“Apa kamu sengaja melakukannya?!” sarkas Barra sembari melempar tatapan tajam.
Seketika Yasmin mendongak dengan mata menyipit. Dia terlalu fokus menyusui dua bayi kembar dalam dekapannya untuk memahami maksud pria itu. “Apa maksud, Bapak?” tanyanya dengan suara sangat pelan, khawatir mengganggu dua bayi yang mulai terlelap. Barra menyeringai sinis. Jari telunjuk pria itu terangkat dan menunjuk langsung ke bagian dada Yasmin yang sedikit terbuka. Meskipun begitu, manik cokelatnya tidak berpindah fokus. “Bukankah itu trik murahan? ” Yasmin seketika menunduk, tetapi dia tidak bisa menutupi bagian dadanya karena kedua tangannya sedang menopang tubuh mungil bayi-bayi itu. Kata-kata Barra sungguh menusuk telinganya seperti duri yang mencabik kepercayaan dirinya. Demi Tuhan, tidak pernah terlintas sedikit pun niat buruk seperti yang dituduhkan pria itu. Bahkan ketika dia menyadari siapa ayah dari bayi kembar ini. “Maaf, Pak,” cicit Yasmin, berusaha menahan suaranya. Barra tidak merespons, tetapi tatapannya masih dingin dan menghakimi. Sorot mata pria itu seakan menembus hingga ke jantung Yasmin, membawa hawa dingin yang menusuk batinnya. Tekanan itu tentu saja memengaruhi suasana hati Yasmin, membuat bayi dalam dekapannya ikut gelisah dan merengek. “Hush, Sayang … tenanglah, Bunda di sini. Maaf, Sayang,” bisik Yasmin, mencoba menenangkan dua bayi yang tampaknya merasakan perubahan emosinya. Barra berdecak pelan. “Anak-anakku tahu kamu tidak tulus membantu mereka.” Kata-kata itu lebih menyakitkan daripada tamparan. Yasmin menutup matanya sejenak, mencoba menahan air mata yang menggenang. “Terserah, Bapak mau menilai saya seperti apa. Yang jelas saya tidak seperti itu!” kata Yasmin dengan suara bergetar. Barra tidak membalas, hanya menjentikkan jarinya. Perawat segera mendekat dan mengulurkan tangan untuk mengambil salah satu bayi. “Saya bantu gendong Boy, ya, Bu.” Yasmin mengangguk canggung, tanpa sadar tersenyum tipis saat mendengar panggilan itu. “Jadi panggilannya Boy?” lirihnya. “Ya, Boy dan Cleo. Kenapa, ada yang salah?” tanya Barra, suaranya dingin, dan menusuk. Yasmin menggeleng. Dia memilih menulikan telinga dari semua ucapan menyakitkan pria itu. Dia lantas menatap wajah mungil Cleo dalam gendongannya. Bayi kecil itu mulai tenang seiring Yasmin mengayun tubuhnya penuh kelembutan. Akan tetapi, ada sesuatu yang aneh. Dada Yasmin menghangat, perasaan yang sulit dia definisikan muncul tanpa dia mengerti. Tatapan Yasmin menelusuri wajah Cleo, gerakan halus bayi itu menggeliat dalam pangkuannya terasa begitu familiar. Hatinya mencelos, ketika ingatan tentang malam penuh nyeri itu kembali menyeruak dalam dada. ‘Tuhan … andai saja anakku masih hidup, pasti dia ada di pangkuanku seperti Cleo saat ini,’ batinnya lirih. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa bisa dia cegah. Namun, Yasmin dengann cepat menyekanya. Dia harus melangkah maju, tidak boleh berdiam di tempat. Sekarang ada dua bayi ini. Sumber semangatnya. “Setelah menyusui mereka, temui aku di depan ruang NICU.” Suara berat pria itu kembali terdengar. Barra berbalik dan berjalan pergi. Meskipun begitu, Yasmin tahu pria itu masih mengawasinya dari balik kaca lebar di luar ruangan. Ekor matanya menangkap sosok tinggi itu berdiri dengan satu tangan masuk ke dalam saku, sibuk berbicara di telepon. Setelah memastikan bayi-bayi itu tertidur pulas, Yasmin keluar menemui Barra dengan hati gelisah. “KTP-mu,” pinta Barra tanpa basa-basi, nada suaranya tetap dingin. Yasmin mengernyit. “Untuk apa, ya, Pak?” “Kamu jadi ibu susu untuk anak-anakku. Kamu harus menandatangani perjanjian.” Yasmin tercenung sejenak. Batinnya berkata, ‘Kenapa aku harus menandatangani sesuatu yang mengikat, padahal aku tulus ingin bantu? Tapi kalau aku menolak ... bagaimana dengan bayi-bayi ini?’ Dia pun akhirnya menyerahkan data diri. Tak lama kemudian, Barra menyodorkan ponselnya, memperlihatkan poin-poin perjanjian yang membuat Yasmin membelalak. Yasmin harus berada 24 jam bersama bayi kembar. Tidak boleh pergi tanpa izin dari Barra. Tidak boleh ada keterikatan emosional. Yasmin menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Aturan itu begitu mengikat, seperti jerat yang siap mencekiknya kapan saja. Namun, mata hitam Yasmin kembali tertuju pada bayi-bayi yang baru saja tertidur. Dengan berat hati, Yasmin akhirnya menekan tanda setuju. “Mulai sekarang, jalani tugasmu dengan benar!” tegas Barra tanpa sedikit pun kelembutan. “Bapak tidak perlu takut saya lalai,” sahut Yasmin. “Bagus, kamu sadar diri.” Kalimat itu begitu dingin dan pedih. Seperti belati yang menorehkan luka lama, mengingatkannya pada perlakuan serupa yang pernah dia terima dari Bram dan Sarah. Sejak hari itu, Yasmin tidak pernah sekalipun meninggalkan Boy dan Cleo. Dia selalu siaga di dekat mereka. Bahkan merelakan waktu tidurnya terkikis. Namun, dia tidak pernah mengeluh. Karena hanya ini yang bisa dia lakukan. Saat salah satu bayi menangis, Yasmin langsung bergerak. Setelah memastikan tangannya bersih, Yasmin menggendong Boy dengan hati-hati, sementara Cleo masih terlelap. “Hush, Nak. Bunda di sini,” bisiknya pelan, mulai menyusui Boy dengan penuh kasih. Seharusnya, momen ini hangat dan damai. Namun, Yasmin tahu dia selalu diawasi. Barra berdiri dengan tangan terlipat depan dada. Pria itu berdiri di seberang ruangan. Tatapannya menilai setiap gerak-gerik Yasmin dengan dingin, tanpa sedikit pun empati. Boy mulai tertidur nyenyak, membuat Yasmin tersenyum hangat. Hanya saja, senyum itu lenyap ketika suara berat itu kembali terdengar. “Jangan bertindak seolah-olah kamu ibu mereka.” Napas Yasmin tersentak. “Aku hanya—” “Hanya apa?” Barra menyela dingin. “Kamu di sini karena kontrak? Jangan sampai kamu berpikir lebih dari itu.” Kata-kata itu menusuk Yasmin lebih dalam. Barra melangkah lebih dekat dan berbisik tajam di telinganya, “Jangan berani-berani merasa memiliki mereka.”Halo Kakak-Kakak Selamat datang di buku baru aku. Ditunggu komentarnya ya Makasih ^^
Barra tiba di pengadilan tepat pukul delapan pagi. Bahtiar dan Bono sudah menunggunya di depan, masing-masing menenteng map berisi berkas-berkas tebal. Hari ini mereka harus menghadiri dua sidang penting."Pak, Bu Tamara Lee transfer bonus, katanya karena kita berhasil memenangkan sidang itu," ujar Bahtiar sambil menunjukkan layar ponselnya yang berisi notifikasi transfer.Barra mengerutkan alis. Tatapannya tajam pada angka-angka yang tertera di layar, dia juga berkata tegas, "Kembalikan! Kita hanya menerima pembayaran sesuai kontrak."Bono dan Bahtiar saling melirik. Harapan mereka akan bonus tambahan langsung pupus. Namun mereka paham, ini soal prinsip. Terlebih sejak Barra memutuskan untuk tidak lagi menerima klien wanita, suasana kantor pun berubah. Mereka tahu betul, pria itu menjaga perasaan calon istrinya."Baik, Pak. Saya transferkan kembali pada manajer Bu Tamara," ucap Bahtiar, jemarinya bergegas mengetik di layar.Setelah menunjukkan bukti transfer balik pada Barra, ketigan
