Share

Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin
Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin
Author: NACL

Bab 1: Aku Mohon Bertahanlah!

Author: NACL
last update Last Updated: 2025-02-10 20:14:06

"Mas ... perutku sakit banget," rintih seorang wanita dengan napas tersengal. 

Satu tangannya memeluk perut besar, sementara satu lainnya menggenggam ponsel usang yang berulang kali mencoba tersambung ke seberang sana. 

"Kamu di mana, Mas? Tolong pulang ... aku butuh kamu." Suaranya bergetar, terdengar putus asa.

Nahas, berapa kali pun  mencoba… hanya suara operator yang menjawab. 

Rasa sakit dan mulas makin intens terasa. Wanita itu menunduk, dan membelalak melihat darah mengalir dari pangkal paha. Detak jantungnya berpacu cepat dan pikirannya dipenuhi ketakutan. 

Jangan-jangan bayinya....

Sambil menahan nyeri yang terus mencekik, dia merambat di sepanjang dinding kamar yang dingin. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena sakit, tetapi juga udara malam yang menusuk kulit.

Ditemani suara rintik hujan yang mulai deras, dia melangkah terseok-seok menuju pintu di seberang. Harapannya bertumpu pada satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu.

Mengandalkan sisa tenaga, dia mengetuk pintu dengan ragu dan takut.  “Bu….” katanya terdengar lirih.

Butuh beberapa kali ketukan, sampai suara langkah terdengar mendekat, lalu pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya memperlihatkan wajah tak ramah.

"Ganggu orang tidur aja kamu, Yasmin!" bentak sosok itu dengan ketus, matanya memelotot.

"Tolong, Bu … perutku sakit banget. A-aku mau melahirkan." Yasmin memohon belas kasih. 

Wanita paruh baya itu mendengkus, "Ya… terus? Lahiran, ya, tinggal lahiran, sana ke bidan!"

Yasmin menggeleng lemah, air matanya luruh bersama rasa sakit mendengar ucapan wanita itu. Sedari awal, Sarah memang tidak menyetujui Yasmin berhubungan dengan anaknya. Semua ini didasari oleh kasta mereka yang berbeda.

Dia ingat bagaimana murkanya Sarah ketika tahu Yasmin mengandung di luar nikah. Termakan bujuk rayu Bram, Yasmin bahkan harus menghentikan kuliah kedokterannya.

Pendidikannya terhenti. Rumah tangganya di rumah mertua bagai neraka.

Wajahnya pun tambah pucat akibat nyeri yang kini mendera sekujur tubuh. "Tolong, Bu ... Bidan bilang ba—bayiku sungsang, harus caesar," tutur Yasmin bergetar sambil merintih.

"Enak aja! Caesar mahal, tau! Emang ada uang, kamu? Pasti pakai uang Si Bram, kan?!" hina wanita itu menggelegar, bagai belati yang menusuk tepat di jantung Yasmin. “Jangan manja! Wanita kampung aja segala caesar!”

Demi anak yang dikandungnya, Yasmin merendahkan diri. Susah payah, dengan perut yang sudah sangat besar, ditambah rasa sakit yang makin tak terkendali… Yasmin bersimpuh di kaki wanita itu.

“Bu … aku m—mohon … sekali ini s—saja.”

Dia mendongak, menatap getir sang mertua. Dua mata bulatnya banjir oleh genangan bening.

Nahas, usaha Yasmin tidak menggerakkan secuil pun naluri wanita itu, karena Ibu Mertua langsung menutup pintu dengan keras tepat di depan wajahnya.

Yasmin terkesiap dan rasa sakit bertambah berkali-kali lipat.

Haruskah dia menyerah? Tidak! Yasmin ingin bayinya lahir dengan selamat. Anak ini adalah hidupnya, nyawanya, semangatnya dan harapannya untuk menuju jalan bahagia bersama sang suami.

Susah payah dia berusaha berdiri dengan tangan yang menumpu pada dinding.

“Bunda mohon bertahan, Nak,” gumamnya sambil menunduk, memperhatikan gerakan perut dan berharap sang jabang bayi bisa menunggu di dalam sana.

Tanpa memikirkan biaya apa pun lagi, dia menyeret kakinya dengan napas tersengal. Saking tidak memiliki uang sepeserpun, dia berjalan kaki menyusuri trotoar perumahan di bawah derasnya hujan, serta gemuruh petir yang saling bersahutan di gelapnya langit.

Tidak ada seorang pun yang menolongnya. Ini tengah malam, akhir pekan, di mana hampir seluruh pemilik rumah besar itu sedang berlibur.

