Pukul tiga pagi, Yasmin terbangun karena rengekan Cleo. Dalam redupnya lampu kamar, dia buru-buru meraih bayi itu sebelum tangisannya membangunkan Boy. Dengan cekatan, Yasmin menyusui Cleo, membiarkan bayi itu menyusu dengan tenang. Namun, pikirannya mulai melayang. ‘Kenapa tadi aku … ada di sofa ini? Padahal semalam aku tidur di ….’ Ucapan dalam hati itu tertahan karena Yasmin menunduk, menatap karpet. Yasmin mengerjap, mencoba mengingat-ingat. Tidak mungkin Barra yang melakukannya. Pria itu bahkan tidak peduli padanya. “Pasti Mbak Babysitter yang pindahi aku, itu lebih masuk akal. Nggak mungkin juga Mbok Inah,” gumamnya mengingat asisten rumah tangga di sini sudah sepuh. Rengekan kecil Cleo menyadarkan Yasmin dari lamunannya. Dia membenarkan perlekatan bayi cantik itu dan mengayun tubuh mungilnya perlahan. “Maafin Bunda, Sayang. Harusnya Bunda nggak bengong,” ucapnya. Kemudian Yasmin bersenandung pelan, tangan kurusnya membelai kepala Cleo dengan hati-hati, takut melukai tula
“Pak… tolong, lepas …," pinta Yasmin lirih. Suaranya kalah terdengar dari hentakkan sepatu Barra. Tubuh Yasmin terasa limbung. Pandangan wanita itu berbayang, seakan ada dua Barra di depannya. Cengkeraman pria itu di pergelangan tangannya sangat kuat, membuatnya kesulitan berdiri tegak. "Sshh," ringis Yasmin merasakan perutnya kembali nyeri. Akan tetapi, Barra tidak menghiraukannya. Pria bertubuh tinggi menjulang itu terus menarik Yasmin menuju ruang keluarga, langkahnya cepat dan sangat tegas. Baru setelah sampai, pria itu melepaskannya dengan kasar. Yasmin hampir terhuyung jatuh, jika tidak segera bertumpu pada sofa. Ekor mata Barra melirik sekilas dan bibirnya bergumam, "Lemah." Dia juga mengeluarkan telepon genggamnya, tampak menekan sesuatu, lalu menempelkan perangkat itu ke telinga. “Ke rumahku sekarang!” Hanya itu yang Yasmin dengar, lalu kepalanya terasa makin berat. Saat Yasmin membuka mata, seseorang tengah menyentuh pergelangan tangannya. Dia mencoba berke
"Benar ‘kan Mam apa yang aku bilang? Perempuan ini cuma manfaatin keadaan doang. Dasar penggoda murahan!" Cindy menyindir, tatapannya pada Yasmin berkilat penuh kebencian. "Asal Mami tahu, dia bahkan tinggal di sini berlagak jadi nyonya rumah!"Seketika mata wanita paruh baya itu melotot. Napasnya terdengar menderu, dan rahangnya berkedut dengan tangan terkepal.Airin, Ibu Cindy sekaligus mertua dari Barra mendengkus.l, "Aku heran bagaimana perempuan sepertimu bisa bertahan di rumah ini. Jangan-jangan karena ulahmu, Berliana stres dan meninggal? Oh putriku yang malang ….""Itu tidak benar, Bu!" Yasmin buru-buru menyangkal, tetapi Airin tidak peduli, hanya berdecih sinis. Wanita paruh baya itu langsung meraih Boy dari gendongan Yasmin, menyerahkannya kepada Cindy."Sebagai Ibu kandung Berliana, aku tidak ridho kamu jadi ibu sambung cucu-cucuku," Airin menatap Yasmin dengan penghinaan dan kebencian. "Jangan kira karena Berliana sudah meninggal, kamu seenaknya merampas tempat anakku!"“I
