"Aduh … kenapa anak ganteng Bunda nang—”Langkah Yasmin terhenti di ambang pintu. Matanya langsung tertuju pada sosok Boy yang berada dalam dekapan Cindy, sementara seorang babysitter berdiri di samping mereka.Air masih menetes dari ujung rambut Yasmin yang belum sempat dikeringkan, menunjukkan betapa terburu-burunya dia berlari ke kamar bayi setelah mendengar tangisan itu.“Pergi sana! Boy enggak butuh kamu!” sergah Cindy, tangannya melambai-lambai, laykanya mengusir pengemis yang mengganggu pemandangan.Semenjak percakapannya kemarin bersama Barra, dia menjadi lebih sering berada di sekitar bayi kembar.Yasmin tidak beranjak, tetapi bukan itu yang membuatnya terpaku. Mata Boy, bulat dan bening, kini tertuju padanya. Tatapan polosnya tampak mencari seseorang. Yasmin menelan ludah, hatinya mencelos melihat tangan mungil itu bergerak-gerak seolah ingin meraih dirinya.“Ish, malah diam lagi. Cepat pergi, Yasmin! Bantuin Mbok Inah masak sana!” Cindy mengibaskan tangan lebih keras, suaran
Yasmin membelalak ketika seseorang menarik rambutnya dengan kasar. Rasa nyeri menjalar ke kulit kepalanya, seakan-akan helaian rambut itu tercabut paksa dari akar.Dia tersentak, meronta, dan berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman itu terlalu kuat.“Apa maksud Bu Airin?” tanyanya lirih, suaranya bergetar menahan sakit.Airin makin kuat menarik rambut Yasmin, dan tatapannya penuh kebencian. “Jangan pura-pura polos! Aku tahu niat busukmu!” bentaknya tajam.“Tolong lepaskan saya, Bu. Saya minta maaf kalau saya salah,” Yasmin merintih, sungguh dia tidak paham mengapa wanita itu menyerangnya.Belum sempat dia menarik napas lega, tangan Cindy mencengkeram lengannya dengan erat, rasanya sangat meremukkan. Cindy juga menatapnya bengis.“Dia enggak suka lihat aku dekat Boy dan Cleo. Dia mau rebut Kak Barra dari aku, Mam.”Yasmin menggeleng lemah. “Bu Cindy salah paham, saya tidak pernah—”Airin tidak peduli. Seketika sentakan kuat membuat kepala Yasmin makin nyeri. Lalu, mereka menyeretn
Yasmin menahan napas, langkahnya diperlambat sehalus mungkin saat bersembunyi di balik pilar. Dadanya naik turun dan jantungnya berdetak kencang. Beruntung tubuhnya kurus, sehingga Airin dan Cindy tidak menyadari keberadaannya.“Kurang ajar si Sarah! Dia benar-benar cari masalah sama kita,” geram Airin, jemarinya mencengkeram ponsel seolah ingin meremukkannya.Cindy melangkah gelisah, suara hak sepatunya beradu dengan lantai marmer. “Terus kita dapat uang dari mana lagi, Mam? Warisan Papi aja belum cair,” keluh wanita itu, nadanya setengah panik.Yasmin mengernyit. Warisan? Apa hubungan mereka dengan kematian Berliana? Dadanya terasa sesak. Bisa jadi mereka memang punya keterlibatan dalam kematian ibu si kembar.Tangan Yasmin refleks menutup mulutnya. Jika kecurigaannya benar, maka nyawanya dalam bahaya. Apalagi … Cleo dan Boy! Tidak! Dia tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada bayi kembar itu.Tangisan Cleo dan Boy yang makin kencang membuyarkan pikirannya. Dia bersiap melangkah, t