Akibat derasnya air hujan, penglihatan Yasmin yang sudah memburam makin sulit melihat ke depan. Dia tersandung dan terjatuh dengan kedua lutut dan telapak tangan mendarat di atas kerasnya aspal berkerikil kecil.

“Akh….” Darah di pahanya yang semula mengalir tidak deras, kini banjir akibat bercampur dengan air hujan. 

Belum lagi, lututnya yang tergores bebatuan aspal yang kasar. Rasa perih itu terkalahkan oleh kesakitan lain, juga kekhawatirannya pada sang anak.

Dengan sisa-sisa tenaga, juga bau anyir darah yang tidak berhenti keluar dari inti tubuhnya… Yasmin akhirnya tiba di rumah sakit yang berada di seberang komplek.

Tubuh Yasmin ambruk tepat di depan pintu IGD. Tangan kurusnya yang gemetar terangkat, mewakili mulutnya yang sudah susah mengeluarkan suara.

“Suster, tolong–” Beberapa detik kemudian kesadarannya hilang.

Detik berikutnya, Yasmin merasa tubuhnya melayang. Diikuti cahaya lampu terang yang menyilaukan mata, juga sayup-sayup suara kepanikan.

Dada Yasmin yang semula sesak, kini mulai terasa lebih baik karena oksigen yang dipasangkan di hidungnya. Dia mengerutkan kening ketika merasakan tangannya tengah ditusuk jarum. 

Namun, Yasmin yang sudah tidak punya tenaga hanya bisa diam. Termasuk, saat dokter yang memeriksanya menyatakan dia mengalami solusio plasenta. Sebuah kondisi di mana plasenta, alias ari-ari janin sudah terlepas lebih dulu dari rahim sebelum kelahiran.

Sebuah kondisi yang sangat genting, yang dapat membahayakan ibu dan janin.

Ruangan operasi sibuk. Para dokter dan perawat berjibaku menyelamatkan Yasmin dan janinnya. Berkantong-kantong darah ditambah untuk mengganti darah yang hilang akibat perdarahan. 

Meski telah dibius, rasa ngilu saat perutnya ditekan untuk melihat posisi kepala bayi. Belum lagi rasa mual karena dorongan tangan dokter yang berusaha meraih kepala bayi untuk diangkat ke luar.

Bayi sudah berhasil dikeluarkan dari perut, akan tetapi… bayi itu tidak menangis. Dokter anak berupaya melakukan penyelamatan, sementara dokter kandungan terus berupaya membuat stabil kondisi Yasmin yang naik-turun.

Dalam ketidakberdayaannya, Yasmin menoleh ke arah di mana sang anak yang tengah berjuang. “Anakku …,” lirihnya dengan tangan yang terulur berusaha menggapai bayi yang masih belum menangis itu. “Tolong selamatkan anakku, Dokter,” pintanya kemudian tidak sadarkan diri.

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
NACL
harus dong Kakak harus
goodnovel comment avatar
Lihiyati Rumakat
awalnya sedih akhirnya pasti bahagia
goodnovel comment avatar
NACL
iya Kak ibu pasti berjuang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 153 : Rahasia

    “Ini makanan dari mana, Mbok?” Yasmin agak tercengang melihat banyak bungkusan dan kotak berjajar di dapur. Dari logo dan segelnya saja, dia tahu, itu dari toko oleh-oleh dan restoran terkenal di kota ini. Dia pernah makan di sana bersama Barra.Selesai mandi, Yasmin berniat mengajak anak-anak bermain, tetapi dua bayi itu sedang disuapi babysitter. Dia pun enggan menyela, memilih membiarkan mereka selesai makan, lalu berjalan ke dapur.Mbok Inah yang sedang mengupas kulit udang seketika gelagapan dan meringis karena tangannya terkena kepala udang yang tajam.“Ya ampun, Mbok. Yasmin minta maaf, bikin kaget,” ujarnya, lalu segera membantu Mbok Inah membilas lukanya.Dia juga langsung membersihkannya dengan alkohol dan mengobatinya.“Makasih, Nduk. Padahal Mbok bisa sendiri,” tukas wanita senja itu.“Biar Yasmin yang kupasin udangnya, ya. Mbok duduk di sini.” Jari telunjuk ramping wanita itu menunjuk kursi.Setelahnya, Yasmin segera mencuci tangan, lalu melanjutkan mengupas kulit udang.S

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 152 : Beratnya Menahan Diri

