Setelah ASI-nya dipastikan cocok, Yasmin dibawa ke ruang NICU. Dia menatap bayi kembar yang terbaring di dalam inkubator. Tubuh mereka lebih kecil di antara bayi lainnya. Napas tersengal, dan kulit transparan dengan urat-urat halus terlihat samar.
ASI Yasmin telah diperah. Perawat juga telah memasukkan ASI tersebut ke dalam selang. Saat cairan hangat itu masuk, gerakan bayi yang semula gelisah, perlahan melemah dan napasnya lebih tenang.
Yasmin menempelkan jarinya ke kaca inkubator, "Minumlah, Nak. Bunda di sini."
Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Sedang apa kamu di sini?!"
Yasmin terlonjak. Dia menoleh dengan mata membesar.
Tepat di belakangnya, berdiri seorang pria dengan tatapan tajam dan ekspresi dingin. Seketika Yasmin menegang dan bertanya dalam hati, ‘Siapa dia?’
Tatapan pria di hadapannya begitu tajam dan intimidatif, bagai katana yang menusuk tanpa ampun. Membuat udara dalam ruangan terasa berat dan menekan dada Yasmin hingga napasnya terasa sesak.
"Kenapa diam? Siapa yang mengizinkan kamu ada di sini?" tanya pria itu dengan intonasi rendah, tetapi dingin dan penuh curiga.
Yasmin menelan ludah. Dia mencoba menenangkan diri, tetapi getaran di tubuhnya tidak sulit dikendalikan.
Bagaimana tidak? Pria itu adalah Barra Alexander Armend, pengacara ternama yang selalu tampil tenang dan karismatik di hadapan publik. Namun, sekarang, tidak ada keramahan itu. Hanya pria dengan tatapan keras yang melihat Yasmin seperti seorang penjahat.
"Sa—saya … hanya mau bantu….” cicit Yasmin, suaranya tenggelam di antara bunyi monitor dan detak jantungnya sendiri yang berdebar hebat.
Sayangnya, alih-alih mereda, tatapan Barra justru tambah menusuk. Pria itu menyilangkan tangan di dada diikuti rahang yang mengeras.
"Kamu pikir aku akan percaya begitu saja?" Barra menyela dengan nada dingin. “Belakangan ini banyak kasus penculikan anak, modusnya beragam. Seperti kamu!” tuduh pria itu lagi.
Sesak sekali rasanya Yasmin mendengar itu semua. Dia ingin membela diri, ingin berteriak bahwa dia tulus dan tidak ada niat tersembunyi.
"Saya tidak punya niat buruk," lirih Yasmin yang berusaha meyakinkan. “Saya baru saja kehilangan bayi, dan melihat mereka yang butuh ASI, saya hanya ingin membantu agar mereka bisa tumbuh sehat!”
Barra menyipitkan mata, menatap Yasmin dengan sorot ketidakpercayaan. Kendati sorot mata pria itu sedikit melemah, tetapi garis ketegangan masih kentara pada wajah rupawannya.
Suasana ruangan seketika senyap. Yasmin bisa merasakan ada bara kemarahan dalam dada pria itu, tetapi juga kepedihan mendalam yang tersirat.
"Aku tetap tidak percaya padamu,” ucap Barra yang kini mengalihkan pandangan dari Yasmin.
Yasmin menggigit bibirnya. Mata bulat wanita itu terasa panas, jemarinya mengepal kuat di sisi tubuhnya.
Padahal dia sudah berusaha menjelaskan. Namun, masih juga dianggap buruk.
Setelah mengatur napasnya, Yasmin menegakkan tubuh. Dia mengangkat dagu dengan sisa harga dirinya. "Kalau begitu, saya pergi, Pak," tegasnya berusaha tetap terdengar tegar.
Yasmin keluar menuju ruang NICU meski hatinya berat. Akan tetapi, sebelum Yasmin mencapai pintu, suara alarm berbunyi nyaring.
Salah satu bayi kembar Barra dalam inkubator mulai gelisah. Tangisan mereka bersahutan, tidak berhenti bahkan ketika sudah mendengar suara ayahnya.
Barra mulai panik. Pria itu berlari ke arah pintu NICU untuk meminta bantuan perawat.
Dokter Samantha dan beberapa perawat berlari mendekat.
Ternyata, ASI perah Yasmin yang ada di selang bayi-bayi itu telah habis.
Samantha mengedarkan pandangan, “Ke mana Yasmin? Mereka butuh ASI sekarang!”
Pandangan Barra dan Samantha bersiborok sesaat, sebelum akhirnya pria itu kembali berlari keluar NICU.
Yasmin masih berada di lorong itu. Langkahnya memelan ketika mendengar jerit tangis dua bayi susunya.
