“Di mana anakku?”
Yasmin terbangun di ruangan yang jauh lebih kecil dan sempit. Ini bukan di ruang operasi!
Dia melihat ke sekeliling. Tempat ini cukup ramai.
Keingintahuan yang kuat tentang kondisi sang anak, membuat Yasmin tidak lagi merasakan sakit di tubuhnya akibat bekas luka caesar. Dia bangkit dan berusaha turun dari ranjang seorang diri.
Tanpa suami atau keluarga yang mendampingi, Yasmin berjalan tertatih dan membungkuk, tanpa alas. Mata bulat itu mencari-cari ke sekitar, siapa yang bisa ditanya perihal kondisi bayinya?
Dia terus berjalan hingga berhenti tepat di depan ruangan bayi. Matanya yang mengembun, memindai salah satu bayi di sana.
“Sus, di mana anak saya?” Mata Yasmin berkaca-kaca menatap perawat. Dia belum tahu wajah sang anak.
Sedikit senyum kaku terukir di bibirnya. Dia menanti jawaban. Namun, pandangan beberapa tenaga medis terlihat iba padanya.
“Anak Ibu—” Mereka mejeda beberapa detik, membuat tubuh Yasmin berpikiran buruk. “Maaf, Bu Yasmin. Saat kami bawa bayinya ke NICU, bayi Ibu tidak tertolong lagi.”
Dada Yasmin seketika terasa diremas kuat. Telinganya berdengung dan dunia di sekelilingnya seakan menjauh.
Pandangan wanita itu menjadi kabur, tubuh kurusnya mulai kehilangan keseimbangan hingga lututnya menghantam lantai rumah sakit yang dingin.
“Bohong!!” Tangan Yasmin yang gemetar meraba perutnya yang kini kosong. Nyeri sayatan operasi masih terasa, tetapi tidak ada yang lebih sakit daripada kenyataan ini. “Anakku pasti masih hidup!” Yasmin meremas rambut panjang kusutnya dengan kedua tangan.
Bahkan dia menggeleng berulang kali, menolak kenyataan yang disodorkan kepadanya.
Mengandalkan kaki yang goyah, Yasmin bangkit dan menatap ruang NICU dengan mata membara, penuh harap. Dia bergegas ke arah pintu besi dan menarik gagangnya secara kasar.
“Buka! Dokter, Suster, tolong buka pintunya! Anakku ada di dalam ‘kan?” pinta wanita itu putus asa. Dia berusaha membuka pintu dan memukulnya beberapa kali, “Buka pintunya, Dok! Aku ingin melihat bayiku!!”
Beberapa perawat sigap menahan tubuhnya, mencoba menenangkan. Namun, Yasmin terlalu hancur untuk bisa mendengar kata-kata mereka.
“Nggak, Sus. Nggak mungkin… nggak boleh….” Raganya makin melemas, dia tidak berdaya menghadapi kenyataan pahit ini. “Anakku… anakku….”
“Kalau Ibu mau melihat, kami akan mengantarkan Ibu ke ruang jenazah,” tutur seorang perawat dengan tatapan iba.
Yasmin menoleh dengan tatapan membola. “Ibu Mertuaku?” ujarnya dengan bibir bergetar.
Masih teringat jelas dalam benak Yasmin, bagaimana wanita itu memperlakukannya semalam.
Tidak rela mertuanya melihat jenazah sang anak, Yasmin, ditemani perawat bergerak menuju ruang jenazah.
Manik hitamnya tertuju pada tubuh mungil yang terbujur kaku di atas ranjang baja. Tidak jauh dari sana, seorang wanita paruh baya berdiri angkuh, menatap Yasmin yang terpaku.
Perlahan Yasmin menyeret langkah. Dia gemetar bukan main saat berusaha mengangkat kain penutup itu.
Saat wajah mungil itu terlihat, mata Yasmin mulai banjir air mata. Nafas Yasmin seketika tercekat, dia merasa setiap detik begitu panjang.
“Nak, ini Bunda….” Bibir pucat Yasmin tergugu kala menyapa bayi yang sudah tidak bernyawa itu. “Bangun, Nak. Jangan tinggalin Bunda sendirian! Ayo bangun!!!” jeritnya dengan tangan mengguncang tubuh kecil itu, berharap usahanya kali ini membuahkan hasil.
Isakan Yasmin makin keras dan merengkuh tubuh kaku nan dingin itu ke dalam pelukannya. Berulang kali dia menciumi kepala bayi itu, membuat air matanya jatuh membasahi wajah mungil yang mulai menguning.
“Bangun, Nak. Kita bahkan belum bertemu. Kamu belum mendapatkan hakmu…” Ketika berkata demikian, payudara Yasmin terasa mengedut. “Bunda udah di sini. ASI Bunda juga udah keluar, Nak. Ayo bangun, kamu nggak haus?”