“Keluar!” perintah Barra, suaranya berat dan tak terbantahkan. Jemari pria itu saling mencengkeram, menahan rasa sakit yang jelas tergambar dari wajahnya yang garang. Kemeja putihnya terbuka setengah, kain itu ternoda merah—darah yang cukup banyak meresap di sana. Yasmin berdiri di ambang pintu, tubuhnya menegang saat tatapan dingin Barra menghunjamnya. Napas wanita itu memburu. Dia ingin menurut, ingin segera pergi, tetapi langkahnya masih tertahan di sana. Pandangan sepasang manik hitamnya melayang pada luka yang diderita pria itu, lalu akhirnya menunduk, ragu-ragu. “Dokter tidak bisa dihubungi, Pak. Mbak Yasmin pernah belajar mengobati luka, jadi—” “Mbok, apa harus kuulangi ucapanku?” sela Barra tajam. Tatapan elangnya begitu menyala, penuh ketidaksabaran. Dia hendak berdiri, tetapi nyeri di lengan membuatnya meringis dan kembali duduk, tangannya refleks mencengkeram area yang terluka. Saat itu juga, Yasmin maju satu langkah, lalu mengangkat pandangan dan menatap langsung ke m
“A—apa, Pak?” Suara Yasmin tercekat.Matanya membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jari-jarinya mencengkeram erat kotak obat di tangannya, siap melayangkan pukulan jika perlu. Namun, sebelum dia bertindak, Barra kembali berbicara dengan nada santai tetapi tegas.“Bajumu jelek! Buka dan ganti.”Jantung Yasmin seakan berhenti berdetak. Rasa terkejut bercampur dengan kemarahan yang sempat menggelegak di dada lenyap begitu saja. Napas wanita itu tersengal saat perlahan dia menunduk, menatap kaos dan rok plisket cokelat lusuh melekat di tubuhnya. Jemarinya mencengkeram ujung baju.Benar. Pakaiannya memang sudah usang. Bahkan saat masih menjadi istri Bram, dia tidak pernah diberi kehidupan layak. Kini, di hadapan Barra yang selalu tampak rapi dan berkelas, Yasmin tampak seperti pengemis.Dadanya terasa sesak. Hinaan itu menelusup jauh ke dalam hatinya, perih dan menyakitkan. Meskipun, tenggor
“Biar tahu rasa itu si Yasmin,” desis Airin, matanya berkilat penuh kemenangan. Bibirnya menyeringai puas saat membayangkan wanita itu meringkuk ketakutan dalam kegelapan. Dengan santai, Airin memarkir mobilnya di garasi dengan kepuasan yang belum juga surut. “Mam, dari mana? Kenapa pergi mendadak?” Cindy langsung menghampiri, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Namun, ada sedikit kegelisahan dalam intonasinya, seakan merasakan sesuatu yang jauh berbeda dari sang ibu. Airin menatap putrinya sejenak, lalu membelai pipinya dengan lembut dan mengecupnya. Cindy yang masih sangat muda ini harus segera mendapatkan tempatnya di sisi Barra. “Mami dari rumah, ambil baju. Kita bakal nginap lama di sini,” ucap Airin dengan senyum mengembang, berbanding terbalik dengan kekejaman yang baru saja dilakukan. Cindy mengangguk penuh antusias. Wajah cantiknya itu berbinar senang karena mendapat dukungan penuh dari sang ibu. Namun, seketika ekspresinya berubah, mengingat sesuatu yang lebih penting
Yasmin menoleh dan menatap Barra lekat-lekat, lantas bibirnya bergerak hendak mengatakan sesuatu. Bahkan genggaman tangannya tanpa sadar makin kuat mencengkeram lengan pria itu.“Orang itu—”Sial, ucapannya terputus ketika ponsel Barra berdering. Pria itu seketika mengempaskan tangan Yasmin tanpa ragu, seolah genggaman itu tidak berarti apa-apa baginya.Tanpa menoleh sedikit pun, Barra beranjak dari tempatnya dan melangkah ke luar kamar untuk menerima panggilan.Yasmin menatap nanar punggung Barra yang makin menjauh. Dingin. Acuh. Dadanya terasa sesak, nyeri menusuk hingga ke tulang. Kenapa rasanya seperti ini? Dan perasaan ditinggalkan ini begitu familiar baginya.Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Tiba-tiba, rasa tidak nyaman menjalari raganya. Sudah berjam-jam dia tidak memompa ASI, dan kini tubuh mulai memberikan sinyal yang tidak bisa diabaikan. Namun, tiba-tiba, pintu kembali terbuka.“Pak Bar—”Ucapan Yasmin menggantung. Tatapannya seketika melemah. Ada kekecewaan yang suli