Beberapa hari setelahnya.“Selamat pagi, calon istri. Sudah siap?” tanya Barra begitu melihat Yasmin baru saja menuruni tangga dengan tergesa.Wajah Yasmin yang tadi sudah segar sehabis mandi kini kembali memanas. Langkahnya langsung melambat. Dia juga mengerucutkan bibir, lalu melirik ke arah Barra yang tersenyum penuh arti.Belakangan ini, setelah tanggal pernikahan ditetapkan, calon suaminya itu memang gemar menggoda dan bersikap manis. Terkadang Yasmin tidak tahan menghadapi perlakuan manja pria itu. Rasanya ingin sembunyi saja dari pandangannya yang menggelitik.Apalagi kalau Barra tiba-tiba mengajak keluar rumah diam-diam, padahal Kezia sudah melarang mereka pergi sebelum hari pernikahan. Kecuali untuk urusan yang penting.Satu hal baru yang Yasmin sadari, Barra ternyata tipe pria yang hobi membantah. Setiap kali Kezia menelepon dan menyuruh Barra cepat pulang. Katanya, mengawasi mereka jauh lebih mudah kalau tetap di rumah.“Kenapa diam? Nanti kita terlambat, Yasmin.” Barra men
Didesak dengan pertanyaan bernada menyudutkan dan tatapan penuh selidik dari Kezia, Yasmin merasa bagai terdakwa di ruang interogasi. Lidahnya kelu untuk menjawab, dan jantungnya berdetak kencang. Dia sedikit menunduk, meremas ujung bajunya untuk meredam kepanikan.Kalau saja tadi dia tidak nekat membangunkan Barra, mungkin kejadian memalukan ini tak akan terjadi. Harusnya biarkan saja pria itu tidur. Atau, kalau perlu, dia melompati sofa demi menghindari adegan konyol barusan.“Umm itu, Mi ... tadi Mas Barra—”Belum sempat ucapannya selesai, pintu kamar Barra terbuka. Pria itu keluar dengan wajah segar, mengenakan kaos polo putih dan celana denim pendek di atas lutut. Rambutnya masih basah, meneteskan air di pelipis.“Ada apa, Mi?” tanya Barra santai, seolah tidak ada yang janggal.Kezia langsung menatap putranya dengan tajam, lalu menoleh ke arah Yasmin yang rambutnya juga setengah basah.“Kamu keramas?” Suara wanita paruh baya itu naik satu oktaf, dengan mata yang membelalak. “Kali
“Yasmin … kamu masih marah?” Barra mengetuk pintu kamar perlahan. Dia juga menoleh ke sekitar. Rumah sudah sepi. Tidak ada yang berlalu-lalang. Tentu saja ini sudah malam. Kalau dia sampai berbuat gaduh, bisa-bisa Kezia dan Leo yang turun tangan.“Aku minta maaf,” ucap Barra lagi. Dia berharap Yasmin mendengarnya dari balik pintu. Sayang, tidak ada jawaban.Dia menarik napas dalam. Jantungnya berdebar tidak karuan. Yasmin pasti marah … atau mungkin menangis. Dadanya mengencang membayangkan air mata wanita itu tumpah karena dirinya. Belum sah menjadi suami, dia sudah membuat calon istri bersedih.Dengan gusar, Barra merogoh saku jas yang disampirkan di lengannya, lalu mengeluarkan telepon genggam. Dia langsung menekan nomor Bahtiar.“Bahtiar! Bilang ke Ela, mulai sekarang jangan terima klien perempuan lagi!” ujarnya tajam.Di seberang, Bahtiar baru saja merebahkan diri di ranjang, setelah seharian penuh menemani sang atasan menghadiri sidang.“Hah? Kenapa, Pak?”Barra terdiam sejenak.
Senja ini, Yasmin duduk di atas rumput hijau yang lembap, dengan beberapa daun kering berserakan di sekitarnya. Tatapan iris hitam wanita itu melekat pada dua anak yang tengah berlarian dan tertawa riang.Boy membawa bola sambil berteriak penuh semangat, Cleo mengejarnya sambil tertawa cekikikan, kakinya yang kecil berusaha mengejar sang kakak dengan sekuat tenaga.“Nda … bola!” teriak Cleo sambil menggeleng keras-keras, poni kecilnya ikut bergoyang.“Nih … bola!” Boy menyodorkannya dengan jahil, tetapi ketika Cleo mendekat, bocah itu kembali berlari menjauh. Cleo langsung manyun, wajah kecilnya pun berubah masam.Senyum Yasmin mengembang. Tanpa disadari, air mata tipis mengalir di pipinya. Melihat Cleo, putri kecilnya tumbuh bahagia dan mendapat kasih sayang seutuhnya—itu lebih dari cukup.Barra … pria itu tidak berubah. Bahkan setelah tahu Cleo bukan darah dagingnya, dia tetap mempe