Suara hentakan boots menggema di ruang tamu. Aura pria itu begitu kuat. Rasa dingin seketika menyeruak memenuhi ruangan. Tidak ada kata terucap, tetapi sorot matanya yang gelap sudah membuat udara menipis.Yasmin menegang. Tubuhnya masih kaku layaknya terdakwa yang menjalani persidangan. Dia tahu siapa yang datang, bahkan sebelum menoleh.‘Pak Barra,’ lirihnya dalam hati.Yasmin menahan napas saat pria itu berhenti di depannya. Mereka hanya berjarak beberapa langkah.Barra tidak langsung bicara. Mata cokelatnya menyapu wajah Yasmin yang memerah, lalu turun ke tangan gemetar wanita itu yang masih erat memeluk Cleo.Tanpa menunggu izin, Barra meraih Cleo dari dekapan ibu susunya.Yasmin mencoba mempertahankan, tetapi jemarinya melemah di bawah tekanan, dan dalam sekejap, pelukannya kosong.“Cleo—”"Yasmin. Cleo anakku,” sela Barra.Jantung Yasmin mencelos. Itu menegaskan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa. Dia menatap Barra dengan getir.“Tolong jangan pisahkan saya dari Cleo dan Boy, Pa
Barra menghela napas panjang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, membuat buku jemarinya memutih, dan urat-urat di lehernya mengencang."Pintu rumah ini selalu terbuka, silakan Mami berkunjung kapan saja,” ucapnya, dengan suara tegas dan ekspresi wajah datar. “Tapi bukan untuk menetap," sambungnya.Airin menunduk dan tangan berhias cincin berlian itu meremas ujung bajunya. Mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca, lalu sejurus kemudian, bulir air mata jatuh."Mami hanya ... masih terpukul karena kehilangan Berliana, Bar.” Airin geleng-geleng, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Cindy. “Satu-satunya yang bisa menenangkan hati Mami, ya, Cleo. Dia mirip dengan Berliana." Suaranya bergetar, penuh permohonan.Ada sesuatu dalam ucapan wanita itu yang menjadikan Barra meragu, dia menatap Ibu Mertuanya lebih intens. Lalu, dengan suara rendah dan berat, dia berkata, "Baiklah. Tapi dengan satu syarat, jaga sikap Mami, terutama dengan Cindy.”Airin mengangguk cepat, seolah takut kesempa
Yasmin menghirup napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Namun, sebelum kata-kata keluar dari bibirnya, Cindy sudah lebih dulu membuka suara. "Aku hanya ingin lebih dekat dengan Boy dan Cleo," kata wanita itu dengan nada lembut, tetapi matanya berkilat dengan sesuatu yang berbeda. Tangan Yasmin terkepal di atas pahanya. Benarkah itu yang diinginkan Cindy? Atau cara lain merebut Boy dan Cleo darinya? Tepat saat itu, Barra mengerutkan alis. Pria itu melepas satu earphone yang menempel di telinganya, lalu mengetuk layar ponsel dan berkata, "Nanti kutelepon lagi." Yasmin menoleh ke arahnya, dengan mata melebar. Barra sedang menelepon? Jadi dia tidak mendengar percakapan mereka? Termasuk tidak tahu apa yang baru saja dikatakan Cindy? Seketika ada rasa kecewa yang tiba-tiba menyelinap ke dalam dadanya. Yasmin butuh konfirmasi. Dia ingin Barra mengerti bahwa kehadiran Cindy bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Namun, melihat ekspresi datar Barra, Yasmin tahu bahwa ha
Yasmin membelalak mendengar ucapan Sarah. Tangannya mengepal dan napasnya memburu di balik punggung Barra, bahkan air mata sudah menggenang di pipi. Hati wanita itu bergetar, bukan karena rindu, melainkan ketakutan. Bertemu mantan ibu mertua lagi seperti membuka luka lama yang belum sembuh.‘Tuhan … tolong aku,’ pintanya dalam hati.Tanpa sadar, Yasmin makin merapatkan tubuhnya ke Barra, hanya menyisakan jarak tipis di antara mereka. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu, bahkan mendengar helaan napas beratnya yang terdengar menyeramkan di telinga."Kami permisi, Bu Sarah," ucap Barra dengan nada tegas.Sayangnya, Sarah tidak tinggal diam. "Dia mirip dengan—"Akan tetapi, sebelum Sarah menyelesaikan ucapannya, Barra menyela, "Silakan cari pengacara lain untuk kasus Bram."Setelah itu, Barra melangkah pergi, sambil menarik pergelangan tangan Yasmin begitu saja.Yasmin tersentak, tetapi tidak melawan. Dia berjalan di belakang pria itu dengan kepala tertunduk, berusaha menormalkan