Yasmin menegang, tubuhnya kaku saat suara langkah kaki mendekati kamarnya. Jantungnya berdebar cepat dan telinganya menajam menangkap siapa orang yang ada di luar kamar bayi. Napasnya tertahan ketika berpikir, apakah itu Airin? Atau Cindy?“Apa yang harus kulakukan?” gumamnya, mencoba berpikir jernih, tetapi sulit.Pintu bergerak pelan. Seketika hawa dingin menyelinap ke dalam ruangan, membuat tengkuk Yasmin meremang. Namun, detik berikutnya, aroma parfum maskulin yang familiar menguar di udara. Jantung wanita itu yang tadi melompat kini berusaha kembali ke ritme normalnya.“Pak Barra,” ucapnya pelan.Pria itu berdiri di ambang pintu, tubuhnya yang menjulang tinggi dengan sorot mata sulit diartikan.Yasmin menelan ludah. Dia tidak tahu kenapa Barra terus menatapnya, tetapi Yasmin merasakan ada seuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya penasaran.“Kenapa belum tidur?” Suara berat Barra memecah kesuny
Tidak!Ini salah. Mana mungkin seorang majikan terus mendekat seperti ini kepada pekerjanya?Yasmin tahu dia harus segera menjauh. Tubuhnya beringsut perlahan ke sisi kursi besi. Namun, baru saja tangannya menyentuh besi dingin di samping, dan tubuhnya sedikit terangkat, tangan hangat pria itu merangkum wajahnya, lalu sesuatu yang lembap dan lembut menyentuh keningnya.Hangat dan menenangkan. Yasmin membeku dibuatnya.Sudah pernah menikah, tetapi Yasmin belum sekalipun merasakan sentuhan sehalus dan setulus ini. Bukan nafsu, bukan pura-pura. Rasanya seperti … penerimaan."Mas...," gumamnya. Kepala Yasmin terangkat, dan manik hitamnya bertemu dengan sorot cokelat milik pria itu. Penuh cahaya yang memantulkan kerlip lampion dari kejauhan.Sebelum Yasmin sempat bertanya apa maksud semua ini, Barra lebih dulu bicara. "Bisa kenal lebih dekat?"Yasmin hanya bisa berkedip dengan mata yang membulat. Ini terlalu cepat. Sentuhan itu barusan … maksudnya apa? Lalu ucapan ini? Satu hal pasti—Barra
Untuk sejenak, ruangan itu menjadi hening. Bahkan Yasmin bisa merasakan helaian rambutnya yang tertiup udara dari pendingin ruangan. Wanita itu menelan saliva saat Barra makin mendekat dan ...."Malam ini kamu punya waktu, bukan?" bisik pria itu, tepat di telinganya.Napas hangat Barra membelai daun telinga Yasmin, dan suara beratnya membuat sekujur tubuh wanita itu bagai disetrum. Ia menggigil pelan, tanpa bisa mengelak dari efek suara yang menelusup hingga ke nadinya.Aneh, Yasmin tidak mempertimbangkan jawaban. Dengan mudahnya dia mengangguk, seolah terhipnotis oleh cara bicara pria itu. Bahkan ketika Barra tersenyum, Yasmin hanya terpaku menatapnya. Demi Tuhan, pria itu benar-benar seperti serangan jantung yang datang tiba-tiba."Nanti aku tunggu kamu di lobi," kata Barra seraya melepaskan tangannya dari tubuh Yasmin.Barra lantas bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Namun, bagi Yasmin itu luar biasa. Kini, dia sulit menjalani perannya sebagai Ibu Peri di mata anak-ana
