air matanya. “Tapi dia gak mau bertanggung jawab. Dia menyuruhku untuk menggugurkannya. Dia terlalu mencintaimu Sa. Daripada membatalkan pernikahannya dia lebih baik memintaku untuk menggugurkan anak ini. Aku harus bagaiamana, Sa? Aku gak mungkin membesarkan anak ini tanpa seorang Ayah.”
“Tenang saja, anakmu tidak akan pernah kehilangan Ayahnya.” Saira tersenyum miris, menatap Dea dengan tak kalah hancur. “Aku akan mundur dari pernikahan itu,” lanjutnya seraya bangkit untuk segera menjauh dari Dea.
Saira sudah tidak sudi berdekatan dengan sahabatnya itu. Bahkan untuk menganggap Dea sebagai sahabat, rasanya sakit sekali. Bagaimana mungkin seorang sahabat mengkhianatinya sampai seperti ini?
“Saira!” Entah sejak kapan, tahu-tahu Ibu Saira sudah ada disana, mengguncang bahu anak sulungnya dengan sangat keras. “Mana Anwar? Suruh ia temui Ibu. Kenapa tega sekali mengkhianati anak Ibu?”
Namun Saira tidak memedulikan dan lebih memilih berbicara kembali pada Dea. “Gak usah peduliin Ibuku De. Aku benar-benar tidak akan melanjutkan pernikahannya.” Lagipula ia tidak mungkin menikah dengan Laki-laki yang tidak cukup sama satu wanita.
“Sebaiknya kamu segera keluar dari sini. Ayo….” Yang ini suara Bimo.
Ayah Saira itu sudah menyeret Dea, sampai keluar rumah.
Saira hanya bisa menatap nanar kepergian Dea. Dirinya masih tak menyangka hal seperti ini akan menimpanya.
“Apa perlu Bapak pergi menemui keluarga Anwar, untuk membatalkan pernikahan kalian?”
Saira menoleh, menatap Bimo yang sudah kembali. Dia pun tersenyum lemah. Ah, Bapaknya ini memang orang yang paling mengerti akan perasaan anaknya.
Belum sempat Saira menjawab, keduanya langsung menoleh cepat saat mendengar suara keras dari arah sofa.
“Ibu benar-benar kecewa dengan Anwar,” ujarnya lemah, terkulai lemah di atas sofa. “Bisa-bisanya dia menghamili perempuan lain.”
“Bu—Ibu … Ibu kenapa?!”
****
Berkat bantuan tetangga, Anita berhasil dibawa ke Rumah Sakit. Kondisinya cukup serius, itulah yang Dokter jelaskan. Kemungkinan besar memerlukan perawatan lebih lama dari yang diperkirakan.
Sekarang apa yang bisa Saira lakukan selain menatap nanar ruang rawat Ibunya?
“Masih mau egois membatalkan pernikahan itu, eh?” Anwar bertanya setengah mencibir.
Laki-laki itu datang 15menit setelahnya bersama Bimo. Karena, ketika memberitahukan kondisi sang Ibu, posisi Ayah Saira memang masih di rumah keluarga Anwar.
“Kamu terlalu tergesa-gera mengambil keputusan, Sa,” masih Anwar yang bersuara. “Lihat, nyawa Ibumu yang jadi taruhannya.”
“Lanjutkan saja pernikahannya dengan Dea. Bagaimanapun juga, dia yang lebih membutuhkan pernikahan itu.” Saira melepas cincin pertunangannya untuk kemudian diserahkan pada Anwar. “Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu, An. Setidaknya kamu harus berkorban demi masa depan anakmu.”
Saira sendiri tidak percaya kalau ia mampu mengungkapkan kata-kata seperti itu. Rasanya … perih. Mengiris hati. Namun setidaknya ganjalan dalam hatinya sedikit berkurang.
“Tapi aku cuma mau kamu, Sa. Aku mau kamu yang jadi Ibu dari anak-anakku nanti.”
“Gak usah percaya sama kata-katanya. Bohong semua itu,” ujar seorang Lelaki berpenampilan formal yang tiba-tiba duduk di sebelah Saira.
Siapa Dia?
“Paman? Ngapain disini? Siapa yang sakit?” Anwar bertanya sambil celingukan.
‘Paman?’
‘Dia Pamannya Anwar?’
Saira sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Yang sakit Ibu wanita ini ‘kan?” tunjuk Paman Anwar pada Saira.
“Iya, tau. Maksudku, tujuannya untuk apa? Paman gak mungkin repot-repot datang hanya untuk masalah seperti ini kan?”
Lelaki yang memakai setelan serba hitam itu mengedikan bahu. “Coba tanya Mamamu. Kenapa meminta Paman untuk menemui orangtuanya?” diakhir penjelasan ia menatap pada Saira.
“Mama nyuruh Alva untuk menikahi Saira.”