"Aduh … kenapa anak ganteng Bunda nang—”Langkah Yasmin terhenti di ambang pintu. Matanya langsung tertuju pada sosok Boy yang berada dalam dekapan Cindy, sementara seorang babysitter berdiri di samping mereka.Air masih menetes dari ujung rambut Yasmin yang belum sempat dikeringkan, menunjukkan betapa terburu-burunya dia berlari ke kamar bayi setelah mendengar tangisan itu.“Pergi sana! Boy enggak butuh kamu!” sergah Cindy, tangannya melambai-lambai, laykanya mengusir pengemis yang mengganggu pemandangan.Semenjak percakapannya kemarin bersama Barra, dia menjadi lebih sering berada di sekitar bayi kembar.Yasmin tidak beranjak, tetapi bukan itu yang membuatnya terpaku. Mata Boy, bulat dan bening, kini tertuju padanya. Tatapan polosnya tampak mencari seseorang. Yasmin menelan ludah, hatinya mencelos melihat tangan mungil itu bergerak-gerak seolah ingin meraih dirinya.“Ish, malah diam lagi. Cepat pergi, Yasmin! Bantuin Mbok Inah masak sana!” Cindy mengibaskan tangan lebih keras, suaran
Mata bulat Yasmin masih membesar mendengar ucapan pria itu. Dia sungguh tidak tahu harus merespons apa. Pandangannya beralih ke arah kanan, melihat yang lainnya mulai berjalan ke tempat sama. Ah, dia akan sekamar saja dengan Mbok Inah. Aman. Yasmin pun mengangguk mantap, pura-pura kalem padahal gugupnya merambat ke ubun-ubun.“Kenapa?” tanya Barra serius, tetapi sudut bibirnya yang terangkat membuat Yasmin menatap curiga.“Saya mau kasbon, Mas,” ucap Yasmin akhirnya, setengah menunduk. Barra menaikkan satu alis, menunggu penjelasan. Yasmin pun menambahkan, “Umm … itu, untuk sewa kamar di sini. Masa saya harus sekamar sama Mas?”Tawa Barra meledak seketika. Pria itu langsung merangkul bahu Yasmin secara impulsif, membuat wanita itu kaget bukan main. Dia mengedip-ngedipkan mata, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdetak seperti genderang perang.Terdengar bunyi ‘beep’ saat kartu menyentuh sensor, diikuti garis hijau pada handle pintu. Pintu terbuka lebar. Tanpa
Mata Cindy mengerjap, tetapi kelopak itu berat untuk terbuka. Samar-samar, dia teringat Bram menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Namun, telinga wanita itu menangkap suara ketikan keyboard dan hiruk-pikuk yang asing. Apa ini mimpi?“Bram sialan!” geramnya pelan.Dia sontak terkejut—karena bisa bicara. Cindy memaksa membuka mata. Cahaya ruangan menyilaukan, suasana ini jauh berbeda dari tempat sebelumnya. Sebelum sempat bangkit, seorang polwan mendekat dan membuka ikatan di tangan Cindy.“Jaga sikap!” hardik Polwan itu, “Pelapor masih berbaik hati mengantarmu ke sini. Bukan main hakim sendiri.”“Hah? Pelapor?” Cindy menyeringai sinis. “Bram? Baik hati?”Yang benar saja. Pria itu jelas-jelas mempermainkannya hingga dia pingsan karena ketakutan. Suntikan itu … ternyata hanya berisi air bening biasa. Permainan kotor!Duduk di kursi seberang, Bram menatap tajam. Dengan satu isyarat tangan, dia menegaskan bahwa Cindy tidak bisa lari ke mana pun.Belum sempat Cindy membalas tatapan itu, petug