    Tiba-tiba saja, Barra meraih jemari Yasmin dan menggenggamnya dengan erat. Keduanya duduk di jok belakang mobil yang disopiri oleh Pak Amir. Setelah selesai memilih pakaian yang pas, mereka memutuskan segera pulang.Yasmin menoleh, meskipun wajahnya masih semerah tomat. Tidak sanggup rasanya menatap ketampanan pria itu sekarang. Namun, dia juga tak ingin terlihat terlalu tegang di hadapannya.“Aku lihat ada Tamara Lee di butik. Kalian sempat ketemu? Dia bilang apa? Cari masalah sama kamu?” tanya Barra dengan nada khawatir.Pria itu yakin, seorang Tamara pasti tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengkonfrontasi Yasmin. Yang paling dia cemaskan, wanita di sampingnya ini terluka—baik secara fisik maupun batin.Sambil tersenyum kecil, Yasmin membalas genggaman tangan Barra. Lewat sentuhan itu, dia seakan ingin berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu diributkan.Memang, dia bisa saja mengadu tentang insiden tadi di butik. Hanya saja untuk apa? Bukankah itu akan menam

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 151 : Mau Makan Kamu

    “Baru jadi simpanan, belagu banget. Laki-laki seperti Mas Barra itu cari istri yang sepadan, bukan perempuan murahan kayak kamu!” sembur Tamara, sudut bibirnya berkedut. Tatapan wanita itu sangat menusuk, seolah Yasmin tidak lebih dari kotoran yang tak pantas menginjak butik ini.Apakah Yasmin kesal? Tentu saja, terlebih, dia punya masa lalu kelam bersama Tamara. Bahkan, bibir merah merona wanita itu dengan lancang menyebut nama Barra menggunakan panggilan ‘Mas’. Panas hatinya, tetapi sebisa mungkin dia menahan diri. Dia tidak mau membuat keributan di sini.Selain memalukan, energinya akan terbuang percuma. Dia tidak punya waktu untuk itu.“Sudah selesai bicaranya, Mbak?” Yasmin justru tersenyum, tanpa ekspresi marah atau benci.Tamara membelalak melihat itu. Rahangnya tampak bergetar, lalu dia melayangkan tangannya, hendak menampar pipi Yasmin.Dengan cepat Yasmin menangkis tangan Tamara. Dia bukan ahli bela diri, tidak juga pernah belajar keahlian semacam itu. Dia hanya wanita biasa

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 150

    Barra tiba di pengadilan tepat pukul delapan pagi. Bahtiar dan Bono sudah menunggunya di depan, masing-masing menenteng map berisi berkas-berkas tebal. Hari ini mereka harus menghadiri dua sidang penting. "Pak, Bu Tamara Lee transfer bonus, katanya karena kita berhasil memenangkan sidang itu," ujar Bahtiar sambil menunjukkan layar ponselnya yang berisi notifikasi transfer. Barra mengerutkan alis. Tatapannya tajam pada angka-angka yang tertera di layar, dia juga berkata tegas, "Kembalikan! Kita hanya menerima pembayaran sesuai kontrak." Bono dan Bahtiar saling melirik. Harapan mereka akan bonus tambahan langsung pupus. Namun mereka paham, ini soal prinsip. Terlebih sejak Barra memutuskan untuk tidak lagi menerima klien wanita, suasana kantor pun berubah. Mereka tahu betul, pria itu menjaga perasaan calon istrinya. "Baik, Pak. Saya transferkan kembali pada manajer Bu Tamara," ucap Bahtiar, jemarinya bergegas mengetik di layar. Setelah menunjukkan bukti transfer balik pada Barra, ket

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 149

    Beberapa hari setelahnya.“Selamat pagi, calon istri. Sudah siap?” tanya Barra begitu melihat Yasmin baru saja menuruni tangga dengan tergesa.Wajah Yasmin yang tadi sudah segar sehabis mandi kini kembali memanas. Langkahnya langsung melambat. Dia juga mengerucutkan bibir, lalu melirik ke arah Barra yang tersenyum penuh arti.Belakangan ini, setelah tanggal pernikahan ditetapkan, calon suaminya itu memang gemar menggoda dan bersikap manis. Terkadang Yasmin tidak tahan menghadapi perlakuan manja pria itu. Rasanya ingin sembunyi saja dari pandangannya yang menggelitik.Apalagi kalau Barra tiba-tiba mengajak keluar rumah diam-diam, padahal Kezia sudah melarang mereka pergi sebelum hari pernikahan. Kecuali untuk urusan yang penting.Satu hal baru yang Yasmin sadari, Barra ternyata tipe pria yang hobi membantah. Setiap kali Kezia menelepon dan menyuruh Barra cepat pulang. Katanya, mengawasi mereka jauh lebih mudah kalau tetap di rumah.“Kenapa diam? Nanti kita terlambat, Yasmin.” Barra men