“Apa?!”
Tidak hanya Anwar, tetapi Saira pun ikut terkejut dengan penuturan Susi–Ibunya Anwar.
“Mama becanda?” Anwar yang pertama mendekat. Menatap Susi, mencari kebohongan.
“Pamanmu butuh Istri, Cecilia butuh Ibu. Mama pikir kedua alasan tersebut cukup untuk menikahkan Pamanmu pada Saira. Dan jika Saira bersedia, maka Pamanmu akan melunasi seluruh biaya pengobatan Ibunya. Kalau perlu, Ibu Anita akan mendapatkan pengobatan paling bagus,” Susi menjawab pertanyaan Anwar, namun penjelasannya lebih condong diarahkan pada Saira dan Bimo yang kini saling melempar pandang.
“Gak bisa gitu dong, Ma. Mama tahu sendiri aku sangat mencintai—“
“Kalau benar-benar cinta, terus kenapa kamu malah menghamili anak orang?” Susi sudah memegang kerah kemeja anaknya. “Coba katakan, apa yang bisa Mama perbuat untuk menebus kesalahanmu pada Saira—Apa Anwar?” kemudian dihentaknya tubuh sang Anak sampai terhuyung beberapa langkah.
“Kalau kamu tidak melakukan kesalahan, Mama juga gak akan membuat keputusan seperti ini.” Wanita itu menunduk dengan bahu bergetar. “Bahkan untuk meminta maaf pada Saira saja, rasanya Mama tidak sanggup.”
Mendengar seorang Ibu berbicara seperti itu, membuat Saira mendekat untuk memberikan usapan pelan, sedikit menenangkannya. “Aku baik-baik saja Ma—maaf, maksudku Tante. Aku baik-baik saja, Tante. Gak perlu khawatir.” Saira hampir keceplosan memanggilnya Mama, seperti panggilannya selama ini.
“Enggak sayang, mana mungkin kamu baik-baik saja.” Susi mengusap pipi Saira, kemudian turun untuk menggenggam salah satu tangannya. “Maka dari itu, tolong terima Alvaro untuk menjadi suamimu ya? Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dari Mama.”
***
Ketenangan Alvaro hanya terjadi sebentar. Karena, beberapa menit kemudian Cecilia sudah mengganggunya kembali. Anak berusia 3tahun itu menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan teriakan yang tidak begitu jelas.“Cepetan mandinya Papa!”Setelah mematikan shower, barulah Lelaki itu dapat mendengar suara anak kecil itu.“Sudah jam berapa ini, Lia? Kenapa belum tidur?” tanya Alvaro sedikit berteriak sambil melilitkan handuk pada pinggangnya. Setelah dirasa pas, barulah ia keluar dari kamar mandi.“Lama banget si Papa mandinya?” anak itu sudah bersedekap dada, duduk pada pinggiran ranjang dengan mengadap pada kemunculan Alvaro. Jangan lupakan juga keningnya yang berkerut disertai bibir mengerucut.Bukannya menjawab pertanyaan sang anak, Alvaro lebih memilih mengutarakan hal lain. “Kamu mau tidur di kamar Papa?”“Enggak.” Rambut ikat dua Cecilia bergerak seiring dengan kepala kecilnya yang menggeleng.“Terus … ngapain disini?” Alvaro sudah melenggang untuk mengambil pakaian yang akan dikenak
“Fotoin kami ya, untuk foto keluarga. Setelah itu, foto kedua mempelai dengan gaya paling romantis. Ingat, foto ciumannya jangan sampai terlewat.”“Baik, Bu.”“Gak usah, Mas.” Alvaro menolak.“Jangan mau, Mas.” Dan yang ini suara Anwar.“Kalau Mas berhasil, saya tambahin imbalannya jadi sepuluh kali lipat. Gimana?” Oma berbicara.Susi mengangkat kedua jempolnya. “Bagus Oma.”“Aku gak mau, ya. Gak mau.” Lelaki yang baru menjadi seorang suami itu bersikeras menolak.“Jangan gitu dong Pak. Saya sangat membutuhkan imbalan sepuluh kali lipat itu.” Sang fotografer menunjukan wajah memelas. “Tolonglah Pak, kerjasamanya.”“Kalau Mas gak melakukan perintah mereka, saya bisa bayar 20kali lipat," Alvaro mencoba bernegosiasi, sesuai dengan bakatnya selama menjadi pengusaha.“Oh. Baik Pak, baik. Terima kasih banyak.”“Kita bayar 50x lipat deh. Iya kan Oma?” Susi meminta dukungan.Lelaki fotografer itu menatap Alvaro dan yang lainnya secara bergantian dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Pera