Cindy tahu pasti Sarah menerima informasi entah dari Bram, atau mungkin … Barra yang menghasut. Namun, dia bangkit sambil memegangi pipinya yang masih mati rasa.“Tante, dengar dulu penjelasan aku,” elaknya, tidak menyerah.“Aku memang benci sama si Yasmin, tapi nggak sangka kawan sendiri jadi lawan. Jahat kamu!” seru Sarah, tangannya menunjuk-nunjuk wajah Cindy.Cindy tertawa miris. “Tan, pengadilan aja belum kasih keputusan. Jadi … semua info yang Tante dengar bisa aja palsu,” katanya, mencoba terdengar tenang. Meskipun debar jantungnya bergejolak hebat.“Ah … banyak omong!” Sarah kembali mendorong Cindy dengan keras. Emosi wanita paruh baya itu meledak. Dia menarik rambut dan mencakar kulit mulus Cindy. Lorong rumah sakit seketika berubah jadi ‘ring’ pertarungan.“Beraninya kamu membunuh anakku!”Cindy berontak. Dia bahkan menarik tubuh Sarah hingga keduanya jatuh dan bergumul di lantai. Teriakan dan cacian membahana, membuat lorong rumah sakit jadi tontonan public. Para perawat pu
“Mas Bram …,” bisik Yasmin dengan tangan menutup mulut dan mata yang berkaca-kaca.Barra melirik Yasmin, lalu berkata, “Ya. Dia bersaksi untuk kamu.”Yasmin tidak kuasa menahan air mata. Pria itu ... ternyata masih hidup pascapenikaman oleh Cindy. Bahkan masih bersedia membantunya.Wajah Bram tampak pucat. Pandangannya tajam, tenang, dan tanpa ragu. Kini dia duduk di kursi saksi dan mulai bicara. Pria itu menjelaskan semua, dari kejadian beberapa hari sebelumnya hingga upaya Cindy untuk membunuhnya.Kondisi ruangan makin riuh. Mereka semua saling berbisik dan bertanya-tanya, tidak menyangka mendengar kesaksian Bram.Jaksa sempat menoleh ke arah bangku penonton, lalu menggeram pelan. Tangannya mengetuk-ngetuk pulpen di meja dengan ritme tak sabar. Matanya menyipit tajam menatap Bram, lalu ke arah hakim. “Kami ... akan meninjau ulang seluruh keterangan saksi dan bukti,” gumamnya, denagn nada yang mulai terdengar goyah.Dari barisan kursi khusus kuasa hukum, seorang pria bertubuh tegap t
Cindy menyeringai kecil. Sudut bibirnya naik pelan, seolah menahan gelak puas. Matanya menyapu tubuh Bram yang terbaring diam. Jemari wanita itu menggenggam suntikan berisi cairan bening.Dengan gerakan cepat, dia menyuntikkan cairan itu ke saluran infus. Lalu menunggu beberapa detik.Akan tetapi, detik demi detik berlalu, Bram masih terdiam. Tidak ada kejang, atau napas memburu."Kenapa nggak kejang-kejang juga, sih? Apa obatnya kurang?" gumam Cindy lirih, keningnya berkerut.Suara langkah membuat wanita itu menoleh. Seorang perawat masuk dengan senyum ramah."Maaf, Bu. Waktu besuknya sudah habis."Cindy mengubah raut wajahnya dalam sekejap. Dia berdiri tenang, menyimpan suntikan ke tas, dan berjalan keluar dengan anggun.Di luar, Airin tengah duduk di samping Sarah yang tertidur. Cindy menghampiri sambil tersenyum lebar."Gimana? Berhasil ‘kan? Mami nggak sabar datang ke kuburan si B—"Cindy buru-buru menempelkan jari telunjuk ke bibir diiringi sorot mata yang tajam."Beres, Mam. T
Barra mengetuk-ngetukkan jemari di atas layar tabletnya. Napas pria itu memburu, sesak oleh tekanan pikiran. Dia melonggarkan dasi yang menjerat leher, membuka dua kancing teratas kemeja putih yang sudah kusut. Jemarinya terangkat, memijat pelipis perlahan, seakan berharap beban di kepala dapat menguap bersama rasa nyeri yang menyelip."Pak, kita langsung ke kantor atau Anda ingin pulang dulu?" tanya Bahtiar yang duduk di samping sopir.Barra tidak menjawab. Pandangannya kosong, tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri."Pak?" Bahtiar kembali menoleh ke belakang, kali ini lebih khawatir. "Anda baik-baik saja?"Barra mengangguk samar, lalu akhirnya bersuara. "Minta data seluruh rekam medis Mami Airin, Cindy, Berliana ... dan mendiang Papi Ben. Aku membutuhkannya.""Baik, Pak. Sekarang kita ke—""Pulang. Aku ingin melihat anak-anak," potong Barra. Dia menyerahkan tabletnya kembali pada Bahtiar, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Entah tidur, atau hanya menghindar dari dunia