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 148

    Didesak dengan pertanyaan bernada menyudutkan dan tatapan penuh selidik dari Kezia, Yasmin merasa bagai terdakwa di ruang interogasi. Lidahnya kelu untuk menjawab, dan jantungnya berdetak kencang. Dia sedikit menunduk, meremas ujung bajunya untuk meredam kepanikan.Kalau saja tadi dia tidak nekat membangunkan Barra, mungkin kejadian memalukan ini tak akan terjadi. Harusnya biarkan saja pria itu tidur. Atau, kalau perlu, dia melompati sofa demi menghindari adegan konyol barusan.“Umm itu, Mi ... tadi Mas Barra—”Belum sempat ucapannya selesai, pintu kamar Barra terbuka. Pria itu keluar dengan wajah segar, mengenakan kaos polo putih dan celana denim pendek di atas lutut. Rambutnya masih basah, meneteskan air di pelipis.“Ada apa, Mi?” tanya Barra santai, seolah tidak ada yang janggal.Kezia langsung menatap putranya dengan tajam, lalu menoleh ke arah Yasmin yang rambutnya juga setengah basah.“Kamu keramas?” Suara wanita paruh baya itu naik satu oktaf, dengan mata yang membelalak. “Kalia

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 147

    “Yasmin … kamu masih marah?” Barra mengetuk pintu kamar perlahan. Dia juga menoleh ke sekitar. Rumah sudah sepi. Tidak ada yang berlalu-lalang. Tentu saja ini sudah malam. Kalau dia sampai berbuat gaduh, bisa-bisa Kezia dan Leo yang turun tangan.“Aku minta maaf,” ucap Barra lagi. Dia berharap Yasmin mendengarnya dari balik pintu. Sayang, tidak ada jawaban.Dia menarik napas dalam. Jantungnya berdebar tidak karuan. Yasmin pasti marah … atau mungkin menangis. Dadanya mengencang membayangkan air mata wanita itu tumpah karena dirinya. Belum sah menjadi suami, dia sudah membuat calon istri bersedih.Dengan gusar, Barra merogoh saku jas yang disampirkan di lengannya, lalu mengeluarkan telepon genggam. Dia langsung menekan nomor Bahtiar.“Bahtiar! Bilang ke Ela, mulai sekarang jangan terima klien perempuan lagi!” ujarnya tajam.Di seberang, Bahtiar baru saja merebahkan diri di ranjang, setelah seharian penuh menemani sang atasan menghadiri sidang.“Hah? Kenapa, Pak?”Barra terdiam sejenak. E

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 146

    Senja ini, Yasmin duduk di atas rumput hijau yang lembap, dengan beberapa daun kering berserakan di sekitarnya. Tatapan iris hitam wanita itu melekat pada dua anak yang tengah berlarian dan tertawa riang.Boy membawa bola sambil berteriak penuh semangat, Cleo mengejarnya sambil tertawa cekikikan, kakinya yang kecil berusaha mengejar sang kakak dengan sekuat tenaga.“Nda … bola!” teriak Cleo sambil menggeleng keras-keras, poni kecilnya ikut bergoyang.“Nih … bola!” Boy menyodorkannya dengan jahil, tetapi ketika Cleo mendekat, bocah itu kembali berlari menjauh. Cleo langsung manyun, wajah kecilnya pun berubah masam.Senyum Yasmin mengembang. Tanpa disadari, air mata tipis mengalir di pipinya. Melihat Cleo, putri kecilnya tumbuh bahagia dan mendapat kasih sayang seutuhnya—itu lebih dari cukup.Barra … pria itu tidak berubah. Bahkan setelah tahu Cleo bukan darah dagingnya, dia tetap mempe

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 145

    “Yasmin?” “Mas?” Kompak keduanya. Melihat Barra yang bahkan enggan beranjak sejengkal pun, Yasmin tersenyum jahil. Tiba-tiba saja, dalam benaknya terlintas sesuatu yang menggelikan. “Sebentar lagi saya kuliah. Pasti sibuk. Kalau begitu ... nikahnya selepas lulus saja, Mas,” ucap Yasmin santai, dan menyeringai kecil. Dia melepaskan genggaman dari tangan anak-anak, lalu memutar tubuh Barra agar membelakanginya. Sedangkan Barra masih menganga tidak percaya, calon istrinya ini justru memberikan jawaban yang menguji kesabaran. Yang benar saja? Dia harus menunggu selama empat tahun? Belum lagi proses panjang menjadi seorang dokter. Barra berdecak kesal. Saat dia hendak menoleh ke arah sang pujaan hati, Yasmin tiba-tiba mencubit pelan punggungnya. “Ayo, Mas. Berangkat. Kerjanya harus rajin,” goda wanita itu sembari terkekeh kecil. Barra hanya bisa menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah mobil Rubicon putihnya sambil mengusap dada. Pria itu merasa harus menambah stok kesabaran d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status