Namun, mengingat penolakan dan tuduhan Barra padanya, membuat Yasmin urung untuk kembali ke ruangan itu.
"Tunggu!" Barra berteriak. Sayangnya, Yasmin terus berjalan. Tidak kehabisan akal, Barra kembali mengejar Yasmin, dan meraih tangan wanita itu. “Berapa yang kamu butuhkan? Jika kamu mau menjadi ibu susu anak-anakku–”
Tangisan bayi itu terdengar semakin kencang, membuat hati Yasmin semakin pilu.
Wanita itu memejamkan matanya, masih berusaha menolak permintaan Barra. Akan tetapi, nalurinya sebagai ibu, juga sebagai wanita tidak mengizinkannya untuk bertindak tak acuh pada tangisan itu.
“Aku akan menyusui mereka, tapi bukan karena tawaran dari Bapak!”
Setelahnya, Yasmin berbalik. Langkahnya lebih cepat. Sungguh, jika dia tidak punya hati dan tidak teringat akan putrinya, sudah pasti Yasmin tidak sudi kembali menyusui anak-anak Barra.
Mengingat sudah tidak memungkinkan untuk memerah ASI-nya, Yasmin, disetujui oleh dokter dan perawat, mencoba menyusui dua bayi itu secara langsung dan bersamaan.
Air mata Yasmin jatuh, ketika merasakan dirinya masih dibutuhkan oleh dua malaikat kecil ini. “Hussh, tenang, Nak.” Dia menggoyang-goyangkan badannya dengan lembut ke kanan dan kiri. Dua bayi ini seolah protes karena telat diberi ASI. “Maafin Bunda, ya… Bunda janji nggak akan ninggalin kalian lagi.”
Di ujung pintu NICU, Barra terpaku. Dua bayinya kini berada di pelukan Yasmin, yang dadanya tengah terekspos karena menyusui anaknya langsung.
“Aduh … Mas, s–sakit, kamu di mana?” rintih Yasmin sambil memeluk perut buncitnya. Dia duduk di sofa dengan napas memburu. Saat ini Yasmin sendirian di rumah. Kezia dan Leo masih tinggal di London, akan kembali sekitar satu minggu lagi. Anak-anak sedang bersekolah, ditemani pengasuh. Mbok Inah yang seharusnya ada, entah ke mana. Mungkin sedang ke belanja. Sudah setengah jam Yasmin memanggil, tetapi tidak ada seorang pun muncul. Tangannya gemetar saat memegang ponsel dan kembali menekan kontak Barra. Tadi dia sudah mengirim pesan pada suaminya. Namun, hanya dibaca saja. Ya, dia tahu Barra memang sedang menjalani persidangan, tetapi … siapa lagi yang bisa dia hubungi? Ini seperti deja vu. Yasmin cepat-cepat menggeleng. Tidak, kali ini berbeda. Dia tidak sendiri. Dia punya Barra, anak-anak, dan orang-orang yang mencintainya. Dia hanya perlu menunggu sedikit lebih lama untuk sampai di rumah sakit. Telepon tersambung. “Sayang … aku baru selesai sidang. Kamu sudah makan?” Suara Barra te
Mata Yasmin masih terpaku pada Boy dan Cleo yang duduk di pangkuan Kezia. Ada kekhawatiran samar dalam hatinya, saat dia harus jauh dari anak-anak. Rasanya baru kemarin dia takut kehilangan segalanya. Kini, diberi kesempatan seperti ini pun masih membuatnya takut terlalu bahagia dan kalau semua ini hanya mimpi."Mami serius jaga anak-anak sendirian?" Yasmin menatap dua anaknya yang sedang menyesap susu. Mereka duduk bersama Leo.Kezia mengangguk. "Mami dan anak-anak tunggu di rumah keluarga Papi. Kalian jalan-jalan saja." Satu tangan Kezia menyentuh perut Yasmin yang menyembul dan janin di dalamnya merespons."Makasih, Mi." Yasmin memeluk wanita itu. Dia meneteskan air matanya.Sungguh tidak menyangka bahwa hidupnya kini diberi banyak kebahagiaan yang melimpah ruah. Yasmin sangat menyukai kejutan dari suami dan mertuanya. Memang rencananya mereka pergi berdua ke London untuk babymoon. Namun, Yasmin bersikukuh anak-anak juga harus ikut. Baginya, kebahagiaan hanya utuh jika anak-anak jug
Sambil memegang kertas hasil pemeriksaan dari rumah sakit, Yasmin melangkah mantap ke dalam rumah. Namun, langkah mantap itu tak seiring dengan debar jantungnya yang makin sulit terkendali. Ada keinginan untuk langsung menunjukkan hasilnya. Hanya saja entah kenapa, Yasmin merasa belum waktunya.Dari ruang tamu, dia melihat suaminya masih sibuk bekerja dan menelepon. Yasmin mengurungkan niatnya untuk mendekati Barra. Dia memilih berbalik, bergegas mandi, dan menemui kedua anaknya yang terlelap dalam damai. Yasmin mengecup mereka satu per satu, dadanya terasa sesak oleh rasa syukur dan kecemasan yang datang bersamaan.Baru saja keluar dari kamar Boy, Yasmin nyaris terpekik karena Barra tiba-tiba muncul dan mengejutkannya."Makan nasi goreng, yuk. Mau?""Mas lapar? Belum makan?" selidik Yasmin, agak geli dengan ekspresi Barra yang begitu bersemangat. Seolah-olah belum makan."Sudah. Tapi tiba-tiba mau makan nasi goreng sama kamu. Ayo." Barra langsung menarik tangan Yasmin menuju garasi.