"Mas Barra ke mana, Pak? Kenapa tidak ke sini?" tanya Yasmin pada Bono. Manik hitam wanita itu menyapu ke arah ruangan besuk, menatap pintu. Dia sungguh berharap petugas membukanya dan menampakkan sosok Barra di sana.Akan tetapi, setelah menanti selama lima menit, tidak ada pergerakan apa pun. BAhkan ketika pintu terbuka, justru pengunjung lain yang datang. Harapan Yasmin perlahan sirna.Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat kunjungan dari Barra, dan kini justru Bono yang datang.Pengacara magang itu melengkungkan senyum tipis. Dia menyodorkan mangkuk tertutup dari meja makan, disertai sebotol vitamin khusus ibu menyusui."Pak Barra titip ini untuk kamu. Sup iga dan vitaminnya," jelas Bono dengan suara pelan."Terima kasih, Pak Bono." Yasmin menerimanya. Aroma sup hangat itu menyeruak ke hidungnya, memunculkan rasa haru yang perlahan menyusup. Tangannya menggenggam erat botol vitamin yang biasa dia konsumsi. Rupanya, Barra tetap mengingat ucapan darinya.Pada pertemuan terakhir m
Barra makin menunduk, mendekatkan jarak di antara mereka. Ibu jarinya membelai bibir penuh mengilap itu, seolah memastikan sesuatu. Cindy yang merasa menang, tersenyum lebar. Dia sungguh tidak sabar mengikat pria itu selamanya, demi membalaskan rasa sakit dan dendam yang membara di hati. “Yasmin …,” lirih Barra, tepat di depan bibir Cindy. Akan tetapi, saat hampir menempel, Barra tersentak. Ada sesuatu yang berbeda. Indera penciumannya diserang aroma asing, menusuk dan aneh. Bukan wangi alami sabun segar, khas Yasmin yang menenangkan. Seketika Barra mendorong kuat tubuh Cindy hingga terjatuh. Tatapannya membeku dingin, suaranya membelah udara di malam hari. “Aku tidak bodoh!” “Aw, sakit! Pria macam apa kamu, hah!” gerutu Cindy, meringis sambil memegangi bokongnya yang ngilu. “Berengsek! Aku nggak akan biarin kamu lolos!” Barra tak peduli. Dia membalikkan badan, meninggalkan kelab malam itu tanpa sepatah kata pun. Sementara Cindy merintih kesal, masih berusaha bangkit. “Argh! Ken
Ponsel Cindy bergetar di tangannya, menampilkan nama Airin di layar. Wanita itu mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan dan dendam yang membakar. Malam ini, dia tidak akan kalah. Dia harus mendapatkan Barra, bagaimanapun caranya! Dengan mata yang masih berkilat, Cindy menekan tombol sambungkan, sambil menatap Barra yang sudah masuk ke dalam mobil. Dia segera mengikuti, mengendarai mobilnya sendiri. "Mam, aku mau pakai rencana Mami," ujar Cindy dengan suara berat. "Oke, kamu di mana sekarang? Bilang sama Mami, biar Mami yang urus," balas Airin begitu antusias. "Lokasi pastinya aku kirim belakangan, Mam. Aku masih di jalan," tukas Cindy sebelum memutus sambungan telepon itu. Rubicon putih yang dikendarai Barra berbelok memasuki area parkir VIP kelab malam. Barra turun dengan langkah cepat, memasuki bangunan itu tanpa menoleh. Cindy mengikutinya dari belakang, dengan dada berdebar. Tangannya sempat berkeringat saat menggenggam ponsel. Dia segera mengirimkan lokasinya pada Airin,