Mata bulat Yasmin masih membesar mendengar ucapan pria itu. Dia sungguh tidak tahu harus merespons apa. Pandangannya beralih ke arah kanan, melihat yang lainnya mulai berjalan ke tempat sama. Ah, dia akan sekamar saja dengan Mbok Inah. Aman. Yasmin pun mengangguk mantap, pura-pura kalem padahal gugupnya merambat ke ubun-ubun.“Kenapa?” tanya Barra serius, tetapi sudut bibirnya yang terangkat membuat Yasmin menatap curiga.“Saya mau kasbon, Mas,” ucap Yasmin akhirnya, setengah menunduk. Barra menaikkan satu alis, menunggu penjelasan. Yasmin pun menambahkan, “Umm … itu, untuk sewa kamar di sini. Masa saya harus sekamar sama Mas?”Tawa Barra meledak seketika. Pria itu langsung merangkul bahu Yasmin secara impulsif, membuat wanita itu kaget bukan main. Dia mengedip-ngedipkan mata, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdetak seperti genderang perang.Terdengar bunyi ‘beep’ saat kartu menyentuh sensor, diikuti garis hijau pada handle pintu. Pintu terbuka lebar. Tanpa
Mata Cindy mengerjap, tetapi kelopak itu berat untuk terbuka. Samar-samar, dia teringat Bram menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Namun, telinga wanita itu menangkap suara ketikan keyboard dan hiruk-pikuk yang asing. Apa ini mimpi?“Bram sialan!” geramnya pelan.Dia sontak terkejut—karena bisa bicara. Cindy memaksa membuka mata. Cahaya ruangan menyilaukan, suasana ini jauh berbeda dari tempat sebelumnya. Sebelum sempat bangkit, seorang polwan mendekat dan membuka ikatan di tangan Cindy.“Jaga sikap!” hardik Polwan itu, “Pelapor masih berbaik hati mengantarmu ke sini. Bukan main hakim sendiri.”“Hah? Pelapor?” Cindy menyeringai sinis. “Bram? Baik hati?”Yang benar saja. Pria itu jelas-jelas mempermainkannya hingga dia pingsan karena ketakutan. Suntikan itu … ternyata hanya berisi air bening biasa. Permainan kotor!Duduk di kursi seberang, Bram menatap tajam. Dengan satu isyarat tangan, dia menegaskan bahwa Cindy tidak bisa lari ke mana pun.Belum sempat Cindy membalas tatapan itu, petug
Cindy tahu pasti Sarah menerima informasi entah dari Bram, atau mungkin … Barra yang menghasut. Namun, dia bangkit sambil memegangi pipinya yang masih mati rasa.“Tante, dengar dulu penjelasan aku,” elaknya, tidak menyerah.“Aku memang benci sama si Yasmin, tapi nggak sangka kawan sendiri jadi lawan. Jahat kamu!” seru Sarah, tangannya menunjuk-nunjuk wajah Cindy.Cindy tertawa miris. “Tan, pengadilan aja belum kasih keputusan. Jadi … semua info yang Tante dengar bisa aja palsu,” katanya, mencoba terdengar tenang. Meskipun debar jantungnya bergejolak hebat.“Ah … banyak omong!” Sarah kembali mendorong Cindy dengan keras. Emosi wanita paruh baya itu meledak. Dia menarik rambut dan mencakar kulit mulus Cindy. Lorong rumah sakit seketika berubah jadi ‘ring’ pertarungan.“Beraninya kamu membunuh anakku!”Cindy berontak. Dia bahkan menarik tubuh Sarah hingga keduanya jatuh dan bergumul di lantai. Teriakan dan cacian membahana, membuat lorong rumah sakit jadi tontonan public. Para perawat pu
“Mas Bram …,” bisik Yasmin dengan tangan menutup mulut dan mata yang berkaca-kaca.Barra melirik Yasmin, lalu berkata, “Ya. Dia bersaksi untuk kamu.”Yasmin tidak kuasa menahan air mata. Pria itu ... ternyata masih hidup pascapenikaman oleh Cindy. Bahkan masih bersedia membantunya.Wajah Bram tampak pucat. Pandangannya tajam, tenang, dan tanpa ragu. Kini dia duduk di kursi saksi dan mulai bicara. Pria itu menjelaskan semua, dari kejadian beberapa hari sebelumnya hingga upaya Cindy untuk membunuhnya.Kondisi ruangan makin riuh. Mereka semua saling berbisik dan bertanya-tanya, tidak menyangka mendengar kesaksian Bram.Jaksa sempat menoleh ke arah bangku penonton, lalu menggeram pelan. Tangannya mengetuk-ngetuk pulpen di meja dengan ritme tak sabar. Matanya menyipit tajam menatap Bram, lalu ke arah hakim. “Kami ... akan meninjau ulang seluruh keterangan saksi dan bukti,” gumamnya, denagn nada yang mulai terdengar goyah.Dari barisan kursi khusus kuasa hukum, seorang pria bertubuh tegap t