Yasmin sudah seperti orang gila sekarang. Dia terus menangis, berbicara pada bayinya yang tentu saja tidak bersuara.
“Berisik, Yasmin! Percuma kamu ngomong sampe berbusa, anakmu juga nggak bisa bangun lagi!” Sarah, ibu mertua Yasmin justru terlihat geram. Tidak ada setitik pun rasa iba di sana untuk menantunya… untuk cucu pertamanya.
Yasmin menatap Ibu Mertua nanar. Meskipun dia tahu sejak awal Sarah memang tidak menyukainya, terlebih perbedaan status sosial mereka, tapi, tidakkah wanita itu berbelas kasih padanya untuk sesaat?
“Anakku masih hidup, Bu. D-dia… hanya sedang tertidur,” lirihnya, sembari menggoyangkan jari-jari mungil itu, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
“Sakit jiwa, kamu! Sudahlah, Pak, ibunya ini gila, biar saya bawa jenazah bayi ini sendiri!” ujar Sarah tajam kepada petugas yang langsung membantunya merebut jenazah mungil itu dari tangan Yasmin. “Aku pastikan Bram akan menceraikanmu segera! Dasar menantu nggak berguna!”
Perempuan itu berusaha menarik kembali buah hatinya, tetapi raga wanita itu terlalu lemah untuk melawan. Di akhir, dia hanya bisa melihat bagaimana keranda mayat itu ditutup, dan dibawa.
“Ibu Yasmin mau ke mana?” tanya seorang perawat yang melihat Yasmin mengikuti keranda mayat itu dengan langkah tertatih.
“Saya harus datang ke pemakaman anak saya, Sus,” sahutnya, masih dengan lelehan air mata.
“Tapi, Ibu masih dalam proses pemulihan. Jahitan Ibu–”
“Tolong jangan halangi saya, Sus,” potong Yasmin dengan keras kepala. “Saya tidak peduli jahitan saya. Kalau perlu… saya akan menyusulnya!”
**
“Aduh … Mas, s–sakit, kamu di mana?” rintih Yasmin sambil memeluk perut buncitnya. Dia duduk di sofa dengan napas memburu. Saat ini Yasmin sendirian di rumah. Kezia dan Leo masih tinggal di London, akan kembali sekitar satu minggu lagi. Anak-anak sedang bersekolah, ditemani pengasuh. Mbok Inah yang seharusnya ada, entah ke mana. Mungkin sedang ke belanja. Sudah setengah jam Yasmin memanggil, tetapi tidak ada seorang pun muncul. Tangannya gemetar saat memegang ponsel dan kembali menekan kontak Barra. Tadi dia sudah mengirim pesan pada suaminya. Namun, hanya dibaca saja. Ya, dia tahu Barra memang sedang menjalani persidangan, tetapi … siapa lagi yang bisa dia hubungi? Ini seperti deja vu. Yasmin cepat-cepat menggeleng. Tidak, kali ini berbeda. Dia tidak sendiri. Dia punya Barra, anak-anak, dan orang-orang yang mencintainya. Dia hanya perlu menunggu sedikit lebih lama untuk sampai di rumah sakit. Telepon tersambung. “Sayang … aku baru selesai sidang. Kamu sudah makan?” Suara Barra te
Mata Yasmin masih terpaku pada Boy dan Cleo yang duduk di pangkuan Kezia. Ada kekhawatiran samar dalam hatinya, saat dia harus jauh dari anak-anak. Rasanya baru kemarin dia takut kehilangan segalanya. Kini, diberi kesempatan seperti ini pun masih membuatnya takut terlalu bahagia dan kalau semua ini hanya mimpi."Mami serius jaga anak-anak sendirian?" Yasmin menatap dua anaknya yang sedang menyesap susu. Mereka duduk bersama Leo.Kezia mengangguk. "Mami dan anak-anak tunggu di rumah keluarga Papi. Kalian jalan-jalan saja." Satu tangan Kezia menyentuh perut Yasmin yang menyembul dan janin di dalamnya merespons."Makasih, Mi." Yasmin memeluk wanita itu. Dia meneteskan air matanya.Sungguh tidak menyangka bahwa hidupnya kini diberi banyak kebahagiaan yang melimpah ruah. Yasmin sangat menyukai kejutan dari suami dan mertuanya. Memang rencananya mereka pergi berdua ke London untuk babymoon. Namun, Yasmin bersikukuh anak-anak juga harus ikut. Baginya, kebahagiaan hanya utuh jika anak-anak jug
Sambil memegang kertas hasil pemeriksaan dari rumah sakit, Yasmin melangkah mantap ke dalam rumah. Namun, langkah mantap itu tak seiring dengan debar jantungnya yang makin sulit terkendali. Ada keinginan untuk langsung menunjukkan hasilnya. Hanya saja entah kenapa, Yasmin merasa belum waktunya.Dari ruang tamu, dia melihat suaminya masih sibuk bekerja dan menelepon. Yasmin mengurungkan niatnya untuk mendekati Barra. Dia memilih berbalik, bergegas mandi, dan menemui kedua anaknya yang terlelap dalam damai. Yasmin mengecup mereka satu per satu, dadanya terasa sesak oleh rasa syukur dan kecemasan yang datang bersamaan.Baru saja keluar dari kamar Boy, Yasmin nyaris terpekik karena Barra tiba-tiba muncul dan mengejutkannya."Makan nasi goreng, yuk. Mau?""Mas lapar? Belum makan?" selidik Yasmin, agak geli dengan ekspresi Barra yang begitu bersemangat. Seolah-olah belum makan."Sudah. Tapi tiba-tiba mau makan nasi goreng sama kamu. Ayo." Barra langsung menarik tangan Yasmin menuju garasi.