Setelah menyeret Alvaro keluar kamar Cecilia, Saira melepas pegangannya dengan gugup. “Maaf,” ujarnya.Lelaki dihadapannya ini hanya menatap tajam, tanpa mengeluarkan sepatatah katapun.Saira menunduk, merasa terintimidasi. “Mengenai panggilan Mama itu, aku cuma—““Kamu cuma seseorang yang akan menjaga dan mengawasinya. Kenapa harus sampai dipanggali Mama, itu terlalu berlebihan Saira. Kamu bukan Mamanya, dan dia harus mengerti itu.” Potong Alvaro yang berhasil menyadarkan Saira.Untuk sejenak Saira terlena dan bahagia dengan pendekatannya bersama Cecilia. Ia juga terlalu menikmati panggilan Mama tanpa memikirkan dampak pada Alvaro seperti apa. Terlebih, Lelaki itu memiliki prinsip sendiri dalam membesarkan anaknya.“Iya aku tahu. Tapi dia sangat membutuhkan sosok tersebut. Dia membutuhkan Mamanya, Al. Dia kesepian.”“Siapa yang bilang dia kesepian? Dia baik-baik saja, Saira. Lihatlah, dia sehat. Dia bisa bicara dengan normal. Dia bebas bermain sepuasnya dan dapat perhatian dari Omany
“Mama kemana saja? Kenapa balu datang sekalang? Aku kangen banget sama Mama.”Suara Saira tercekat, penglihatannya memburam. Hatinya berdesir, turut merasakan kerinduan yang dirasakan anak dalam pelukannya ini.“Mamanya baru ketemu sama Papa. Jadi baru bisa menemui Lia sekarang.” Susi memberikan usapan pada kepala anak itu. Membantu Saira yang kebingungan mencari jawaban.Dan apa tadi katanya?Susi menyebut Saira Mama? Mama dari Cecilia?Itu tidaklah benar, tetapi kenapa Saira merasa senang mendengarnya.“Kenapa balu ketemu Papa? Kenapa gak dali kemalin-kemalin saja ketemunya. Aku bosen tidul sendili telus.”Saira gemas sendiri mendengar logat cadelnya. Hingga di cubitnya kedua pipi anak tersebut dengan gemas.“Mama kan harus sekolah, biar pinter, biar bisa jadi Mama yang hebat buat Lia," jawabnya berakhir dengan menjawil hidung mungil Cecilia yang terlihat mancung sejak dini.“Sekolah itu apa?” tanyanya polos namun menatap Saira dengan serius.“Itu….” Lagi-lagi Saira kebingungan.Sus
“Saira, ayo kita nikah saja.”Siapapun akan terkejut dengan penawaran mendadak tersebut. Terlebih, yang menawarkan tidak Saira kenal. Ini pertemuan mereka yang pertama yang baru berlangsung beberapa menit lalu.“Cuma itu satu-satunya cara agar Anwar mau menikahi Dea. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, bukan?” Alvaro masih belum berhenti membujuk.Saira menatap sang Ayah untuk meminta jawaban. Tetapi Bimo hanya menggeleng kecil, tidak mau ikut campur dan akan mendukung apapun keputusan Putrinya.Alvaro turut beralih, mendekat pada Bimo. “Begini Om. Bukannya saya tidak sopan. Tetapi pernikahan Saira itu sangat diperlukan untuk—““Jangan mau Pak,” Anwar memotong.Alvaro tidak terkecoh. Ia tetap melanjutkan. “Kalau Om tidak mengizinkan, itu berarti Om membiarkan Anwar lepas dari tanggung jawabnya. Saya yakin, Om bukan Ayah yang akan tega seperti itu. Melihat seorang Lelaki menghamili perempuan seenaknya, kemudian Lelaki tersebut bebas melanjutkan hidupnya begitu saja.”“Begin
“ … Tolong terima Alvaro untuk jadi suamimu, ya? Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dari Mama.”Otomatis Saira menoleh pada sosok yang dimaksud oleh Susi. Laki-laki itu berada beberapa meter dihadapannya. Setengah bersandar pada tembok dengan salah satu tangan yang dimasukkan pada saku celana. Sementara tangan yang satunya sibuk memainkan ponsel. Terbilang santai, untuk seorang yang dimintai menjadi pengganti calon pengantin Pria.“Setidaknya Alvaro lebih mapan dan lebih dewasa dari Anwar.”Saira bingung, ia masih belum memiliki kata-kata untuk menimpalinya.Alhasil Mama anwar itu kembali bersuara, “Mama harap kamu gak salah paham sayang. Mama gak bermaksud mengatur hidupmu, tapi apa yang bisa Mama lakukan untuk menebus kesalahan anak Mama? Mama hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik nantinya, dan Mama pikir, Alvaro yang paling tepat.”“Lihat aku Ma.” Anwar membalik badan sang Mama. “Apa Mama gak mau yang terbaik juga buat aku? Anak Mama itu aku, bukan Cecilia. Kenapa Mama