Cindy menyeringai kecil. Sudut bibirnya naik pelan, seolah menahan gelak puas. Matanya menyapu tubuh Bram yang terbaring diam. Jemari wanita itu menggenggam suntikan berisi cairan bening.Dengan gerakan cepat, dia menyuntikkan cairan itu ke saluran infus. Lalu menunggu beberapa detik.Akan tetapi, detik demi detik berlalu, Bram masih terdiam. Tidak ada kejang, atau napas memburu."Kenapa nggak kejang-kejang juga, sih? Apa obatnya kurang?" gumam Cindy lirih, keningnya berkerut.Suara langkah membuat wanita itu menoleh. Seorang perawat masuk dengan senyum ramah."Maaf, Bu. Waktu besuknya sudah habis."Cindy mengubah raut wajahnya dalam sekejap. Dia berdiri tenang, menyimpan suntikan ke tas, dan berjalan keluar dengan anggun.Di luar, Airin tengah duduk di samping Sarah yang tertidur. Cindy menghampiri sambil tersenyum lebar."Gimana? Berhasil ‘kan? Mami nggak sabar datang ke kuburan si B—"Cindy buru-buru menempelkan jari telunjuk ke bibir diiringi sorot mata yang tajam."Beres, Mam. T
Barra mengetuk-ngetukkan jemari di atas layar tabletnya. Napas pria itu memburu, sesak oleh tekanan pikiran. Dia melonggarkan dasi yang menjerat leher, membuka dua kancing teratas kemeja putih yang sudah kusut. Jemarinya terangkat, memijat pelipis perlahan, seakan berharap beban di kepala dapat menguap bersama rasa nyeri yang menyelip."Pak, kita langsung ke kantor atau Anda ingin pulang dulu?" tanya Bahtiar yang duduk di samping sopir.Barra tidak menjawab. Pandangannya kosong, tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri."Pak?" Bahtiar kembali menoleh ke belakang, kali ini lebih khawatir. "Anda baik-baik saja?"Barra mengangguk samar, lalu akhirnya bersuara. "Minta data seluruh rekam medis Mami Airin, Cindy, Berliana ... dan mendiang Papi Ben. Aku membutuhkannya.""Baik, Pak. Sekarang kita ke—""Pulang. Aku ingin melihat anak-anak," potong Barra. Dia menyerahkan tabletnya kembali pada Bahtiar, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Entah tidur, atau hanya menghindar dari dunia
"Mas Barra ke mana, Pak? Kenapa tidak ke sini?" tanya Yasmin pada Bono. Manik hitam wanita itu menyapu ke arah ruangan besuk, menatap pintu. Dia sungguh berharap petugas membukanya dan menampakkan sosok Barra di sana.Akan tetapi, setelah menanti selama lima menit, tidak ada pergerakan apa pun. BAhkan ketika pintu terbuka, justru pengunjung lain yang datang. Harapan Yasmin perlahan sirna.Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat kunjungan dari Barra, dan kini justru Bono yang datang.Pengacara magang itu melengkungkan senyum tipis. Dia menyodorkan mangkuk tertutup dari meja makan, disertai sebotol vitamin khusus ibu menyusui."Pak Barra titip ini untuk kamu. Sup iga dan vitaminnya," jelas Bono dengan suara pelan."Terima kasih, Pak Bono." Yasmin menerimanya. Aroma sup hangat itu menyeruak ke hidungnya, memunculkan rasa haru yang perlahan menyusup. Tangannya menggenggam erat botol vitamin yang biasa dia konsumsi. Rupanya, Barra tetap mengingat ucapan darinya.Pada pertemuan terakhir m