Barra, Boy, dan Cleo melongo melihat Yasmin sudah menghabiskan dua kotak es krim dalam waktu sepuluh menit.“Bunda?” panggil dua bocah seakan menyadarkan Yasmin yang terlalu lahap. Wanita itu langsung menjatuhkan sendok es dari tangannya. Dia hendak menyeka noda di bibir tipisnya, tetapi Barra lebih dulu melakukannya. Pria itu tersenyum.“Masing-masing punya satu, tidak ada yang merebut punyamu,” goda pria itu sambil meraih satu sendok es dari kotak ketiga yang dipesan Yasmin tadi.“Mas!”Yasmin menarik kotaknya cepat. Tidak terima jika Barra menyentuhnya sedikit pun. Entah kenapa, es krim ini terasa seperti penghiburan. Manisnya menenangkan, dinginnya membuat pikiran jeda sejenak dari tumpukan stres koas yang makin hari menyita tenaga. Apalagi akhir-akhir ini, tubuhnya terasa aneh—mudah lelah, emosinya tak stabil, dan kalau sudah lapar, rasanya mau menangis.Kedai es ini belakangan viral di media sosial dan ramai diperbincangkan di kalangan staf rumah sakit. Rasanya yang segar dari
“Papi!” seru anak-anak yang baru saja keluar dari sekolah. Mereka saling berebut menghambur memeluk Barra di samping Audi putihnya.Boy dan Cleo diikuti oleh Yasmin. Wanita itu mendapat jatah libur hari ini. Dia menggunakannya untuk menjemput anak-anak di sekolah bersama Barra. Keduanya sangat antusias karena ayah dan ibunya membersamai.Tatapan hangat terpancar dari Yasmin yang mengamati bagaimana Barra kesulitan menggendong kedua anaknya. Ketika berhasil, mereka langsung mencium pipi Barra penuh sayang.“Cleo sayang Papi.”“Aku juga sayang Papi, tapi lebih sayang Bunda,” sahut Boy yang tidak mau mengalah. “Sini Bunda.” Anak itu melambaikan tangan.Yasmin mendekat dan memeluk keempatnya, lalu menggesekkan hidungnya di pipi lembut Boy.“Kita makan es krim, yuk. Bunda dari kemarin mau makan es strawberry tapi belum kesampaian,” akunya.“Ayo, Bunda. Cleo juga mau.” Jemari mungil Cleo menggenggam tangan Yasmin.Sementara Barra sesekali menatap ke kejauhan. Pria itu mengedipkan matanya per
“Mas Bram?” Suara Yasmin tertahan. Tubuhnya membeku melihat sang mantan yang tiba-tiba mendekat. Refleks, dia melangkah mundur, tapi Bram lebih cepat. Tangannya menahan lengan Yasmin sebelum dia sempat berlari.“Tolong, jangan pergi!” pinta Bram, suaranya meninggi. “Yasmin, beri aku kesempatan.”Yasmin tertawa sinis. “Kesempatan?” Dia menoleh ke arah satpam dan memberi isyarat agar pria itu dijauhkan darinya.Akan tetapi, Bram memberontak. Gerakannya liar, seperti orang kesetanan. Dia mengejar Yasmin yang kini berlari lebih cepat, langkahnya terhuyung karena panik menuju kamar Boy.“Pergi, Mas! Jangan ganggu aku lagi!” Yasmin mengibaskan tangannya, mencoba melepaskan diri dari bayangan masa lalu.“Aku cuma ingin ketemu Cleo. Anakku,” lirih Bram, langkahnya terhenti. Suaranya begitu pelan di tengah lorong panjang. Tatapannya sendu, memandang punggung mantan istri yang telah menjauh.Dalam benaknya, berputar kembali kenangan tujuh tahun lalu—saat pertama kali melihat Yasmin. Gadis desa