“Yasmin?” “Mas?” Kompak keduanya. Melihat Barra yang bahkan enggan beranjak sejengkal pun, Yasmin tersenyum jahil. Tiba-tiba saja, dalam benaknya terlintas sesuatu yang menggelikan. “Sebentar lagi saya kuliah. Pasti sibuk. Kalau begitu ... nikahnya selepas lulus saja, Mas,” ucap Yasmin santai, dan menyeringai kecil. Dia melepaskan genggaman dari tangan anak-anak, lalu memutar tubuh Barra agar membelakanginya. Sedangkan Barra masih menganga tidak percaya, calon istrinya ini justru memberikan jawaban yang menguji kesabaran. Yang benar saja? Dia harus menunggu selama empat tahun? Belum lagi proses panjang menjadi seorang dokter. Barra berdecak kesal. Saat dia hendak menoleh ke arah sang pujaan hati, Yasmin tiba-tiba mencubit pelan punggungnya. “Ayo, Mas. Berangkat. Kerjanya harus rajin,” goda wanita itu sembari terkekeh kecil. Barra hanya bisa menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah mobil Rubicon putihnya sambil mengusap dada. Pria itu merasa harus menambah stok kesabaran d
Barra meraih tangan Yasmin dan menggenggamnya erat, seolah tidak ingin melepasnya. “Bilang saja, kamu mau minta bukti apa?” ulangnya dengan penuh tekanan. Dia merasa Yasmin mungkin masih ragu, bisa saja menolak.Akan tetapi, senyum di bibir mungil Yasmin justru mengembang manis. Dia membalas genggaman itu.“Kalau saya kasih tahu, memangnya Mas bakal lakuin?” tanya wanita itu, mata beningnya serius menatap Barra yang mengangguk tegas.Yasmin pun mendekat. Tubuhnya berjinjit, lalu berbisik tepat di dekat telinga pria itu, “Tolong jangan pergi sampai kita sama-sama tuan anti.”Kalimat sederhana itu menghangatkan hati Barra yang sebelumnya dipenuhi kabut keraguan. Wajah tampan yang semula tegang kini melunak. Pria itu ingin melompat kegirangan, tetapi dia menahan diri. Bisa jatuh harga dirinya di depan sang pujaan hati.Yasmin menjauh dan menunduk malu, wajahnya memerah ditatap oleh sepasang manik cokelat di depannya.Senyum lebar terukir di wajah Barra. Hatinya yang membeku sekian lama
Mata mereka saling menatap dalam jangka waktu cukup lama. Diiringi embusan angin malam yang bergerak halus.Debar jantung Yasmin makin berisik tatkala ibu jari Barra membelai lembut bibir mungilnya. Bukan hanya itu saja, bahkan aroma mint dari embusan pelan napas pria itu memenuhi indera penciumannya. Barra memang selalu wangi dan bersih.Yasmin menelan air liurnya yang terasa mengental, lantas membuka bibirnya sedikit, hendak berkata sesuatu yang entah apa. Sebab pikirannya saat ini mendadak kosong dan sulit merangkai kata.Tiba-tiba saja, dalam sekejap, Yasmin membelalak ketika bibir Barra yang hangat dan lembap menempel dengan bibirnya. Dia hanya bisa terdiam saat merasakan sentuhan itu terlalu lembut sampai-sampai menghipnotisnya untuk menerima serta menikmati pagutan itu.Bukannya menolak, Yasmin justru menyampirkan kedua tangan pada bahu kokoh pria itu. Dia khawatir terjatuh karena Barra benar-benar membuatnya kehilangan energi. Ini memang bukan ciuman pertamanya, tetapi inilah y
Barra berjalan ke ruang tamu sambil menahan rasa kesal yang hampir meluap dari ubun-ubun. Gerakan langkah pria itu teramat berat, ekspresi wajah tampannya juga mengeras begitu melihat tamu yang duduk dengan gelisah di sofa."Ada kabar apa? Bukannya aku sudah bilang, hari ini jangan ganggu. Besok baru boleh," ujarnya dengan nada tajam dan tatapan sengit pada Bahtiar.Tamu itu berdiri buru-buru, dan wajahnya gugup. "Maaf, Pak. Ini penting."Barra mendengkus dan berdecak. Meskipun kesal, tetapi akhirnya memberi isyarat tamunya untuk bicara.“Saya bawa laporan terbaru tentang Bram dan kasus Cindy, Pak.” Bahtiar menyerahkan dua map berbeda warna.Barra menerimanya dan mangut-mangut ketika membaca dengan teliti. Dari raut wajahnya, tampak dia sangat puas dengan kinerjanya. Sudut bibir pria itu berkedut samar.“Bagus. Biarkan saja warganet menggoreng beritanya. Tapi pastikan wajah anak-anak tidak muncul di mana pun!”“Tenang, Pak. Saya sudah bekerja sama dengan banyak situs berita online.” B