Barra, Boy, dan Cleo melongo melihat Yasmin sudah menghabiskan dua kotak es krim dalam waktu sepuluh menit.“Bunda?” panggil dua bocah seakan menyadarkan Yasmin yang terlalu lahap. Wanita itu langsung menjatuhkan sendok es dari tangannya. Dia hendak menyeka noda di bibir tipisnya, tetapi Barra lebih dulu melakukannya. Pria itu tersenyum.“Masing-masing punya satu, tidak ada yang merebut punyamu,” goda pria itu sambil meraih satu sendok es dari kotak ketiga yang dipesan Yasmin tadi.“Mas!”Yasmin menarik kotaknya cepat. Tidak terima jika Barra menyentuhnya sedikit pun. Entah kenapa, es krim ini terasa seperti penghiburan. Manisnya menenangkan, dinginnya membuat pikiran jeda sejenak dari tumpukan stres koas yang makin hari menyita tenaga. Apalagi akhir-akhir ini, tubuhnya terasa aneh—mudah lelah, emosinya tak stabil, dan kalau sudah lapar, rasanya mau menangis.Kedai es ini belakangan viral di media sosial dan ramai diperbincangkan di kalangan staf rumah sakit. Rasanya yang segar dari
“Papi!” seru anak-anak yang baru saja keluar dari sekolah. Mereka saling berebut menghambur memeluk Barra di samping Audi putihnya.Boy dan Cleo diikuti oleh Yasmin. Wanita itu mendapat jatah libur hari ini. Dia menggunakannya untuk menjemput anak-anak di sekolah bersama Barra. Keduanya sangat antusias karena ayah dan ibunya membersamai.Tatapan hangat terpancar dari Yasmin yang mengamati bagaimana Barra kesulitan menggendong kedua anaknya. Ketika berhasil, mereka langsung mencium pipi Barra penuh sayang.“Cleo sayang Papi.”“Aku juga sayang Papi, tapi lebih sayang Bunda,” sahut Boy yang tidak mau mengalah. “Sini Bunda.” Anak itu melambaikan tangan.Yasmin mendekat dan memeluk keempatnya, lalu menggesekkan hidungnya di pipi lembut Boy.“Kita makan es krim, yuk. Bunda dari kemarin mau makan es strawberry tapi belum kesampaian,” akunya.“Ayo, Bunda. Cleo juga mau.” Jemari mungil Cleo menggenggam tangan Yasmin.Sementara Barra sesekali menatap ke kejauhan. Pria itu mengedipkan matanya per
“Mas Bram?” Suara Yasmin tertahan. Tubuhnya membeku melihat sang mantan yang tiba-tiba mendekat. Refleks, dia melangkah mundur, tapi Bram lebih cepat. Tangannya menahan lengan Yasmin sebelum dia sempat berlari.“Tolong, jangan pergi!” pinta Bram, suaranya meninggi. “Yasmin, beri aku kesempatan.”Yasmin tertawa sinis. “Kesempatan?” Dia menoleh ke arah satpam dan memberi isyarat agar pria itu dijauhkan darinya.Akan tetapi, Bram memberontak. Gerakannya liar, seperti orang kesetanan. Dia mengejar Yasmin yang kini berlari lebih cepat, langkahnya terhuyung karena panik menuju kamar Boy.“Pergi, Mas! Jangan ganggu aku lagi!” Yasmin mengibaskan tangannya, mencoba melepaskan diri dari bayangan masa lalu.“Aku cuma ingin ketemu Cleo. Anakku,” lirih Bram, langkahnya terhenti. Suaranya begitu pelan di tengah lorong panjang. Tatapannya sendu, memandang punggung mantan istri yang telah menjauh.Dalam benaknya, berputar kembali kenangan tujuh tahun lalu—saat pertama kali melihat Yasmin. Gadis desa